BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Gunung Merapi merupakan salah satu gunungapi teraktif di dunia. Hal ini ditunjukkan dengan masih aktifnya proses erupsi dan peningkatan aktifitas vulkanik gunung ini. Kondisi ini memberikan keuntungan sekaligus ancaman bahaya bagi masyarakat yang bermukin di sekitar gunung ini. Keuntungan yang diberikan yakni berupa lahan pertanian yang subur karena tanah yang kaya akan unsur hara dari sisa erupsi Gunung Merapi. Di sisi lain, Gunung Merapi juga memberikan ancaman kepada masyarakat yang bermukin di sekitarnya yang bisa berupa ancaman primer yakni bahaya awan panas serta lava pijar serta bahaya sekunder yakni banjir lahar dingin saat musim penghujan. Periode saat ini merupakan fase dimana Gunung Merapi bisa dikatakan sedang beristirahat. Ini terjadi karena Gunung Merapi mempunyai siklus letusan antara 2-5 tahun, sehingga masih ada rentang waktu sebelum prediksi erupsi yang selanjutnya. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa bencana gunung berapi akan kembali terjadi. Aktivitas gunung berapi merupakan aktivitas yang bisa diprediksi secara ilmiah sehingga akan terbentuk siklus aktivitas gunung
1
berapi yang bisa ditandai dengan peningkatan status mulai dari siaga, waspada dan awas.1 Berdasarkan sejarah, letusan gunung Merapi yang tercatat dalam data,2 diawali letusan tahun 928 yang mengakibatkan kerajaan Mataran hancur, lalu dilanjutkan letusan pada tahun 1930 dengan korban jiwa mencapai 1369 orang, letusan tahun 1972 yang mengakibatkan lebih dari 3000 jiwa meninggal dunia. Namun dari data tersebut tidak ditemukan jarak luncuran lava pijar maupun awan panas. Kejadian yang mulai merenggut korban jiwa dengan jumlah cukup banyak mulai terjadi di tahun 1994 yang merenggut korban jiwa sebanyak 66 jiwa dari wilayah Turgo, Sleman.3 Lalu pada bencana erupsi merapi tahun 2006, aktivitas Gunung Merapi mulai bisa diprediksi selain itu juga didukung dengan semakin giatnya pemberitaan di media masa terkait dengan status Gunung Merapi. Data tentang kejadan erupsi Gunung Merapi pada tahun 2006 mulai ditunjukkan dalam tabel, Tabel 1. Runtutan Erupsi Merapi 2006
No 1 2
Tanggal dan Waktu 2 Mei 2006 pukul 00.00 - 24.00 WIB 3 Mei 2006 pukul 00.00 -18.00
Gempa Fase
Guguran Lava
Gempa tekonik
156 kali
15 kali
2 kali
146 kali
19 kali
1 kali
Sumber : Diolah dari Antisipasi dan Mitigasi Meletusnya Gunung Merapi bersumber dari http://www.ristek.go.id/?module=News%20News&id=1148 diakses tangal 21 Maret 2012
1
Lihat http://merapi.combine.or.id/baca/13515/media-komunitas-untuk-pengurangan-risikobencana-di-jaringan-informasi-lingkar-merapi-%2528jalin-merapi%2529.html 2 Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana 2010-2012 (Bappenas dan BNPB) 3 Ibid 2
Berbeda dengan bencana erupsi tahun 2006, bencana Gunung Merapi tahun 2010 jangkauan aliran lava dan awan panas ternyata jauh lebih panjang apabila dibandingkan dengan erupsi tahun 2006. Dari perhitungan di lapangan disebutkan bahwa sebanyak 32 desa yang terdiri dari 17 desa di Kabupaten Magelang, 4 desa di Kabupaten Klaten, 3 desa di Kabupaten Boyolali dan 8 desa di Kabupaten Sleman dengan jumlah total penduduk mencapai sekitar 70.000 jiwa harus diungsikan karena berada dalam zona bahaya.4 Tahapan erupsi Gunung Merapi mulai terlihat jelas mulai dari tanggal 21 Oktober 2010 yang ditunjukkan dengan jumlah guguran lava mencapai 100 kali dan pada tanggal 24 Oktober 2010 meningkat menjadi 194 kali.5 Selain itu pertumbuhan kubah lava juga meningkat mulai dari dari 10,5 cm menjadi 42 cm per hari pada 24 Oktober 2010 yang diukur dengan reflektor di dekat puncak Gunung Merapi.6 Kejadian letusan besar pertama terjadi pada tanggal 26 Oktober 2010 pada sore hari dan merenggut korban jiwa warga yang bermukim di Dusun Kinahrejo termasuk juru kunci Gunung Merapi Mbah Maridjan7 dan sejumlah relawan yang berusaha mengevakuasi warga yang masih tertinggal. Pasca kejadian letusan tanggal 26 Oktober tersebut membuat jalur aliran lahar semakin terbuka lebar dan memberikan potensi bencana yang lebih besar
4
Lihat http://www.ukmptk.com/~berita/nasional/kepala-pvmbg-bencana-merapi-2010-terburukdalam-100-tahun-ini 5
Lihat http://health.kompas.com/read/2010/10/26/12573892/Ketika.Merapi.Berstatus.Awas
6
Ibid Mbah Maridjan merupakan juru kunci Gunung Merapi yang diitunjuk oleh pihak Keraton Yogyakarta dan sekaligus sebagai abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan gelar Surakso Hargo yang berarti Penjaga Gunung. 7
3
bagi wilayah yang berada disepanjang jalur aliran lahar dan awan panas. Tanggal 4 November menjelang tengah malam jarak radius bencana dinaikkan menjadi 20 km. Pada tanggal 5 November dini hari terjadi letusan besar yang merupakan puncak letusan dengan radius luncuran awan panas dan lava yang lebih panjang. Akibatnya sejumlah dusun yang berada di aliran kali- kali di lereng Gunung Merapi terutama di aliran kali Gendol menjadi wilayah yang terkena dampak luncuran awan panas. Tidak sedikit warga yang menjadi korban jiwa yang belum sempat meyelamatkan diri. Di luar perkiraan, ternyata luncuran awan panas dan lahar juga mencapai dusun yang berada di wilayah Jambon Sleman. Wilayah tersebut merupakan wilayah diluar perkiraan jarak luncur awan panas dan lahar. Ini berakibat pada sejumlah warga yang tidak mempunyai persiapan untuk mengungsi menjadi korban jiwa. Pasca bencana erupsi Merapi 2010, pemerintah daerah setempat memperbaharui peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi yang terbaru. Dasar penetapan KRB mengacu pada jarak luncuran lahar dan juga jarak antara sungai yang dilalui lahar dengan wilayah ancaman bencana. Dari perhitungan jarak tersebut maka dapat KRB dapat dipetakan menjadi tiga kawasan yakni KRB I, KRB II dan KRB III. Penjelasan lebih lanjut mengenai KRB terbagi seperti berikut,8
8
Dasar Penetapan Kawasan Rawan Bencana dapat diakses di http://merapi.combine.or.id/baca/681/dasar-penetapan-kawasan-rawan-bencana.html 4
Tabel 2. Permbagian Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi
1
2
3
KRB I
KRB II
KRB III
Daerah atau kawasan rawan bencana yang mempunyai resiko bencana paling kecil. Kawasan rawan bencana yang mempunyai tingkat resiko sedang Kawasan rawan bencana yang mempunyai tingkat paling berisiko
Sumber : Data diolah dari Dasar Penetapan Kawasan Rawan Bencana
Sementara itu, pembagian wilayah yang terbagi dalam KRB II dan KRB III tersaji dalam tabel di bawah,9
9
Data Sebaran Penduduk KRB III & II Gunung Merapi Dapat diakses di http://www.slemankab.go.id/category/berita-seputar-gunung-merapi/dokumen-regulasi-penanganbencana-merapi-2010/page/5 5
Tabel 3. Pembagian Kawasan Rawan Bencana II dan III
KRB II 1. Kecamatan Cangkringan a. Kelurahan Kepuharjo - Kopeng - Batur - Kepuh - Manggong b. Kelurahan Umbulharjo - Pentingsari - Gondang c. Kelurahan Glagaharjo - Singlar 2. Kecamatan Pakem a. Kelurahan Hargobinangun - Ngipiksari 3. Kecamatan Turi a. Kelurahan Girikerto - Nganggring - Kloposawit b. Kelurahan Wonokerto - Gondoarum - Sempu
KRB III 1. Kecamatan Cangkringan a. Kelurahan Kepuharjo - Kaliadem - Petung - Jambu b. Kelurahan Umbulharjo - Kinahrejo/Pelemsari - Pangukrejo - Gambretan c. Kelurahan Glagaharjo - Kalitengah Lor - Kalitengah Kidul - Srunen 2. Kecamatan Pakem a. Kelurahan Hargobinangun - Kaliurang Timur - Kaliurang Barat b. Kelurahan Purwobinangun - Turgo - Kemiri - Ngepring 3. Kecamatan Turi a. Kelurahan Girikerto - Ngandong Tritis - Kemirikebo b. Kelurahan Wonokerto - Tunggularum
Sumber : Data diolah dari Data Sebaran Penduduk KRB III & II Gunung Merapi
Peta visual mengenai Kawasan Rawan Bencana Merapi 2010 tersaji sebagai berikut,10
10
http://geospasial.bnpb.go.id/wp content/uploads/2010/12/KRB2010_A0_bpptk_esdm575x439.jpg
6
Gambar 1. Peta Kawasan Rawan Bencana Merapi
Sumber : http://geospasial.bnpb.go.id/wpcontent/uploads/2010/12/KRB2010_A0_bpptk_esdm-575x439.jpg
Berdasarkan peta Kawasan Rawan Bencana tersebut pulalah maka dapat dipetakan jumlah korban jiwa erupsi merapi tahun 2010. Dari data pemerintah Kabupaten Sleman jumlah korban secara umum untuk wilayah Kabupaten Sleman adalah 270 jiwa.11 Dari sejumlah 270 jiwa korban tersebut dibagi menjadi dua wilayah, yakni korban yang berada pada KRB III ( kawasan yang paling beresiko) dan KRB II (kawasan dengan resiko sedang). Jumlah korban jiwa untuk wilayah KRB III mencapai 40 jiwa, sementara jumlah korban untuk KRB II mencapai hingga 230 jiwa. Melihat data jumlah korban jiwa, ternyata jumlah korban jiwa yang lebih banyak justru berada pada wilayah KRB II dimana kawasan tersebut merupakan kawasan dengan tingkat resiko bahaya sedang atau lebih kecil apabila dibandingkan dengan KRB III. Mengaca pada pengalaman dan data erupsi merapi
11
http://www.slemankab.go.id/category/update-data-korban-bencana-erupsi-gunung-merapi-2010 7
tahun 2010 tentu saja ada faktor-faktor yang mempengaruhi yang bisa jadi berupa faktor-faktor informal atau aturan-aturan adat yang berpengaruh pada kesiapsiagaan warga dalam merespon bencana eruspi merapi. Local Wisdom atau kearifan lokal merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang ada di dalam masyarakat, dimana budaya sendiri terbentuk dari hasil cipta karya dan karsa manusia. Begitu juga dengan kearifan lokal di dalam masyarakat yang dalam fungsinya digunakan sebagai pedoman dan hal tersebut di dasarkan pada pengalaman yang telah terjadi. 12 Pulau Jawa seperti yang diketahui selama ini berada dalam patahan lempeng bumi yang membuat tempat ini memiliki banyak gunung berapi dengan beragam potensi bencananya. Lereng gunung Merapi merupakan sebuah wilayah dengan potensi ancaman bahaya vulkanologi yang cukup besar. Sama halnya dengan konsisi masyarakat Indonesia pada umumnya, masyarakat yang bermukim di lereng Gunung Merapipun memiliki nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi mereka untuk hidup selaras dengan alam di sekitarnya. Pemahaman-pemahaman tentang nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi warga lereng Gunung Merapi ini biasa disebut dengan kearifan ekologi. Kearifan ekologi sendiri menurut Lucas Sasongko
Triyoga
adalah
segala
tindakan
penduduk
setempat
dalam
melangsungkan kehidupan mereka selaras dengan lingkungan. 13 Pemahaman masyarakat lereng Gunung Merapi tentang Gunung Merapi inilah yang membuat warga justru dapat hidup berdampingan dan selaras dengan alam sekitarnya. 12
I Gede A.B. Wiranata. Antropologi Budaya (Bandung : PT Citra Aditya Bakti 2011) hal 95 Lucas Sasongko Triyoga. Manusia Jawa dan Gunung Merapi. Persepsi dan Sistem Kepercayaannya (Gadjah Mada University Press 1991) hal 119. 13
8
Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat lereng Gunung Merapi dapat diperlihatkan dalam bentuk masyarakat melihat adanya tanda bencana. Dalam kehidupan masyarakat di lereng Gunung Merapi, pengalaman bisa dikatakan sebagai kunci dalam melangsungkan kehidupan. Hal ini berlaku pula dalam tata cara masyarakat melihat dan memaknai letusan Gunung Merapi. Letusan Gunung Merapi menurut ilmu kegunungapian merupakan fenomena alam biasa yang bisa diprediksi kapan akan terjadi letusan dengan melihat berbagai tanda-tanda alam. Termasuk juga bagi masyarakat yang bertempat tinggal di lereng Gunung Merapi mereka bisa melihat peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Merapi melalui tanda-tanda yang muncul. Tanda-tanda ini sudah dwariskan secara turun-temurun di dalam masyarakat, sehingga menjadi sebuah tradisi yang masih terjaga dan menjadi sebuah kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat di lereng Gunung Merapi. Yang pertama dalam melihat apakah Gunung Merapi akan meletus atau tidak warga akan melihat apakah ada suara gemuruh dalam bulan Sura. Sudah menjadi kebiasaan Gunung Merapi, setiap bulan Sura selalu mengeluarkan suara gemuruh, banjir lahar atau letusan.14 Karena pada bulan Sura biasanya memang merupakan siklus fase peningkatan aktifitas vulkanik Merapi. Tanda-tanda alam ini sudah diwariskan secara turun-temurun antar generasi sehingga warga menggunakannya sebagai pedoman untuk melihat peningkatan aktifitas Gunung Merapi.
14
Lucas Sasongko Triyoga. Manusia Jawa dan Gunung Merapi, Persepsi dan Sistem Kepercayaannya ( Gadjah Mada University Press 1991 ) hal 65 9
Yang kedua dengan melihat sistem waktu. Selaras dengan fase erupsi Gunung Merapi yang mempuyai periode tersendiri, periode letusan ini juga digunakan warga dalam mengamati kapan Gunung Merapi akan mengeluarkan erupsi. Secara periodik delapan tahun sekali pada tahun Wawu Merapi selalu meletus dan mengeluarkan abu dalam jumlah yang relatif besar.15 Prediksi ini sejalan dengan prediksi yang dijelaskan dalam ilmu kegunungapian bahwa Gunung Merapi mempunyai rentang letusan antara 2-7 tahun. Yang ketiga adalah tanda-tanda melalui binatang-binatang dan kondisi udara yang ada di sekitar Gunung Merapi. Tanda-tanda letusan juga disampaikan melalui binatang-binatang yang ada di hutan Merapi.16 Binantang-binatang biasanya akan turun terlebih dahulu apabila mereka merasa bahwa Gunung Merapi akan mengeluarkan erupsi. Dari perilaku hewan-hewan inilah penduduk dapat mengetahui bahwa Gunung Merapi akan mengeluarkan erupsi. Tanda-tanda lain bisa juga diketahui dengan melihat air di Bebeng atau Kaliadem. Air di Bebeng dan Kali Adem biasanya akan tersumbat karena pipa ada pipa yang pecah akibat tertimpa longsoran batu-batu dari aktivitas Gunung Merapi. Penggunaan kearifan lokal dalam mekanisme pengurangan resiko bencana tidak sepenuhnya bertentangan dengan proses kebijakan yang selama ini menjadi acuan dalam penentuan kebijakan. Hal ini sangat mungkin terjadi karena dalam tata pemerintahan masa kini ada bentuk kerja sama yang saling mendukung antara pemerintah, masyarakat dan pasar. Kondisi ini terajdi pula dalam upaya
15 16
Ibid hal 65 Ibid hal 69 10
pengurangan resiko bencana melalui upaya mitigasi bencana. Pemerintah tidak selamanya bisa dijadikan sebagai ukuran tunggal dalam sebuah upaya pengurangan resiko bencana karena kebijakan ataupun keputusan yang dibuat oleh pemerintah tidak selamanya bisa tepat sasaran sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Hal ini terjadi karena, dalam suasana tanggap darurat bencana keputusan yang dibuat tidak melihat terlebih dahulu bagaimana kondisi nyata yang ada di lapangan pada saat itu. Sementara itu di sisi lain, masyarakat mempunyai cara-cara lain untuk mempersiapkan diri mereka dalam menghadapi bencana yaitu dengan mengandalkan kearifan lokal yang mereka miliki. Sebagai contohnya, bentuk-bentuk kearifan lokal yang bisa digunakan oleh masyarakat untuk ikut melihat perkembangan Gunung Merapi adalah dengan melihat perilaku satwa yang ada disekitar. Selain itu juga dengan memantau kondisi perubahan suhu yang ada di sekitar wilayah lereng Merapi. Sebagai sebuah fenomena alam normal maka secara visual perubahan kondisi Gunung Merapi bisa amati. Secara rasional munculnya tanda-tanda tersebut bisa dikaitkan dengan adanya perubahan siklus alam yang terjadi di wilayah tersebut dan bisa diukur dengan skala geografi. Perbedaan ini menjadi sebuah perdebatan dalam upaya pengurangan resiko bencana, apakah dengan adanya bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat lereng Gunung Merapi tersebut akan memberikan kontribusi bagi upaya pengurangan resiko bencana atau justru menjadi sebuah hambatan. Studi-studi yang dilakukan terdahulu mendeskripsikan bahwa kearifan lokal ternyata juga memainkan peranan penting bagi kesiapan warga dalam menghadapi bencana Gunung Merapi. MR. Dove berkata dalam penelitiannya
11
bahwa ada hubungan antara pengetahuan lokal dalam masyarakat lereng Merapi dengan kesiapan mereka menghadapi bencana.17 Ada faktor-faktor dalam kearifan lokal yang mempengaruhi warga dalam kesiapannya menghadapi bencana seperti faktor budaya setempat, sejarah dan komunitas-komunitas lokal yang ada. Adanya asimilasi budaya antara budaya lama dengan budaya-budaya baru yang dibawa oleh masyarakat pendatang tentu mempengaruhi faktor-faktor yang berperan dalam kearifan lokal yang ada. Kearifan lokal merupakan suatu hal yang dapat berubah seiring dengan perkembangan dinamika masyarakat. Perubahan dan perkembangan teknologi dalam pemantauan aktifitas vulkanik Gunung Merapi kadang sedikit banyak mempengaruhi keberadaan bentuk-bentuk kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat. Sering menjadi pertanyaan apakah dengan perkembangan teknologi pada dewasa ini bentuk-bentuk kearifan lokal tersebut masih relevan untuk ikut digunakan dalam upaya mitigasi bencana Gunung Merapi. Salah satu hal yang menjadi permasalahan dalam upaya mitigasi bencana Gunung Merapi adalah kesulitan warga untuk diajak melihat perkembangan aktifitas vulkanik dari segi keilmugunungapian karena mereka sudah memliki cara pandang secara tradisi atau yang biasa dikenal dengan ilmu titen. Seringkali pengetahuan ilmiah dari pemerintah dengan segala perhitungannya masih sulit untuk meyakinkan masyarakat agar mau berpindah dari zona bencana. Melihat kejadian erupsi tahun 2006 ada 2 fakta penting yang jelas terlihat dalam 17
MR. Dove. (2010). The Panoptic Gaze In A Non-Western Setting: Self-Surveillance On Merapi
Volcano, Central Java, Journal of Elsavier. 40 (1) : 126
12
masyarakat yang membuat masyarakat enggan meninggalkan zona bencana sehingga mempersulit upaya evakuasi. Dalam sebuah jurnal penelitian yang pernah dilakukan dikatakan, “In early 2006 local residents refused to evacuate because they reportedly trusted their traditional belief systems more than official warnings”(Katherine Donovan)18. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa saat terjadi erupsi tahun 2006 masyarakat lokal enggan untuk dievakuasi karena lebih kuatnya kepercayaan mereka terhadap tradisi dari pada terhadap peringatan dari pemerintah. Dari contoh penelitian terdahulu dan studi kasus tentang bencana Merapi termasuk
gambaran
konflik
yang
ada
di
dalamnya,
hal-hal
tersebut
mendeskripsikan tentang bagaimana kearifan lokal sekiranya mampu memberikan kontribusi terhadap kebijakan pemerintah dalam upaya pengurangan resiko bencana. Kajian-kajian semacam ini menarik untuk diteliti terutama karena masih kuatnya perdebatan sampai saat ini yang mengatakan apakah kearifan lokal mampu memberikan kontribusi yang positif atau tidak dalam upaya mitigasi bencana.
18
Donovan, Katherine. (2010), Doing Social Volcanology: Exploring Volcanic Culture In Indonesia, Journal of Area. 42 (1) : 117-126 13
1.2. RUMUSAN MASALAH Dari kebijakan yang telah diberikan oleh pemerintah terkait dengan mitigasi bencana Gunung Merapi ternyata sesuai keadaan yang ada masih banyak korban yang berjatuhan. Kebijakan-kebijakan dari pemerintah pusat yang diturunkan ternyata banyak disikapi secara kurang peduli oleh warga yang menjadi target untuk diselamatkan. Mereka memandang bahwa sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam kehidupan mereka, bahwa keadaan yang ditimbulkan dari aktivitas Gunung Merapi masih dalam batas normal dan bisa ditoleransi sehingga hal tersebut bertentangan dengan keadaan yang dipaparkan oleh pemerintah. Sehingga hal ini menjadi sebuah tanda tanya apakah kearifan lokal bisa memberikan kontribusi yang positif dalam upaya mitigasi bencana Gunung Merapi ke depan apabila dikelola dengan baik. dirumuskan
rumusan
“Bagaimanakah
permasalahan
kearifan
lokal
secara
Dengan demikian dapat umum
berkontribusi
sebagai
terhadap
berikut, kebijakan
pemerintah terkait upaya mitigasi bencana Merapi dalam tahap pra bencana?” 1.3. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kearifan lokal berkontribusi terhadap kebijakan mitigasi bencana pemerintah untuk melihat bagaimana kesiapan warga menghadapi bencana Gunung Merapi.
14
1.4. MANFAAT PENELITIAN 2. Bagi Pemerintah : Memberi masukan dalam proses pembuatan kebijakan publik yang mengatur tentang mitigasi bencana agar dapat dilakukan lebih baik. 3. Bagi Lingkungan Akademik : Memberi tambahan konseptual mengenai kearifan lokal terkait kontribusinya terhadap proses mitigasi bencana dalam proses pembuatan kebijakan publik yang mengatur tentang penanggulangan bencana. 4. Bagi Masyarakat : Memberi perpektif terkait pandangan masyarakat mengenai bentuk dan nilai-nilai keraifan lokal di sekitarnya sehingga bisa ikut berperan dalam upaya meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari bencana.
15