BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Balita merupakan kelompok masyarakat yang rentan gizi. Balita dengan berat
badan BGM menjadi indikator awal bahwa balita tersebut mengalami masalah gizi. Balita merupakan kelompok umur usia 0-5 tahun yang ditandai dengan masa proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, disertai dengan perubahan yang memerlukan zat gizi yang jumlahnya lebih banyak dengan kualitas tinggi. Masa pertumbuhan balita merupakan masa yang tergolong rawan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak karena pada masa ini anak mudah sakit dan mudah terjadi kurang gizi (Soetjiningsih, 1995). Pada masa ini anak mulai melakukan aktivitas dengan intensitas yang tinggi dan biasanya anak mulai susah makan akan tetapi hanya suka pada makanan jajanan yang gizinya tidak baik. Masa balita merupakan masa keemasan kedua bagi anak. Di masa ini pertumbuhan balita tidak bertumbuh sepesat saat masa bayi, tetapi kebutuhan nutrisi mereka tetap merupakan
prioritas utama. Di masa balita ini nutrisi memegang
peranan penting dalam perkembangan seorang anak. Masa balita adalah masa transisi, terutama di usia 1-2 tahun, dimana seorang anak akan mulai makan makanan padat dan menerima rasa dan tekstur makanan yang baru. Selain itu usia balita adalah usia kritis dimana seorang anak akan bertumbuh dengan pesat baik secara fisik maupun mental (Sutani, 2008). Untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan balita, maka ibu harus mengetahui dan memahami tentang kebutuhan asupan nutrisi yang dibutuhkan balita
Universitas Sumatera Utara
dan status gizi balita (Sediaoetama, 2010). Balita yang kurang terpenuhi kebutuhan nutrisinya dapat mengakibatkan banyak hal seperti kejadian gizi kurang dan gizi buruk. Bagi sebagian besar masyarakat kebutuhan nutrisi pada balita bukanlah suatu hal utama. Bagi sebagian besar masyarakat indonesia terutama dari kalangan ekonomi bawah, lebih memprioritaskan kebutuhan pangan atau makanan tanpa memperdulikan angka kecukupan gizi dari makanan mereka sendiri ataupun anak-anaknya. Satu permasalahan yang sering terlupakan adalah kasus balita dengan kejadian BGM. Seorang balita dengan pertumbuhannya dicurigai BGM menimbulkan banyak pertanyaan. Hal ini dikarenakan BGM tidak dapat disebut dengan gizi kurang ataupun gizi buruk. BGM lebih identik diantara kedua kondisi tersebut (Sutani, 2008). Status gizi balita merupakan hal yang penting yang harus diketahui oleh setiap orangtua. Status gizi balita dapat menggambarkan kondisi balita baik atau tidak dinilai dari umur, berat badan, lingkar kepala. Status gizi dapat mengajarkan ibu untuk melihat apakah tinggi badan balita bertambah, berat badan anak balita berkurang dan lingkar kepala balita yang tidak nampak besar (Proverwati,2010). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, secara nasional prevalensi kekurangan gizi pada anak balita adalah sebesar 18,4% terdiri dari gizi kurang 13,0% dan gizi buruk 5,4%. Sementara itu Riskesdas 2010, gizi kurang tidak mengalami perubahan dan gizi buruk mengalami peningkatan dengan prevalensi gizi kurang sebesar 13,0% dan gizi buruk 5,9%. Prevalensi gizi kurang di Sumatera Utara sebesar 7,8%, sedangkan gizi kurang 13,5% (Riskesdas, 2010). Di kecamatan Binjai Utara terdapat 367 balita BGM dari keseluruhan puskesmas yang ada, yaitu 8 puskesmas (Dinas Kesehatan
Universitas Sumatera Utara
Kotamadya Binjai, 2010). Di lokasi penelitian yaitu Puskesmas Cengkeh Turi terdapat 58 balita BGM. Status gizi yang buruk pada balita dapat menimbulkan pengaruh yang sangat mengahambat pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan berfikir. Keadaan ini memberikan petunjuk bahwa pada hakikatnya gizi yang buruk maupun gizi kurang akan berdampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia. Balita BGM dapat berdampak terhadap pertumbuhan fisik maupun mentalnya anak balita. BGM akan menyebabkan anak kelihatan pendek, kurus dibandingkan dengan teman-teman sebayanya yang lebih sehat. Ketika memasuki usia sekolah balita tidak bisa berprestasi menonjol karena kecerdasannya terganggu akibat kekurangan gizi yang mengakibatkan anak BGM (Waryana, 2010). Masalah gizi kurang pada balita umumnya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan. Faktor- faktor tersebut sangat terkait dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan keluarga (Depkes, 2000). Tiga faktor penyebab gizi buruk pada balita, yaitu: kemiskinan, ketidaktahuan orangtua atas pemberian gizi yang baik bagi anak,dan faktor penyakit bawaan pada anak (Astaqauliyah, 2006). Pola asuh berperan penting dalam menentukan status gizi balita. Apabila pola asuh anak kurang, dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Begitu juga terhadap balita BGM. Bila balita BGM tidak mendapatakan perhatian
Universitas Sumatera Utara
khusus dari keluarga, dapat mengakibatkan status gizi balita tersebut semakin menurun (Soekirman, 2005). Praktek pola asuh gizi dalam keluarga biasanya berhubungan erat dengan faktor pendapatan keluarga, tingkat pendidikan ibu dan tingkat pengetahuan ibu sert sosial budayanya. Anak- anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah paling rawan terhadapa gizi kurang diantara seluruh anggota keluarga lainnya dan anak yang kecil biasanya paling terpengaruh oleh kurang pangan. Sebab dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda perlu zat gizi yang relatif lebih banyak dari pada anak-anak yang lebih tua. Keadaan diatas akan lebih buruk jika ibu balita memiliki perilaku pola asuh gizi yang kurang baik dalam hal menyusi, pemeberian makananan pendamping ASI serta pembagian makanan dalam keluarga (Suhardjo, 2002). Pola pengasuhan turut berkontribusi terhadap status gizi anak, salah satu pola pengasuhan yang berhubungan dengan status gizi anak adalah pola asuh makan. Pola asuh makan adalah sebuah praktik pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak berkaitan dengan cara dan situasi makan. Selain pola asuh makan, pola asuh kesehatan yang dimiliki ibu turut mempengaruhi status gizi balita. Dalam tumbuh kembang anak, peran ibu sangat dominan untuk mengasuh dan mendidik anak agar tumbuh dan berkembang menjadi anak yang berkualitas. Pola asuh makan pada balita berkaitan dengan kebiasaan makan yang telah ditanamkan sejak awal pertumbuhan. Berdasarkan survei awal yang dilakukan oleh peneliti di wilayah kerja Puskesmas Cengkeh Turi, keadaan balita BGM berdasarkan pola asuh makan.
Universitas Sumatera Utara
Banyak ibu yang tidak memberikan ASI kepada anaknya dikarenakan tidak mengetahui manfaat ASI. Sebagian besar ibu memberikan Air gula, air campuran madu dan susu kental manis sebagai pengganti ASI. Kebiasaan memberikan mie instan kepada balita juga banyak terjadi, mie instan diberikan sebagai pengganti nasi bagi balita dikarenakan agar lebih irit dan murah dan sianak lebih mudah kenyang dan tidak rewel. Sebagian besar ibu balita BGM
mempunyai
kebiasaan
memberikan
makanan
seadanya
dan
tidak
memperhatikan asupan gizi yang dibutuhkan tubuh balia,dikarenakan rendahnya tingkat pengetahuan ibu dan pendapatan keluarga. Jika keadaan ini berlangsung terusmenerus maka balita akan kekurangan zat gizi, sehingga dapat menghambat pertumbuhan balita dan akhirnya menjadi sangat pendek dan kurus. Oleh karena itu, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Bagaimana Karakteristik dan Pola Asuh Keluarga yang memiliki Balita dengan berat badan BGM di wilayah kerja Puskesmas Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara, Binjai Tahun 2014”. 1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dapat dirumuskan permasalahan
penelitian yaitu Bagaimanakah Karakteristik dan Pola Asuh keluarga yang memiliki balita dengan berat badan BGM di wilayah kerja Puskesmas Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara, Binjai Tahun 2014. 1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengetahui bagaimana Karakteristik dan Pola Asuh keluarga yang memiliki balita berat badan BGM di wilayah kerja Puskesmas Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara, Binjai Tahun 2014. 1.3.2. Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui karakteristik keluarga balita dengan berat badan BGM berdasarkan tingkat pengetahuan ibu. 2. Untuk mengetahui karakteristik keluarga balita dengan berat badan BGM berdasarkan tingkat pendidikan ibu. 3. Untuk mengetahui karakteristik keluarga balita dengan berat badan BGM berdasarkan pendapatan keluarga. 4. Untuk mengetahui karakteristik keluarga balita dengan berat badan BGM berdasarkan pola asuh. 5. Untuk mengetahui karakteristik keluarga balita dengan berat badan BGM berdasarkan jumlah anggota keluarga. 6. Untuk mengetahui karakteristik keluarga balita dengan berat badan BGM berdasarkan budaya atau tradisi kebiasaan. 1.4.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat untuk instansi terkait a. Sebagai bahan informasi dan masukan untuk petugas kesehatan di Puskesmas Cengkeh Turi, Binjai. Sehingga dapat diketahui mengenai hubungan pola asuh dan sosial ekonomi dengan balita BGM. 2. Manfaat untuk masyarakat
Universitas Sumatera Utara
a. Sebagai informasi kepada masyarakat setempat mengenai gambaran pola asuh dan sosial ekonomi keluarga balita BGM b. Sebagai informasi kepada masyarakat setempat mengenai pentingnya memperhatikan pola asuh anak. c. Sebagai referensi untuk dapat memberikan informasi, tentang program pendidikan gizi kepada masyarakat khususnya ibu-ibu untuk memperhatikan status gizi balitanya d. Sebagai informasi kepada masyarakat setempat khususnya ibu-ibu mengenai betapa pentingnya mengetahui cara memberikan makanan, serta perawatan kesehatan balita. 3. Manfaat untuk peneliti a. Dari hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan wawasan peneliti tentang karakteristik keluarga balita BGM, dan dapat menambah wawasan pengetahuan tentang ilmu gizi.
Universitas Sumatera Utara