BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) mendapat perhatian lebih besar dan kursi lebih tinggi dari semua lapisan masyarakat dibandingkan dengan Iman dan takwa (Imtaq) yang notabennya adalah pangkal dari pembentukan moral dan kepribadian seorang individu. Hal ini jelas terlihat di semua bidang, baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan bidang-bidang yang lain. Semua bidang keahlian dalam pekerjaan mensyaratkan setiap individunya untuk menguasai pengetahuan dan wawasan yang luas serta menguasai teknologi kekinian agar mampu bersaing di dunia global. Kedudukan Imtaq yang seharusnya sejajar dengan iptek seakan tersingkirkan atau bahkan tidak lagi dihiraukan oleh masyarakat disebabkan karena kurangnya perhatian pemerintah dalam usaha pengembangannya. Imtaq pada masanya merupakan pengetahuan yang wajib dipelajari oleh semua masyarakat atau warga negara yang kemudian diamalkan. Perilaku dalam mewajibkan setiap individunya untuk menguasai imtaq ini membuat negara Indonesia dipandang sebagai negara yang terhormat karena moral penduduknya yang baik, menjadikannya negara dengan tingkat kriminalitas yang rendah. Pengembangan Imtaq adalah tugas dari keluarga, lembaga pendidikan dan lingkungan masyarakat. Dalam keluarga, pendidikan 1
2
Imtaq yang diperoleh merupakan pendidikan yang bersifat dasar dan kemudian dimatangkan melalui lembaga pendidikan, baik lembaga pendidikan formal, informal maupun nonformal sebagai upaya agar dapat berdiri bersama dan memiliki kedudukan yang setara dengan iptek. Salah satu lembaga pendidikan di Indonesia yang mengkhususkan tujuannya untuk mengembangkan Imtaq adalah madrasah. Madrasah adalah suatu lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu keIslaman (Madrasah Diniyah) atau di Indonesia sekarang ini lebih dipaha0mi dengan sekolah formal yang memberi porsi ilmu agama lebih banyak dari sekolah formal yang lain. Madrasah ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA) adalah sekolahsekolah formal yang memberikan mata pelajaran agama lebih khusus dibanding sekolah formal lain Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan(SMK). Kata madrasah di tanah Arab ditujukan untuk semua sekolah secara umum, akan tetapi di Indonesia ditujukan untuk sekolahsekolah yang mempelajari ajaran-ajaran Islam.1 Munculnya madrasah yang memasukan ilmu umum pada kurikulumnya seperti MI, Mts dan MA, membuat keberadaan madrasah diniyah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu Islam saja tidak lagi terlalu diminati. Dengan anggapan masuk ke madrasah diniyah itu ketinggalan zaman tidak up to date sehingga banyak sekali madrasah diniyah yang 1
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. Ke-1 (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 93.
3
lebih memilih menutup lembaga pendidikannya. Padahal di sanalah komponen-komponen dasar tentang Islam dapat terkupas dengan jelas kemudian dapat disempurnakan melalui pendidikan pesantren tanpa meninggalkan pendidikan untuk menguasai iptek. Karena bahaya yang akan terjadi ketika kemajuan Iptek tidak lagi diimbangi dengan kemajuan Imtaq adalah kehancuran sebuah negara. Oleh sebab itu masyarakat yang dibutuhkan untuk memakmurkan sekaligus memajukan sebuah negara adalah masyarakat intelek dengan jiwa Islam kaffah (mumpuni). Contoh fenomena yang nyata kita lihat saat ini adalah banyak sekali orang-orang yang memiliki pengetahuan dan wawasan luas, menguasai teknologi kekinian, tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan agama yang memadai dan moral yang baik. Ini semua merupakan bukti dimana Imtaq tidak lagi dimengerti dan dikuasai oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Dari sini kita harus sadar penuh akan peran madrasah khususnya madrasah yang masih tetap bertahan dengan kurikulum tradisional untuk dapat kembali mengembangkan Imtaq lalu menjadikannya ilmu yang harus kembali dimengerti dan dipahami oleh setiap warga negara Indonesia agar tetap menjadi negara yang memiliki kepribadian yang baik. Bukti nyata melemahnya moral pelajar yang ada di desa Moga dikarenakan kurangnya penguasaan Imtaq seperti, kenakalan anak dan remaja di desa Moga. Contoh lain seperti banyak anak-anak merokok, pergaulan bebas, pulang tengah malam, dan masih banyak lainnya. Mereka
4
berkeinginan untuk meniru gaya hidup orang kota dan idola mereka. Semua itu dapat mereka ketahui dengan mudah melalui teknologi yang semakin canggih serta imbas dari melesatnya perkembangan iptek. Mereka dapat mengetahui apa saja, darimana saja dan kapan saja.2 Faktor seperti ini juga dipengaruhi karena sikap orang tua yang tidak memiliki minat untuk memberikan tambahan atau mengembangkan imtaq yang mereka berikan secara dasar kepada anak melalui keluarga, dan lembaga pendidikan madrasah diniyah. Banyak orang tua di desa Moga beranggapan ketika anak pulang dari sekolah SD, SMP, SMA ataupun SMK mereka harus beristirahat. Apabila mereka harus kembali untuk berangkat ke madrasah diniyah maka tidak ada waktu beristirahat untuk mereka.3 Kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian tuntutan-tuntutan baru yang dibebankan masyarakat terhadap sekolah tersebut, mengakibatkan pula pergeseran makna kurikulum. Kurikulum tidak lagi dianggap sebagai mata pelajaran, akan tetapi dianggap sebagai pengalaman belajar siswa. Kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan tersebut berada di bawah tanggung jawab guru (sekolah). 4 Dalam buku yang ditulis oleh Heri Gunawan dengan judul Kurikukum dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Ronald C Doll menggambarkan 2
Hasil observasi pada tanggal 5 November 2014 di MDA Salafiyah Moga. Wawancara dengan warga, tanggal 6 November 2014 4 Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, Cet. Ke-3 (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2007), hlm. 6. 3
5
kurikulum telah berubah dari konten belajar (isi) ke proses, dari skup yang sempit kepada yang lebih luas, dari materi ke pengalaman, baik dirumah, sekolah maupun lingkungan masyarakat, bersama guru atau tidak, ada hubungannya dengan pelajaran ataupun tidak, termasuk upaya guru dan fasilitas untuk mendorongnya.5 Dengan kurikulum yang digagasnya madrasah diniyah memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk mendapat pendidikan tentang iman dan taqwa, sebagai pondasi dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang ingin dikuasai. Pendidikan ini bertujuan untuk dapat menciptakan suasana masyarakat yang kental akan budaya spiritual atau religius. Meskipun banyak madrasah diniyah yang putus asa dan memilih untuk menutup lembaganya, tetapi masih ada madrasah diniyah yang tetap percaya diri untuk tetap eksis dalam mengemban misi untuk mencetak generasi yang berkualitas seperti Madrasah Diniyah Awaliyah Salafiyah Moga. Mengapa madrasah ini tetap percaya diri untuk tetap eksis? Karena semangat berjuang di jalan Islam yang dimiliki oleh masyarakat Desa Moga
membuat
masyarakatnya
berusaha
untuk
mempertahankan
eksistensi dari madrasah diniyah ini. Madrasah ini didirikan oleh masyarakat Desa Moga sebagai upaya untuk membumi besarkan Islam di Desa Moga dan sekitarnya.6 Banyak tokoh-tokoh masyarakat yang berperan penting di Kabupaten Pemalang merupakan lulusan dari Madrasah Diniyah Awaliyah 5
Heri Gunawan, Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Bandung: Alfabeta, 2012) hlm. 3. 6 Wawancara dengan Ketua LP Ma’arif kortan Moga-Pulosari, tanggal 7 November 2014
6
Moga. Memang tidak semata-mata hanya karena madrasah yang menjadikan mereka sebagai tokoh masyarakat. Namun tidak dipungkiri bahwa mereka pernah mengenyam pendidikan di madrasah ini dan inilah sebenarnya pondasi awal mereka.7 Madrasah Diniyah Awaliyah Moga sebagai icon dan bukti dari perkembangan pendidikan agama Islam yang memang sangat diperhatikan oleh masyarakat Desa Moga sebagai perwujudan dari kecintaan terhadap agama Islam dan terhadap ajaran Rosulullah Muhammad SAW. Madrasah ini pada tiga tahun terakhir mengubah struktur organisasi pengelolaannya. Pengelolaannya ditangani oleh orang-orang yang profesional dalam bidangnya dan diawasi masyarakat, perencanaan pendidikannya diatur oleh pimpinan pelaksanaan yang disebut Ketua Ma’arif merupakan tenaga profesional D3 PGA, dengan tenaga pengajar (Ustad dan Ustadah) yang semuanya adalah tenaga lulusan pondok pesantren salaf membuat materi yang diberikan dapat tersampaikan dengan baik dan mudah untuk diterima, dipahami dan yang paling penting untuk dapat diamalkan. Semua lapisan masyarakat diikut sertakan dalam pengawasannya. Berdasarkan permasalahan yang ditemukan, peneliti ingin meneliti tentang “Konsep Kurikulum Madrasah Diniyah Awaliyah sebagai Lembaga Pendididkan Agama Islam dalam mencetak Generasi Islami dan Berkualitas”.
7
Hasil observasi pada tanggal 5 November 2014 di MDA Salafiyah Moga.
7
B. Rumusan Masalah Dengan latar belakang masalah seperti diatas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kerangka dasar dari konsep kurikulum di Madrasah Diniyah Awaliyah Moga? 2. Bagaimana program pelaksanaan kurikulum Madrasah Diniyah Awaliyah Moga dalam mencetak generasi yang Islami dan berkualitas? Agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami judul dan memberikan batasan wilayah penelitian agar tidak membias, maka diperlukan penegasan istilah yang terkandung dalam judul yaitu: 1. Konsep Kurikulum Konsep kurikulum adalah suatu perencanaan atau program pengalaman siswa yang diarahkan sekolah.8 Kurikulum ini memiliki beberapa komponen. Seperti tujuan, materi (isi), strategi (metode), dan evaluasi.9 2. Madrasah Diniyah Awaliyah Madrasah
diniyah adalah salah
satu
lembaga pendidikan
keagamaan pada jalur luar sekolah yang diharapkan mampu secara terus menerus memberikan pendidikan agama Islam kepada anak didikyang tidak terpenuhi pada jalur sekolah yang diberikan secara klasikal serta menerapkan pendidikan yaitu, Diniyah Awaliyah, dalam
8 9
Wina Sanjaya, Op. cit., hlm. 8. Heri Gunawan, Op. cit., hlm. 9.
8
menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat dasar selama 4 tahun dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu.10 3. Lembaga Lembaga adalah badan organisasi yang tujuannya melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha.11 4. Pendidikan Agama Islam Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertaqwa dan berakhlak mulia serta mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Qur’an dan Al-Hadist melalui
kegiatan
bimbingan,
pengajaran,
latihan,
penggunaan
pengalaman.12 5. Generasi Islami Generasi Islam adalah sekalian orang Islam yang kira-kira sama waktu hidupnya (angkatan, turunan) dengan tujuan berjuang untuk agama Islam.13 6. Berkualitas Berkualitas adalah derajat atau taraf yang dimiliki atau diperoleh dalam mengerjakan suatu hal.14 10
http://www.terwujud.com/2014/02/pengertian-madrasah-diniyah..html?m=1,(diakses pada 1 desember 2014) 11 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusar Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), Edisi4, hlm. 808. 12 Ramayulis, Metode Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), hlm. 21. 13 Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. Ke-16 (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 314. 14 Kemendikbud, Kamus Bahasa Indonesia, Cet. Ke-1 (Jakarta Timur: Katalog Dalam Terbitan, 2011), hlm. 251.
9
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui secara mendalam tentang kerangka dasar konsep kurikulum di Madrasah Diniyah Awaliyah Moga 2. Untuk mengetahui secara menyeluruh dan mendalam tentang pelaksanaan kurikulum Madrasah Diniyah Awaliyah Moga dalam mencetak generasi Islami dan berkualitas
D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian yang diperoleh, diharapkan dapat berguna dalam 1. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kajian bagi peneliti-peneliti lainnya, khususnya penelitian yang jenis kajiannya tentang kurikulum Madrasah Diniyah Awaliyah. 2. Manfaat Teoritis a. Membantu dalam menyusun format kurikulum yang baku untuk semua Madrasah Diniyah Awaliyah di Indonesia b. Sebagai pencetus model kurikulum Madrasah Diniyah Awaliyah c. Sebagai sumbangsih khazanah keilmuan kurikulum Madrasah Diniyah Awaliyah
10
E. Tinjauan Pustaka 1. Analisis Teori Dari permasalahan yang penulis bahas dalam penelitian ini, ada beberapa teori sebagai bahan pendukung dari permasalahan tersebut, diantaranya: Demi perkembangan dan penyebaran pendidikan agama Islam maka dibutuhkan lembaga yang menunjang kegiatan ini. Dalam perjalanan pendidikan agama Islam di Indonesia lembaga yang muncul mengalami peningkatan. Mulai dari masjid, madrasah, perguruan tinggi. Dalam buku Pendidikan Islam Indonesia Pasca Politik Etis yang ditulis oleh Hj. Fatikhah terdapat pendapat dari Hanun Ashohah yaitu di Minangkabau sumatera didirikan lembaga seperti Surau Parabek pada tahun 1908 oleh H. Abbas Abdullah, Surau Jembatan Besi tahun 1914 oleh Syekh H. Sulaiman Ar Rasuli yang kemudian diubah menjadi madrasah. Kemudian didirikan pula Sekolah Adabiyah di Padang pada tanggal 23 Agustus 1915 oleh Syekh Abdullah, yang diubah menjadi HIS Adabiyah pada tahun 1916. Di samping itu juga didirikan Madras School pada tahun 1918 oleh Rahmah el-Yunusiyah yang kemudian diubah namanya menjadi Diniyah School (al-Madras al-Diniyah) pada tanggal 1 November 1923.15 Istilah madrasah mulai muncul setelah pendidikan Islam yang sebelumnya disampaikan di masjid dengan membentuk khalaqoh15
Fatikhah, Pendidikan Islam Indonesia Pasca Politik Etis, Cet. Ke-2 (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2006), hlm. 64.
11
khalaqoh, dipindah menuju ruangan yang berbeda,Abuddin Nata dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan mengemukakan bahwa latar belakang munculnya istilah madrasah yaitu pada masa Abbasiyah sampai dengan jatuhnya Baghdad. Dengan demikian, pada pembahasan selanjutnya eksistensi madrasah tidak terlepas dari beberapa faktor eksternal maupun internal.16 Menurut Syalaby dalam buku Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia yang ditulis oleh Haidar Putra Daulay madrasah adalah lembaga pendidikan yang tumbuh setelah masjid. Salah satu faktor yang menyebabkan tumbuhnya madrasah adalah karena masjid-masjid telah penuh dengan tempattempat belajar dan hal ini amat mengganggu aktivitas pelaksanaan ibadah shalat. Disamping itu pengetahuan pun telah banyak pula berkembang disebabkan perubahan zaman dan kemajuan peradaban manusia. Karena itu ada diantara mata pelajaran itu untuk mempelajarinya diperlukan tanya jawab, dan pertukaran pikiran.17 Lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik madrasah maupun pesantren, kebanyakan memang tumbuh dari bawah, dari inisiatif dan swadaya masyarakat. Berkaitan dengan ini masuknya intervensi dari pemerintah sebenarnya merupakan suatu hal yang positif, asal bersifat dilogis. Namun,
jangan sampai intervensi itu menghilangkan akar
pijakan madrasah bersangkutan. Oleh karena itu, tulisan Dr. Mukhtar 16
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Cet. Ke-2 (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 48. 17 Haidar Putra Daulay, Op. cit, hlm. 95.
12
Naim di Republika yang menempatkan para pengelola madrasah selalu dalam posisi dilematis, madrasah tetap madrasah. 18 Dari pendapat para ahli yang telah penulis kutip dari berbagai buku yang mereka tulis, dapat dipahami bahwa madrasah memiliki perjalanan yang panjang untuk dapat berdiri di Indonesia dan tetap eksis hingga saat ini begitupun dalam penyusunan kurikulumnya. Eksistensinya merupakan cikal bakal penanaman konsep agama Islam dalam diri anak-anak. Setiap lembaga pendidikan memiliki kurikulum sebagai acuan dalam proses pendidikan. Kurikulum ini memiliki beberapa komponen seperti tujuan, materi (isi), strategi (metode), dan evaluasi. Kurikulum memiliki tujuan untuk mengatur proses pendidikan agar mampu mencetak generasi-generasi yang berakhlak. Heri Gunawan dalam bukunya Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam mengemukakan tentang tujuan kurikulum. Tujuan kurikulum pada hakikatnya, adalah tujuan dari setiap program pendidikan yang akan diberikan kepada siswa atau peserta didik. Mengingat kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan, maka tujuan kurikulum harus dijabarkan dan disesuaikan dengan tujuan pendidikan, baik tujuan ideal maupun tujuan maupun tujuan nasional. Tujuan idealnya adalah menciptakan manusia yang baik, memiliki fisik yang sehat dan kuat, iman yang kokoh, serta akhlak yang mulia. Tujuan nasionalnya yaitu 18
Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Cet. Ke-1 (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 53.
13
sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional
yaitu
sebagaimana
dikehendaki oleh UU No.22 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah, “Meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yakni manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggungjawab.” Oleh karena itu, tujuan kurikulum pada setiap satuan pendidikan, harus mengacu pada pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut.19 Komponen kurikulum yang kedua adalah materi (isi) yang merupakan petunjuk bagi guru dalam memberikan setiap materi kepada siswa sesuai dengan kemampuan mereka untuk menangkap dan memahaminya. Heri Gunawan mengungkapkan dalam buku yang sama mengenai materi kurikulum. Materi kurikulum pada hakikatnya adalah isi
kurikulum
atau
konten
kurikulum
itu
sendiri.
Al-Basyir
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan materi adalah tema-tema pembelajaran yang telah ditentukan, yang mengandung berbagai ketrampilan baik yang bersifat aqliyah (knowlage), jasadiyah, dan berbagai cara mengkajinya atau mempelajarinya.20 Komponen selanjutnya adalah strategi atau metode yang diatur kurikulum sebagai cara untuk mencapai tujuan yang telah disusun untuk mendapatkan output yang berkualitas. Seperti dalam buku Kurikulum dan Pembelajaran yang disusun oleh Tim Pengembanga MKDP 19 20
Heri Gunawan, Op. cit., hlm. 9. Ibid., hlm. 10.
14
Kurikulum dan Pembelajaran menyebutkan bahwa strategi dan metode merupakan komponen ketiga dalam pengembangan kurikulum. Komponen ini merupakan komponen yang memiliki peran yang sangat penting,
sebab
berhubungan
dengan
implementasi
kurikulum.
Bagaimanapun bagus dan idealnya tujuan yang harus dicapai tanpa strategi yang tepat untuk mencapainya, maka tujuan itu tidak mungkin dicapai. Strategi meliputi rencana, metode, dan perangkat kegiatan yang direncanakan. Untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam buku yang sama T. Rajakoni mengartikan strategi pembelajaran sebagai pola dan urutan umum perbuatan guru-siswa dalam mewujudkan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.21 Komponen kurikulum yang terakhir adalah evaluasi. Evaluasi adalah tolak ukur mengenai berhasil atau tidaknya kurikulum ini diterapkan. Evaluasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam pengembanga kurikulum. Melalui evaluasi, dapat ditentukan nilai dan arti kurikulum, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan apakah suatu kurikulum perlu dipertahankan atau tidak, dan bagianbagian mana yang harus disempurnakan. Evaluasi merupakan komponen untuk melihat efektifitas pencapaian tujuan. Dalam konteks kurikulum, evaluasi dapat berfungsi untuk mengetahui apakah tujuan yang telah diterapkan telah tercapai atau belum, atau evaluasi digunakan sebagai umpan balik dalam perbaikan strategi yang 21
Tim Pengembang MKDP, Kurikulum dan Pembelajaran (Bandung: Rajawali Pers, 2011), hlm. 53.
15
ditetapkan. Pengertian ini dikemukakan dalam buku Kurikulum dan Pembelajaran yang disusun oleh Tim Pengembang MKDP.22 Menurut Jalaludin dalam buku Psikologi Agama menuliskan memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on outbority. Ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya autoritarius, maksudnya, konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah melihat dan mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan agama. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian, ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka palajari dari para orang tua maupun guru mereka.23 2. Penelitian yang Relevan Skripsi Taofik (2010) yang berjudul Pengaruh Perkembangan kurikulum Pondok Pesantren Terhadap Keberhasilan Belajar Santri, menjelaskan bahwa dikalangan pondok pesantren ada kecenderungan untuk mempertahankan sistem atau metode tradisional yang telah 22 23
Ibid., hlm. 56. Jalaludin, Psikologi Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 70.
16
berlangsung secara turun temurun, sedangkan system atau metodemetode baru seringkali kurang mendapat simpati bahkan kadangkadang diragukan oleh kalangan pesantren sebenarnya pondok pesntren sebagai lembaga pendidikan agama Islam akan lebih mampu berperan apabila sistem atau metode pengajarannya dapat dikaitkan dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan atau teknologi modern serta tuntutan dinamika masyarakat agar tidak ketinggalan dan tenggelam dengan sistem pendidikan di era modern ini.24 Selain itu, skripsi yang ditulis Fiqi Islachiyati (2013) dengan judul Pengembangan
Kurikulum
Pesantren
dalam
Meningkatkan
Kualitas
Pendidikan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Islah Kebagusan Ampel Gading Kabupaten Pemalang menjelaskan bahwa pesantren memang
berada pada posisi yang sulit. Disatu sisi dihadapkan pada kemajuan iptek yang semakin tidak terkendali, sementara di sisi lain, ia dituntut untuk menyelesaikan problem internal yang tak kunjung terpecahkan seperti problem demokratisasi (pendidikan) pesantren.problem-problem tersebut mengindikasikan bahwa pesantren harus terbuka dalam arti tidak menutup diri dari arus gelombang transformasi baik yang datang dari luar (eksternal) maupun yang dating dari dalam (internal). Dengan demikian pesantren dihadapkan pada posisi tengah yang terjadi tarik menarik antara sesuatu yang absolut, statis dan kolot (konservatif) dengan sesuatu yang menglami perubahan (transformatif) dan dinamis, 24
Taofik, Pengaruh Perkembangan kurikulum Pondok Pesantren Terhadap Keberhasilan Belajar Santri, (Studi Kasus di Pondok Pesantren Chirzadin Semampir Kesesi Pekalongan, Skripsi (Pekalongan: STAIN Pekalongan, 2010), hlm. 15-16.
17
antara dinnul Islam yang bersumber dari Tuhan dengan budaya yang bersumber dari makhluk.25 Dari dua penelitian di atas memiliki perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan. Perbedaan tersebut adalah pada fokus permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini lebih menggali pada Konsep Kurikulum Madrasah Diniyah Awaliyah sebagai Lembaga Pendidikan Agama Islam dalam Mencetak Generasi yang Islami dan Berkualitas. 3. Kerangka Berpikir Dari berbagai uraian pendapat yang telah penulis kutip, maka dapat dibangun kerangka berpikir bahwa Madrasah adalah lembaga pendidikan agama Islam yang didirikan sebagai rekomendasi untuk memindahkan tempat belajar mengajar yang sebelumnya dilakukan di masjid dengan membentuk halaqah-halaqah untuk mengkaji ilmu-ilmu agama
Islam.
Madrasah
memfokuskan
pendidikannya
untuk
membentuk karakter anak didik atau santri dalam hal ilmu moral dan taqwa (Imtaq), agar pribadi yang dimiliki setiap santri merupakan pribadi Islam yang sesuai dengan tuntunan Rosulullah SAW sehingga mereka tumbuh menjadi generasi yang dapat mengendalikan diri dengan kepribadian yang baik yang mereka miliki.
25
Fiqi Islachiyati, Pengembangan Kurikulum Pesantren dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Islah Kebagusan Ampel Gading Kabupaten Pemalang , Skripsi (Pekalongan: STAIN Pekalongan, 2013), hlm. 12.
18
Kesimpulannya dari beberapa teori yang telah penulis tulis diatas adalah dengan kurikulum yang disusun secara sistematis, mengarahkan tujuan dengan jelas, menentukan isi atau materi yang tepat untuk disampaikan kepada anak didik, menyusun dan memilih metode yang sesuai dalam menyampaikan materi untuk mencapai tujuan, melakukan evaluasi untuk mengukur tingkat keberhasilan anak didik, pendidikan di madrasah dapat membentuk dan menanamkan karakter-karakter yang baik dalam diri anak sehingga setiap anak merupakan bibit-bibit generasi yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka akan mampu dalam menjaga nama baik negaranya dan mengangkat derajat negaraya. Membela martabat Negara di mata dunia.
F. Metode Penelitian 1. Desain Penelitian a. Pendekatan Dalam pelaksanaan penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif (deskriptif). Penelitian kualitatif adalah penelitian yang memecahkan masalah dengan menggunakan data empiris (berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari percobaan, penemuan, dan pengamatan yang dilakukan).26 Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui konsep kurikulum yang disusun untuk digunakan di Madrasah Diniyah Awalyah 26
Masyuri dan M. Zainudin, Metodologi Penelitian Pendekatan praktis dan aplikatif, Cet. Ke-2 (Bandung: refika aditama, 2009) hlm. 13.
19
Salafiya Moga dan
bagaimana keefektifannya untuk
dapat
menciptakan insan generasi Islami yang berkualitas. b. Jenis Penelitian Untuk mengetahui suatu keadaan maupun informasi tentang gejala yang tejadi di lapangan, maka peneliti akan melakukan penelitian lapangan (field study research) atau penelitian studi kasus (case study), karena merupakan penyelidikan yang mendalam mengenai unit sosial sedemikian rupa sehingga menghasilkan gambaran yang terorganisasi dengan baik dan lengkap mengenai unit sosial tersebut.27 Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field study research) atau penelitian studi kasus (case study). Penelitian lapangan adalah penelitian tentang status subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas, penelitian yang menekankan pada penelitian sosial dan kecenderungan pendekatannya adalah induktif, dan penelitian identik dengan penelitian kualitatif.28 2. Sumber data penelitian Dalam penelitian ini digunakan tiga jenis sumber data yaitu person (orang), place (tempat), maupun paper (simbol).29 Person yaitu sumber data yang bias memberikan data berupa jawaban lisan melalui wawancara. Dalam penelitian ini sumber data 27
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hlm. 17. Masyuri dan M. Zainudin, Op. cit., hlm. 35. 29 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2005) hlm. 80. 28
20
manusia disebut dengan informan, seperti pengelola madrasah, pengajar, orang tua siswa, masyarakat sekitar. Place yaitu sumber data yang menyajikan tampilan berupa keadaan diam seperti ruangan, kelengkapan alat, fasilitas, sarana dan prasarana. Dan tampilan keadaan yang bergerak seperti aktifitas, kinerja, kegiatan belajar mengajar. Paper yaitu sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa gambar, atau symbol-simbol lain yang berbentuk dokumentasi. 3. Teknik Pengumpulan Data a. Metode Observasi Metode Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan terhadap objek, baik secara maupun tidak langsung.30 Metode ini dilakukan untuk memperoleh data tentang kondisi umum Madrasah Diniyah Awaliyah Salafiyah Moga, seperti proses pelaksanaan pendidikan yang sesuai dengan strategi belajar dalam kurikulum madrasah. b. Metode Interview Metode Interview adalah metode pengumpulan data dengan tanya jawab, yang dikerjakan dengan wawancara sebagai metode sistematik untuk memperoleh jawaban yang diharapkan.31
30 31
Sutrisno Hadi, Metodologi Reserch II (Yogyakarta: Andi Offset, 1986), hlm. 73. Ibid., hlm. 173.
21
Metode Interview dilakukan untuk memperoleh data tentang materi ajar yang sesuai dengan kurikulum, dilakukan kepada pengurus Madrasah Diniyah Awaliyah Moga, dan pengajar. c. Metode Dokumentasi Dokumentasi sebagai kumpulan data variabel yang berupa catatan, transkrip, buku-buku dan sebagainya.32 4. Teknik Analisis Data Berkaitan dengan itu maka metode yang dilakukan adalah metode deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti suatu kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran pada masa sekarang dengan tujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta yang terjadi.33 Selanjutnya juga digunakan metode induktif, yaitu suatu pengambilan kesimpulan dari peristiwa-peristiwa yang sifatnya khusus untuk dijadikan pengertian yang sifatnya umum.34
5. Sistematika Penulisan Adapun skripsi yang akan ditulis, disusun secara sistematis, sehingga akan mudah untuk dibaca dan dipahami oleh pembaca. Dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
32
Koentjoro Ningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 46. 33 Moh. Nazir, Op. cit, hlm. 416. 34 Ibid., hlm. 6.
22
Bab I, Pendahuluan, meliputi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab II, Kurikulum Pendidikan Agama Islam meliputi Pengertian Kurikulum, Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Pengertian Madrasah Diniyah, Potret Generasi Islami dan Berkualitas. Bab III, Konsep Kurikulum Madrasah Diniyah Awaliyah Salafiyah Moga, meliputi Sejarah Berdirinya Madrasah Diniyah Awaliyah Moga, Visi dan Misi Madrasah Diniyah Awaliyah Salafiyah Moga, Letak Geografis Madrasah Diniyah Awaliyah Salafiyah Moga, Struktur Organisasi Madrasah Diniyah Awaliyah Salafiyah Moga, Keadaan Tenaga Pengajar dan Santri di Madrasah Diniyah Awaliyah Salafiyah Moga, Sarana dan Prasarana Madrasah Diniyah Awaliyah Salafiyah Moga, Kurikulum Pendidikan di Madrasah Diniyah Awaliyah Salafiyah Moga, Struktur program pelaksanaan kurikulum Madrasah Diniyah Awaliyah Moga dan Perkembangan Madrasah Diniyah Awaliyah Salafiyah Moga. Bab IV, Analisis Konsep Kurikulum Madrasah Diniyah Awaliyah Sebagai Lembaga Pendidikan Agama Islam Dalam Mencetak Generasi Islami dan Berkualitas, meliputi Analisis Kerangka Dasar Pendidikan Agama Islam di Madrasah Diniyah Awaliyah Salafiyah Moga, Analisis Konsep Kurikulum Madrasah Diniyah Awaliyah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam Dalam Mencetak Generasi Islami dan Berkualitas. Bab V, Penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.