BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi ini kondisi perekonomian Negara Republik Indonesia masih belum pulih dari akibat terjadinya krisis multi dimensi yang dipicu oleh krisis moneter pada penghujung tahun 1997-an, sehingga pertumbuhan ekonomi sangat lambat, di mana hal ini disebabkan kecilnya investasi yang dilakukan oleh pihak swasta. Sedangkan kebutuhan akan terciptanya lapangan kerja merupakan hal yang mutlak, guna menampung pertumbuhan tenaga kerja yang cukup tinggi. Kondisi tersebut mau tidak mau harus diatasi terutama oleh Pemerintah, di mana sudah diketahui bersama bahwa pelaksanaan programprogram Pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan yang dibiayai baik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih merupakan salah satu alternatif dalam menciptakan lapangan kerja baik untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan fisik, maupun untuk penyediaan barang bagi kepentingan pemerintah. Pelaksanaan program-program pemerintah tersebut merupakan lapangan pekerjaan yang direbut oleh para pengusaha baik pengusaha dalam negeri maupun pengusaha luar negeri, yang mau tidak mau, suka tidak suka harus berjalan demikian, karena bangsa Indonesia telah memasuki era globalisasi dan liberalisme perdagangan, yang
1
2
menyebabkan perekonomian antar negara saling bergantung satu sama lain. Globalisasi dan libralisme telah pula memunculkan berbagai tantangan dan peluang yang mengharuskan negara-negara di seluruh dunia untuk mengadakan berbagai penyesuaian
dan langkah kebijaksanaan untuk
menghadapinya, terutama dunia usaha, apabila masih ingin melaksanakan kegiatannya. Demikian juga halnya di bidang perekonomian, maka pelaku usaha ekonomi harus menyiapkan diri untuk menghadapi persaingan bebas dalam merebut lahan usaha yang sudah tentu mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini pemerintah telah mengantisipasi timbulnya persaingan dunia usaha untuk melaksanakan pekerjaan fisik dan pengadaan barang/jasa terutama untuk kepentingan pemerintah yang jumlahnya cukup besar, yaitu menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya disebut Perpres No. 54 Tahun 2010) sebagai pengganti dari Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Keberadaan Peraturan Presiden (Perpres) tersebut cukup penting karena hampir 60 % dari volume APBN/APBD dialokasikan untuk dana pengadaan barang/jasa bagi kepentingan pemerintah. Dalam
ketentuan
Perpres
No.
54
Tahun
2010
tersebut
dimungkinkan perusahaan asing melaksanakan pekerjaan dalam wilayah Negara Indonesia, walaupun dalam kebijakan umum ditekankan untuk
3
menggunakan produk dalam negeri, rancang bangun dan perekayasaan nasional yang sasarannya adalah memperluas lapangan kerja dan mengembangkan industri dalam negeri. Pengadaan barang dan jasa pada dasarnya melibatkan dua pihak yaitu pihak pengguna barang/jasa dan pihak penyedia barang/jasa, tentunya dengan
keinginan/kepentingan
berbeda,
bahkan
dapat
dikatakan
bertentangan. Pihak pengguna barang/jasa menghendaki memperoleh barang dan jasa dengan harga semurah-murahnya namun dengan kualitas yang baik dan jumlah yang sesuai, sedangkan pihak penyedia barang dan jasa dalam menyediakan barang/jasa sesuai kepentingan pengguna barang/jasa ingin mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya. Dua keinginan/kepentingan ini akan sulit dipertemukan kalau tidak ada saling pengertian dan kemauan untuk mencapai kesepakatan. Dalam pelaksanaan pekerjaan setelah melalui tahapan proses pengadaan,
sudah
tentu
penyedia
barang/jasa
yang terpilih
akan
menandatangani kontrak dengan pengguna barang/jasa yang dalam hal ini adalah Instansi Pemerintah, di mana kontrak tersebut memuat kesepakatan antara pengguna barang/jasa sebagai pihak pertama dan penyedia barang/jasa sebagai pihak kedua. Pada dasarnya bentuk kontrak dapat dibedakan menjadi dua yaitu lisan dan tertulis. Lisan cukup dengan kesepakatan para pihak. Kontrak dalam bentuk tertulis merupakan kontrak yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Kontrak pengadaan barang/jasa yang dibuat antara pengguna barang
4
(pemerintah atau Pihak Pertama) dan penyedia barang (rekanan atau pihak Kedua), yaitu bentuknya tertulis. Pada Perpres No. 54 Tahun 2010 tidak diatur secara tegas mengenai isi kontrak, tapi hal ini dijelaskan secara rinci pada Lampiran II Perpres No. 54 Tahun 2010, yang mana diatur bahwa kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah berisikan sekurang-kurangnya mengenai ketentuan sebagai berikut: (a) para pihak yang menandatangani kontrak meliputi nama, jabatan, dan alamat; (b) pokok pekerjaan yang diperjanjikan dengan uraian yang jelas mengenai jenis dan jumlah barang/jasa yang diperjanjikan; (c) hak dan kewajiban para pihak yang terikat di dalam perjanjian; (d) nilai atau harga kontrak pekerjaan, serta syarat-syarat pembayaran; (e) ketentuan mengenai cidera janji dan sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi kewajibannya; (f) ketentuan mengenai pemutusan kontrak. Dalam merancang suatu kontrak, secara garis besar dapat dipilah menjadi bagian-bagian tertentu yaitu : 1. Judul / heading. Judul suatu kontrak biasanya diberi nama sesuai dengan isinya. Dengan judul tersebut sudah tentu dapat ditebak atau diketahui. Dari judul diharapkan dapat memberikan gambaran atau sekurang-kurangnya dapat diketahui bahwa isi kontrak itu akan berbicara berkaitan dengan judul atau nama kontrak.
5
2. Pembukaan / opening. Setelah judul, kemudian diawali dengan Pembukaan yang merupakan awal suatu kontrak, yang berisikan hari, tanggal, dan tahun dibuatnya kontrak tersebut. 3. Para pihak / komparisi. Komparisi merupakan bagian dari kontrak yang dimuat setelah judul dan awal kontrak, yang mengandung identitas para pihak yang membuat kontrak, termasuk uraian yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan mempunyai kecakapan serta kewenangan untuk melakukan tindakantindakan hukum sebagaimana dinyatakan dalam kontrak. 4. Premise / recitals Premis beriskan maksud utama dari para pihak yang membuat kontrak, dan menyatakan alasan mengapa suatu kontrak itu dibuat. 5. Isi perjanjian, yang mencakup ketentuan dan persyaratan. Pada bagian inilah para pihak mencantumkan segala hal atau pokokpokok yang dianggap perlu, yang merupakan kehendak para pihak, sebagai pokok perjanjian yang memuat secara mendetail mengenai objek kontrak, hak dan kewajiban, sanksi dan lain-lain. 6. Klausula, yang berisikan ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang arbitrase, force majeure, pilihan hukum jika para pihak berasal dari negara yang berbeda. 7. Penutup. 8. Tanda tangan para pihak dan saksi-saksi.
6
Dalam pembuatan suatu kontrak, para pihak seharusnya memiliki kedudukan yang seimbang, maksudnya salah satu pihak yang membuat kontrak tidak ada yang dalam posisi mendominasi pihak yang lain atau dengan kata lain adanya keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak menghendakinya. Jika dalam membuat kontrak, keseimbangan kedudukan para pihak kurang diperhatikan, maka dimungkinkan terjadi salah satu pihak akan mendominasi pihak lain, seperti misalnya dalam kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah di Kabupaten Badung pada ketentuan mengenai cidera janji dan sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi kewajibannya, yang sebagian besar hanya mencantumkan sanksi bagi Pihak Kedua (penyedia barang/jasa) apabila tidak dapat melaksanakan kewajibannya seperti yang telah diperjanjikan, dan tidak pernah ada sanksi bagi Pihak Pertama (pengguna barang/jasa) yang nota bene Instansi Pemerintah. Hukum kontrak merupakan bagian hukum privat. Hukum ini memusatkan perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sendiri (self imposed obligation). Dipandang sebagai hukum privat karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan pihak-pihak yang membuat kontrak. Kontrak dalam bentuk yang paling klasik dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. Paradigma baru hukum kontrak timbul dari dua dalil di bawah ini :
7
1. setiap perjanjian kontraktual yang diadakan adalah sah (geoorloofd); dan 2. setiap perjanjian kontraktual yang diadakan secara bebas adalah adil dan memerlukan sanksi undang-undang.1 Hukum Kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomstrecht. Lawrence M Friedman mengartikan hukum kontrak adalah perangkat hukum yang hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu.2 Dalam pengertian yang luas, kontrak adalah kesepakatan yang mendefinisikan hubungan antara 2 (dua) pihak atau lebih. Sedangkan kontrak dalam dunia usaha atau komersil dalam pengertian yang paling sederhana adalah kesepakatan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih untuk melakukan transaksi bisnis. Seyogianya perlakuan antara 2 (dua) pihak yang membuat kontrak adalah sama, namun dalam kenyataan kontrak pengadaan barang/jasa atau pelaksanaan pekerjaan bagi keperluan pemerintah tidak demikian adanya.
1 Adrian Sutedi , 2008, “Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya”, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 21 2 Salim HS, 2005, “Hukum Kontrak : teori dan teknik Penyusunan Kontrak”, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 3. (Selanjutnya disebut Salim HS I )
8
1.2 Rumusan Masalah Dari apa yang diuraikan dalam latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat dikemukakan 2 (dua) permasalahan yang akan dibahas dalam kajian ini, yaitu : 1)
Bagaimanakah kedudukan pengguna barang/jasa (Pemerintah) dan penyedia barang/jasa dalam kontrak yang telah ditandatangani kedua belah pihak dibidang
pengadaan barang/jasa bagi
keperluan
Pemerintah di Kabupaten Badung ? 2) Bagaimanakah prinsip keseimbangan diimplementasikan dalam kontrak yang telah ditandatangani kedua belah pihak dibidang pengadaan barang/jasa bagi keperluan Pemerintah di Kabupaten Badung ? 1.3
Ruang Lingkup Masalah Dalam tulisan ini, agar pembahasannya tidak menyimpang jauh dari cakupan masalah, maka ruang lingkup dalam penelitian ini hanya dibatasi pada : 1. Membahas mengenai keseimbangan kedudukan para pihak dalam hal ini pengguna barang/jasa
dan penyedia barang/jasa dalam
kontrak
pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah di Kabupaten Badung. Kedudukan para pihak adalah meliputi posisi tawar para pihak pada waktu prakontrak (sebelum kontrak ditandatangani), pada waktu kontrak ditandatangani dan pada tahap pelaksanaan kontrak, para pihak tidak ada yang berposisi lebih dominan. Disamping itu para pihak mempunyai
9
kewajiban dan hak yang telah ditentukan. Penyedia barang berkewajiban menyediakan barang/jasa yang sesuai dengan isi kontrak, dan berhak menerima pembayaran atas barang/jasa yang disediakan. Pengguna barang berkewajiban membayar harga barang/jasa yang disediakan penyedia barang dan berhak menilai hasil pekerjaan penyedia barang. 2. Mencermati implementasi/pelaksanaan prinsip keseimbangan dalam kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah di Kabupeten Badung. Implementasi dari ditandatanganinya kontrak pengadaan barang/jasa untuk keperluan pemerintah adalah pelaksanaan kewajiban oleh penyedia barang yang dalam hal ini adalah menyediakan barang sesuai dengan spesifikasi teknis, jumlah dan harga yang telah tertuang didalam kontrak, menyerahkan barang/jasa kepada pengguna barag/jasa dan selanjutnya menerima pembayaran atas barang/jasa yang sudah diserahkan kepada pengguna barang. Pengguna barang berkewajiban membayar harga dari barang/jasa yang telah diterima dari penyedia barang dan berhak menilai barang/jasa yang diserahkan baik dari segi ketepatan waktu pelaksanaan pekerjaan, kualitas (sesuai dengan spesifikasi teknis yang disepakati dalam kontrak, jumlah dari barang/jasa yang diterima pengguna barang/jasa).
10
1.4
Tujuan Penelitian 1.4.1
Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan Ilmu
Hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang objeknya masing-masing.
3
Dalam
hal ini adalah terkait dengan hukum kontrak dan penerapan hukum kontrak dalam penyelenggaraan pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah di Kabupaten Badung oleh pihak penyedia barang/jasa bagi kepentingan pemerintah. 1.4.2 1)
Tujuan Khusus Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis kedudukan para pihak dalam kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah di Kabupaten Badung.
2)
Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis implementasi asas keseimbangan dalam kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah di Kabupaten Badung.
1.5
Manfaat Penelitian 1.5.1
Manfaat Teoritis Manfaat dari penelitian ini jika ditinjau dari manfaat teoritis adalah
mampu mengkaji secara teori tentang kedudukan para pihak dan 3
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, 2008, Denpasar, hal. 25.
11
implementasi asas keseimbangan dalam kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah. 1.5.2
Manfaat Praktis Mampu memberikan kontribusi bagi para pihak yang terlibat dalam
pembuatan kontrak tentang pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah, untuk menerapkan prinsip keseimbangan.
1.6 ORIGINALITAS PENELITIAN Untuk menghindari adanya kesamaan penelitian, penulis telah melakukan penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum baik yang berupa skripsi, tesis, disertasi, maupun buku ilmiah melalui media cetak dan elektronik. Melalui penelusuran tersebut ada beberapa penelitian tesis yang juga menyangkut tentang barang/jasa bagi keperluan pemerintah yang antara lain adalah : Pertama, penulis menemukan penelitian untuk Tesis
pada Program
Magister, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana, tahun 2007, atas nama I Made Sudiada, dengan judul ”Wewenang Bupati dalam Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah di Kabupaten Jembrana”. Dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1) Kewenangan Bupati dalam pengadaan barang atau jasa pemerintah di Kabupaten Jembrana ; 2) Prosedur pelaksanaan dalam pengadaan barang atau jasa pemerintahan di Kabupaten Jembrana.
12
Penelitian ini pada dasarnya menekankan bahwa legitimasi kewenangan Bupati Jembrana dalam pengadaan barang/jasa pemerintah daerah ditentukan secara implisit di dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan tersebut tersimpul dalam di dalam kewenangan Bupati sebagai pengelola keuangan daerah, pengelola utang dan piutang daerah, dan kewenangan sebagai pengelola barang daerah. Legitimasi secara eksplisit berdasarkan pada Kepres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, bahwa Bupati sebagai pemegang kekuasaan dan tanggung jawab atas pengadaan barang/jasa pemerintah. Prosedur pengadaan barang/jasa
dimulai dengan tahap persiapan
pengadaan, tahap pelaksanaan pengadaan, dan tahap pengawasan dan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan Keppres No. 80 Tahun 2003. Kedua, Tesis
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
Medan tahun 2009, atas nama Ahmad Feri Tanjung, dengan judul ”Tanggungjawab Hukum Kuasa Pengguna Anggaran atas Perubahan Teknis Pekerjaan Pasca Penandatanganan Surat Perjanjian Kontrak Pelelangan Pengadaan Barang dan Jasa”. Dengan rumusan masalah : 1) Bagaimana ketentuan pengadaan barang atau jasa pemerintah dalam bidang kontrak konstruksi ?
13
2) Bagaimana prosedur dan teknis perubahan pekerjaan setelah kontrak ditandatangani ? 3) Bagaimana tanggungjawab Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atas perubahan
teknis
pekerjaan
yang
dilaksanakan
setelah
kontrak
ditandatangani ? Penelitian ini pada dasarnya menekankan prosedur perubahan teknis pekerjaan dilakukan setelah Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) memberi perintah tertulis kepada penyedia jasa untuk melaksanakan perubahan kontrak, atau penyedia jasa mengusulkan perubahan kontrak. Setelah adanya usulan perubahan kontrak maka dilakukan negosiasi teknis dan harga dan dibuat berita acara hasil negosiasi. Tanggungjawab KPA dalam kontrak pengadaan barang/jasa adalah anggaran yang digunakan dalam kontrak tersebut. Sebagai pejabat yang berwenang memberikan persetujuan perubahan tersebut, dengan alasan yang kuat. Jika terjadi kerugian keuangan negara akibat perubahan teknis pekerjaan menjadi tanggungjawab KPA untuk dikenakan ganti kerugian, dan jika terbukti perubahan teknis pekerjaan itu sebagai perbuatan untuk menguntungkan diri sendiri akan dikenakan tindak pidana korupsi. Ketiga, Tesis pada Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, tahun 2008, atas nama Djam’iyah, dengan judul
” Pengadaan
Barang/Jasa Publik Dalam Rangka Pelaksanaan Kerjasama Daerah”. Dengan rumusan masalah :
14
1) Kesulitan apa yang muncul dalam pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan dalam rangka kerjasama Daerah mengingat adanya Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003, Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006, dan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 ; 2) Bagaimana seyogyanya mengatasi benturan antara ketiga peraturan tersebut dalam proses pengadaan barang/jasa publik dalam rangka pelaksanaan kerjasama daerah ? Penelitian ini pada dasarnya menekankan Kerjasama daerah dengan pihak ketiga (Departemen/Lembaga Non Departemen atau sebutan lain, perusahaan swasta yang berbadan hukum, BUMN, BUMD, koperasi, yayasan dan lembaga lainnya di dalam negeri yang berbadan hukum swasta) merupakan salah satu penerapan prinsip utama otonomi daerah dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat. Melalui kerja sama daerah masyarakat didorong untuk secara aktif memberikan kontribusinya, tidak saja dalam menentukan arah dan substansi kebijakan pemerintah daerah, tapi juga dalam implementasinya. Dalam pengadaan barang/jasa publik dalam rangka pelaksanaan kerja sama daerah, jelaslah bahwa untuk, pengadaan barang/jasa publik dalam rangka pelaksanaan kerja sama daerah dengan biaya dari pemerintah/pemerintah daerah harus mengacu pada Keputusan Presiden No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan pengadaan barang/jasa publik dalam rangka pelaksanaan kerja sama daerah pengadaan barang/jasa publik dengan obyek kerja sama berupa pemanfaatan barang milik daerah
15
harus mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sedangkan pengadaan barang/jasa publik dengan obyek kerja sama daerah selain pemanfaatan barang milik daerah harus mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Kerja Sama Daerah. Sedangkan tesis ini berjudul ”Asas Keseimbangan Dalam Pengadaan Barang/Jasa Bagi Keperluan Pemerintah Di Kabupaten Badung”, dengan rumusan masalah : 1) Bagaimanakah kedudukan pengguna barang/jasa (Pemerintah) dan penyedia barang/jasa dalam kontrak yang telah ditandatangani kedua belah pihak dibidang pengadaan barang/jasa bagi keperluan Pemerintah di Kabupaten Badung ? 2) Bagaimanakah prinsip keseimbangan diimplementasikan dalam kontrak yang telah ditandatangani kedua belah pihak dibidang pengadaan barang/jasa bagi keperluan Pemerintah di Kabupaten Badung ? Dilihat dari judul dan permasalahan yang diteliti dalam tesis ini dengan tesis-tesis yang sebelumnya mengkaji permasalahan dari sudut pandang yang berbeda, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, sehingga penelitian tesis ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi isinya.
16
1.7
LANDASAN TEORITIS DAN KERANGKA BERPIKIR 1.7.1. Landasan Teoritis Istilah teori berasal dari bahasa Inggris, yaitu theory. Dalam bahasa Belanda disebut dengan theorie. Para ahli tidak mempunyai pandangan yang sama dalam memberikan pengertian atau hakekat teori. Ada ahli yang menjelaskan bahwa teori sama dengan fenomena dan ada juga yang menjelaskan banhwa teori merupakan proses atau produk dari aktivitas, serta ada juga yang menjelaskan bahwa teori merupakan suatu sistem. Berikut pandangan para ahli tentang pengertian teori :4 1.
Fred N Kerlinger menjelaskan pengertian teori sebagai berikut : ” seperangkat konsep, batasan dan proposisi yang menyajikan padangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antarvariabel, dengan tujuan untuk menjelaskan dan memprediksikan gejala itu. ” Kerlinger menyimpulkan bahwa pada hakekatnya teori menjelaskan suatu fenomena. Penjelasan dilakukan dengan cara menunjuk secara rinci variabel-variabel tertentu yang terkait dengan variabel tertentu lainnya. Variabel adalah simbol/bilangan yang padanya dilekatkan bilanga atau nilai, seperti kelas sosial, jenis kelamin, aspirasi, dan lainnya.
H. Salim, HS.,SH.,MS, 2010,” Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum”, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, hal. 7-8. (Selanjutnya disebut Salim HS II ) 4
17
2. Jonathan Turner menyebutkan tiga unsur dalam teori. Ketiga unsur tersebut meliputi : konsep, variabel dan pernyataan. Konsep adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi sehingga menjadi penjabaran abstrak teori. Konsep yang bersifat abstrak itu harus dijabarkan melalui variabel. Dengan demikian, apabila konsep itu berhubungan dengan teori, variabel berhubungan dengan observasi dan pengukuran. Dalam pernyataan (statement), dikenal adanya proposisi dan hipotesis. Proposisi adalah kesimpulan yang ditarik tentang hubungan antar konsep, sedangkan hipotesis adalah harapan-harapan terinci tentang realitas empiris yang diperoleh dari proposisi. 3. Duane R Monette. Teori adalah serangkaian praposisi atau keterangan yang saling berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi, yang mengemukakan penjelasan atas suatu gejala. Sedikitnya terdapat tiga unsur dalam suatu teori. Pertama: penjelasan tentang hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori. Kedua : teori menganut sistem deduktif , yaitu sesuatu yang bertolak dari suatu yang dan abstrak menuju ke suatu yang khusus dan nyata (umum ke khusus).
18
Ketiga : bahwa teori memberikan penjelasan atas gejala yang dikemukakannya.5 Istilah teori hukum berasal dari bahasa Inggris, yaitu theory of law. Dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtstheorie. Teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan
yang saling berkaitan berkenaan dengan
sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Dalam definisi ini teori hukum terlihat sebagai suatu produk. Sebab, keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoretik bidang hukum. Namun disisi lain teori hukum dapat pula dipandang sebagai sebagai suatu proses. Dalam hal ini perhatian diarahkan kepada kegiatan teoritik tentang hukum atau pada kegiatan penelitian teoritik bidang hukum itu sendiri dan ukan pada hasil kegiatan-kegiatan itu. Disini terlihat bahwa perkataan ”teori” memiliki banyak arti : teori dapat dipandang sebagai suatu proses atau aktivitas dan sebagai produk atau hasil aktivitas itu, dan hasil itu terdiri atas suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan tentang suatu objek tertentu.6 Ada dua manfaat teori, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis teori adalah sebagai alat dalam menganalisis dan mengkaji penelitian-penelitian yang akan dikembangkan oleh para ahli. Sedangkan manfaat praktis teori adalah sebagai alat atau instrumen dalam mengkaji dan Sutan Remy Sjahdeini, 1993,”Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia”, Institut Bakir Indonesia, Jakarta, hal. 8. 6 Mr. drs.J.J Bruggink, 1999, “Refleksi Tentang Hukum” alihbahasa oleh Arief Sidharta,SH, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 160. 5
19
menganalisis sebuah fenomena-fenomena yang timbul dan berkembang dalam masyarakat, bangsa, dan negara.7 Berbagai teori yang digunakan dalam penelitian ini diketengahkan teori dan asas-asas hukum serta pandangan para sarjana sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. 1. Teori tentang Momentum Terjadinya Kontrak. Teori momentum terjadinya kontrak merupakan teori yang dikenal dalam hukum kontrak. Tetapi didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata) tidak secara tegas disebutkan tentang momentum terjadinya kontrak. Di dalam pasal 1320 KUH Perdata hanya disebutkan cukup dengan adanya konsensus para pihak. Teori momentum terjadinya kontrak merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis tentang saat terjadinya kontrak yan dibuat oleh para pihak.8 Teori momentum terjadinya kontrak dibagi menjadi empat teori yang meliputi :9 1) Teori pernyataan (Uitingstheorie) Menurut teori pernyataan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menjatuhkan ballpoint untuk
Salim HS II, “Op-Cit”, hal. 1. Salim HS II, Ibid,” hal. 165. 9 Sri Soedewi Masjhoen Sofyan, 1980,”Hukum Perjanjian”,Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 20-21. 7 8
20
menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis. 2)
Teori Pengiriman (Verzendtheorie) Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini adalah bagaimana hal itu bias diketahui. Bisa saja, walau sudah
dikirim,
tetapi
tidak
diketahui
oleh
pihak
yang
menawarkan. Teori ini juga sangat teoritis, dianggap terjadinya kesepakatan secara secara otomatis. 3)
Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie) Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya penerimaan (acceptatie), tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori ini adalah bagaimana ia mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.
4)
Teori Penerimaan (Ontvangstheorie) Menurut teori penerimaan toeteming terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
Pada uraian diatas telah dikemukakan bahwa pada intinya momentum terjadinya kontrak, yaitu pada saat terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara para pihak yang terlibat dalam
21
pembuatan kontrak. Namun, adakalanya tidak ada persesuaian antara pernyataan dan kehendak. Teori tentang ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan dapat digolongkan menjadi tiga teori. Ketiga teori tersebut meliputi :10 1)
Teori Kehendak (Wilstheorie) Menurut teori kehendak, perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran,
kehendaklah
yang
menyebabkan
terjadinya
perjanjian. Kelemahan teori ini menimbulkan kesulitan apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. 2)
Teori Pernyataan (Verklaringtheorie) Menurut teori pernyataan, kehendak merupakan proses bathiniah yang tidak diketahui oleh orang lain. Akan tetapi, yang menyebabkan terjadinya perjajian adalah pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan, perjanjian tetap terjadi.
3) Teori Kepercayaan (Vertrouwenstheorie) Menurut teori kepercayaan, tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepecayaan saja yang menimbulkan perjanjian. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar dikehendaki. Kelemahan teori ini adalah kepercayaan itu sulit dinilai.
H Salim HS., SH.,MS, 2008,”Perancangan Kontrak & Memorandum Of Understanding (MoU)”, Ed. 1, Cet. 4, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 26-27. (Selanjutnya disebut Salim HS III) 10
22
Ada tiga alternatif pemecahan dari kesulitan yang dihadapi ketiga teori diatas. Ketiga alternatif tersebut, seperti berikut ini :11 1)
Dengan tetap mempertahankan teori kehendak, yaitu menganggap perjanjian itu terjadi apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Pemecahannya : akan tetapi pihak lawan tetap mendapat ganti rugi, karena pihak lawan mengharapkannya.
2)
Dengan tetap berpegang pada teori kehendak, hanya dalam pelaksanaannya kurang ketat, yaitu dengan menganggap kehendak itu ada.
3)
Penyelesaiannya dengan melihat pada perjanjian baku (standartd contract), yaitu suatu perjanjian yang didasarkan kepada ketentuan umum di dalamnya dan biasanya perjanjian dituangkan dalam bentuk formulir.
2. Teori Melebur Oleh Pemerintah Pemerintah merupakan badan hukum publik, yang salah satu ciri dari pemilikan dan penerapan wewenang menurut hukum publik tersebut adalah, bahwa pelaksanaan wewenang demikian itu membawa akibat lahirnya kewajiban-kewajiban dan hak-hak bagi warga masyarakat yang bersangkutan. Lagipula penerapan wewenang-wewenang tersebut selalu dilakukan
secara
sepihak,
karena
itu
pemerintah
sebagai
penyandang/pendukung kekuasaan umum yang cirinya adalah menurut
11
Salim HS II.,”Op-Cit”, hal. 168
23
hukum, pemerintah secara sepihak dapat memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri, tetapi juga harus didukung oleh pihak swasta dalam mewujudkan proyek-proyek pemerintah, seperti salah satunya adalah pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah yang sebelum dilaksanakan dituangkan terlebih dahulu dalam bentuk kontrak, yang mana kontrak merupakan bagian dari hukum privat. Sebagaiman telah diuraikan diatas bahwa pemerintah merupakan badan hukum publik, tetapi di sisi lain pemerintah melakukan salah satu bagian dari hukum privat yaitu kontrak, maka pemerintah akan melebur kedalam tindakan hukum perdata, maka jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan kontrak, sengketa itu akan menjadi wewenang hakim perdata.12 Manakala suatu instansi pemerintah mengadakan kontrak (tunduk pada hukum perdata) dengan warga masyarakat, maka menurut asas hukum dalam hukum perdata, pemerintah dianggap berkedudukan sejajar dengan lawan berkontraknya (staat op gelijke voet al seen privaat person). Jadi karena status yang sejajar seperti itu akan memberikan jaminan, bahwa instansi pemerintah yang bersangkutan itu tidak dalam berkedudukan yang diistimewakan (tidak gepreviligieerd) baik pada
Indroharto, 1995, ”Perbuatan Pemerintahan Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata”, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara, Jakarta, hal. 177 12
24
waktu menyusun maupun pada waktu melaksanakan isi kontrak tersebut.13 Dalam garis besarnya macam-macamnya perjanjian yang biasa digunakan pemerintah pada waktu melaksanakan urusan pemerintahan yang merupakan tugas kewajibannya dapat dibedakan dalam :14 1) Perjanjian perdata biasa; 2) Perjanjian mengenai wewenangan pemerintah; 3) Perjanjian mengenai kebijaksanaan akan dilaksanakan. Kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah termasuk dalam perjanjian perdata biasa. Perjanjian ini merupakan bentuk perjanjian yang paling banyak dilakukan. Setiap hari ada saja suatu instansi pemerintah yang melaksanakan perjanjian bentuk ini, seperti jual beli alat-alat keperluan kantor, melakukan hubungan sewa menyewa, pemborongan pekerjaan dan sebagainya. Perjanjian
perdata
semacam
itu
membawa
akibat
dipertanggungjawabkannya harta kekayaan negara guna memenuhi perjanjian tersebut. Sebagaimana diketahui harta kekayaan negara itu dikuasai oleh lembaga-lembaga hukum publik dari organisasi negara kita
seperti
departemen-departemen,
propinsi,
kabupaten
dan
sebagainya. Lembaga-lembaga hukum publik ini selain menjadi bagian dari organisasi negara, juga mempunyai kemandirian, karena ia berkedudukan sebagai badan hukum perdata. Sebagai badan hukum 13 14
Indroharto, Ibid, hal. 179. Indroharto, Ibid, hal. 175.
25
perdata demikian itu lembaga-lembaga hukum publik tersebut melakukan hubungan perjanjian-perjanjian perdata dengan mengikatkan harta kekayaannya guna memenuhi isi perjanjian yang telah dilakukan tersebut. 15 3. Teori Efektifitas Hukum Efektifitas hukum berhubungan erat dengan penegakan hukum. Secara konsepsional inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan penyerasian hubungan nilai-nilai, yang dijabarkan kedalam kaedahkaedah yang mantap dan mengejawantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan dunia. Keefektifan hukum adalah situasi dimana hukum yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati dan berdaya guna sebagai alat kontrol sosial atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut. Menurut
Soerjono Soekanto
ada beberapa faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum yaitu : 16 1) Faktor hukumnya sendiri; 2) Faktor penegakan hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum; 3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4) Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan; dan 5) Faktor Kebudayaan.
15
Indroharto, Ibid, hal. 176 Soerjono Soekanto, 1982, “Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum”, CV. Rajawali Jakarta, hal. 43. 16
26
Kelima faktor tersebut merupakan inti dari penegakan hukum dan menjadi tolok ukur efektifitas hukum. Apabila kelima faktor tersebut dipenuhi secara serempak dalam pelaksanaan hukum yang berlaku, hal ini berarti bahwa hukum tersebut berlaku secara efektif.17 Selanjutnya
Soerjono
Soekanto
juga
mengemukakan
pandangannya berkaitan dengan efektifitas hukum. Menurutnya, ada beberapa faktor seseorang berperilaku tertentu, yaitu : 18 1) Memperhitungkan untung rugi; 2) Menjaga hubungan baik dengan sesamanya atau penguasa; 3) Sesuai dengan hati nuraninya; 4) Ada tekanan-tekanan tertentu. Bekerjanya teori efektivitas hukum meliputi aspek hukum secara luas, baik yang berdimensi publik maupun perdata. Dibidang hukum perdata, perbincangan tentang hukum kontrak selalu aktual dan menarik untuk dikaji. Hal ini terkait dengan makin berkembangnya kehidupan masyarakat di dalam melakukan interaksi antara satu dengan yang lainnya. 4. Teori Keadilan. Menurut John Rawls dalam Disertasi I Nyoman Putu Budiartha, menyatakan suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual. Oleh karena itu diperlukan prinsip-prinsip keadilanyang lebih mengutamakan asas hak daripada asas manfaat. John Rawls, merumuskan dua prinsip keadilan distributif sebagai berikut : Otje Salman, 1989, ”Beberapa Aspek Sosiologi Hukum”, Alumni, Bandung, hal. 63. Soerjono Soekanto, 1985, ”Efektifitas Hukum dan Peranan Sanksi”, Remaja Karya, Bandung, hal. 19. 17 18
27
1) The greatest equal prinsiple, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak asasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang, maka keadilan akan terwujud. 2) Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga perlu diperhatikan asas atau prinsip berikut : a. The different principle ; dan b. The principle offair equality of opportunity. Prinsip ini diharapkan memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang. Konsep kesamaan menurut John Rawls harus dipahami sebagai ” kesetaraan kedudukan dan hak ”.19
19 Budiartha, I Nyoman Putu, 2011, “ Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Ditinjau Dari Prinsip Keadilan, Kepastian Hukum, Dan Hak Asasi Manusia”,Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hal. 53-55.
28
Berbicara mengenai kontrak, maka orang akan langsung berfikir bahwa yang dimaksudkan adalah suatu perjanjian tertulis. Kontrak yang dikenal dewasa ini di Indonesia, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah mengalami perubahan dan perkembangan. Dalam perkembangan saat ini, kebanyakan perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis, bahkan dewasa ini terjadi kecenderungan untuk membuat perjanjian dalam bentuk baku dan standard. Perjanjian yang dibuat dalam bentuk baku ini, sesuai dengan kecendrungan masyarakat untuk bertindak secara praktis guna mencapai efisiensi dalam hal pemanfaatan waktu, dana dan tenaga. Sebelum membahas tentang kontrak terlebih dahulu akan dibahas tentang perjanjian. Istilah perjanjian yang sebelumnya dikenal dengan persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, yang bersumber dari Pasal 1313 KUH Perdata, dalam bahasa aslinya berbunyi: Eene overeenkomst is eene handeling waarbij een of meer personen zich jegens een of meer andere verbinden. Kamus hukum menerjemahkan istilah Overeenkomst dengan persetujuan atau permufakatan yang juga sinonim dengan istilah agreement atau conformity.20 Overeenkomst dalam struktur bahasa Belanda termasuk jenis kata benda dan bersifat tunggal, oleh karenanya ketika berbicara tentang persetujuan maka yang digunakan adalah overeenkomst. Sementara itu jika
20
Yan Pramadya Puspa, 1977, Kamus Hukum Edisi Bahasa Belanda-Indonesia-Inggris, Aneka Ilmu, Semarang, hal. 248.
29
berbicara tentang segala persetujuan, macam-macam persetujuan atau juga persetujuan-persetujuan, digunakan overeenkomsten. Overeenkomst dalam artinya sebagai persetujuan diperbedakan dengan akkoord yang artinya setuju demikian juga dengan eenstemmig yaitu sepakat, karena makna dari persetujuan adalah saling menyetujui atau saling sepakat.
Walaupun
pengertian
saling
sepakat
diartikan
sebagai
persepakatan, dimana persepakatan adalah terjemahan overeenkomen, tidak bisa semata-mata dipersamakan dengan persetujuan karena overeenkomst lebih menekankan kepastian dalam sebuah kesepakatan. Oleh karenanya terdapat kata verbinden didalam penjabaran pengertian overeenkomst yang artinya membalut. Berkaitan dengan istilah perjanjian, adalah hal yang tidak asing lagi dikalangan sarjana hukum Indonesia bahwa terdapat istilah lain yang cenderung dipersamakan dengan perjanjian, yaitu kontrak. Artikel yang ditulis Sirait dalam golden contract blogspot menjelaskan bahwa antara kontrak dan perjanjian itu bermakna sama namun berbeda dalam penalarannya. Persamaannya adalah adanya suatu kesepakatan melakukan suatu hal, sedangkan perbedaannya adalah perjanjian dari segi bentuk dapat berupa perjanjian tertulis dan tidak tertulis sedang dari segi bentuk kontrak cenderung berbentuk tertulis. Selanjutnya Sirait juga berpendapat bahwa
30
penggunaan kata kontrak dan perjanjian hanyalah sebatas istilah saja, kontrak dikontaminasi oleh istilah bahasa Inggris yaitu contract.21 Perjanjian tidak selalu dapat disamakan dengan kontrak, hal ini terlihat dari pengertian perjanjian pada ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tidak berisi kata “perjanjian dibuat secara tertulis”. Pengertian Perjanjian dalam pasal 1313 KUH Perdata
hanya menyebutkan sebagai
“suatu
perbuatan di mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih “. Secara teoritik perjanjian tidaklah selalu dapat disamakan dengan kontrak. Karena secara katagorikal perjanjian bisa tertulis dan tidak tertulis, sedangkan terminologi kontrak pasti dibuat secara tertulis. Disamping itu pula perjanjian tidak selalu dibuat untuk kepentingan bisnis (keuntungan) semata, tetapi kontrak dibuat pasti untuk hal-hal yang mendatangkan keuntungan. Membedakan perjanjian dengan kontrak hanya penting bagi kepentingan ilmu pengetahuan. Yang essensial dari perjanjian adalah terkait dengan keabsahan yang mesti diikuti bagi siapapun yang berkehendak untuk melakukannya. Hal ini disebabkan karena karakter norma keabsahan perjanjian bersifat imperatif. Kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah bukan merupakan kontrak baku. Karena sebelum ditandatangani para pihak
21
Sirait, 2008, artikel Golden Contract Blogspot: Perbedaan Kontrak dengan Perjanjian, http://goldencontract.blogspot.com, 13 januari 2008, diakses 28 Juli 2008
31
terlebih dahulu membicarakan materi kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah. Black’s Law Dictionary, memberi pengertian
Contract, “ An
agreement between two or more persons which creates an obligation to do or not to do a particular thing “ (secara bebas dapat diterjemahkan sebagai “kontrak adalah perjanjian (tertulis) antara dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal tertentu)”. 22 Hasanudin Rahman memberikan pengertian kontrak sebagai suatu media atau piranti perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis sebagai suatu alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan. Atau dengan kata lain kontrak adalah sebagai suatu perjanjian yang sengaja dibuat secara tertulis sebagai suatu alat bukti bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut. 23 Pengertian lain diberikan juga oleh Abdul R. Saliman, dkk. yang menyatakan bahwa kontrak adalah peristiwa di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis. 24 Sumber hukum kontrak dapat dilihat pada berbagai ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, seperti KUH Perdata,
Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary, hal. 224. Hasanuddin Rahman, 2003, “Contract Drafting (Seri Ketrampilan Merancang Kontrak Bisnis)”, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 3. 24 Abdul R Saliman, 2004, “Esensi Hukum Bisnis Indonesia (Teori dan Contoh Kasus)”, Prenada Media, Jakarta, hal.12. 22 23
32
utamanya dalam Buku Ke Tiga (3) tentang Perikatan (verbintenis), khususnya mengenai “Perjanjian”25. Ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan dilahirkan dari perjanjian dan undang-undang”. Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa perjanjian mempunyai arti yang lebih luas daripada kontrak. Sedangkan perjanjian dapat berarti perjanjian yang bersifat sosial yang belum tentu memberikan keuntungan bagi para pihak secara komersil. Syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur di dalam pasal 1320 KUH Perdata sebagai berikut : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. Dua syarat yang pertama adalah syarat yang menyangkut subyeknya. Apabila salah satu unsur tidak terpenuhi dapat dimintakan pembatalan, sedangkan dua syarat yang terakhir menyangkut obyeknya dan apabila salah satu unsur tidak terpenuhi maka akan batal demi hukum. Suatu aturan atau norma pada hakikatnya mempunyai dasar filosofis serta pijakan asas atau prinsip sebagai rohnya. Merupakan suatu
25
Subekti, 1984, “Pokok-Pokok Hukum Perdata”, Intermasa, Jakarta, hal. 122.
33
kejanggalan apabila suatu norma tidak mempunyai dasar filosofis serta pijakan asas atau prinsip dalam konteks operasionalnya. 26 Terkait dengan pengertian ”asas” atau ”prinsip” yang dalam bahasa Belanda disebut ”beginsel” atau dalam bahasa Inggris ”principle” atau dalam bahasa Latin disebut”principium”(primus artinya pertama, dan capere artinya mengambil atau menangkap), secara leksikal berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berpikir atau bertindak atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya.
Kedudukan asas hukum dalam semua sistem hukum yang didalamnya mengatur sistem norma hukum mempunyai peranan yang penting. Asas hukum merupakan landasan atau pondasi yang menopang kukuhnya suatu norma hukum. Menurut Van Eikema Homes menjelaskan bahwa asas hukum bukanlah norma hukum yang kongkret, tetapi sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Jadi asas hukum merupakan dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif, sehingga dalam pembentukan hukum praktis harus berorientasi pada asas-asas hukum.27 Posisi asas hukum
sebagai meta-norma hukum pada dasarnya
memberikan arah, tujuan serta penilaian fundamental bagi keberadaan suatu norma hukum. Banyak ahli yang menyatakan bahwa asas hukum merupakan
26 Agus Yudha Hernoko, 2010, ” Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial”, Ed. 1, Cet. 1, Kencana, Jakarta, hal. 21. 27 Agus Yudha Hernoko, Ibid, hal. 22.
34
jantung atau hatinya norma hukum, salah satu ahli yang menyatakan adalah G.W Paton, hal ini didasari pemikiran :28 a. Pertama, asas hukum merupakan ”landasan” yang paling luas bagi lahirnya suatu norma hukum. Dengan demikian, setiap norma hukum itu pada akhirnya dapat dikembalikan pada asas hukum-asas hukum dimaksud; b. Kedua, asas hukum merupakan ”alasan” bagi lahirnya suatu norma hukum atau merupakan ”ratio legis” dari norma hukum. Asas hukum tidak akan pernah habis kekuatannya dengan melahirkan norma hukum, melainkan tetap ada dan akan terus melahirkan norma hukum-norma hukum baru. Asas hukum berfungsi sebagai pondasi yang memberikan arah, tujuan serta penilaian fundamental, mengandung nilai-nilai dan tuntutantuntutan etis.
Meskipun asas hukum bukan merupakan norma hukum,
namun tidak ada norma hukum yang dapat dipahami tanpa mengetahui asasasas hukum yang terdapat didalamnya. 29 Dalam pembuatan kontrak dilihat dari ketentuan pasal 1320 KUH Perdata, ada beberapa asas hukum perjanjian yang perlu diperhatikan, sehingga perjanjian tersebut dapat dikatakan sah. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut : 1. Asas Kebebasan Berkontrak. Kebebasan berkontrak : a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian; b. Kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat perjanjian; c. Kebebasan untuk menetapkan bentuk perjanjian; d. Kebebasan untuk menetapkan isi perjanjian; 28 29
Satjipto Rahardjo, 2000, ”Ilmu Hukum”, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 45. Ibid , hal. 47.
35
e. Kebebasan untuk menetapkan cara pembuat perjanjian. 2. Asas Konsensualitas. Asas ini dapat ditemukan dalam pasal 1320 dan pasal 1338 KUH Perdata Dalam pasal 1320 KUH Perdata penyebutannya tegas sedangkan dalam pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan kontrak. Pada umumnya asas ini berarti bahwa perjanjian sudah dilahirkan atau ditetapkan sejak tercapainya sepakat di antara para pihak yang membuat perjanjian. 3. Asas Mengikat Sebagai Undang-Undang. Di dalam asas hukum pada umumnya dikenal adanya asas Pacta Sunt Servanda yang berarti janji itu mengikat, bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pihak tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut. Mengikatnya secara penuh atas kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut oleh hukum kekuatannya dianggap sama saja dengan kekuatan mengikat dari suatu undangundang.30 Hal ini mengandung arti bahwa para pihak berkewajiban mentaati isi dan syarat yang telah ditetapkan bersama sebagaimana kewajiban sebuah undang-undang. Munir Fuady , “Pengantar Hukum Bisnis ( Menata Bisnis Modern di Era Global)”, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal.12. (Selanjutnya disebut Munir Fuady I) 30
36
Asas ini disusun dalam suasana asas kebebasan dalam menuntut perjanjian, sehingga sangat wajar apabila yang telah disepakati para pihak juga ditaati oleh mereka. 4. Asas Itikad Baik. Itikad baik sangat erat kaitannya dengan kepatutan atau keadilan dan ukuran itikad baik ini harus ada pada para pihak. Menurut pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad baik. Rumusan dari pasal 1338 ayat (3) mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata. Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal pelaksanaan dari suatu kontrak, bukan pada suatu pembuatan dari kontrak. Sebab itikad baik dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh kausa yang halal dari pasal 1320 KUH Perdata. 5. Asas Kepribadian. Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Asas ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata berbunyi ”Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian melainkan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.” Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi
”Perjanjian hanya berlaku antara
pihak yang membuatnya.” Ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para
37
pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUHPerdata, yang berbunyi : ”Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya. Disamping kelima asas tersebut diatas, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan
8 (delapan) asas hukum
perikatan nasional. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut ini :31 1.
Asas kepercayaan. Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian ini tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya
31
Salim HS I, hal. 13-14
38
kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undangundang. 2. Asas Persamaan Hukum. Yang dimaksud dengan asas persamaan hukum adalah bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum. Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai mahluk ciptaan Tuhan. 3. Asas Keseimbangan. Asas keseimbangan merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Dengan adanya asas ini maka berarti bahwa para pihak mempunyai kedudukan yang seimbang, tidak ada pihak yang memposisikan dirinya sebagai pihak yang mendominasi atau didomisani oleh pihak yang lain. Pihak pengguna barang mempunyai kekuatan untuk menuntut penyedia barang untuk melaksanakan prestasi sesuai dengan kontrak yang telah dibuat, namun disisi lain pihak pengguna barang juga memikul beban untuk melunasi prestasi dengan membayar apa yang telah dilakukan atau disediakan oleh pihak penyedia barang/jasa. 4. Asas Kepastian Hukum.
39
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. 5. Asas Moral. Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu
seseorang
melakukan
perbuatan
dengan
sukarela.
Yang
bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan sebagai panggilan hati nuraninya. 6. Asas Kepatutan. Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUH Perdata, asas kepatutan ini berkaitan dengan isi perjanjian. Melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. 7. Asas Kebiasaan. Asas ini diatur dalam pasal 1339 jo. 1347 KUH Perdata, yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas, tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang diikuti. 8. Asas perlindungan.
40
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa para pihak harus yang terlibat dalam perjanjian harus dilindungi oleh hukum. Kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah merupakan kontrak yang dikenal dalam kegiatan pengadaan barang/jasa dilakukan oleh pemerintah, yang sumber pembiayaannya
berasal dari
APBN/APBD. Batasan kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah dapat ditelusuri dari Perpres yang mengatur pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah yaitu Perpres No. 54 Tahun 2010. Dalam pasal 1 angka 22 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Kontrak pengadaan barang/jasa didefinisikan sebagai perjanjian tertulis antara PPK dengan penyedia barang/jasa atau pengelola swakelola. Yang dimaksud dengan PPK atau Pejabat Pembuat Komitmen adalah pejabat yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa. (pasal 1 angka 7 Perpres No. 54 Tahun 2010). Sedangkan yang dimaksud dengan penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang
menyediakan barang/pekerjaan
konstruksi/jasa konsultasi/ jasa lainnya (pasal 1 angka 12 Perpres No. 54 Tahun 2010) Menurut Salim HS, kontrak pengadaan barang/jasa adalah : ” kontrak yang dibuat antara pengguna barang dengan penyedia barang, dimana pengguna barang berhak atas prestasi yang dilakukan oleh penyedia
41
barang, dan penyedia barang berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya, yaitu pengadaan barang, sesuai dengan yang telah disepakatinya.”32 Sebagaimana telah ditentukan dalam pasal 86 Perpres No. 54 Tahun 2010, pengadaan barang/jasa bagi pemerintah harus dituangkan dalam bentuk kontrak tertulis dan para pihak menandatangani kontrak selambatnya 14 (empat belas) hari terhitung diterbitkannya Surat Keputusan Penetapan Penyedia Barang/Jasa (SKPPBJ) dan setelah penyedia barang menyerahkan surat jaminan pelaksanaan sebesar 5 % (lima persen) dari nilai kontrak kepada pengguna barang/jasa. Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak, para pihak yakni pelaksana kegiatan selaku pengguna barang yang ditugaskan dalam SKPPBJ dan penyedia barang berhak menentukan isi perjanjian dalam kontrak asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kepatutan dan kebiasaan. Setelah melalui proses pemilihan penyedia barang melalui pemilihan langsung, penunjukan langsung, ataupun melalui pelelangan, maka para pihak akan membicarakan penyusunan kontrak pengadaan barang/jasa bagi pemerintah. Pada saat inilah akan dibicarakan mengenai isi kontrak yang merupakan pokok dari suatu kontrak. Pada bagian isi inilah para pihak mencantumkan segala hal atau pokok-pokok yang dianggap perlu yang merupakan kehendak para pihak sebagai pernyataan tertulis yang sah. Sebagai pokok kontrak, hal ini diharapkan dapat mencakup dan mengandung semua isi perjanjian yang harus dipenuhi oleh para pihak dan 32 Salim HS, 2006,”Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata (Buku Kesatu)”, Ed.1, Cet. 1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 258. (Selanjutnya disebut Salim HS IV)
42
memuat secara mendetail mengenai objek perjanjian, hak dan kewajiban, serta uraian lengkap mengenai prestasi. Pada Perpres No. 54 Tahun 2010 tidak diatur secara tegas mengenai isi kontrak, tapi hal ini dijelaskan secara rinci pada Lampiran II Perpres No. 54 Tahun 2010, yang mana diatur bahwa kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah berisikan sekurang-kurangnya mengenai ketentuan sebagai berikut : (a) para pihak yang menandatangani kontrak meliputi nama, jabatan, dan alamat; (b) pokok pekerjaan yang diperjanjikan dengan uraian yang jelas mengenai jenis dan jumlah barang/jasa yang diperjanjikan; (c) hak dan kewajiban para pihak yang terikat di dalam perjanjian (d) serta nilai atau harga kontrak pekerjaan, syarat-syarat pembayaran; (e) persyaratan dan spesifikasi teknis yang jelas dan terinci; (f) tempat dan jangka waktu penyelesaian/penyerahan dengan disertai jadwal waktu penyelesaian/penyerahan yang pasti serta syarat-syarat penyerahannya; (g) jaminan teknis/hasil pekerjaan yang dilaksanakan dan/atau ketentuan mengenai kelalaian; (h) ketentuan mengenai cidera janji dan sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi kewajibannya; (i) ketentuan mengenai pemutusan kontrak secara sepihak; (j) ketentuan mengenai keadaan memaksa; (k) ketentuan mengenai kewajiban para pihak dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan pekerjaan. (l) Ketentuan mengenai perlindungan tenaga kerja; (m) Ketentuan mengenai bentuk dan tanggung jawab gangguan lingkungan; (n) ketentuan mengenai penyelesaian perselisihan. Dalam huruf (h) dinyatakan mengenai cidera janji dan sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi kewajiban. Pada Perpres No. 54 Tahun 2010 dinyatakan “para pihak” , yang tentu saja ini berarti para pihak yang terlibat yaitu pengguna barang/jasa atau pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) ataupun Unit Layanan Pengadaan (ULP)
43
dan pihak penyedia barang, tetapi dalam kontrak pengadaan barang/jasa pada umumnya yang terjadi di Kabupaten Badung, sanksi hanya dijatuhkan kepada Pihak Kedua (penyedia barang/jasa atau rekanan) dan sama sekali dalam kontrak tidak disebutkan sanksi bagi pemerintah (pengguna barang/jasa) apabila pemeritah tidak memenuhi kewajibannya atau cidera janji ataupun melakuka kecurangan pada waktu penetapan pemenang. Disinilah terlihat bahwa kedudukan para pihak dalam kontrak pengadaan barang/jasa bagi pemerintah menjadi tidak seimbang. Mengenai sanksi bagi para pihak juga diatur pada pasal 118 – pasal 124 Perpres No. 54 Tahun 2010. Sanksi yang dikenakan tidak hanya kepada penyedia barang, tetapi juga kepada pengguna barang. Sanksi yang dikenakan kepada penyedia barang yang terlambat menyelesaikan pekerjaan akibat kelalaian penyedia barang adalah penyedia barang yang bersangkutan dikenakan denda keterlambatan sekurang-kurangnya satu per seribu perhari dari nilai kontrak dan sanksi bagi penyedia barang bila melakukan kecurangan akan dimasukkan dalam daftar hitam. Sanksi yang dikenakan kepada pengguna barang karena terjadi keterlambatan pembayaran karena semata-mata kesalahan atau kelalaian pengguna barang adalah pengguna barang membayar kerugian yang ditanggung penyedia barang akibat keterlambatan dimaksud, yang besarannya ditetapkan dalam kontrak sesuai kertentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
44
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 50 ayat (2) Perpres No. 54 Tahun 2010 ditetapkan jenis kontrak dalam pengadaan barang/jasa untuk keperluan pemerintah sebagai berikut : a. Kontrak berdasarkan cara pembayaran; b. Kontrak berdasarkan Tahun Anggaran; c. Kontrak berdasarkan sumber pendanaan; dan d. Kontrak berdasarkan jenis pekerjaan. Kontrak pengadaan barang/jasa berdasarkan cara pembayaran dibedakan menjadi : a. Kontrak lumpsum; b. Kontrak harga satuan; c. Kontrak gabungan lumpsum dan harga satuan; d. Kontrak persentase; dan e. Kontrak terima jadi (turn key). Kontrak berdasarkan pembebanan Tahun Anggaran dibedakan menjadi : a. Kontrak tahun tunggal; b. Kontrak tahun jamak. Kontrak berdasarkan sumber pendanaan dibedakan menjadi : a.
kontrak pengadaan tunggal;
b.
kontrak pengadaan jamak;
c.
Kontrak payung (framework contract).
Kontrak berdasarkan jenis pekerjaan dibedakan menjadi : a. Kontrak pengadaan pekerjaan tunggal;
45
b. Kontrak pengadaan pekerjaan terintegrasi. Selanjutnya masing-masing jenis kontrak berdasarkan bentuk imbalan tersebut diuraikan sebagai berikut : 1. Kontrak Lump sum adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, dengan jumlah harga yang pasti dan tetap. 2. Kontrak Harga Satuan adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, berdasarkan harga satuan yang pasti dan tetap untuk setiap satuan/unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu, yang volume pekerjaannya masih bersifat perkiraan sementara, sedangkan pembayarannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas volume pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa. 3. Kontrak gabungan lump sum dan harga satuan adalah kontrak yang merupakan gabungan lump sum dan harga satuan dalam satu pekerjaan yang diperjanjikan. 4. Kontrak persentase adalah kontrak pelaksanaan jasa konsultan di bidang konstruksi atau pekerjaan pemborongan tertentu, dimana konsultas yang bersangkutan menerima imbalan jasa berdasarkan persentase tertentu dari nilai pekerjaan fisik konstruksi/pemborongan tertentu. 5. Kontrak terima jadi adalah kontrak pengadaan barang/jasa pemborongan atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh bangunan/konstruksi, peralatan dan jaringan utama maupun penunjangnya dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan kriteria kinerja yang telah ditetapkan. Jenis kontrak berdasarkan tahun anggaran pelaksanaan diuraikan sebagai berikut : 1. Kontrak tahun tunggal adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa 1 (satu) tahun anggaran. 2. Kontrak tahun jamak adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran yang dilakukan atas persetujuan oleh Menteri Keuangan untuk pengadaan yang dibiayai APBN, Gubernur untuk pengadaan yang
46
dibiayai APBD Provinsi, Bupati/Walikota untuk pengadaan yang dibiayai APBD Kabupaten/Kota. Jenis kontrak berdasarkan sumber pendanaan diuraikan sebagai berikut : 1. Kontrak pengadaan tunggal adalah kontrak antara satu PPK atau satu proyek dengan satu penyedia barang/jasa tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu. 2. Kontrak pengadaan bersama adalah kontrak antara beberapa PPK atau beberapa
proyek
dengan
penyedia
barang/jasa
tertentu
untuk
menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu sesuai dengan kegiatan bersama yang jelas dari masing-masing unit kerja dan pendanaan bersama yang dituangkan dalam kesepakatan bersama. 3. Kontrak Payung (Framework Contract) merupakan Kontrak Harga Satuan antara Pemerintah dengan Penyedia Barang/Jasa. Jenis kontrak berdasarkan jenis pekerjaan diuraikan sebagai berikut: 1.
Kontrak Pengadaan Pekerjaan Tunggal merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang hanya terdiri dari 1 (satu) pekerjaan perencanaan, pelaksanaan atau pengawasan;
2.
Kontrak Pengadaan Pekerjaan Terintegrasi merupakan Kontrak Pengadaan Pekerjaan Konstruksi yang bersifat kompleks dengan menggabungkan pengawasan.
kegiatan
perencanaan,
pelaksanaan
dan/atau
47
Dalam pembahasan tulisan ini kontrak yang dimaksudkan adalah kontrak yang termasuk dalam jenis kontrak berdasarkan bentuk imbalan, khususnya lump sum yang sudah tentu pembuatan dan penandatanganan kontrak dilakukan oleh para pihak (pengguna barang/jasa sebagai pihak pertama dan penyedia barang/jasa sebagai pihak kedua) setelah melalui prosedur sesuai ketentuan Perpres Nomor 54 Tahun 2010.
1.7. 2 Kerangka Berpikir Berdasarkan landasan
teori yang digunakan untuk mengkaji
permasalahan dapat diajukan kerangka berpikir bahwa sahnya suatu kontrak harus memenuhi syarat subyektif dan syarat obyektif sesuai dengan yang telah diatur pada pasal 1320 KUH Perdata. Dalam merancang dokumen kontrak sebagai kehendak para pihak secara formal mesti memenuhi syaratsyarat keabsahan sebuah kontrak. Rumusan norma di dalam kontrak mesti merujuk pada asas-asas dalam hukum kontrak yang berlaku. Salah satu dari asas penting yang mencerminkan kedudukan para pihak di dalam membuat kontrak adalah asas keseimbangan. Asas ini terkait dengan sifat yang hakiki yang melekat pada manusia sebagai subyek hukum mesti diperlakukan seimbang. Substansi kontrak yang tidak mengimplementasikan asas keseimbangan dapat menjadi sebab kedudukan salah satu pihak menjadi lemah. Kelemahan kedudukan salah satu pihak menjadi sebab timbulnya kerugian dan perlakuan yang tidak adil. Kondisi ini sangat tidak relevan di era keterbukaan, dan perlindungan hak-hak asasi manusia di era reformasi
48
sekarang ini. Asas keseimbangan ini secara konstitusional disebut dengan asas equality before the law. Pada kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah, ternyata dalam penerapan sanksi hanya dikenakan kepada Pihak Kedua atau pihak penyedia barang/jasa saja, tentu hal ini menyebabkan kedudukan para pihak menjadi tidak seimbang. Padahal dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 telah dengan jelas menyebutkan bahwa apabila para pihak melakukan cidera janji maka akan dikenakan sanksi. Mengacu dari teori efektifitas hukum, maka Perpres No. 54 Tahun 2010 belumlah dapat dilaksanakan secara efektif. 1. Belum terimplementasinya ketentuan dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010. Salah satu ketentuan mengenai materi kontrak, yaitu ketentuan mengenai cidera janji dan sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam kontrak pengadaan barang/jasa untuk kepentingan pemerintah, hanya mengatur sanksi bagi penyedia barang yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. 2. Belum teraplikasi. Dalam pembuatan atau penyusunan kontrak pengadaan barang/jasa untuk keperluan pemerintah, pihak penyedia barang/jasa belum pernah mempermasalahkan atau belum pernah menuntut agar di dalam kontrak juga dicantumkan sanksi bagi pihak pengguna barang, apabila tidak dapat melaksanakan kewajibannya.
49
Gambar 1.1 SKEMA TEORI : aan keseimbangan - Asas (Kedudukan Para Pihak Seimbang). - Teori Melebur Oleh Pemerintah - Teori Efektifitas
EMPIRIS : - Hak penyedia barang tidak sepenuhnya diakomodasi. - Asas keseimbangan tidak terimplikasi. - Asas keseimbangan tidak teraplikasi
MASALAH : - Bagaiman kedudukan para pihak - Bagaimanakah implementasi Asas keseimbangan
HIPOTESIS : 1. Kedudukan para pihak adalah seimbang. 2. Asas keseimbangan belum dapat diimplementasikan dengan baik.
HASIL : Penyedia barang/jasa mengalami kerugian, akibat tidak terakomodasinya hakhak yang dimiliki oleh penyedia barang/jasa
50
1.8. HIPOTESIS Hipotesis adalah jawaban sementara mengenai suatu permasalahan yang harus dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan data atau fakta atau informasi yang diperoleh dari hasil penelitian yang valid dan realibel dengan menggunakan cara yang ditentukan, dan selalu dirumuskan dalam kalimat pernyataan. Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah : 1. Kedudukan para pihak adalah seimbang. 2. Asas keseimbangan belum dapat diimplementasikan dengan baik. 1.9. METODE PENELITIAN Metode penelitian hukum adalah sebagai cara kerja keilmuan yang salah satunya ditandai dengan menggunakan metode (Inggris : Method, Latin : Methodus, Yunani : Methodos, Meta berarti diatas, thodos berarti suatu jalan atau suatu cara). Van Peursen menerjemahkan pengertian metode secara harfiah, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu.33 Dalam suatu penelitian, metode memegang peranan penting, karena metode akan memberikan petunjuk-petunjuk tentang cara melaksanakan penelitian. Dengan petunjuk-petunjuk tersebut diharapkan akan diperoleh hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jhony Ibrahim, 2006, “Teori dan Methodologi Penelitian Hukum Normatif”, Bayu Publishing, Malang, hal. 26. 33
51
1.9.1
Jenis Penelitian. Penelitian mengenai Asas Keseimbangan Dalam Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Bagi Keperluan Pemerintah di Kabupaten Badung adalah merupakan penelitian empiris. Dikatakan sebagai penelitian empiris karena terdapat kesenjangan antara das solen dengan das sein, yaitu kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta hukum.
1.9.2
Sifat Penelitian Penelitian mengenai Asas Keseimbangan Dalam Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Bagi Keperluan Pemerintah di Kabupaten Badung adalah penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.34
1.9.3
Jenis dan Sumber Data.
1.9.3.1 Jenis Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian di lapangan. Sedangkan yang dimaksud dengan data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan hukum primer yang bersumber dari peraturan perundang-undangan dan dokumen
34
Amiruddin & Zainal Azikin, Op-Cit, hal. 25
52
hukum, dan data yang bersumber pada bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku ilmiah dan tulisantulisan hukum.35 1.9.3.2 Sumber Data. a. Data primer, adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu baik dari responden maupun informan.36 b. Data sekunder, adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan (library research). 1.9.4
Teknik Pengumpulan Data. Teknik pengumpulan data primer, dilakukan dengan cara studi lapangan yaitu dengan cara mengadakan wawancara (interview) dengan para responden dan informan. Interview adalah pengajuan pertanyaan-pertanyaan penjelasan
sambil
meminta menilai
keterangan
dan
jawaban-jawabannya.
penjelasanDidalam
mendapatkan data yang diperlukan digunakan metode wawancara bebas terpimpin yang bersifat komprehensif (mendalam) dengan menggunakan alat tulis.37 Teknik pengumpulan data sekunder, dilakukan dengan cara studi kepustakaan (dokumentasi) yaitu serangkaian usaha untuk Abdulkadir Muhammad, 2004, “Hukum dan Penelitian Hukum”, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 202. 36 Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Op-cit, hal. 39 37 Burhan Ashshofa, 2004, “Metode Penelitian Hukum”, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 153. 35
53
memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklasifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian, serta kontrak pengadaan barang/jasa bagi pemerintah di Kabupaten Badung. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai intisari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuanpenemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.38 1.9.5
Lokasi Penelitian dan Teknik Sampel.
1.9.5.1
Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah di Kabupaten Badung. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan bahwa Kabupaten Badung merupakan salah satu Kabupaten di Bali yang memiliki APBD yang besar sehingga hal ini berimbas pada alokasi pengadaan barang dan jasa bagian keperluan pemerintah juga besar.
1.9.5.2
Teknik Pengambilan Sampel. Pengambilan sampel merupakan suatu proses dalam memilih suatu bagian yang representatif dari suatu populasi.
Ronny Hanitidjo Soemitro, 1988, “Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri”, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 98. 38
54
Untuk dapat memilih sampel yang representatif, maka diperlukan teknik sampling. Dalam penelitian ini digunakan teknik Probability Sampling. 1.9.6
Definisi Operasional. 1) Kedudukan. Istilah kedudukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (yang selanjutnya disengkat KBBI), berarti : ”status (keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara)39.” Ini berarti, bahwa dalam pembuatan kontrak seharusnya para pihak mempunyai kedudukan atau status atau keadaan atau tingkatan yang sejajar dan seimbang, sehingga tidak ada pihak yang kedudukannya lebih tinggi atau mendominasi dalam hal pelaksanaan hak dan kewajiban. Pada
anatomi
kontrak,
kedudukan
para
pihak
dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya akan terlihat pada isi kontrak yang didalamnya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan segala hal atau pokok-pokok yang dianggap perlu, yang merupakan kehendak para pihak, sebagai pokok perjanjian yang memuat secara mendetail mengenai objek kontrak, hak dan kewajiban, sanksi dan lain-lain.
39 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995,”Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Edisi Kedua,Cet. 7, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 245. ( selanjutnya disingkat KBBI)
55
2) Motivasi. Kata motivasi berasal dari kata ”movere” yang berarti menggerakkan. Menurut F.H Stanford seperti yang dikutip oleh Anwar Prabu Mangku Negara40, ”motivasi adalah suatu kondisi yang menggerakkan manusia kearah tujuan tertentu.” Pengertian lain dari motivasi diberikan oleh Sondang P Siagian yang mengemukakan bahwa :41 ”motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya.” Sedangkan dalam KBBI motivasi, berarti : ” usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak untuk melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya.”42 Dalam kaitannya dengan penelitian ini, akan diteliti motivasi atau hal-hal apa yang mendorong para pihak khususnya Pihak Kedua (penyedia barang/jasa) mau menandatangani kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah bila ternyata kontrak tersebut cenderung merugikan bagi Pihak Kedua (penyedia barang/jasa) Anwar Prabu Mangku Negara, 2003, “Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia”,Refika Aditama, Bandung, hal. 13 41 Sondang P Siagian, 1982, “Organisasi Kepemimpinan“, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, hal. 138. 42 KBBI, Op-Cit, hal. 666. 40
56
khususnya apabila pemerintah (pengguna barang/jasa) melakukan cidera janji, karena dalam kontrak pengadaan barang/jasa bagi pemerintah (pengguna barang/jasa) tidak diatur mengenai sanksi apabila pemerintah (pengguna barang/jasa) cidera janji atau lalai dalam melaksanakan kewajibannya. 3) Asas Keseimbangan. Istilah asas dalam KBBI berarti; ”(1) dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir/berpendapat); (2) hukum dasar”.43 Ini berarti bahwa asas merupakan hukum dasar yang menjadi tumpuan berpikir. Istilah keseimbangan yang kata dasarnya adalah imbang, mendapat awalan ”se” menjadi seimbang dalam KBBI, berarti : ”keadaan sebanding atau sama, untuk berat, derajat, ukuran”. Selanjutnya mendapat konfiks ”ke – an, menjadi keseimbangan yang diartikan sebagai ”keadaan seimbang”.44 Dari pengertian tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa Asas Keseimbangan adalah hukum dasar yang menjadi tumpuan berpikir untuk mewujudkan keadaan seimbang. Asas Keseimbangan dalam kaitannya dengan penelitian adalah kesamaan kedudukan dalam hukum, kesamaan kepentingan dan kesamaan hak dan kewajiban antara para yang membuat kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah. Namun dalam 43 44
Ibid, hal. 70 Ibid, hal. 426
57
dalam praktek di lapangan, terjadi ketidak seimbangan hak antara Pihak Pengguna Barang/Jasa (Pemerintah Daerah) dengan Pihak Penyedia Barang/Jasa (Rekanan/Pengusaha). Untuk mempermudah pemahaman akan ketidakseimbangan yang terjadi dalam kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah maka akan digambarkan dalam bentuk bagan seperti berikut ini : Gambar 1.2 Bagan prosedur pengadaan barang/jasa bagi keperluan Pemerintah di Kabupaten Badung.
Pihak Pertama (Pemerintah/pengguna barang/jasa)
Pihak Kedua (penyedia barang/jasa)
menawarkan
menawar
Hak dan kewajiban
Kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah
Tidak dikenakan sanksi bila cidera janji
Hak dan kewajiban
Dikenakan sanksi bila cidera janji Barang / jasa
1.9.7
Teknik Analisis Data Dari data yang berhasil dikumpulkan, baik data primer maupun data sekunder, kemudian diolah dan dianalisis dengan
58
mempergunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, sifat gejala, dan peristiwa hukumnya dengan mempertautkan antara data primer dengan data sekunder. Setelah itu, data tersebut disajikan secara deskriptif analisis dengan menguraikannya secara sistematis dan komprehensif, sehingga mampu menjawab permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini. 1.9.8
Sistematika Penulisan. Bab I memaparkan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan umum dan khusus, serta teori-teori yang akan digunakan untuk memecahkan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Pada Bab II akan memaparkan tentang tinjauan umum mengenai kontrak, prinsip-prinsip hukum kontrak dan sejarah perkembangan kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah, serta aspek-aspek dari asas keseimbangan dalam kontrak . Bab III akan menganalisis tentang hubungan hukum, kedudukan hukum dan motivasi salah satu pihak dalam penandatanganan kontrak bara/jasa bagi keperluan pemerintah di Kabupaten Badung. Bab IV akan menganalisis karakteristik asas keseimbangan, implementasi dari asas keseimbangan dalam pembuatan kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah di Kabupaten Badung.
59
Bab V merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dari bab-bab terdahulu dan saran bagi para pihak yang terlibat dalam pembuatan kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah.