BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Sejarah adalah segala kejadian yang ada hubungannya dengan kegiatan manusia sedemikian rupa sehingga mengakibatkan adanya perubahan politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan pada waktu serta tempat tertentu 1. Indonesia merupakan bangsa yang besar, yang memiliki keberagaman kehidupan dengan macam banyak peristiwa sejarah. Salah satunya adalah sejarah industri pertenunan (tekstil). Menenun adalah proses pembuatan barang-barang tenun (kain) dari persilangan dua set benang dengan cara memasuk-masukkan benang pakan secara melintang pada benangbenang lungsin (benang lusi). Sebelum menenun dilakukan penghanian, yakni pemasangan benang-benang lungsin secara sejajar satu sama lainnya di alat tenun sesuai lebar kain yang diingini 2. Indonesia adalah salah satu negara penghasil seni tenunan terbesar di dunia khususnya dalam hal keanekaragaman hiasan. Kreasi para penenun generasi terdahulu banyak dipengaruhi unsur-unsur budaya asing akibat pengaruh hubungan perdagangan dengan negara-negara tetangga yang telah berlangsung beratus-ratus
1 2
Sutrasno, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Pradya Paramita,1975, hal. 8 W.J.C. Van Paassen dan J.H. Ruygrok, Barang Tekstil, Jakarta, J.B. Woltres, 1951, hal. 4-5
Universitas Sumatera Utara
tahun yang silam. Kondisi tersebut memberikan sumbangan cukup besar bagi kekayaan keanekaragaman jenis tenunan bangsa Indonesia. 3 Indonesia merupakan negara yang kaya akan nilai kebudayaan dan kesenian. Nilai kebudayaan dan kesenian yang tinggi sangat erat hubungannya dengan pola sosial yang berkembang di masyarakat. Salah satu ciri sosial kemasyarakatan yang menjunjung tinggi kebudayaan dan keseniannya adalah adanya ritual dan aturan untuk setiap segi kehidupan bermasyarakat. Upacara ritual kemasyarakatan sarat dengan simbol yang mengarah kepada kedamaian dalam bermasyarakat. Salah satu simbol adalah adanya keberagaman pakaian adat atau pakaian khas daerah. Tiap daerah memiliki kekhasan dalam berbusana. Perkembangan industri tenun di Indonesia tidak dapat diketahui secara pasti, namun kemampuan masyarakat Indonesia dalam hal menenun dan merajut pakaiannya sendiri sudah dimulai sejak adanya kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia. Dalam bentuk kerajinan, yaitu tenun-menenun dan membatik hanya berkembang disekitar lingkungan istana begitu pula hasil kerajinan membatik hanya ditujukan untuk kepentingan seni dan budaya serta dikonsumsi/digunakan sendiri 4. Sejarah pertekstilan Indonesia dimulai dari industri rumahan sejak tahun 1929 dimulai dari sub-sektor pertenunan dan perajutan dengan menggunakan alat Textile Inrichting Bandung (TIB) Gethouw atau yang dikenal dengan nama Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang diciptakan oleh Daalennoord pada tahun 1926 dengan 3 4
Dikutip dari: http://kampung-mandar.web.id/artikel/tenunan-mandar.html Dikutip dari: www.egismy.wordpress.com, diakses pada tanggal 11 Juni 2013.
Universitas Sumatera Utara
produknya berupa tekstil tradisional seperti sarung, kain panjang, lurik, stagen (sabuk), dan selendang. Penggunaan ATBM mulai tergeser oleh Alat Tenun Mesin (ATM) yang pertama kali digunakan pada tahun 1939 di Majalaya-Jawa Barat, dimana di daerah tersebut mendapat pasokan listrik pada tahun 1935 5. Dan sejak itu industri tenun (tekstil) di Indonesia mulai memasuki era teknologi dengan menggunakan ATM. Pada masyarakat Toba khususnya di Balige, kepandaian menenun juga sudah sejak lama ada (tidak diketahui secara pasti). Hal ini dapat dilihat dari kepandaian dalam membuat Ulos. Peralatan yang digunakan masih sangat sederhana sekali yaitu dibuat dari kayu dan bambu alat tenun ini di Indonesia disebut dengan alat tenun gedogan. Bagi masyarakat Toba pada zaman dahulu, Ulos tidak saja digunakan untuk pakaian sehari-hari, tetapi juga untuk upacara adat. Selajan dengan itu tenunan tradisional khususnya kain Ulos terus diproduksi oleh masyarakat. Kegiatan menenun menjadi salah satu mata pencarian masyarakat khususnya kaum perempuan di daerahdaerah Toba, dan juga Balige. Bagi masyarakat Balige, disamping kain ulos terdapat pula sebuah kain yang menarik yaitu kain sarung. Kain ini lazim disebut dan dikenal dengan nama kain sarung Balige atau dalam bahasa Toba disebut dengan mandar Balige. Sarung balige ini mulai diproduksi di Balige sejak tahun 1930-an yaitu sejak berdirinya industri pertenunan modern ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) buatan Textile Inrichting Bandung (TIB) di Balige. Kain sarung ini merupakan ide dan kreatifitas dari para pengusaha Balige. 5
Herlison Enie dan Koestini Karmayu, Pengantar Teknologi Tekstil, Jakarta, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1980, hal: 6-8
Universitas Sumatera Utara
Munculnya industri dan pengusaha tenun di Balige terjadi pada masa kolonial, yakni di tahun 1930-an. Ini berlangsung berkat diterapkannya kebijaksanaan pengembangan industri rakyat oleh Pemerintah kolonial. Dapat dikatakan, pada masa inilah munculnya para pengusaha perintis industri tenun di Balige. Pada tahun 1935 tercatat tiga pengusaha perintis yang cukup besar yaitu Baginda Pipin Siahaan, H.O. Timbang Siahaan, dan Karl Sianipar. 6 Masing-masing mereka menggunakan alat tenun gedogan dan alat tenun bukan mesin (ATBM). Setelah kemerdekaan perkembangan usaha tenun ini mendapat perhatian pemerintah pada tahun 1960-an. Pemerintah Soekarno kala itu menerapkan kebijakan penjatahan benang tenun pada paruh pertama tahun 1960-an. Kebijakan ini ditempuh dengan tujuan mempertahankan kelangsungan ekonomi rakyat sekaligus menjamin ketersediaan sandang murah. Benang tenun bersubsidi dijatah menurut jumlah pemilikan alat tenun. Usaha tenun di Balige semakain bertambah akibat kebijakan tersebut, dan industri yang mulai mengalami perkembangan pada masa itu salah satunya adalah industri Pertenun Boi-Tulus Tekstil yang menghasilkan produk utama adalah kain sarung dan ulos dengan merek cap Jempol.
6
Herry Gendut Janarto, Matiur M. Panggabean Bunga Pansur Dari Balige, Jakarta: PT Gramedia, 2010, hal: 7
Universitas Sumatera Utara
Puncak kejayaan usaha tenun di Balige dimulai pada 1950-an hingga tahun 1970. Pada masa-masa ini lah Balige sering dijuluki sebagai kota pertenunan. 7 Tetapi kemudian diawal tahun 1970-1998 industri tenun Balige mengalami pasang surut karena ketidak mampuan pengusaha lokal Balige dalam menghadapi persaingan pasar, terhentinya pasokan subsidi benang, kemudian dibarengi oleh perkembangan teknologi tekstil ATM. Sebenarnya memberikan keuntungan sebagian besar pada pengusaha lokal Balige terutama dalam hal proses produksi, dimana proses produksi menggunakan ATM lebih cepat dibandingkan dengan ATBM. Akan tetapi, berkembangnya teknologi ini tidak dibarengi dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan para pengusaha lokal dalam mengembangkan keterampilan. Sebagian pengusaha tidak menyiapkan generasi penerus secara baik, terbukti hampir tidak ada generasi penerus di Balige saat itu meneruskan pendidikan kesekolah tinggi teknologi tekstil. Akibatnya pengolahan usaha oleh generasi penerus tidak lebih baik dibandingkan oleh pendahulunya, sementara tantangan yang dihadapinya jauh lebih rumit. Kemudian semakin dipersulit dengan adanya krisis ekonomi di tahun 1998. Seperti industri-industri lain di indonesia, industri di Balige pun mengalami dampak dari krisis ekonomi ini. Krisis ekonomi ini mengakibatkan sebagian pengusaha mengalami kebangkrutan karena penurunan pesanan dan kenaikan biaya produksi. Akibatnya banyak industri tenun di Balige yang tutup. Para pengusaha industri tenun
7
Lihat juga di http://mysarimatondang.blogspot.com/2007/11/lain-balige-lain-jepara.html diakses pada 11 Juni 2013.
Universitas Sumatera Utara
tersebut beralih pada usaha lain yang lebih menjanjikan seperti berdagang, membuka pertokoan dan bahkan kembali pada sektor pertanian. Berbeda dengan industri tenun cap jempol ( pertenunan Boi-Tulus Tekstil) yang sampai pada saat ini masih dapat bertahan dan menjadi salah satu industri tenun terbesar di Balige, walaupun pada tahun 1998 terkena imbas dari krisis ekonomi. Hal inilah yang menjadi daya tarik untuk mengkaji sejarah dan peranan industri ini. Kilang Tenun Boi-Tulus Tekstil ini didirikan oleh Julius Sianipar pada tahun 1950. Pada awal pendiriannya industri ini berada di Lumban Silintong tepatnya di Jln. Pelabuhan Balige kemudian dipindahkan ke Jalan utama kota yaitu Jalan Tarutung Balige pada tahun 1980. Pembangunan gedung baru dilakukan di atas areal tanah seluas 1.200 m2 dengan bangunan semi permanen seluas 1.000 m2 yang terdiri rumah pemilik, gedung produksi, dapur pencelupan, gudang, asrama karyawan, bengkel, dapur karyawan, kamar mandi. Serta dilengkapi dengan alat tenun mesin (ATM) dan alat bantu produksi lainnya (seperti mesin kelos, mesin palet, mesin hank, dan mesin hanian) dan menetap sampai saat ini. Akibat dari penambahan jumlah mesin-mesin tenun sehingga tempat awal semakin sempit dan tidak cocok lagi untuk proses produksi. Selain faktor tersebut, pemindahan ini bertujuan juga untuk mempermudah proses pemasaran karena jalan ini merupakan jalan utama dan dekat dengan onan Balige dengan jarak sekitar 0,5 km dan padat penduduk. Boi-Tulus Tekstil merupakan industri berskala menengah. Industri Skala menengah adalah industri yang mempekerjakan 20-90 orang dan memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500 Jt
Universitas Sumatera Utara
hingga paling banyak Rp 10 M, atau memiliki hasil penjualan tahunan Rp 2,5 M sampai paling tinggi Rp 50 M 8. Industri ini memproduksi dua kain tenunan yaitu mandar (kain sarung katun) dan ulos. Sasaran dari industri tenun ini adalah seluruh lapisan masyarakat, ini dilihat dari harga yang terjangkau dan murah. Kain tenun mandar bisa dibentuk, dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan banyak mempunyai ragam fungsi yaitu untuk pakaian Sholat, untuk kain lampin atau pembungkus bayi agar tetap hangat, taplak meja, gorden pintu dan jendela, sarung bantal, seprei tempat tidur, bahkan kain tenun ini dapat dibentuk menjadi pakaian modern baik untuk pria dan wanita. Sedangkan kain Ulos memiliki nilai potensi yang cukup besar karena memiliki nilai sejarah dan ciri khas tersendiri. Kain ulos didominasi oleh masyarakat adat Batak. Meskipun jumlah tenunan ulos dari tahun ketahun cukup banyak, tetapi permintaan masyarakat khususnya untuk kegiatan upacara adat Batak masih tetap ada. Ini disebabkan bahwa dalam adat Batak ulos yang digunakan untuk acara adat tidak lazim digunakan lebih dari satu kali. Sehingga permintaan akan ulos akan tetap ada. Industri pertenunan Boi-Tulus Tekstil merupakan salah industri tenun di Balige yang mampu bertahan sampai sekarang. Indusri mempunyai peranan dalam meningkatkan ekonomi terutama dalam penyerapan tenaga kerja, penyedia sandang, serta pengurangan kemiskinan, disamping itu juga merupakan salah satu produk khas dan dikategorikan sebagai produk andalan dan menjadi ikon kota Balige. 8
Tambunan, Tulus T.H, UMKM di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, hal. 16
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan berbagai masalah dan pemikiran di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkajinya. Maka penelitian ini diberi judul “ Pertenun Boi-Tulus Tekstil Di Kecamatan Balige (1950-1998) ”. Adapun alasan penulis membatasi penulisan mulai dari tahun 1950-1998, disebabkan karena pada tahun 1950 kilang tenun ini didirikan oleh pemiliknya yaitu bapak Julius Sianipar dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) sebanyak 10 unit. Dengan jumlah tenaga kerja upahan sebanyak 12 orang dan dibantu oleh angota keluarga sendiri. Sedangkan tahun 1998 sebagai akhir dari penulisan ini disebabkan karena pada tahun tersebut industri tenun Boi-Tulus memilih
berhenti berproduksi untuk sementara guna untuk mengatasi terjadinya
kerugian yang fatal karena diakibatkan oleh krisis ekonomi. 1.2. Rumusan Masalah Perlu dibuat suatu rumusan sebagai landasan utama dalam sebuah penelitian dan substansi dari penelitian. Berdasarkan dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas dan dalam mempermudah penulis dalam penulisan ini maka dibuatlah suatu rumusan masalah yang berisi batasan-batasan penelitian dan ruang lingkup fokus permasalahan. Bertitik tolak dari latar belakang di atas penulis membuat beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang sejarah berdirinya industri pertenunan di Balige? 2. Bagaimana sejarah berdiri dan perkembangan industri tenun Boi-Tulus Tekstil dari tahun 1950-1998?
Universitas Sumatera Utara
3. Bagaimana keberadaan industri tenun Boi-Tulus Tekstil terhadap kecamatan Balige 1950-1998? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Hasil sebuah penelitian, pastinya mempunyai tujuan dan manfaat. Penelitian ini dituliskan untuk memberikan pemahaman yang dapat berguna bagi berbagai kepentingan-kepentingan baik sebagai ilmu maupun kepentingan lainnya dan dapat menambah wawasan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk menjelaskan latar belakang sejarah industri pertenun di Balige. 2. Untuk menjelaskan sejarah berdiri dan perkembangan industri tenun BoiTulus Tekstil dari tahun 1950-1998. 3. Untuk menjelaskan keberadaan industri tenun Boi-Tulus Tekstil terhadap kecamatan Balige 1950-1998. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Memberi informasi bagi peneliti dan para pembaca mengenai latar belakang perkembangan dan dampak yang dibawa dari berdirinya industri tenun BoiTulus Tekstil 2. Menambah wawasan peneliti dalam penyusunan karya ilmiah.
Universitas Sumatera Utara
3. Dengan adanya penelitian ini juga dapat memberi masukan bagi pemerintah Kabupaten Toba Samosir dalam rangka mengambil kebijakan untuk pembangunan sektor perindustrian. 4. Menambah literatur dalam penulisan sejarah perindustrian khususnya industri pertenunan (tekstil) 1.4. Tinjauan Pustaka Untuk melakukan kegiatan penelitian dan penulisan, perlu dilakukan tinjauan pustaka dengan menggunakan buku-buku yang berhubungan dengan judul tulisan ini. Ada beberapa buku yang digunakan sebagai tinjauan pustaka dalam penelitian ini dan mampu mencari kerangka teoritis sebagai acuan penelitian. Dr.Tulus T.H. Tambunan (2009) dalam bukunya “Usaha Mikro, Kecil, Menengah di Indonesia” menjelaskan bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mempunyai suatu peranan yang sangat vital didalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di setiap negara, baik di negara yang sedang berkembang maupun di negara maju. UMKM sangat penting tidak hanya kerena kelompok usaha ini menyerap paling banyak tenaga kerja tetapi banyak juga berkonstribusi terhadap pembentukan ataupun pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Buku ini juga menjelaskan bagaimana proses perkembangan UMKM dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh kelompok usaha tersebut di Indonesia hingga saat ini. Ir. Singgih Wibowo, dkk (2000) dalam bukunya “Pedoman Mengelola Perusahaan Kecil” menjelaskan bagaimana mendirikan dan pedoman mengelola perusahaan kecil dengan pendekatan tenknik manajemen sederhana, buku ini menguraikan bagaimana prinsip, cara
Universitas Sumatera Utara
,dan pedomannya agar perusahaan kecil mampu bertahan hidup sukses dan bahkan hidup berkembang dan tumbuh besar hingga generasi penerusnya. Jusuf Irianto (1996) dalam bukunya “Industri Kecil Dalam Prespektif Pembinaan Dan Pengembangan” menjelaskan bahwa paling tidak ada empat masalah besar yang dihadapi kalangan dunia usaha skala kecil dan menengah di Indonesia, yaitu: persoalan manajemen internal, permodalan, teknologi, dan pemasaran. Buku ini juga menjelaskan tentang upaya pengembangan, pembinaan pengusaha kecil dalam kerangka peningkatan akses terhadap modal dan perkreditan.
Thee Kian Wie dalam bukunya “ Industrialisasi Di Indonesia, Beberapa kajian”, menjelaskan bagaimana Indonesia sejak awal dasawarsa 1990-an muncul sebagai salah satu negara berkembang dengan sektor industri manufaktur terbesar diantara seratus lebih negara berkembang.
Dalam buku ini disorot tajam dari
berbagai aspek, yaitu kinerja sektor industri manufaktur Indonesia sebagai keseluruhan sejak pertengahan dasawarsa 1980-an, peranan industri kecil dan menengah dalam industrialisasi Indonesia, penanaman modal asing dan peranan teknologi. Herlison Enie dan Ny. Koestini Karmaya (1980) dalam bukunya “Pengantar Teknologi Tekstil” menjelaskan bagaimana proses pembuatan kain, yang terdiri dari proses pembuatan Benang, pembuatan kain dan penyempurnaan kain yang siap untuk digunakan untuk keperluan sandang.
Universitas Sumatera Utara
1.5. Metode Penelitian Dalam penelitian sejarah yang ilmiah, pemakaian metode sejarah sangatlah penting. Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan sebagai bahan penulisan yang relevan dengan pokok permasalahan maka dilakukanlah pendekatan penelitian terhadap objek sejarah yang akan dituliskan. Penelitian dilaksanakan dengan mengumpulkan sumber-sumber dari berbagai pihak yang relevan dengan pokok kajian diatas. Data-data tersebut dapat diperoleh baik dari lapangan maupun dari kepustakaan. Untuk lebih jelasnya, penulisan penelitian sejarah ini harus melewati beberapa tahapan agar diperoleh suatu penilaian atau pemaparan sejarah yang lebih objektif. Tahap – tahap yang dilakukan dalam penelitian sejarah, antara lain : 1. Heuristik, yaitu mengumpulkan data atau menemukan sumber sejarah. Pada tahap awal ini ada dua sumber heuristik yang dapat diperoleh, Studi lapangan atau observasi (field research) dan studi pustaka ( Library Research ). Data dari hasil studi lapangan dapat diperoleh melalui wawancara dengan berbagai informan yang terkait dengan penelitian, seperti wawancara dengan karyawan dan pemilik pabrik tenun BOI-TULUS, dan juga dinas perindustian dan perdagangan kabupaten Tobasa. Dari wawancara ini akan diperoleh sumber lisan yang dapat dijadikan alat untuk melakukan studi perbandingan dengan sumber tertulis sehingga data yang diperoleh lebih akurat. Sedangkan studi kepustakaan dapat diperoleh dari berbagai buku, dokumen, arsip, dan lain sebagainya
Universitas Sumatera Utara
2. Kritik sumber, merupakan upaya untuk mendapatkan otentisifitas dan kredibilitas sumber. Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah guna mendapatkan objektifitas suatu penelitian. dengan demikian sumber sejarah dapat digunakan dengan aman. Dalam hal ini yang selalu diingat bahwa sumber itu harus : dapat dipercaya (credible), penguatan saksi mata (eyewitness), benar (truth), tidak dipalsukan (unfabricated), dan handal (reliable). Kritik ekstern adalah usaha mendapatkan keaslian sumber dengan melakukan penelitian fisik terhadap suatu sumber seperti, jenis kertas yang digunakan, tinta tulisan. Sedangkan kritik intern adalah kritik yang mengacu pada kebenaran sumber, artinya apakah isi atau fakta dokumen ini terpercaya, tidak dimanipulasi, dan lain- lain 3. Langkah ketiga yang dilakukan adalah interpretasi. Dalam tahapan ini data yang diperoleh dianalisis sehingga melahirkan suatu analisis yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek yang diteliti. Objek kajian masa lampau serta minimnya data dan fakta yang membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam. Interpretasi, merupakan tahap dimana peneliti berusaha menghubungkan data – data yang didapat di lapangan dengan fakta yang ada. Sehingga data tersebut menjadi data yang objektif. 4. Histiografi, merupakan tahap akhir dalam metode sejarah atau dapat juga dikatakan sebagai penulisan terakhir. Histiografi ini merupakan merupakan hasil dari penelitian yang secara kronologis dan sistematis, mulai dari pengumpulan sumber, kritik sumber (kritik eksternal dan kritik internal).
Universitas Sumatera Utara
BAB II SEJARAH INDUSTRI PERTENUNAN DI BALIGE
2.1. Gambaran Umum Kota Balige 2.1.1. Letak Geografis Balige adalah Ibukota Kabupaten Toba Samosir 9, yang merupakan salah satu kota tersibuk di sekitar kawasan Danau Toba. Hal itu dikarenakan kota Balige merupakan jalur lintas Sumatera yang menghubungkan daerah Balige dengan Tarurung disebelah selatan, dan Pematang Siantar di sebelah utara. Kondisi tersebut lambat laun membuat kota Balige berkembang dengan merespon kebutuhan para pendatang maupun yang akan maenyebrang, dengan memberikan jasa maupun usaha dagang dan membangun kios – kios maupun toko yang pada akhirnya membentuk suatu area bisnis. Kecamatan Balige terletak pada ketinggian 905-1.200 meter dari permukaan laut sehingga suhu udara cukup lembab. Luas wilayah mencapai 91,05 km2 dan tersebar di 35 desa/kelurahan. Luas lahan di kecamatan Balige seluas 9.105 Ha dan dimanfaatkan untuk lahan sawah sebanyak 2.926 Ha dan sisanya merupakan lahan kering. Lokasi bangunan/perumahan dan lainya. Areal lahan sawah terluas ada di
9
Daerah Tingkat II Kabupaten Toba Samosir atau sering di sebut dengan Tobasa adalah sebuah kabupaten yang ada di Provinsi Sumatra Utara yang Ibu Kotanya sendiri terdapat di kota Balige. Dan Daerah Balige adalah daerah yang termasuk baik dari segi ekonomi, dilihat dari perkembangan kotanya selama ini dan juga dari segi pemerintahaanya sehinngga dipilih menjadi ibu kota dari Kabupaten Toba Samosir. Kabupaten ini dulu adalah bagian dari Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Utara (Taput).
Universitas Sumatera Utara
Desa Baruara seluas 237 Ha dan luas lahan sawah terkecil berada di Desa Siboruan dan kelurahan Balige I masing-masing dengan luas 20 Ha. 10 Kecamatan Balige terdiri dari 29 Desa dan 6 kelurahan dengan ibukota kecamatan yaitu kelurahan Napitupulu Bagasan. Untuk lebih jelas Kecamatan Balige berbatasan dengan: •
Sebelah Utara berbatasan dengan Danau Toba.
•
Sebelah Selatan berbatan dengan Kabupaten Tapanuli Utara.
•
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tampahan.
•
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Laguboti 11 Balige merupakan suatu kota yang berada di sebelah selatan tepi danau toba
kota ini merupakan lahan yang subur dan padat penduduk. Kota ini dibelah dua oleh lintasan jalan raya trans-sumatera, ibu kota kecamatan ini terletak sekitar 43 km di sebelah utara kota tarutung (ibu kota kabupaten) dan berada sekitar 230 km di sebelah selatan kota Medan (ibu kota provinsi). Ciri utama kota ini adalah adanya tegakan empat bangunan balariung besar beraksitektur rumah adat batak toba di pusat kota yaitu kompleks onan Balige dan berdiri tegak patung pahlawan revolusi Mayjen Anumerta D.I Panjaitan disisi selatan jalan utama kota, dan bagunan museum beraksitektur rumah batak di sebelah utara jalan kota. Di sepanjang sisi kanan dan kiri jalan utama tadi berdiri bagunan-bangunan rumah-toko, rumah penginapan, rumah makan dan kedai, dan bank yang menberikan ciri pasar pada kota itu.
10 11
Kantor kecamat Balige Badan Pusat Statistik Tobasa http://tobasamosirkab.bps.go.id diakses pada 14 agustus 2013
Universitas Sumatera Utara
Sebagai Ibukota Kecamatan, Balige berkembang dengan pesat dan menjadi pusat aktifitas masyarakat, seperti pusat jalur transportasi, pusat perdagangan (ekonomi), pusat pendidikan dan juga sebagai pusat pemerintahan. Bukan hanya itu saja, akan tetapi masih banyak industri – industri kecil dan menengah yang beroperasi di Balige. Hal ini sangat bermanfaat bagi perkembangan ekonomi masyarakat dan pendapatan kota Balige. Dimana industri kecil dan menengah ini akan mengurangi pengangguran yang ada didaerah ini, dan kehidupan masyarakat bisa lebih berkembang dengan baik. 2.1.2. Keadaan Penduduk Sebelum tahun 1966, secara resmi Indonesia belum memiliki kebijakan kependudukan yang komprehensif. Dalam rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana juga tidak pernah ada kebijakan kependudukan yang ditujukan untuk menurunkan angka kelahiran dan angka kematian yang akhirnya berpengaruh pada angka pertumbuhan penduduk 12. Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali sangat berpengaruh bagi berhasilnya proses pembangunan nasional itu sendiri. Pertumbuhan jumlah penduduk memang cukup sulit untuk dapat diatasi. Butuh program–program yang tepat serta terarah agar pertumbuhan penduduk dapat diminimalisir. Pertumbuhan angka kelahiran penduduk di Balige memang cukup tinggi, hal ini dapat kita pahami oleh karena mata pencaharian penduduk yang paling dominan adalah bertani. Mata pencaharian sebagai petani dalam proses produksinya membutuhkan sumber tenaga. Sumber tenaga yang paling mungkin adalah dengan
12
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dinamika Kebijakan Dan Kependudukan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. 21–22
Universitas Sumatera Utara
memakai tenaga keluarga petani itu sendiri. Sehingga tidak mengherankan bila jumlah anak dalam satu keluarga dari kalangan petani bisa mencapai 8 sampai 10 orang anak. Dari segi etnis, agama, dan okupasi (pendudukan, penggunaan, atau penempatan) penduduk kota kecil balige dan sekitarnya dapat dibedakan ke dalam satu kelompok mayoritas dan empat kelompok minoritas. Kelompok mayoritas adalah etnis Batak Toba (penduduk asli) yang umumnya beragama kristen protestan dan katolik dengan bidang okupasi utama pertanian pangan, perdagangan/jasa, dan industri tenun. Sedangkan kelompok minoritas meliputi kaum pendatang, yaitu etnis Cina yang beragama Budha dengan bidang okupasi utama perdagangan/jasa, etnis batak mandailing, etnis Minangkabau, dan etnis Jawa yang umumnya beragama Islam. Tiga kelompok etnis ini umumnya bergerak dibidang usaha dagang/jasa. Disamping lima kelompok etnis tersebut masih ada penduduk dari etnis lain, misalnya Nias, Batak Karo, Batak Pakpak, tetapi jumlahnya sangat kecil dan tidak memiliki okupasi yang spesifik.
Universitas Sumatera Utara