BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut (UU No. 27 Tahun 2007). Pesisir merupakan salah satu kawasan di permukaan Bumi yang paling produktif dan memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi. Wilayah pesisir juga merupakan tempat bagi ekosistem dengan produktivitas hayati yang tinggi, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass bed), dan estuaria. Aliran unsur hara yang berasal dari daratan melalui aliran air sungai atau aliran air permukaan (runoff) membuat pesisir jauh lebih subur dan produktif dibandingkan dengan perairan laut lepas. Fakta menunjukkan bahwa kawasan pesisir merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling padat (Dahuri dkk., 1996). Rais (2000) mengemukakan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat padat jumlah penduduknya dan populasi penduduk dunia yang hidup di wilayah pesisir berkisar antara 50-70 % dari total penduduk dunia. Di Indonesia sendiri, 60 % penduduknya hidup di wilayah pesisir, sehingga peningkatan jumlah penduduk yang hidup di wilayah pesisir memberikan tekanan terhadap sumberdaya alam pesisir seperti degradasi pesisir, pembuangan limbah ke laut,erosi pantai, akresi pantai dan sebagainya. Salah satu permasalahan yang dihadapi kawasan pesisir adalah masuknya bahan pencemar atau limbah dari kegiatan yang terjadi di daratan sekitarnya (land based pollution), daerah aliran sungai sungai, perairan pesisir dan laut itu sendiri
1
2
(sea based pollution), seperti kegiatan pelabuhan, pelayaran, dan penambangan lepas pantai. Pada dasarnya pencemaran terjadi akibat terlalu banyaknya bahan pencemar yang masuk ke suatu perairan hingga melampaui daya dukung alamnya (Dahuri dkk, 1996). Demikian pula yang dialami oleh Teluk Jakarta dan telukteluk lain di Indonesia seperti teluk Ambon dan Teluk Buyat (AntaraNews, 2007). Teluk Jakarta dibatasi oleh dua tanjung yaitu Tanjung Pasir di sebelah barat dan Tanjung Karawang disebelah timur, merupakan tempat bermuaranya 13 sungai.Teluk Jakarta menjadi sangat penting selain berada di wilayah ibukota negara Indonesia, juga menjadi pintu gerbang bagi pelayaran internasional. Banyak manfaat yang diperoleh dari keberadaan teluk ini antara lain sebagai sumber perikanan, pelabuhan laut internasional, wisata bahari dan sarana transportasi laut (Arifin, 2008a). Teluk Jakarta merupakan salah satu kawasan yang mengalami tekanan kontaminasi cukup berat dibandingkan pesisir lain di Indonesia. Seperti banyak kota-kota besar di negara berkembang, Jabodetabek mengalami laju pertumbuhan penduduk dan industri yang sangat cepat dalam 20 terakhir. Pada tahun 2011 tercatat jumlah penduduk DKI Jakarta sekitar 9.761.992 jiwa, apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 2010 yang berjumlah sebanyak 9.588.198 jiwa, telah terjadi peningkatan sebesar 173.794 jiwa atau naik sebesar 0,98 persen (BPLHD-DKI Jakarta, 2011). Pertumbuhan penduduk tersebut memberikan konsekuensi lingkungan, tidak hanya di darat tetapi juga di perairan teluknya. Jumlah industri yang berpotensi menghasilkan limbah B3 tercatat sebanyak 2050 industri (BPLHD-DKI Jakarta, 2010) serta kurangnya
3
fasilitas pengelolaan limbah di wilayah Jabodetabek menyebabkan limbah domestik dan industri sebagai input utama nutrien dan bahan pencemar ke Teluk Jakarta (Arifin, 2008a). Perkembangan penelitian kontaminasi di Indonesia menunjukkan adanya pengembangan parameter seiring dengan peningkatan tekanan kontaminasi yang terjadi. Pada tahun 1970-1990, monitoring kontaminasi difokuskan pada pengukuran konsentrasi di air laut, pada tahun 1990-2000, penelitian berkembang ke arah pengukuran konsentrasi di biota dan sedimen dan pada tahun 2000sekarang, penelitian difokuskan pada bioassay dan geokimiawi dari logam (Arifin et al., 2012). Beberapa upaya pemantauan kualitas perairan Teluk Jakarta adalah dengan monitoring rutin yang dilakukan setiap tahun meliputi pengukuran parameterparameter kimia dalam air seperti parameter zat padat tersuspensi, kekeruhan, amonia, nitrit, nitrat, fospat, COD, BOD, oksigen terlarut, organik, fenol, Detergen dan logam (kromium, kadmium, tembaga, timah hitam, nikel dan seng), parameter fisik seperti suhu, salinitas, kedalaman, arah arus, kecepatan arus, pH dan kecerahan serta parameter biologi seperti plankton, E-coli dan bentos (BPLHD DKI-Jakarta, 2011). Parameter kontaminan logam yang diukur rutin oleh BPLHD, masih berkisar pada konsentrasi total pada kompartemen air dan bioakumulasinya pada biota seperti ikan dan kerang. Arifin et al. (2012) melakukan telaah bahwa konsentrasi kontaminan logam dalam sedimen terukur beberapa kali lipat lebih tinggi dibandingkan di air laut dan biota. Berbeda dengan konsentrasi logam dalam air yang cenderung
4
konstan, konsentrasi logam dalam sedimen menunjukkan tren peningkatan sejak 1985-2000. Oleh karena itu, pemantauan konsentrasi logam melalui air laut saja belum cukup dan tidak memunculkan informasi baru mengenai bioakumulasi pada organisme dan biomagnifikasi pada rantai makanan. Sejak 1990-2000, penelitian monitoring logam di Indonesia difokuskan pada sedimen dan biota. Beberapa penelitian yang mewakili fase tersebut antara lain dilakukan oleh Rochyatun dan Razak (2007), Takarina and Adiwibowo (2010). Fase 2000-sekarang, kajian penelitian kontaminasi mulai digabungkan dengan penelitian bioassay sedimen seperti yang telah dilakukan oleh Hindarti et al. (2008) di Teluk Kelabat, Bangka yang meneliti penelitian kontaminasi logam dengan bioassay sedimen dan Arifin (2008b) yang meneliti keterkaitan antara kontaminasi logam dengan struktur komunitas bentik di periran Berau. Penelitian sejenis telah dilakukan sejak lama di luar negeri seperti penelitian Thompson et al.(1999) di Teluk San Francisco, Scarlett et al. (2007) yang mengembangkan contaminated sediment bioassay terhadap amphipod, Mucha et al. (2005) mengenai keterkaitan antara kontaminasi logam dengan struktur komunitas bentik di Portugal, penelitian Usero et al. (2008)
yang
menggabungkan beberapa parameter sekaligus yaitu mengenai parameter pengukuran konsentrasi kontaminan organik dan inorganik dalam sedimen, parameter toksisitas letal dan subletal pada biota uji, parameter struktur komunitas bentik dan parameter bioakumulasi kontaminan di pesisir Atlantik, Spanyol bagian Selatan dan Sorensen et al. (2007) yang mengkaji kualitas sedimen secara komprehensif dengan konsep Sediment Quality Triad di sebuah sungai di New
5
Jersey. Sorensen meneliti tentang karakterisasi kontaminan kimia dalam sedimen, toksisitas sedimen dan bioakumulasi serta kajian komunitas bentik. Di Indonesia sendiri, belum banyak institusi maupun universitas
yang fokus pada
pengembangan bioassay sedimen untuk monitoring pesisir. Sedimen merupakan habitat bagi banyak organisme bentik dan epibenthik. Sedimen juga mempengaruhi laju polutan dalam ekosistem perairan dengan bertindak baik sebagai penyimpan atau sebagai sumber polutan dalam lingkungan perairan. Banyak organisme akuatik yang dapat terpapar polutan melalui interaksi langsung maupun tidak langsung dengan sedimen (CCME, 1995). Oleh karena itu, uji biologis (bioassay) sedimen merupakan salah satu alat penting bagi pengambil keputusan, peneliti dan ahli teknologi dalam mempelajari toksisitas dan ketersediaan suatu senyawa kimia dalam sedimen terhadap biota (MorenoGarrido et al., 2003). Dalam bioassay sedimen, penggunaan teknik “elutriate” (larutan uji diambil dari air bagian atas campuran sedimen dan air laut steril yang diendapkan selama beberapa jam) cocok digunakan untuk organisme yang hidup di kolom air seperti fitoplankton yang hidup melayang di kolom air. Jika terdapat kandungan bahan toksik yang berbahaya di dalam sedimen, maka pertumbuhan fitoplankton akan terganggu ditandai dengan adanya penghambatan pertumbuhan dan rata-rata jumlah selnya akan berkurang dibandingkan jumlah sel pada kontrol. Fitoplankton atau mikroalga berperanan penting dalam keseimbangan ekosistem akuatik, karena berada di tingkat pertama dalam rantai makanan yang memproduksi bahan organik dan oksigen melalui fotosintesis (Berard, 1996).
6
Selain itu, fitoplankton juga murah, mudah diperoleh dan dipelihara, sensitif terhadap stress kontaminan serta dapat dipelajari dalam waktu singkat karena memiliki daur hidup yang singkat sehingga cocok digunakan dalam monitoring rutin (Munawar and Munawar, 1987). Tetraselmis chuii merupakan salah satu mikroalga yang hidup di kolom air. Contoh pemanfaatan fitoplankton bentik sebagai biota uji adalah penelitian yang dilakukan oleh Morrreno-Garrido et al., (2003) yang melakukan bioassay sedimen terkontaminasi terhadap mikroalga bentik, Cylindrotheca closterium. Kenyataannya, bioassay sedimen menggunakan mikroalga yang langsung dipaparkan pada sedimen, jarang ditemukan pada literatur, karena menyulitkan pada saat pengamatan. Sejumlah contoh eksperimen yang melibatkan mikroalga, selalu dipaparkan pada elutriate (air bagian atas dari sedimen yang sudah diendapkan) seperti Munawar and Munawar (1987) dan Matthiesen et al. (1998). Dalam kolom air, fitoplankton memperlihatkan sensitivitas yang lebih tinggi pada berbagai toksikan dibandingkan dengan organism lain (Morreno-Gariido et al., 2003). Sayangnya, penggunaan fitoplankton bentik sebagai biota uji sedimen belum banyak dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian apakah fitoplankton planktonik seperti T. chuii memenuhi syarat sebagai biota uji dalam bioassay sedimen karena adanya pengadukan oleh arus laut, mampu membuat partikel-partikel seperti kontaminan yang ada dalam sedimen, terlepas dan mempengaruhi kolom air.
7
Selain itu, hewan bentik juga merupakan rantai penting dalam proses transfer materi pada taraf trofik di atasnya karena asosiasi yang dekat dengan sedimen dan kemampuan sedimen untuk mengakumulasi logam (Burgos and Rainbow, 2001), sehingga memiliki hubungan yang kuat dengan perubahan kualitas sedimen. Indikasi bahwa suatu lingkungan telah tercemar antara lain tercermin dari kondisi foraminifera bentiknya. Kekhasan cara hidup foraminifera sebagai meiofauna sangat berpotensi terganggu oleh perubahan kondisi lingkungan perairan seperti masuknya berbagai jenis cemaran baik yang berupa pengayaan, kontaminan logam berat maupun organik. Abnormalitas bentuk cangkang, penipisan dinding cangkang dan perubahan struktur komunitas merupakan tanda-tanda yang diperlihatkan oleh foraminifera bentik sebagai respon terhadap kontaminasi antropogenik di beberapa muara sungai di Teluk Jakarta dan pesisir Cirebon (Rositasari, 2006; Susana et al., 2010). Marga Ammonia merupakan jenis kosmopolitan yang mampu bertahan terhadap kisaran beberapa faktor lingkungan yang luas seperti suhu, salinitas dan perubahan musim. Kemampuan marga ini untuk bertahan terhadap kisaran luas beberapa faktor lingkungan berhubungan erat dengan tingginya variasi morfologi cangkang (Rositasari, 1997). Oleh karena itu, genus Ammonia dipilih sebagai wakil dari foraminifera bentik untuk menilai perubahan kualitas sedimen Teluk Jakarta. Rositasari (2006) melaporkan bahwa Ammonia beccarii merupakan jenis yang memperlihatkan persentase hidup dan abnormalitas cangkang paling tinggi di daerah muara. Deformasi morfologis pada cangkang foraminifera telah dicatat sejak sepuluh tahun yang lalu. Deformasi pada cangkang foraminifera bentik telah
8
dikaitkan dengan beberapa faktor lingkungan alamiah dan polutan seperti logam berat, buangan rumah tangga dan hidrokarbon. Oleh karena itu, penggabungan parameter pengukuran konsentrasi logam dan teknik bioassay dalam evaluasi kualitas sedimen memiliki manfaat penting untuk memonitor kondisi kesehatan suatu ekosistem. Kualitas sedimen akan menentukan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan biota dan manusia.
1.2 Permasalahan Penelitian Berbagai pendekatan komprehensif terus dikembangkan untuk monitoring kontaminasi di pesisir Indonesia. Lokasi penelitian di Teluk Jakarta yang memiliki arti penting dari segi pemerintahan, tingkat kontaminasi yang tergolong tinggi, banyaknya data penelitian yang tersedia, menjadi pilihan untuk menjadikan Teluk Jakarta sebagai percontohan. Penelitian sejenis dapat dilakukan di perairan lainnya untuk monitoring lebih lanjut. Pengembangan pemantauan konsentrasi kontaminan dalam sedimen dan biota mampu memberikan informasi mengenai potensi bioakumulasi dan biomagnifikasi logam dalam ekosistem, sehingga dapat dilakukan upaya-upaya preventif. Penambahan informasi mengenai kondisi aktual dari komunitas foraminifera bentik, diharapkan juga memberikan informasi nyata mengenai lingkungan. Gabungan analisis dari kondisi kontaminan logam dalam sedimen, bioassay sedimen serta kondisi aktual foraminifera bentik, diharapkan dapat memberikan gambaran daya dukung lingkungan yang nyata.
9
Berdasarkan pada latar belakang sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut yaitu 1. Berapa besar beban kontaminan logam tembaga, timbal dan kadmium yang terkandung dalam sedimen Teluk Jakarta ? 2. Bagaimana pengaruhnya sedimen tersebut terhadap pertumbuhan fitoplankton, T chuii dan abnormalitas foraminifera bentik, A.beccari di Teluk Jakarta ? 3. Bagaimana sebaran spasial dari kontaminasi logam dalam sedimen di Teluk Jakarta ?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, dikembangkanlah beberapa tujuan penelitian, adalah 1. Mengukur beban kontaminan logam tembaga, timbal dan kadmium dalam sedimen di Teluk Jakarta; 2. Menganalisis keterkaitan antara sedimen terhadap pertumbuhan, T. chuii dan abnormalitas, A. beccari di Teluk Jakarta; 3. Menganalisis sebaran spasial kontaminasi logam dalam sedimen di perairan Teluk Jakarta.
1.4 Sasaran Penelitian Sasaran penelitian yang ingin diperoleh adalah pemanfaatan informasi akhir berupa informasi kontaminasi di Teluk Jakarta sehingga bermanfaat bagi
10
instansi
berwenang
dalam
pengelolaan
kawasan
pesisir
untuk
tujuan
pengembangan budidaya, pariwisata dan sebagainya.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan membawa manfaat sebagai berikut 1. Manfaat bagi ilmu pengetahuan Manfaat
bagi
pengembangan
ilmu
lingkungan
khususnya
dalam
pengembangan bidang kualitas perairan dari segi pemantauan pengukuran konsentrasi logam dalam sedimen, pengembangan kegiatan bioassay dan kajian foraminifera bentik. 2. Manfaat bagi masyarakat Hasil penelitian diharapkan mampu menjadi salah satu pertimbangan bagi pengambil kebijakan di daerah sekitar Teluk Jakarta dalam pengembangan parameter monitoring dan dalam mengambil keputusan pengelolaan masalah lingkungan. Bagi masyarakat sekitar teluk diharapkan tumbuh kesadaran untuk ikut menjaga kelestarian lingkungan teluk.
1.5 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai kualitas perairan di Teluk Jakarta telah banyak dilakukan baik dari segi pengukuran konsentrasi logam berat dalam air, sedimen, biota, bioassay sedimen maupun mengenai foraminifera bentik. Umumnya penelitian ini dilakukan dengan mengkaji aspek-aspek tersebut secara terpisah. Beberapa penelitian sudah mulai menggabungkan dua dari aspek-aspek tersebut
11
seperti yang dilakukan Hindarti et al. (2008) di Teluk Kelabat dan Arifin (2008b) di perairan Berau. Penelitian kali ini lebih ditekankan analisa kualitas sedimen Teluk Jakarta berdasarkan hubungan antara besarnya konsentrasi logam dalam sedimen dikaitkan dengan bioassay sedimen dan abnormalitas foraminifera bentik di Teluk Jakarta. Analisa ketiga faktor ini diharapkan membawa informasi daya dukung lingkungan Teluk Jakarta dan dapat digunakan untuk mengetahui sebaran spasial kontaminan logam. Beberapa penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini berdasarkan penelusuran penulis, disajikan dalam Tabel 1.1
Tabel 1.1 Penelitian-penelitian terdahulu No. Penulis Judul 1. Lestari dan Dampak Edward (2004) Pencemaran Logam Berat Terhadap Kualitas Air Laut dan SumberDaya Perikanan (Studi Kasus Kematian Massal Ikan-ikan di Teluk Jakarta
2.
Rochyatun, E. Pemantauan Kadar dan A. Rozak Logam Berat dalam (2007) Sedimen di Perairan Teluk Jakarta
Tujuan Untuk mengetahui kadar dan sebaran logam berat di perairan Teluk Jakarta dalam kaitannya dengan kematian massal ikan-ikan yang terjadi pada bulan Mei 2004. Memantau kualitas perairan Teluk Jakarta dilihat dari kadar logam berat dalam sedimen
Metode Hasil Pengukuran Kadar logam kadar dengan berat Hg, Pb, Cd, AAS Cu, Zn, dan Ni masih sesuai dengan NAB yang ditetapkan oleh KMNLH untuk kepentingan biota laut
Pengukuran Kadar logam dengan AAS berat dalam Varian sedimen di Barat SpektrAA Teluk lebih tinggi dibandingkan di Tengah dan Timur Teluk Jakarta
12
Lanjutan Tabel 1.1
No Penulis Judul Tujuan 3. Takarina, N. GeochemicalFractionation Mempelajari D. (2010) of Toxic Trace Heavy peningkatan Metals (Cr, Cu, Pb, and konsentrasi Zn) From the Estuarine logam di Teluk Sediments of 5 River Jakarta Mouths at Jakarta Bay, Indonesia
4.
Arifin, Z. R. Puspitasari and N. Miyazaki (2012)
Heavy metals contamination in Indonesian coastal marine ecosystems : A historical perspective
Memberikan analisis singkat mengenai perkembangan penelitian kontaminasi di Indonesia
5.
Thompson, B., B. Anderson,J. Hunt, K. Taberski, B. Phillips (1999)
Relationships between sediment contamination and toxicity in San Francisco Bay
Mengkaji hubungan antara kontaminasi PAH dengan bioassay sediment menggunakan amphipod dan larva bivalvia
Metode Kadar logam diukur dengan AAS Perkin Elmer 3100
Hasil Kadar Cr, Zn dan Cu tertinggi di Muara Baru sedangkan Pb tertinggi di Sunda Kelapa akibat adanya aktivitas pelabuhan dan industri Studi literatur, Pengembangan pengumpulan penelitian data sekunder difokuskan dan penelitian pada 1. Pengukura n laju kontaminan logam dan POP di tingkat spesies dan komunitas 2. Geokimiawi sedimen dan pengembangan hewan uji standar untuk bioassay 3. Bioremediasi di kawasan pesisir 1. Kadar PAH Tidak ada diukur asosiasi yang dengan GC kuat antara 2. Teknik konsentrasi Elutriate PAH dengan sediment toksisitas bioassay terhadap larva untuk larva kerang dan bivalvia amphipod 3. Teknik bulk sediment bioassay untuk amphipod
13
Lanjutan Tabel 1.1 No Penulis Judul . 6. MorrenoSediment toxicity Garrido, I., tests using benthic M. Hampel, marine microalgae L.M. Lubia Cylindrotheca and J. Blasco closterium (2003) (Ehremberg) Lewin and Reimann (Bacillariophyceae )
7.
Rachma Puspitasari (2013)
Tujuan
Metode
Hasil
Mengembangkan teknik bioassay sedimen menggunakan mikroalga bentik
Memaparkan sedimen yang dicampur dengan logam Pb, Cd dan Cu, terhadap C. closterium
C. closterium layak digunakan sebagai biota uji dalam bioassay sedimen seperti halnya penggunaan mikroalga pelagik.
1. Mengukur beban Kajian kontaminan Kontaminasi logam tembaga, Logam Terhadap timbal dan Biota Laut di Teluk kadmium dalam Jakarta
Pengukuran konsentrasi logam dengan 1. AAS, digabungkan dengan dataa sekunder abnormalitas foraminifera bentik, A. beccari dan hasil bioassay sedimen
Hasil yang diperoleh:
sedimen di Teluk Jakarta 2. Menganalisis keterkaitan kontaminan logam terhadap pertumbuhan T. chuii dan abnormalitas foraminifera bentik di Teluk Jakarta 3. Menganalisis sebaran spasial kontaminasi logam di Teluk Jakarta
1. Beban kontaminan logam Pb dan Cu dalam sedimen terukur lebih tinggi dibandingkan dengan logam Cd. 2. Sedimen Teluk Jakarta yang dipaparkan selama 96 jam mampu menurunkan pertumbuhan T. chuii dan meningkatkan jumlah abnormalitas A. beccari. 3. Sebaran spasial logam Pb, Cd dan Cu sangat dipengaruhi oleh faktor jarak dari daratan dan faktor arus.