ϭ
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nyamuk
adalah
serangga
yang
bentuknya
langsing,
halus,
distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari 3.000 spesies, stadium larva dan pupanya hidup di air (Garcia dan Buckner, 1996). Nyamuk termasuk famili Culicidae mempunyai bentuk tubuh, sayap dan probosis yang langsing. Keluarga nyamuk merupakan serangga yang penyebarannya sangat luas, mulai dari daerah kutub yang dingin sampai daerah tropis yang panas. Nyamuk juga mampu hidup di daerah dengan ketinggian 5.000 meter di atas permukaan laut, sampai di dalam tambang yang letaknya 1.500 meter di bawah permukaan tanah. Tiga subfamili nyamuk yang penting dalam bidang kesehatan yaitu subfamili Culicinae, subfamili Anopheline dan subfamili Toxorrhynchitinae (Soedarto, 2011). Nyamuk
Culex
dapat
menjadi
vektor
penular
berbagai
mikroorganisme, misalnya arbovirus, filariasis dan malaria pada unggas (Soedarto, 2011). Peran medis Culex sp sebagai vektor filariasis dan penyakit Japanese B encephalitis (Prianto dkk, 2006). Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit nematoda yang tersebar di Indonesia. Walaupun penyakit ini jarang menyebabkan kematian, tetapi dapat menurunkan produktivitas penderitanya karena timbulnya gangguan fisik. Penyakit ini jarang terjadi pada anak karena manifestasi klinisnya timbul bertahun-tahun kemudian setelah infeksi. Gejala
ϭ
Ϯ
pembengkakan kaki muncul karena sumbatan mikrofilaria pada pembuluh limfe yang biasanya terjadi pada usia di atas 30 tahun setelah terpapar parasit selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, filariasis sering juga disebut penyakit kaki gajah. Akibat paling fatal bagi penderita adalah kecacatan permanen yang sangat mengganggu produktivitas (Widoyono, 2005). Di Indonesia filariasis dapat ditularkan oleh berbagai spesies nyamuk yang hidup aktif di siang hari atau di malam hari (Soedarto, 2011). Filariasis di Indonesia dapat disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori (Soedarto, 2011). Prevalensi filariasis terdapat 90 juta orang terinfeksi di seluruh dunia (Jeffrey dan Leach, 1993), sementara di daerah tropis dan subtropis didapatkan prevalensi lebih tinggi (Soegijanto, 2005). Diperkirakan sebanyak 120 juta penduduk di daerah tropis dan daerah subtropis terinfeksi penyakit ini (WHO, 2005). Sedangkan di Indonesia diperkirakan 20 juta penduduk Indonesia tinggal di daerah endemis filariasis (Huda, 2002). Sampai dengan tahun 2009 dilaporkan sebanyak 31 propinsi dan 337 kabupaten atau kota di Indonesia merupakan daerah endemis filariasis dan terdapat 11.914 kasus kronis (Kementerian Kesehatan, 2010). Data laporan survey filariasis menunjukkan jumlah total kasus filariasis di provinsi DIY ada 17 orang (Dinkes Prov DIY, 2007). Saat ini direktorat P2B2 (Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang) telah selesai melaksanakan pemetaan seluruh kabupaten atau kota di
ϯ
Indonesia dan didapat prevalensi filaria rate rata-rata 19% itu berarti 40 juta penduduk bisa menderita filariasis di masa mendatang apabila tidak dilaksanakan pemberian obat massal pencegahan filariasis dan kegiatankegiatan yang terencana menuju eliminasi filariasis di Indonesia tahun 2020 (Kementerian Kesehatan, 2010). Pengendalian berbagai penyakit menular sampai saat ini masih menemui kendala, salah satunya adalah pengendalian dan pemberantasan penyakit filariasis atau kaki gajah yang harus dilakukan seluas wilayah kabupaten atau kota. Penanganan telah dilakukan namun dikarenakan kendala yang ada mengakibatkan hasilnya belum maksimal (Kementerian Kesehatan, 2010). Tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah penularan filariasis adalah melaksanakan pengobatan massal pada penduduk daerah endemis filariasis, pengobatan pencegahan terhadap pendatang yang berasal dari daerah non endemis filariasis, dan memberantas nyamuk yang menjadi vektor penularnya di daerah tersebut. Selain itu, lingkungan harus diupayakan agar bebas nyamuk vektor penularnya dan mencegah gigitan nyamuk menggunakan repelen atau kelambu pada waktu tidur (Soedarto, 2011). Cara terbaik untuk melindungi dari gigitan serangga yaitu dengan menghindari habitatnya, mengenakan pakaian pelindung dan menggunakan repelen. Salah satu cara untuk melindungi dari gigitan serangga adalah menggunakan repelen. Beberapa senyawa kimia yang paling sering digunakan sebagai repelen adalah N, N-dietil-m-toluamide, atau sekarang
ϰ
sering disebut dengan N, N-dietil-3-methylbenzamide (DEET). Banyak masyarakat yang enggan menggunakan repelen kimia sintetis DEET untuk dioleskan pada kulit mereka, sehingga perlu dicari produk pengusir lainnya (Fradin dan Day, 2002). Dari sumber literatur, mahkota dewa mengandung antihistamin, alkaloida. Daun maupun buahnya agak pahit sebab mengandung senyawa triterpen, saponin dan polifenol (lignan). Kulit buahnya juga mengandung alkaloida, triterpen, saponin dan flavonoida. (Gotama dkk, 1999). Penelusuran pustaka mengenai studi kimia dalam tanaman ini belum banyak menemukan tulisan yang melaporkan kandungan kimianya. Hartati dkk (2005) melaporkan bahwa bagian daun mahkota dewa mengandung suatu senyawa benzofenon glikosida yang disebut sebagai phalerin. Phaleria macrocarpa umumnya dikenal sebagai mahkota dewa. Tanaman ini merupakan salah satu tanaman obat yang paling populer di Indonesia. (Backer dan Brink, 1965). Akhir-akhir ini tanaman mahkota dewa banyak digunakan sebagai obat tradisional, baik secara tunggal maupun dicampur dengan obat-obatan tradisional lainnya. Di sisi lain tanaman ini beracun dan telah menyebabkan kematian pada sebagian hewan di Afrika dan Australia. Sebagian orang memanfaatkan mahkota dewa sebagai racun ikan, terutama di daerah Indonesia Timur seperti Papua dan Kepulauan Solomon (Borris dkk, 1988). Bahan dari tanaman mahkota dewa yang banyak di Indonesia tidak lain karena izin Allah SWT, sesuai dengan firman-Nya surat Al a’raaf 58 :
ϱ
\°[k ;i¦W5 Y¯ ÀNÄmÙcVf Y \@È\\ s°XT °O¯PXq ©DÙl¯ ¯ ÈOÉ"WW5 ÀNÄmÙcVf ½ ®Jk¼ ÁVWÙXT
§®±¨ WDTÂoÅÕRd 4×SV ° °0Wc)[ À¯Jn_§È5
Artinya “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, dapat dirumuskan satu permasalahan yaitu apakah ekstrak daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) efektif sebagai repelen terhadap nyamuk Culex sp? C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Mengetahui efektifitas ekstrak daun mahkota dewa sebagai repelen terhadap nyamuk Culex sp.
2. Tujuan Khusus a. Mengetahui RC50, RC90 dan RC95 efek daya tolak ekstrak daun Mahkota Dewa sebagai repelen terhadap Culex sp. b. Mengetahui RT50, RT90, dan RT95 efek daya tolak ekstrak daun Mahkota Dewa sebagai repelen terhadap Culex sp.
ϲ
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk membuktikan daya repelen daun mahkota dewa, menjadi masukan berharga terhadap perkembangan lebih lanjut dari produk tumbuhan mahkota dewa sebagai pengganti pemakaian repelen dari bahan botanik, selain itu di bidang pendidikan penelitian dapat memberikan kontribusi pengetahuan dalam upaya pengembangan repelen alami khususnya ekstrak daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) sebagai pengganti dalam pemakaian repelen kimia sintetik dan memberikan informasi kepada masyarakat tentang potensi dari alam (alami), sehingga masyarakat dapat melakukan penekanan populasi nyamuk sendiri melalui penolakan gigitan nyamuk Culex sp dengan repelen yang aman, murah, mudah didapat dan ramah lingkungan. E. Keaslian Penelitian Tabel 1. Keaslian penelitian Pengarang Judul
Hasil
Perbedaan
Agustin Iskandar, Sri Winarsih, Oka Endarto (2006)
Uji efek larvasida ekstrak daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap larva Culex sp
Ekstrak daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) memiliki efek larvasida terhadap larva Culex sp.
Sampel yang digunakan adalah fase larva.
Okta Dyah Anggraini (2009)
Uji efektivitas ekstrak mahkota dewa (Phaleria papuena Warb.) terhadap mortalitas ulat bulu daun kubis (Plutella xylostella L.) pada tanaman caisin
Ekstrak biji dan buah mahkota dewa bersifat toksik terhadap P. Xylostella
Variabel bebas yang digunakan adalah bagian buah dari mahkota dewa.