BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Retinopati diabetik adalah suatu kelainan retina karena perubahan pembuluh darah retina akibat diabetes, sehingga mengakibatkan gangguan nutrisi pada retina. Retinopati diabetik dapat terjadi pada sebagian besar pasien dengan diabetes mellitus (DM) yang telah berlangsung lama (InaDRS, 2013; Agni, dkk., 2007). Retinopati diabetik merupakan penyebab utama dari kasus kebutaan baru pada usia 20-74 tahun di Amerika Serikat (Westerfeld dan Miller, 2010). World Health Organization (WHO) memperkirakan 4,8% dari 37 juta kasus kebutaan di seluruh dunia disebabkan oleh retinopati diabetik (WHO, 2006). Studi epidemiologis di Amerika, Australia, Eropa, dan Asia melaporkan bahwa jumlah penderita retinopati diabetik akan meningkat dari 100,8 juta pada tahun 2010 menjadi 154,9 juta pada tahun 2030 dengan 30% diantaranya terancam mengalami kebutaan (Sitompul, 2011). Prevalensi retinopati diabetik bervariasi, tergantung pada populasi studi (Kern dan Huang, 2010). Retinopati diabetik telah menjadi penyebab kebutaan terbanyak setelah katarak di Indonesia. The DiabCare Asia 2008 study melaporkan bahwa 42% dari 1785 penderita DM tipe 2 dari 18 pusat kesehatan primer dan sekunder di Indonesia mengalami komplikasi retinopati diabetik, yang terdiri atas 8,3% non proliferative diabetic retinopathy (NPDR) dan 1,8% proliferative diabetic retinopathy (PDR) (Soewondo, dkk., 2010). 1
2
Lamanya menderita DM berhubungan dengan risiko mengalami retinopati diabetik. Menurut WHO sekitar lebih dari 75% pasien dengan DM selama 20 tahun atau lebih akan mengalami komplikasi berupa retinopati diabetik dan dengan meningkatnya angka harapan hidup maka angka kejadian retinopati diabetik juga akan meningkat (WHO, 2006). Faktor risiko lainnya adalah kontrol glikemik yang buruk, hipertensi, ketergantungan pada insulin, proteinuria, nefropati, dan hiperlipidemia (Wong, dkk., 2010). Terdapat kontroversi mengenai peran lipid dalam patogenesis retinopati diabetik (Lyons, dkk., 2004; Miljanovic, dkk., 2004; Klein, dkk., 1991). Beberapa studi membuktikan bahwa dislipidemia merupakan faktor risiko penting pada retinopati diabetik dan edema makula. Studi lainnya tidak menemukan hubungan yang sama (Wong, dkk., 2010). Pasien dengan DM tipe 1 dan 2, dapat terjadi kerusakan pada susunan lipid plasma dan lipoprotein. Hal ini ditandai oleh peningkatan kadar plasma trigliserida (TG), penurunan high density lipoprotein cholesterol (HDL-C), peningkatan small dense low density lipoprotein (sd LDL), serta peningkatan kadar apolipoprotein B (Gnaneswaran, dkk., 2013). Hiperlipidemia berat pada pasien diabetes dapat menyebabkan infiltrasi lipid ke dalam retina akibat adanya peningkatan permeabilitas pembuluh darah serta terganggunya fungsi dari outer blood retinal barrier. Hal inilah yang menyebabkan edema makula serta terbentuknya hard exudate (Miljanovic, dkk., 2004; Chew, dkk., 1996).
3
Saat ini diabetic macular edema (DME) masih menjadi penyebab utama kehilangan penglihatan pada pasien dengan diabetes (Danis, 2008). DME didefinisikan sebagai penebalan retina yang melibatkan makula atau mengancam sentral makula, dan umumnya terjadi sebagai akibat dari akumulasi cairan di intraretina di area makula. Diabetic macular edema (DME) dapat terjadi pada seluruh stadium retinopati diabetik, namun kejadiannya meningkat pada retinopati diabetik dengan derajat yang lebih berat (Massin, dkk., 2010). Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) mengklasifikasikan DME atas clinically significant macular edema (CSME) dan non clinically significant macular edema (non-CSME). Klasifikasi ini berdasarkan prognostik dan pertimbangan terapi, dimana pada CSME diperlukan tindakan laser grid untuk mencegah perburukan tajam penglihatan (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a; Massin, dkk., 2010; Raman, dkk., 2010). Diabetic macular edema (DME) terjadi pada 14% penderita DM tipe 2 (Strom, dkk., 2002). Studi cross sectional oleh Zander dkk., (2000) menyebutkan prevalensi DME sebesar 15% pada penderita DM tipe 1 dan 23% pada penderita DM tipe 2. Setiap tahunnya di Amerika Serikat terdapat lebih dari 33.000 kasus baru DME dan 12.000 – 14.000 kasus kebutaan baru (WHO, 2006). Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) menunjukkan bahwa pasien dengan kadar kolesterol total dalam darah, kadar low density lipoprotein (LDL) atau kadar trigliserida yang tinggi memiliki kecenderungan untuk memiliki gambaran adanya hard exudate pada retina dua kali lebih banyak dibandingkan
4
dengan pasien dengan kadar kolesterol, LDL dan trigliserida yang normal (Chew, dkk., 1996). Studi di India Selatan juga memperoleh hasil serupa, yaitu ditemukan kadar serum kolesterol, serum LDL dan non HDL yang lebih tinggi secara signifikan pada subjek dengan DME dibandingkan dengan subjek tanpa DME (Rema dkk., 2006). Penelitian oleh Cetin, dkk., 2013 mendapatkan hasil yang berbeda, dimana tidak terdapat korelasi antara kadar lipid serum dan DME pada retinopati diabetik. Raman, dkk., (2010) dalam studinya juga menyebutkan tidak terdapat hubungan antara serum lipid dengan CSME. Hal ini dapat disebabkan karena pada retinopati diabetik atau DME terdapat perubahan morfologi dari sub-grup serum lipid yang bertransformasi menjadi partikel-partikel yang lebih kecil akibat adanya proses glikasi dan oksidasi, sehingga metode pemeriksaan yang biasa tidak dapat mengidentifikasi partikel tersebut dan diperlukan metode nuclear magnetic resonance (Cetin dkk, 2013; Raman dkk, 2010). Apolipoprotein B (ApoB) adalah suatu komponen dari very low density lipoprotein (VLDL), intermediate density lipoprotein (IDL), LDL, dan lipoprotein(a) yang berperan dalam transport lipid selama proses metabolisme lipoprotein. Apolipoprotein B bertugas untuk transport lipid dari liver dan usus menuju jaringan perifer (Davidson, 2009). Pada pasien DM tipe 2, ApoB dapat mendeteksi dislipidemia yang tidak terdeteksi oleh pemeriksaan profil lipid standar. Studi oleh Kanani dan Alam (2010) di Pakistan pada 120 pasien DM tipe 2 mendapatkan bahwa peningkatan ApoB terjadi pada 56,67% dari seluruh sampel, diikuti oleh peningkatan
5
trigliserida (TG) serum pada 55% sampel. Pada studi tersebut juga didapatkan pasien yang memiliki kadar kolesterol LDL yang normal, 36% diantaranya mengalami peningkatan kadar serum ApoB. Studi mengenai hubungan serum lipid dan retinopati diabetik telah banyak dilakukan namun dengan hasil yang bervariasi. Hal ini dapat diakibatkan karena perbedaan dalam hal metodologi dan etnis (Rema, dkk., 2006). Peran apolipoprotein dalam retinopati diabetik kian mendapat perhatian, dan telah diujikan dalam beberapa studi dengan hasil yang masih kontroversi. Sasongko, dkk., (2011) menunjukkan bahwa kadar ApoA1, ApoB dan rasio kadar ApoB terhadap ApoA1 berhubungan secara signifikan dengan retinopati diabetik dan tingkat keparahannya. Deguchi, dkk., (2011) dan Hu, dkk., (2012) masing-masing dalam studinya menyebutkan bahwa kadar ApoB dan rasio ApoB/ApoA1 yang tinggi atau rasio ApoA1/ApoB yang rendah berhubungan dengan kejadian PDR. Sampai
saat
ini
sepanjang
pengetahuan
penulis,
penelitian
yang
menghubungkan antara kadar ApoB dengan CSME jarang dipublikasikan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara peningkatan kadar ApoB serum dengan kejadian CSME pada pasien retinopati diabetik.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan suatu masalah penelitian sebagai berikut:
6
Apakah kadar apolipoprotein B yang tinggi berhubungan dengan kejadian CSME pada pasien retinopati diabetik?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kadar apolipoprotein B dengan kejadian CSME pada pasien retinopati diabetik.
1.4
Manfaat penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis Manfaat yang ingin diberikan pada penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang peran apolipoprotein B pada retinopati diabetik, khususnya yang disertai dengan CSME. 1.4.2
Manfaat praktis 1. Pemeriksaan kadar apolipoprotein B dapat dilakukan sebagai suatu pemeriksaan tambahan pada pasien retinopati diabetik, untuk membantu mengetahui risiko terjadinya CSME di kemudian hari. 2. Kadar apolipoprotein B dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
menentukan waktu yang tepat untuk memulai terapi lipid lowering agent dan juga sebagai target terapi pada pasien-pasien dengan retinopati diabetik, untuk memperlambat atau mencegah terjadinya CSME