1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Mikroorganisme yang tidak dapat dikulturkan dengan teknik standar diperkirakan masih ada sekitar 99%. Metagenomik muncul sebagai metode baru yang dapat mempelajari genom kolektif dari anggota komunitas mikroba yang tidak dapat terkulturkan dengan teknik standar. Metode metagenomik diawali dengan isolasi DNA total dari semua mikroorganisme dalam sampel tanpa dikulturkan terlebih dahulu (Sabree, 2009; Kim, 2012). Uji yang biasa dilakukan secara konvensional di laboratorium mencakup uji menggunakan mikroskop, kultur mikroba, immunoassay untuk deteksi antigen dan patogen hingga amplifikasi asam nukleat. Berdasarkan penelitian Finkbeiner et al. (2008), dilaporkan bahwa uji laboratorium konvensional tersebut gagal untuk mendeteksi agen penyebab gastroenteritis
kurang lebih sebesar 40 %.
Penelitian Ambrose et al. (2011), menunjukkan kegagalan 60 % pada kasuskasus enchepalitis (Miller, 2013). Metagenomik, suatu metode yang dapat digunakan untuk proses sekuensing tanpa melalui kultur dan analisis semua asam nukleat yang didapatkan dari sampel, merupakan metode yang potensial untuk mendeteksi mikroorganisme baik yang telah diketahui maupun yang baru. Beberapa tahun terakhir metagenomik telah terbukti sangat berguna dalam penelusuran spesies baru, bencana dan penyakit yang kompleks. Oleh karena itu metagenomik berpotensi
1
2
untuk merevolusi deteksi patogen dalam laboratorium kesehatan publik. Deteksi secara simultan semua mikroorganisme dalam sampel klinik dapat dilakukan dengan metode ini (Miller, 2013). Sejumlah
penelitian metagenomik
dari bakteri yang tidak bisa
dikulturkan pada mikrobiom manusia telah berkembang pesat dan hal ini banyak dipelajari di area mikrobiologi yang sangat potensial untuk dikerjakan di praktek klinik (Weinstock, 2012). Diagnosis adanya infeksi bakteri dengan pendekatan metagenomik pernah dilakukan oleh Nakamura et al. (2008) pada pasien yang mengalami penyakit diare. Pada penelitian tersebut digunakan pendekatan metagenomik untuk mendeteksi DNA bakteri patogen dari feses pasien selama terkena diare dan setelah sembuh. Hasil sekuensing DNA menunjukkan kesamaan terbaik dengan Campylobacter jejuni yang hanya terdeteksi pada sampel yang berasal dari pasien selama masa sakit. Penelitian yang lain juga menjelaskan bahwa pendekatan metagenomik merupakan aplikasi yang potensial untuk mengidentifikasi dan mendeteksi mikroorganisme penyebab penyakit yang tidak dapat dijelaskan sebelumnya (Kim, 2012). Lim et al. (2014) melengkapi bukti prinsip untuk memonitor penyakit menggunakan sekuensing DNA metagenomik dan mikrobiologi klinik tradisional yang fokus menggunakan 3 orang dewasa yang terkena cystic fibrosis (CF). Paru-paru pada penderita CF adalah lingkungan yang dinamis mengandung ekosistem kompleks terbentuk dari bakteri, virus, dan jamur. Penelitian tentang aplikasi metagenomik menunjukkan bahwa deteksi dengan teknik metagenomik
3
dapat mengidentifikasi diversitas mikroorganisme dari sekumpulan bakteri ataupun jamur. Tuberkulosis
(TBC),
penyakit
infeksi
yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis), sampai saat ini masih menjadi masalah serius di seluruh dunia, karena merupakan penyebab kematian tertinggi. Setiap tahun diperkirakan 8 juta infeksi baru terjadi dan 2,5 sampai dengan 3 juta menimbulkan kematian (Zhang et al., 2005). Jumlah penderita TB di Indonesia menduduki tempat terbanyak kelima di dunia, dan masuk dalam daftar 22 negara dengan masalah TB yang serius (high burden countries) (Depkes RI, 2012). Deteksi dan identifikasi M. tuberculosis telah banyak dilakukan dengan berbagai metode. Penelitian yang dilakukan Amero (2002) menemukan bahwa PCR mampu mendeteksi dan mengidentifikasi M. tuberculosis Complex yang ada pada sampel sputum. Basil et al. (2009) juga telah melakukan deteksi dan identifikasi cepat M. tuberculosis dengan metode PCR-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-FLP) yang diaplikasikan pada DNA hasil ekstraksi langsung dari sampel sputum pasien. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Wong et al. (2001), telah mendesain suatu uji untuk
PCR-FLP dengan
menggunakan enzim restriksi sehingga M. tuberculosis complex, M. avium complex dan mikobakteri lain yang penting secara klinis dan dapat diidentifikasi dari kultur positif. Penelitian untuk deteksi M. tuberculosis dengan pendekatan metagenomik juga dilakukan oleh Chan et al. (2013). Chan mendeteksi sekuen DNA dari M. tuberculosis
pada sampel yang diperoleh dari mumi di Hungaria. Studi ini
4
menggambarkan kekuatan analisis metagenomik dalam informasi yang diberikan dari jaman sejarah dan mungkin saja dilakukan pada spesimen yang diperoleh pada jaman sekarang. Oleh sebab itu, kajian apakah DNA metagenomik dapat digunakan untuk deteksi M. tuberculosis pada pasien tuberkulosis (TB), menarik dilakukan sekarang ini. Diagnosis tuberkulosis khususnya tuberkulosis paru, dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinik (anamnesis terhadap keluhan penderita dan hasil pemeriksaan fisik), pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologik. Ketiga hasil pemeriksaan tersebut disatukan untuk diagnosis tuberkulosis. Pada umumnya metode yang digunakan adalah metode konvensional seperti pemeriksaan mikroskopik basil tahan asam (BTA) dan pemeriksaan kultur. Pemeriksaan mikroskopik cukup cepat dan ekonomis akan tetapi sensitivitas dan spesifitasnya masih kurang sedangkan pemeriksaan kultur memerlukan waktu yang cukup lama, sekitar 3- 12 minggu (Heifets,1994). Identifikasi cepat pada mikobakteria merupakan hal yang sangat penting karena hal ini akan sangat membantu pada penanganan awal dan tepat untuk pasien. Bagaimanapun, identifikasi mikobakteri dengan menggunakan metode konvensional memerlukan waktu yang cukup lama dan tidak selalu meyakinkan (Kent,1985; Kirschner et al 1993). Oleh karenanya, untuk mengatasi keterbatasan tersebut, diperlukan metode deteksi M. tuberculosis yang cepat, sensitif dan spesifik. Isolasi DNA metagenomik secara langsung dari sampel, sebagai tahapan awal dalam deteksi M. tuberculosis dari sputum pasien tuberkulosis juga belum
5
pernah dilaporkan. Metode yang digunakan dalam isolasi DNA metagenomik ini merupakan tahapan penting yang menentukan kualitas DNA total yang diperoleh. Kualitas DNA total ini berkaitan dengan keberhasilan proses selanjutnya, yaitu Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sekuensing untuk menganalisis sekuen yang khas dari M. tuberculosis. Berdasarkan pemaparan di atas, pada penelitian ini akan dilakukan deteksi M. tuberculosis dari sputum pasien tuberkulosis dengan metode isolasi DNA metagenomik. DNA metagenomik yang diperoleh dari sputum pasien penderita tuberkulosis selanjutnya akan dilakukan amplifikasi fragmen promoter inhA dengan teknik PCR, sehingga diharapkan deteksi penyakit ini dapat dilakukan lebih cepat dan sederhana.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1.
Apakah M. tuberculosis dapat dideteksi dari sputum pasien tuberkulosis dengan metode isolasi DNA metagenomik?
2.
Apakah terjadi mutasi pada fragmen promoter inhA DNA metagenomik sputum pasien tuberkulosis?
6
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Mendeteksi M. tuberculosis
dari sputum pasien tuberkulosis dengan
metode isolasi DNA metagenomik. 2.
Mengetahui terjadi atau tidaknya mutasi promoter inhA dari DNA metagenomik pada sputum pasien tuberkulosis.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Manfaat keilmuan Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
manfaat
dalam
pengembangan metode cara isolasi DNA metagenomik dari sputum pasien tuberkulosis untuk deteksi M. tuberculosis dengan menggunakan primer promoter inhA 2.
Manfaat praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam
penegakan diagnosis pada pasien tuberkulosis dengan waktu analisis yang lebih singkat dan sederhana.