BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Keberagaman bahasa merupakan salah satu faktor Indonesia mendapat perhatian dunia. Salah satu bahasa di Indonesia yang mendapat perhatian linguis dari berbagai negara yaitu bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Bahasa ini tidak hanya dikenal dan digunakan oleh etnis Jawa, tetapi juga oleh sebagian etnis lain yang ingin mempelajari bahasa Jawa untuk membantu berkomunikasi praktis. Sebagai bahasa yang telah lama hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, tidak heran jika sejarah dan tradisinya juga masih terpelihara oleh masyarakat. Bahasa Jawa menempati urutan ke-11 dari 6.703 bahasa di dunia berdasarkan jumlah penutur terbanyak. Sekarang ini, jumlah penutur bahasa Jawa mencakup 75.500.000 orang yang tersebar di Propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Lampung, sekitar Medan, daerahdaerah transmigrasi di Indonesia (antara lain Riau, Jambi, Kalimantan Tengah), dan beberapa tempat di luar negeri (Suriname, New Caledonia, dan Pantai Barat Johor) (Laksono dalam Marsono, 2011:12--13). Wilayah pakai yang luas diimbangi dengan jumlah penutur yang relatif banyak tersebut menyebabkan bahasa Jawa mempunyai beragam variasi yang menimbulkan kekhasan bahasa
1
2 yang dimiliki oleh suatu masyarakat sehingga membedakannya dengan masyarakat lainnya. Wilayah pakai yang luas dan variasi bahasa Jawa yang beragam pun melahirkan pengelompokan dialek yang berbeda oleh para linguis. Uhlenbeck (1982) membagi dialek bahasa Jawa wilayah Yogyakarta dan Solo menjadi 4 dialek dan 13 subdialek. Dialek-dialek tersebut adalah dialek Banyumas, dialek Pesisir, dialek Surakarta, dan dialek Jawa Timur. Adapun sub-subdialeknya yaitu subdialek Purwokerto, Kebumen, Pemalang, Banten Utara, Tegal, Semarang, Rembang, Surakarta (Solo), Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Banyuwangi, dan Cirebon (dalam Zulaeha, 2010:74). Sementara itu, Balai Bahasa Propinsi Jawa Tengah dalam Peta Bahasa di Jawa Tengah (2008) membagi bahasa Jawa di Jawa Tengah menjadi lima dialek, yaitu dialek Semarsuradupati (eks-Karesidenan Semarang, eks-Karesidenan Surakarta, eks-Karesidenan Kedu, dan eksKaresidenan Pati), dialek Pekalongan (Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Batang, dan Kabupaten Pemalang), dialek Wonosobo (Kabupaten Wonosobo), dialek Banyumas (Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap, dan Kabupaten Kebumen), dan dialek Tegal Kabupaten Tegal dan Brebes). Salah satu wilayah pemakaian bahasa Jawa yaitu di Karimunjawa. Karimunjawa merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Jepara. Penelitian ini mengkaji pemakaian bahasa Jawa yang terdapat di Karimunjawa, yang selanjutnya disingkat BJEK. Karimunjawa merupakan daerah enklave bahasa Jawa. Enklave adalah 1 negara atau bagian negara yang dikelilingi oleh wilayah suatu negara lain; 2 daerah (wilayah) budaya yang terdapat di dalam wilayah
3 budaya lain (KBBI, 2008:375). Enklave seringkali digunakan untuk menyebut daerah kantong yang menjadi tempat sebaran suatu bahasa di luar daerah sebaran bahasa asalnya. Karimunjawa yang tersohor sebagai paradise of Java memiliki wisata bawah laut, multietnis, dan bahasa yang saling bersinergi ini terletak di barat laut kota Jepara tepatnya 45 mil atau 83 km dari Jepara dan 60 mil atau 110 km dari Semarang pada koordinat 5°40‟39″--5°55‟00″ LS dan 110°31‟15″ BT. Seluruh wilayah kepulauan di Karimunjawa berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Karimunjawa memiliki 27 pulau, meliputi 5 pulau yang sudah berpenghuni dan 22 pulau yang belum berpenghuni. Wilayah ini terbagi menjadi empat desa, yaitu Desa Karimunjawa, Kemojan, Nyamuk dan Parang. Penduduknya mayoritas bermatapencaharian sebagai nelayan. Karimunjawa terdiri atas berbagai macam etnis, antara lain berasal dari Jawa, Madura, Bugis, Mandar, dan Buton (Tim Mahasiswa Antropologi UGM Angkatan 2002, 2004:7). Etnis-etnis tersebut merupakan etnis pendatang dan bukan penduduk asli Karimunjawa. Mereka datang ke daerah tersebut dengan berbagai tujuan (motif). Ada yang semula datang dengan tujuan berdagang ataupun mencari daerah baru untuk bermukim. Bahkan, sampai sekarang masih terjadi kesimpangsiuran asal muasal penduduk di Karimunjawa, yang lebih dikenal dengan sebutan “orang Karimun”. Ada yang berpendapat bahwa asal muasal penduduk Karimunjawa bermula dari seseorang yang bernama Dahyang Jaya sebagai cikal bakalnya. Ada pula yang berpendapat asal muasal penduduknya adalah orang-orang Tionghoa yang dulunya tinggal di pesisir pantai. Selain itu,
4 terdapat pendapat lain tentang penduduk Karimunjawa yaitu menurut survei yang dilakukan Tim Mahasiswa Antropologi UGM 2002, penduduk Karimunjawa yang berlatarbelakang suku Jawa umumnya berasal dari wilayah Jepara dan sekitarnya seperti Bugel, Keling, Tahunan, Mlongo, dan wilayah pesisir pantai Jepara lainnya (2004:7). Selain itu, terdapat pula sebagian penduduk Karimunjawa yang berasal dari Yogyakarta, Solo, Magelang, dan beberapa kota di Jawa Timur. Dari beberapa pemaparan asal muasal penduduk Karimunjawa keseluruhan merupakan etnis-etnis pendatang sehingga dapat ditarik kesimpulan Karimunjawa bukanlah daerah asal bahasa Jawa, tetapi hanyalah daerah kantong (enklave) pemakaian bahasa Jawa. Berdasarkan peta bahasa Salzner, bahasa di Karimunjawa adalah campuran bahasa Jawa dan Madura (Bantu, 1972:27). Akan tetapi, berdasarkan Peta Bahasa di Jawa Tengah (Solikhan., dkk., 2008:36--37) bahasa yang terdapat di Karimunjawa hanya tercantum satu bahasa yaitu bahasa Jawa dialek Semarsuradupati. Dialek Semaradipura mencakup wilayah eks-Karesidenan Semarang, eks-Karesidenan Surakarta, eks-Karesidenan Kedu, dan eksKaresidenan Pati. Dalam hal ini, Karimunjawa merupakan salah satu wilayah di eks-Karesidenan Pati. Penduduk Karimunjawa sekarang ini merupakan generasi ketiga (berkisar 75 tahun lalu) keseluruhan merupakan etnis pendatang. Karimunjawa terdiri dari dua pulau yang terpisah, yaitu Pulau Karimunjawa yang mayoritas penduduknya etnis Jawa dan Pulau Kemojan yang penduduknya terdapat sekelompok etnis Bugis. Sementara itu, orang-orang Karimunjawa didominasi oleh etnis Jawa
5 sehingga etnis-etnis minoritas lainnya dengan sukarela mengadopsi budaya Jawa sebagai bentuk toleransi hidup berdampingan antaretnis. Selain budaya yang mereka adopsi, tidak dapat dipungkiri bahasa yang dominan di daerah tersebut juga bahasa Jawa sehingga secara otomatis dan tidak disadari etnis-etnis selain Jawa juga mempelajari dan menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi sehari-hari dengan orang Jawa. Situasi tersebut menimbulkan adanya suatu kontak bahasa di daerah tersebut. Kontak bahasa adalah saling pengaruh antara pelbagai bahasa karena para bahasawannya sering bertemu; tercakup di dalamnya bilingualisme, peminjaman, perubahan bahasa, kreolisasi, dan pijinisasi (Kridalaksana, 2008:134). Berdasarkan observasi awal dan dari literatur menyebutkan bahwa bahasa Jawa di Karimunjawa umumnya berasal dari Jawa Tengah. Dalam penelitian ini Karimunjawa disebut sebagai daerah enklave sedangkan Jepara dan Yogyakarta sebagai daerah asal. Untuk itu, akan dipaparkan perbandingan penggunaan bahasa Jawa di enklave Karimunjawa (BJEK), bahasa Jawa Jepara (BJJ), dan bahasa Jawa Yogya (BJY). Tabel 1. Penggunaan bahasa Jawa di Karimunjawa (BJK) dibandingkan dengan bahasa Jawa di Jepara (BJJ) dan bahasa Jawa Yogyakarta (BJY) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Gloss tangan kiri kanan kaki berjalan debu tahu kotor
BJY taan kiw təən sikIl mlaku ləbu ərti rəgət
BJJ taan kiw təən sikIl mlaku blədu rəti rush
BJK taan kiw təən sikIl mlaku awu ərti rush
6
19 20 21
kɛh akɛh pusar wudəl udəl bengkak abuh abUh bersin waen wahe pendek cənḍə memberi əwɛi ənɛi dingin aḍəm añəp asap kukUs kəbUl awan pəḍUt meg bagaimana kəpiye piye perahu prau gubuk gubU kucing kuce
22 23
itu dekat
kuwi cəra
24
sedikit
25 26
hanya terbang
səṭiṭe ṭiṭe me mabUr
27
minum
ombe
28
melihat
29
kikir
ndələ ndəl cəṭel
30 31 32
kencing menjahit paha
33
sayap
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
banyak
uyoh njaIt kempl pupu suwiwi səwiwi
mbərah
mbəru
udəl
udəl
abh
abh
wahe wae cənḍə ɛi
wahe
ates kəbUl
atis añəp kel
meg
rintən
piye
piye
juk akr kuce kce ikə cəra para səṭiṭe ṭiṭe mɛ mabUr mibər ombe inom ndələ iəti brənṭel
guku gubU kuce
cənḍi wɛi
kuwi cəḍa siṭi m mabUr ombe
əbər njaet sempl
ndəl əti məḍit mricə uyoh dndm sempl
əlar
suwiwi
7 34
gumo
pugro
gomo
35 36
gundukan tanah pantai lurus
pəsiser ləmpə
babakan ləmpə
37
anak katak
38
lutut
pərcel ceb ḍəkol
gise ləmpə ləncə kəcel gunḍu
precel cebl ḍəkol
Dari beberapa pemaparan contoh data pemakaian bahasa Jawa di Yogyakarta, Jepara, dan Karimunjawa memperlihatkan adanya kemiripan dari segi fonologi dan leksikal. Beberapa glos memiliki berian yang sama pada ketiga daerah tersebut yaitu pada glos 1--5. Dari segi fonologi, terlihat beberapa fonem yang bersubstitusi, misalnya contoh data 11 glos „bengkak‟ terdapat substitusi bunyi u ~ ~ pada posisi ultima, data 23 glos „dekat‟ terdapat substitusi bunyi r ~ r ~ ḍ pada posisi ultima, dan pada data 32 glos „paha‟ terdapat substitusi bunyi k ~ s ~ s pada posisi penultima. Adapun perbedaan leksikon, misalnya terlihat pada contoh data 29 dan 35. Selain adanya kemiripan fonologi dan leksikon, dari pemaparan contoh data tersebut tampaklah adanya variasi berian yang menunjukkan secara mandiri karakter masing-masing daerah tidak begitu mencolok, tetapi variasi berian tersebut muncul sebagai adanya pengaruh daerah asal terhadap daerah enklave. Dengan kata lain, pemakaian bahasa Jawa di ketiga daerah pemakaian bahasa Jawa tersebut relatif tidak mencolok perbedaannya sehingga secara umum pemakaian bahasa Jawa di ketiga daerah tersebut memiliki kemiripan yang relatif tinggi sebagai bentuk adanya hubungan antara daerah asal dan daerah enklave.
8 Pemilihan lokasi penelitian di Karimunjawa dengan tinjauan dialektologi diakronis didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, kajian atau pun penelitian mengenai Karimunjawa masih terbatas pada sosio-kultural dan belum adanya penelitian bahasa secara memadai. Kedua, adanya kesimpangsiuran status bahasa di Karimunjawa yang dalam hal ini termasuk dalam wilayah Jepara yang oleh Pusat Bahasa (2008) dikelompokkan dalam dialek Solo-Yogja, sedangkan menurut Katrini (2002), wilayah Jepara termasuk dalam wilayah dialek Pesisir. Ketiga, adanya pengaruh-pengaruh baik dari intern maupun ekstern, diantaranya Karimunjawa merupakan masyarakat multietnis sehingga terdapat kemungkinan bahasa yang digunakan saling mempengaruhi sehingga memberikan sumbangan terhadap pemertahanan maupun pergeseran bahasa tersebut yang layak untuk dikaji. Keempat, kondisi geografis Karimunjawa yang terpisah dari daerah asal (dalam hal ini Jepara dan Yogyakarta) memberikan kemungkinan perkembangan bahasanya sejalan ataukah lebih lambat dari daerah asalnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi geografis kepulauan menyebabkan hubungan dengan daerah-daerah lain atau pun daerah asal bahasa Jawa enklave Karimunjawa (dalam hal ini Jepara dan Yogyakarta) menjadi terbatas. Kelima, pemakaian bahasa di daerah enklave umumnya berkaitan dengan migrasi yang terjadi pada masa lalu sehingga diasumsikan BJEK memiliki hubungan dengan daerah asalnya, yaitu Jepara dan Yogyakarta. Hal-hal yang dipaparkan sebelumnya merupakan faktor-faktor yang melandasi penelitian yang berpotensi mempengaruhi penggunaan BJEK dapat mengalami pemertahanan maupun pergeseran. Dengan demikian, kemungkinan-
9 kemungkinan pengaruh yang ada tersebut dapat berasal dari intralinguistik maupun ekstralinguistik bahasa yang bersangkutan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diperoleh rumusah masalah sebagai berikut. a. Bagaimana pemakaian bahasa Jawa di daerah enklave Karimunjawa? b. Bagaimana perbedaan bahasa Jawa di daerah enklave Karimunjawa dan daerah asalnya? c. Mengapa bahasa Jawa di daerah enklave Karimunjawa mengalami pemertahanan, di samping pergeseran yang diduga tidak paralel dengan yang dialami bahasa Jawa di daerah asalnya? 1.3 Tujuan Penelitian a. Mendeskripsikan
pemakaian
bahasa
Jawa
di
daerah
enklave
Karimunjawa yang mencakup aspek fonologi, morfologi, sintaksis, morfofonemik, dan leksikon. b. Mendeskripsikan
perbedaan
bahasa
Jawa
di
daerah
enklave
Karimunjawa dan daerah asalnya melalui perbedaan-perbedaan diakronis dalam unit-unit lingualnya. c. Menjelaskan alasan-alasan bahasa Jawa di enklave Karimunjawa mengalami pemertahanan, di samping pergeseran yang diduga tidak paralel dengan yang dialami bahasa Jawa di daerah asalnya.
10 1.4 Ruang Lingkup Penelitian ini termasuk dalam kajian dialektologi. Dialektologi adalah cabang
linguistik
yang
meneliti
perbedaan-perbedaan
isolek
dengan
memperlakukan perbedaan tersebut secara utuh (Mahsun, 1995:11). Dialektologi memiliki dua buah cabang, yakni geografi dialek dan sosiodialek. Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada dialektologi diakronis. Mahsun (1995:15) memaparkan dialektologi diakronis berupaya memberikan gambaran tentang dialek dan subdialek secara utuh dengan melihat keterhubungan antardialek/subdialek dengan bahasa induk yang menurunkannya serta hubungan antardialek/ antarsubdialek itu baik antarsesamanya maupun dengan dialek atau bahasa yang lain yang pernah menjalin kontak dengan dialek atau subdialek tersebut. Daerah penelitian yang dipilih adalah Karimunjawa sebagai salah satu daerah enklave bahasa Jawa. Karimunjawa dipilih karena bahasa Jawa yang digunakan di daerah ini memiliki karakter khas sebagai wujud bahasa yang tumbuh di tengah-tengah multikultural dan sebagai cermin dari bahasa Jawa dari daerah asalnya, yaitu Jepara dan Yogyakarta. Daerah penelitian yang dipilih yaitu di dua desa (Desa Kemojan dan Desa Karimunjawa) yang terdapat di dua pulau terbesar di Karimunjawa (Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemojan). Kedua pulau ini merupakan pulau-pulau awal yang dimukimi manusia. Selain itu, digunakan pula bahasa Jawa di daerah asal sebagai pembanding, yaitu bahasa Jawa di Jepara (dengan titik pengamatan Tahunan sebagai daerah pesisir pantai) dan Yogyakarta (dengan titik pengamatan Kulonprogo).
11 Pembahasan penelitiannya ini meliputi pemaparan diakronis bahasa Jawa di enklave Karimunjawa yang diperbandingkan dengan bahasa Jawa di daerah asal (bahasa Jawa Yogyakarta dan Jepara) untuk melihat keterhubungan sejarah bahasa di daerah-daerah tersebut. Sebelum pemaparan diakronis, pemaparan secara sinkronis (meliputi fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis) juga dilakukan untuk melihat sistem bahasa yang ada sebagai hal yang dapat diperbandingkan untuk melihat keterhubungan bahasa di daerah tersebut. Selain itu, pemaparan sejarah daerah dan bahasa juga dilakukan untuk mengetahui sejarah dan keterhubungan kebahasaan daerah asal dan enklave. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diadakan dengan harapan dapat memberikan sumbangan, baik secara teoretis ataupun secara praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat lebih mengembangkan ilmu linguistik, khususnya kajian dialektologi. Adapun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai invertarisasi dan pendokumentasian bahasa Jawa yang berada di daerah enklave bahasa Jawa, yaitu Karimunjawa, membantu pemahaman masyarakat tentang bahasa Jawa di daerah tersebut sehingga diharapkan dapat membantu dalam berkomunikasi praktis masyarakat yang mempunyai minat terhadap bahasa yang bersangkutan. Selain itu, dengan memahami tipe-tipe BJEK diharapkan masyarakat yang akan berada di salah satu daerah tersebut dapat tepat sasaran dalam menggunakan bahasa sesuai dengan lokasinya.
12 1.6 Tinjauan Pustaka Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, penelitian bahasa Jawa sudah banyak dilakukan, baik yang berkaitan dengan kondisi sosio-kultural maupun kebahasaan. Penelitian yang bersangkutan dengan aspek kebahasaan bahasa Jawa antara lain pernah dilakukan oleh Sabariyanto, dkk. (1983) dalam judul Geografi Dialek Bahasa Jawa Kabupaten Pati, Sabariyanto, dkk. (1985) dalam judul Geografi Dialek Bahasa Jawa Kabupaten Jepara, Mubarok (2007) tentang “Penggunaan Bahasa Jawa di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah Kajian Geografi Dialek”, Ismiharta (2005) yang berjudul “Geografi Dialek Jawa Kulon Progo”, Katrini (2002) mengenai “Bahasa Jawa di Jawa Tengah bagian Timur (Sebuah Kajian Geografi Dialek”, Pujiyatno (2007) yang berjudul “Variasi Dialek Bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen” dan Rohmatunnazilah (2007) berjudul “Pemakaian Bahasa Jawa di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” dengan menggunakan tinjauan sosiodialektologi. Beberapa penelitian bahasa Jawa secara umum dari berbagai kajian dipaparkan sebagai berikut. Mubarok (2007) deskripsi perbedaan leksikal yang ada di dalam Bahasa Jawa Dialek Banyumas (BJDB) melalui perhitungan dialektometri, memetakan perbedaan leksikal dengan peta isoglos dan heteroglos, dan memaparkan karakteristik BJDB pada tataran fonologi, morfologi, dan semantik. Hal tersebut serupa dengan yang dilakukan oleh Ismiharta (2005) mengenai “Geografi Dialek Jawa Kulon Progo menguraikan tentang gejala bahasa di bidang fonetik dan morfologi, perhitungan isoglos dan heteroglos, gejala unik, serta perhitungan secara statistik dengan dialektometri. Lebih lanjut, pembahasan
13 secara sinkronis dengan memperhatikan faktor geografis dan sosiokultural pernah dilakukan oleh Pujiyatno (2007) mengenai “Variasi Dialek Bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen mengkaji perbedaan variasi dialek bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen pada tataran fonologi, morfologi, dan tingkat tutur, memetakan variasi dialek, dan memaparkan faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut secara geografis dan sosiokultural. Selain itu, kajian sosiodialektologi Rohmatunnazilah (2007) berjudul “Pemakaian Bahasa Jawa di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memaparkan secara sinkronis, yaitu deskripsi variasi pemakaian BJB pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, maupun leksikal, serta mendeskripsikan tingkat tutur BJB, dan secara diakronis mendeskripsikan perkembangan historis BJB sehingga dapat ditetapkan daerah penelitian (DP) yang masih mempertahankan bentuk retensi dari bahasa Jawa kuna atau yang sudah menggunakan bentuk inovasi. Penelitian yang berhubungan dengan daerah penelitian (Karimunjawa) antara lain oleh Sabariyanto, dkk. (1985) dalam judul Geografi Dialek Bahasa Jawa Kabupaten Jepara mengkaji pemakaian bahasa Jawa di wilayah Kabupaten Jepara dengan kajian geografi dialek yang mengambil titik pengamatan sejumlah 31 desa di sembilan kecamatan (Kecamatan Clering, Bangsri, Mlonggo, Batealit, Jepara, Mayong, Pecangakan, Kedung, dan Welahan). Dalam hal ini, Kabupaten Jepara yang waktu itu berjumlah 10 kecamatan hanya diambil 9 kecamatan sebagai titik pengamatan dengan pertimbangan satu kecamatan mengalami kesulitan akses transportasi, yaitu Kecamatan Karimunjawa. Dalam penelitian tersebut diperoleh hasil unsur bahasa Jawa di Jepara, baik fonologi maupun
14 morfologinya jika dibandingkan dengan bahasa Jawa Baku tidak memiliki ciri yang sangat mencolok, tetapi dari unsur leksikon ditemukan beberapa leksikon yang khas bahasa Jawa Jepara. Sabariyanto, dkk. (1983) dalam judul Geografi Dialek Bahasa Jawa Kabupaten Pati. Sama halnya dengan penelitian tentang bahasa Jawa Jepara, bahasa Jawa Pati juga tidak memiliki perbedaan-perbedaan yang mencolok jika dibandingkan dengan bahasa Jawa baku, baik fonologi maupun morfologinya, tetapi dari unsur leksikon ditemukan beberapa leksikon yang khas bahasa Jawa daerah tersebut. Dari segi morfologinya, bahasa Jawa Pati mempunyai ciri khas pada bentuk yang menyatakan milik, yaitu munculnya penanda -em pada akhir nomina seperti halnya -mu pada bahasa Jawa baku. Katrini (2002) dalam disertasinya mengenai “Bahasa Jawa di Jawa Tengah Bagian Timur (Sebuah Kajian Geografi Dialek) membahas secara kuantitatif menggunakan metode dialektometri yang mencakup 60 titik pengamatan yang tersebar di pantai utara (kota Semarang, Magelang, Yogyakarta), dan pantai selatan ke arah timur hingga perbatasan daerah Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang meliputi Demak, Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Blora, Semarang, Grobogan, Magelang, Sleman, Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, Wonogiri,, Klaten, Sukoharjo, Boyolali, dan Sragen. Dari perhitungan dialektometri tersebut, wilayah penelitian terbagi menjadi dua wilayah dialek, yaitu wilayah utara termasuk wilayah dialek pesisir dan wilayah sebelah selatan termasuk dalam wilayah dialek Yogya-Sala (Nagari). Di samping itu, secara kualitatif penelitian ini menjabarkan ciri-ciri umum yang membedakan antara dialek Pesisir dengan
15 dialek Yogya-Sala (Nagari) yang mencakup perbedaan fonologis, morfologis, maupun leksikal. Sementara itu, kajian bahasa Jawa ditinjau dengan dialektologi diakronis telah banyak dilakukan oleh para linguis maupun peneliti lainnya. Kajian-kajian tersebut meliputi kajian dialektologi diakronis secara umum maupun kajian khusus mengenai dialektologi diakronis di suatu enklave. Beberapa dari kajian tersebut dipaparkan sebagai berikut. Sukmawati (2012) yang berjudul “Enklave Bahasa Jawa di Provinsi Bengkulu: Kajian Dialektologi Diakronis” ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sinkronis dan diakronis bahasa Jawa yang terdapat di enklave Bengkulu. Penelitian mengambil dua titik pengamatan, yaitu Kelurahan Kemumu dan Desa Tangsi Duren. Pengumpulan data dilakukan dengan metode pupuan lapangan dengan teknik catat dan rekam. Data primer yang digunakan untuk keperluan analisis diperoleh dengan wawancara terstruktur menggunakan daftar Swadesh yang telah direvisi oleh Blust dan kosakata dasar budaya. Analisis data dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data yang diperoleh dianalisis secara sinkronis dari tataran fonologi, leksikon, morfologi, morfofonemik, dan sintaksis. Hasil analisis tersebut kemudian dibandingkan antara satu dengan lainnya untuk mendapatkan ciri-ciri yang khas yang terdapat dalam bahasa Jawa di enklave Bengkulu. Selanjutnya, data dianalisis secara diakronis untuk menentukan tingkat kekerabatan antara dialek/subdialek yang dibandingkan. Untuk menemukan tingkat kekerabatan antara dialek/subdialek dalam bahasa Jawa di enklave Bengkulu digunakan metode komparatif dengan teknik leksikostatistik. Hasil
16 analisis data disajikan dengan menggunakan kata-kata biasa dan tabel-tabel. Hasilnya menunjukkan tidak adanya perbedaan yang mencolok antara BJEB dengan bahasa di daerah asalnya. Perbedaan paling terlihat pada tataran leksikal, yaitu banyak kata-kata bahasa Jawa yang telah digantikan oleh kata-kata bahasa Indonesia. Selain itu, penggunaan tingkat tutur sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Jawa di enklave Bengkulu dalam percakapan sehari-hari. Ibrahim (2010) dalam tesisnya yang berjudul “Enklave Bahasa Galela di Kabupaten Pulau Morotai” mendeskripsikan bahasa Galela yang dituturkan di Kabupaten Pulau Morotai secara sinkronis dan diakronis. Deskripsi sinkronis meliputi deskripsi fonologis, proses morfofonemik, leksikal, morfologis, dan sedikit konstruksi sintaksis. Sementara itu, deskripsi diakronis, berupa penelusuran hubungan antara bahasa Galela yang dituturkan di Pulau Morotai dengan bahasa Galela yang dituturkan di tempat asalnya, yaitu Halmahera Utara. Penelitian ini menggunakan alat 200 kosakata dasar Swadesh dan kosakata dasar budaya. Dalam penelitian ini terdapat tiga titik pengamatan dan pada tiap titik pengamatan diambil tiga informan. Penelitian ini menggunakan metode pupuan lapangan dengan teknik catat dan rekam dalam mengumpulkan datanya. Sementara itu, dalam menganalisis data, penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan menggunakan perhitungan leksikostatistik dan dialektometri, sedangkan metode kualitatif dilakukan dengan mencari inovasi bersama dalam tataran fonologis, morfologis, dan leksikal. Dari penelitian ini, diketahui bahwa bahasa Galela di enklave Kabupaten Pulau Morotai masih memiliki hubungan erat dengan bahasa Galela di
17 Halmahera Utara. Hal ini terlihat dari persentase kekerabatan yang tinggi di antara keduanya yang terlihat dari perhitungan leksikostatistik dan dialektometri. Zawarnis (2009) dalam tesisnya yang berjudul “Variasi Dialektal Bahasa Jawa di Lampung” membahas variasi dialektal bahasa Jawa di Lampung meliputi variasi leksikal dan fonologis. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara terhadap lima belas informan. Pengolahan data melalui perhitungan dialektometri dan penyusunan berkas isoglos. Informan yang dipilih adalah informan yang berasal dari suku Jawa yang dilahirkan di Lampung. Zawarnis melakukan penelusuran distribusi variasi bahasa Jawa di Lampung melalui analisis berdasarkan pengelompokkan jumlah etimon dan medan makna. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa secara leksikal hubungan antara variasi bahasa Jawa di lampung dengan bahasa Jawa di daerah asalnya hanya merupakan perbedaan dialek. Adapun secara fonologis, variasi yang muncul menunjukkan perbedaan yang tinggi ketika dibandingkan dengan bahasa Jawa di daerah asalnya. Duwila (2009) dalam tesisnya yang berjudul” Kajian Dialektologi Diakronis Enklave Melayu Bacan, Ternate, dan Sula di Provinsi Maluku Utara” mendeskripsikan variasi bahasa Melayu yang digunakan di Maluku Utara. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan sinkronis dan diakronis. Analisis secara sinkronis dan diakronis dilakukan dengan tujuan melihat ciri-ciri kebahasaan dari masing-masing enklave bahasa Melayu, sekaligus dapat menentukan daerah manakah di Maluku Utara yang merupakan daerah relik atau daerah inovasi. Melayu Bacan digunakan sebagai pembanding untuk melihat ciri-ciri linguistik Melayu Ternate maupun Melayu Sula. Melayu
18 Bacan digunakan sebagai bahan pembanding dengan pertimbangan Melayu Bacan telah digunakan sebelumnya oleh Adelaar (1994) dalam merekonstruksi bahasa Melayu. Lembaga Bahasa Nasional (1972) menerbitkan Peta Bahasa-Bahasa di Indonesia yang di dalamnya membahas bahasa-bahasa beserta dialek dan subsubdialeknya dan peta pada sejumlah daerah di Indonesia, mencakup Sumatra, Jawa dan Madura, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, serta Maluku dan Irian Barat. Kajian serupa mengenai bahasa dan peta bahasa diterbitkan oleh Pusat Bahasa (2008) yang berjudul Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia yang menjabarkan kekerabatan dan pemetaan bahasa di Indonesia yang mencakup deskripsi 442 bahasa di Indonesia. Buku ini merupakan hasil sementara pengolahan data dari 2.185 daerah pengamatan. Hasilnya lebih terfokus pada perhitungan dialektometri yang disajikan dalam bentuk peta bahasa. Menurut buku ini, bahasa Jawa yang dituturkan di Jawa Tengah terdapat lima dialek, yaitu dialek Solo-Jogja, dialek Pekalongan, dialek Wonosobo, dialek Banyumas, dan dialek Tegal. Dalam hal ini, bahasa di Karimunjawa termasuk dalam dialek Solo Jogja karena masih termasuk karesidenan Pati yang merupakan wilayah pakai dialek Solo-Jogja. Kajian mengenai bahasa dan peta bahasa Jawa juga terdapat pada Peta Bahasa di Jawa Tengah yang dilakukan oleh Solikhan, dkk (2008). Penelitian tersebut merupakan penelitian lanjutan pada tahun 2006 yang baru sampai tahap penabulasian
data,
kemudian
dilakukan
perhitungan
dialektometri
dan
leksikostatistik untuk membuktikan varian-varian tersebut dalam satu dialek
19 ataupun tidak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk mengkaji secara sinkronis (menentukan status isolek sebagai bahasa, dialek, atau subdialek dan menentukan jumlah dialek/ bahasa) bahasa Jawa dan membuat peta unsur-unsur kebahasaan. Adapun pustaka mengenai sosio-kultural Karimunjawa terdapat pada laporan penelitian Mahasiswa Antropologi UGM (2004) yang berjudul “Hubungan Antarsuku Bangsa dan Ekologi di Karimunjawa”. Selain itu juga terdapat sebuah artikel yang berjudul “Rayuan Pulau Kemujan” (2013) yang disusun oleh Ekspedisi Traveler‟sNote Edisi September 2013 Volume 3. Kedua karya tersebut memuat seputar kehidupan sosial dan budaya di Karimunjawa, khususnya Pulau Kemujan. Penelitian ini pada dasarnya akan membahas hal yang sama dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Namun, sejauh pengamatan penulis, kajian secara khusus terhadap bahasa Jawa di daerah Karimunjawa belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Dari berbagai pustaka yang telah dipaparkan sebelumnya, tampaklah bahwa kajian mengenai Karimunjawa masih terbatas pada kondisi sosiokulturalnya dan belum mencakup kajian bahasa. Oleh karena itu, penulis merasa penelitian ini layak untuk dilakukan. 1.7 Landasan Teori Dialektologi merupakan ilmu tentang dialek; atau cabang dari linguistik yang mengkaji perbedaan-perbedaan isolek dengan memperlakukan perbedaan tersebut secara utuh (Mahsun, 1995:11). Menurut Kridalaksana (2008:49)
20 dialektologi merupakan cabang linguistik yang mempelajari bahasa-bahasa dengan memperlakukannya sebagai struktur yang utuh. Dialektologi memiliki dua cabang, yaitu geografi dialek dan sosiodialek. Sosiodialek adalah cabang dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa, dengan bertumpu kepada satuan sosial ragamragam bahasa tersebut. Adapun geografi dialek adalah cabang dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa, dengan bertumpu kepada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam tersebut (Dubois dkk., dalam Ayatrohaedi, 1979:28). Geografi dialek bertujuan untuk mencari dan menemukan hal-hal yang berhubungan dengan biologi bahasa, sosiologi bahasa, dan hubungan antara kata dengan hal atau benda yang dilambangkan (Jaberg dalam Ayatrohaedi, 1979:29). Geografi dialek mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu bahasa. Dengan penelitian geografi dialek maka sebenarnya pada satu waktu dan kesempatan telah dapat memperoleh gambaran umum mengenai sejumlah dialek sehingga hal tersebut sangat menghemat waktu, tenaga, dan dana (Meillet dalam Ayatrohaedi, 1979:30). Variasi-variasi bahasa dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor, antara lain, letak geografis, tata tingkat dalam masyarakat, dan profesi masing-masing kelompok penutur dalam batas-batas saling mengerti (Parera, 1991:26). Variasi bahasa yang ditentukan oleh faktor tata tingkat disebut sosiolek, sedangkan variasi-variasi bahasa yang ditentukan oleh letak geografis disebut dialek. Menurut Parera (1991:26), tiap-tiap individu dalam satu masyarakat bahasa mempunyai ciri tersendiri dalam berbahasa baik dalam hal pengucapan,
21 pemilihan kata, preferensi penggunaan bentuk bahasa, dan langgam bahasa yang disebut idiolek. Dialek dan idiolek merupakan kajian dari geografi dialek. Adapun menurut Guiraud (dalam Ayatrohaedi, 1979:3), setiap ragam (variasi) bahasa dipergunakan di suatu daerah tertentu dan lambat laun terbentuklah anasir kebahasaan yang berbeda-beda pula, di antaranya dalam lafal, tata bahasa, dan tata arti, serta setiap ragam mempergunakan salah satu bentuk khusus. Ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan (diversity in unity, unity in diversity). Adapun ciri-ciri lainnya adalah (1) dialek merupakan seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama; dan (2) dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa (Meillet dalam Ayatrohaedi, 1979:2). Sementara itu, hal-hal yang menjadi pembeda dialek adalah perbedaan fonologis, perbedaan semantik, perbedaan onomasiologis, perbedaan semasiologis, dan perbedaan morfologis. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dialek merupakan salah satu bentuk variasi bahasa di antara satu kelompok penutur dengan kelompok penutur lain dalam suatu masyarakat yang cenderung memiliki kesamaan ciri-ciri umum dengan dialek lain di sekitarnya dengan batas-batas geografis tertentu sehingga tidak membuat masing-masing kelompok mempunyai bahasa yang berbeda, misalnya kesamaan bentuk ujaran tanpa perbedaan referen yang diacunya. Kajian sosiodialek merupakan kajian yang mempelajari variasi bahasa dalam dialek yang berbeda dari suatu bahasa sebagai suatu sistem yang meliputi
22 berbagai tataran bahasa. Variasi bahasa yang dikaji adalah variasi bahasa berdasarkan perbedaan kelompok-kelompok masyarakat atau sosial dalam dialek tertentu. Jika disimpulkan, sosiodialek mengkaji perubahan tuturan dalam suatu bahasa karena kontak sosial yang terjadi antarwilayah atau ruang geografis yang berbeda sehingga timbul daerah pembauran (inovasi) dan daerah peninggalan (relik). Fernandez (1993:28) kajian sosiolinguistik (dialeksosiolinguistik) juga perlu diketahui sebagai informasi penting dalam upaya mengkaji aspek deskripstif (sinkronis). Menurut beliau, perubahan sosial yang terjadi antara wilayah atau ruang geografis yang berbeda sehingga timbul daerah pembaruan (inovasi) dan daerah peninggalan (relik). Situasi tersebut tidak terjadi secara serentak dan instan di daerah pakai bahasa tersebut sehingga kadang-kadang perubahan tersebut belum mencapai pelosok pengaruh perubahan bahasanya. Daerah tersebut lebih dikenal daerah konservatif. Mahsun (1995) berpendapat bahwa kajian dialektologi yang menyeluruh dan komprehensif harus bersifat sinkronis dan diakronis. Pendapat tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa setiap kajian dialektal yang didasarkan pada pertimbangan perbedaan sinkronis haruslah mempertimbangkan secara serius mekanisme perubahan diakronis (vii). Mahsun (1995:15) menambahkan bahwa dialektologi diakronis berupaya memberikan gambaran tentang dialek dan subdialek secara utuh dengan melihat keterhubungan antardialek/subdialek dengan bahasa induk yang menurunkannya serta hubungan antardialek/
23 antarsubdialek itu baik antarsesamanya maupun dengan dialek atau bahasa yang lain yang pernah menjalin kontak dengan dialek atau subdialek tersebut. Perubahan bahasa dapat disebabkan oleh faktor intralinguistik, yaitu faktor bahasa itu sendiri, dan dapat pula disebabkan oleh faktor ekstralinguistik, seperti faktor geografis, budaya, aktivitas ekonomi, politik, mobilitas sosial, kelas sosial, sifat masyarakat pendukungnya, persaingan prestise, migrasi, dan kontak bahasa. Dengan demikian, masyarakat yang bersifat heterogen berhubungan dengan bahasa yang digunakan juga selalu menunjukkan berbagai variasi internal sebagai akibat keberagaman latar belakang budaya penuturnya. Hal tersebut seperti yang dituturkan
oleh
Mackey
(1973)
dalam
teorinya
geolinguistik
yang
mengungkapkan bahwa kekuatan bahasa dapat diukur dengan sejumlah indikator, di antaranya demografi (berkaitan dengan jumlah penutur), persebaran, ekonomi, ideologi, dan kultural (Wijana, 2012:37). Kontak bahasa merupakan salah satu faktor penyebab perubahan leksikal suatu bahasa, baik pada perubahan bentuk-bentuk semantik, perubahan/ penambahan karena konsep baru, penggantian kata asli dengan kata pinjaman, dan kadang perubahan vocabulary secara keseluruhan (Ibrahim & Machrus, 1982:177). Senada dengan pendapat tersebut, Wijana & Rohmadi (2012:6) mengungkapkan kontak bahasa, baik yang bersikap individual (bilingual) maupun sosial (diglosia) menimbulkan berbagai fenomena kebahasaan, seperti interferensi, integrasi, pijin, kreol, alih kode, campur kode, pemilihan dan pemilahan bahasa. Metode komparatif dipakai untuk membandingkan bahasa, dialek, ataupun subdialek yang diasumsikan memiliki relasi/hubungan. Salah satu teknik dalam
24 metode komparatif yaitu leksikostatistik. Mahsun (2012:213) membagi langkahlangkah teknik leksikostatistik terdiri atas (a) mengumpulkan kosakata dasar bahasa yang berkerabat, (b) menerapkan dan menghitung pasangan-pasangan mana yang merupakan kata kerabat, dan (c) menghubungkan hasil perhitungan yang berupa persentase kekerabatan dengan kategori kekerabatan. Leksikostatistik memberikan manfaat tidak hanya bagi antropolog dan historikus, tetapi juga bagi linguis. Manfaat tersebut berhubungan dengan data leksikostatistik, yaitu memberikan isyarat perkembangan bahasa yang dapat mengambarkan waktu pisahan antara bahasa dan dialek yang dapat memberikan sumbangan sumber untuk menentukan migrasi bangasa dan perkembangan kebudayaan dan suku yang diteliti. Selain itu, leksikostatistik juga memberikan sumbangan bagi penentuan lokasi geografis bahasa dan kontak budaya antara bahasa dan bangsa pemakai (Parera, 1991:110). Keraf (1991: 127--135) menjabarkan penghitungan kata yang berkerabat menggunakan teknik leksikostatistik berpedoman sebagai berikut. a. Mengeluarkan glos yang tidak akan diperhitungkan dalam penerapan kata yang berkerabat, yaitu (1) kata-kata kosong/ tidak terealisasi, (2) kata pinjaman, (3) kata-kata jadian pada sebuah kata benda yang bukan kata dasar, (4) jika dalam glos ada kata yang sama, yang satu merupakan kata dasar diperhitungkan dan kata jadiannya tidak diperhitungkan, serta mengisolasi morfem terikat; b. Menetapkan kata kerabat yang dapat berupa kata identik, yaitu kata yang sama formatifnya dan kata yang memiliki korespondensi bunyi; c. Menghitung presentase kata kerabat dengan rumus jumlah kata kerabat dibagi jumlah kata dasar yang diperbandingkan dan dikalikan seratus persen; dan d. Setelah didapatkan presentase kata kekerabatan kemudian dihubungkan dengan kategori tingkat kekerabatan bahasa untuk menentukan hubungan kekerabatannya apakah sebagai satu bahasa, keluarga bahasa (subfamily), rumpun bahasa (stock), mikrofilum, mesofilum, atau makrofilum.
25
Tingkat Bahasa Bahasa (Language) Keluarga bahasa (subfamily) Rumpun bahasa (stock) Mikrofilum Mesofilum Makrofilum.
Presentase Kata Kerabat 100-81 81-36 36-12 12-4 4-1 1-<1
Adapun untuk mengetahui hubungan kekerabatan seberapa besar perbedaaan dan status kebahasaan bahasa Jawa di enklave dan daerah asal digunakan teknik dialektometri. Menurut Revier (dalam Ayatrohaedi, 1983:32), dialektometri ialah ukuran secara statistik yang dipergunakan untuk melihat perbedaan dan persamaan yang terdapat di tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti tersebut. Dialektometri digunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antardaerah pengamatan. Rumus perhitungan dialektometri adalah: S x 100 n
=d
Keterangan: S : jumlah beda dengan daerah pengamatan lain n : jumlah peta yang diperbandingkan d : jarak kosakata dalam persentase Hasil yang diperoleh dari perhitungan ini berupa jarak unsur-unsur kebahasaan di antara daerah-daerah pengamatan. Hasil ini kemudian digunakan untuk menentukan hubungan antardaerah pengamatan dengan kriteria sebagai berikut. 81 % ke atas : dianggap perbedaan bahasa 51 % -- 80 % : dianggap perbedaan dialek 31 % -- 50 % : dianggap perbedaan subdialek
26 21 % -- 30 % : dianggap perbedaan wicara 20 % ke bawah: dianggap tidak ada perbedaan 1.8 Metode Penelitian Penelitian ini terfokus pada penggunaan bahasa Jawa oleh masyarakat keturunan Jawa di Karimunjawa, khususnya di Pulau Kemujan dan Pulau Karimunjawa. Dalam hal ini, diambil desa-desa yang terdapat di kedua pulau tersebut sebagai titik pengamatan yang berjumlah dua desa, yaitu Desa Kemujan dan Desa Karimunjawa. Kedua desa dari kedua pulau tersebut dipilih dengan pertimbangan berdasarkan literatur dan survei awal masyarakat Jawa pertama kali datang dan bermukim di kedua daerah tersebut. Dipilih salah satu desa yang mayoritas etnis Jawa, yaitu Desa Karimunjawa yang diasumsikan bahasa Jawa yang digunakan masih bersifat homogen dan Desa Kemujan yang didominasi etnis Bugis sehingga bahasa Jawa di daerah tersebut diasumsikan heterogen karena terpengaruh bahasa etnis lain. Dari kedua desa yang berlatar belakang berbeda tersebut diharapkan akan tampak dengan jelas ada tidaknya pengaruh kontak bahasa terhadap bahasa Jawa yang digunakan sehingga akan tampak perkembangan membaik atau memburuk dari bahasa Jawa daerah asalnya, yaitu dialek Yogyakarta khususnya bahasa Jawa di Kabupaten Jepara. Selanjutnya, dipilih sampel yang mewakili popolasi tersebut yang diperoleh dari berian beberapa penduduk yang dipilih sebagai informan yang masing-masing mewakili titik pengamatan. Metode-metode yang digunakan adalah metode eklektik. Metode ini bersifat memilih yang terbaik dari berbagai sumber, baik dari bahasa, orang/ informan, dan cara analisis). Sebagai contoh, ketika bahasa tersebut mengenal
27 tingkat tutur maka juga digunakan daftar tanya dan informan yang mengerti tingkat tutur dan dianalisis dengan bantuan ilmu lain, yaitu sosiolinguistik. Dalam mengumpulkan data digunakan metode pupuan lapangan dengan teknik catat dan rekam. Data primer untuk keperluan analisis diperoleh dengan wawancara terstruktur menggunakan daftar kosakata budaya. Kosakata dasar budaya terdiri dari 200 kosakata dasar Swadesh, 915 kata budaya menurut bidang, 60 struktur frasa, dan 43 kalimat sederhana. Selain itu, wawancara juga dilakukan pada beberapa tokoh untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai sejarah, budaya, dan hal-hal yang berpengaruh terhadap pemakaian bahasa Jawa di titik pengamatan. Ketersediaan tuturan berian tidak terlepas dari adanya informan yang dipilih berdasarkan kriteria pembahan. Dari setiap titik pengamatan diambil satu pembahan primer dan satu pembahan sekunder. Adapun pembahan yang dipilih setidaknya memenuhi 75% dari syarat-syarat pembahan ideal sebagai berikut. a) Berusia pertengahan (25--60 tahun), diasumsikan pembahan pada usia ini telah menguasai bahasa atau dialeknya, tetapi belum sampai pada taraf pikun; b) Memiliki artikulator yang lengkap, dimaksudkan dengan adanya artikulator lengkap memungkinkan pembahan memberikan data yang benar dan valid; c) Berpendidikan cukup, maksudnya pembahan memiliki latar pendidikan yang tidak terlalu tinggi, tetapi juga tidak terlalu rendah. Pembahan yang memiliki latar pendidikan yang terlalu tinggi dikhawatirkan mendapat pengaruh kebahasaan dari luar, sedangkan pembahan yang memiliki latar pendidikan yang terlalu rendah dikhawatirkan kesulitan dalam memahami pertanyaan yang diajukan sehingga tidak bisa memberikan data seperti yang diharapkan; d) Tidak buta huruf, dimaksudkan jika peneliti mengalami kesulitan dalam menuliskan data kebahasaaan yang diucapkan pembahan maka peneliti dapat meminta pembahan menuliskan beberapa berian yang mereka ucapkan. Hal tersebut dilakukan untuk
28 memastikan berian sesuai dengan pengetahuan dan penguasaan pembahan terhadapa bahasanya; e) Merupakan penduduk pribumi, sekurang-kurangnya sampai 2 generasi di atasnya. Hal ini mengingat bahwa pembahan yang orang tuanya bukan merupakan penduduk pribumi dikhawatirkan bahasa/dialek yang digunakan mendapat pengaruh dari bahasa/dialek orang tuanya; dan f) Mobilitas ke luar daerah kecil, maksudnya pembahan tidak pernah/jarang melakukan perjalanan ke daerah lain. Semakin tinggi mobilitas seseorang maka pengaruh terhadap bahasanya juga semakin tinggi sehingga dikhawatirkan bahasa yang digunakan tidak lagi murni. Dalam menganalisis data digunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data yang diperoleh dianalisis secara sinkronis mencakup tataran fonologi, morfologi, sintaksis, morfofonemik, dan leksikon. Hasil analisis tersebut kemudian diperbandingkan antara yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan kekhasan bahasa Jawa yang digunakan di enklave bahasa Jawa tersebut. Selanjutnya, data dianalisis secara diakronis untuk menentukan tingkat kekerabatan antara dialek-subdialek dalam bahasa Jawa di Karimunjawa dengan menggunakan
metode
komparatif
dengan
teknik
leksikostatistik
dan
dialektometri. Metode komparatif digunakan pula untuk membandingkan data satu dengan data lainnya karena dengan adanya perbandingan dapat diketahui ada tidaknya hubungan kesamaan dan perbedaan (Sudaryanto, 1986:63). Tahap analisis data selanjutnya adalah membuat perhitungan statistik dengan metode leksikostatistik dan dialektometri. Metode leksikostatistik merupakan metode yang membandingkan bahan-bahan yang terkumpul dari tempat penelitian sehingga dapat dilihat persamaannya dengan tujuan untuk mengetahui hubungan kekerabatan di antara semua titik pengamatan. Adapun
29 metode dialektometri digunakan untuk melihat perbedaan-perbedaan yang ada pada bahasa berkerabat tersebut. Adapun hasil analisis data disajikan dengan metode informal dan metode formal. Metode informal diwujudkan dengan uraian kata-kata, sedangkan metode formal dirumuskan dengan menggunakan tanda dan lambang (Sudaryanto, 1993:145). 1.9 Sistematika Penyajian Laporan penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I berupa pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, metode penelitian, sistematika penyajian, dan rencana kerja. Bab II membahas deskripsi ekologi bahasa di Karimunjawa yang mencakup keadaan kebahasaan, sosial budaya, letak geografis, keadaan alam, pembagian administratif, sosial kemasyarakatan (penduduk dan transmigrasi), sarana transportasi, pariwisata, perekonomian, dan lokasi penelitian. Bab III menguraikan deskripsi sinkronis bahasa Jawa enklave Karimunjawa yang berisi deskripsi fonologi, deskripsi morfologi, dan deskripsi leksikon. Bab IV menguraikan deskripsi diakronis bahasa Jawa enklave Karimunjawa. Bab V menjelaskan implikasi ekologi terhadap pemertahanan dan pergeseran bahasa. Selanjutnya, diakhiri dengan penutup pada bab VI yang meliputi kesimpulan dan saran.