Gempa bumi, tsunami, erosi, banjir, gelombang ekstrem dan kenaikan paras muka air laut adalah ancaman wilayah pesisir. Tapi tidak berarti hidup di negara kepulauan pasti menjadi korban bencana.. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia selain menyimpan potensi kekayaan alam juga memiliki potensi bencana yang besar. Beberapa tahun belakangan ini wilayah pesisir Indonesia didera bencana gempa bumi dan tsunami, antara lain terjadi di Garut, Yogyakarta, Sumatera Barat, dan lain-lain. Setahun yang lalu, Indonesia kembali berduka dengan terjadinya bencana tsunami di Kepulauan Mentawai, yang menelan 509 korban jiwa meninggal. Tsunami Jepang pada 11 Maret yang lalu pun bahkan menimbulkan kerusakan rumah dan sarana prasarana di kawasan Jayapura, Papua. Berdasarkan data, tercatat 110 kali tsunami di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1600 sampai dengan September 2011. Dampak yang ditimbulkan dari berbagai kejadian bencana tersebut tidaklah sederhana mengingat konsentrasi pembangunan yang tinggi, berbagai sumberdaya dan jasa lingkungan di wilayah pesisir yang berkontribusi penting bagi penghidupan masyarakat, serta terbatasnya akses transportasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga dapat menghambat upaya pencapaian visi Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar pada tahun 2015 dan misinya yaitu mensejahterakan kehidupan nelayan. Di sisi lain, pengembangan minapolitan sebagai upaya percepatan pengembangan pembangunan kelautan dan perikanan di sentrasentra produksi perikanan yang potensial menjadi tidak optimal manakala tidak dipersiapkan untuk menghadapi bencana, seperti bencana tsunami. Kebijakan Kementerian KKP dalam Mitigasi Bencana Tsunami Selain itu, kebijakan dan program mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil telah diwujudkan dalam Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pengaturan lebih rinci tentang mitigasi bencana
di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin jelas dengan disahkannya peraturan pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2007 berupa PP No 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berperan penting dalam mendorong upaya pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam upaya mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Upaya mitigasi yang dimaksud antara lain berupa: pemetaan potensi bahaya, kerentanan, dan risiko bencana di wilayah pesisir; penyusunan rencana strategis, rencana zonasi; rencana pengelolaan dan rencana aksi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memuat aspek mitigasi bencana; pembangunan rumah ramah bencana bagi masyarakat pesisir; konservasi dan rehabilitasi ekosistem pesisir, peningkatan kapasitas aparatur baik pusat maupun daerah serta masyarakat melalui sosialisasi, penyadaran dan pelatihan mitigasi bencana.
mitigasi bencana di wilayah pesisir di pulau-pulau kecil menjadi salah satu penekanan dalam UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (WP3-K) yaitu dalam pasal 56 Bab X, yaitu “Dalam menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil terpadu, pemerintah dan/atau pemerintah daerah memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan jenis, tingkat, dan wilayahnya”. Lebih lanjut, sebagai aturan pelaksanaan UU tersebut telah diterbitkan PP No. 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Upaya ini merupakan tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Pemerintah menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil lintas provinsi dan Kawasan Strategis Nasional (KSN) tertentu. Pemerintah province menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil dalam kewenangan dan lintas kabupaten/ kota. Pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam kewenangan kabupaten/kota. RENCANA
AKSI
Greenbelt, Salah Satu Upaya Mitigasi Bencana Tsunami Sebagian wilayah pesisir Indonesia yang rawan tsunami mulai dari pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, pantai selatan Nusa Tenggara dan sebagian pantai utara Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, sebagian Sulawesi, dan Papua memiliki pantai yang didominasi oleh pasir dengan energi gelombang laut yang cukup tinggi. Kondisi ini kurang cocok ditanami mangrove (Diposaptono S., 2008). Padahal hutan mangrove merupakan greenbelt (sabuk pantai) yang menjadi benteng pertahanan wilayah pesisir dari gelombang pasang, tsunami, atau ancaman lain dari arah laut. Peran atau fungsi sabuk pantai dalam mereduksi tsunami dapat disimpulkan sebagai berikut: (Tanaka [2007]; Shuto [1987]) yaitu : 1. Sebagai perangkap, yaitu untuk menghentikan kayu yang hanyut (pohon tumbang, dll.), reruntuhan (rumah yang hancur, dll.) dan puing lainnya (perahu, dll); 2. Sebagai peredam energi tsunami, yaitu efek untuk mengurangi kecepatan aliran air, tekanan aliran, dan kedalaman genangan air; 3. Sebagai pegangan, yaitu untuk menjadi sarana penyelamatan diri bagi orang-orang yang
tersapu oleh tsunami dengan cara berpengangan pada cabang-cabang pohon; 4. Sebagai sarana melarikan diri, dengan cara memanjat pohon dari tanah atau dari suatu bangunan; 5. Sebagai pembentuk gumuk pasir, yaitu untuk mengumpulkan pasir yang tertiup angin dan membentuk gumuk/ bukit, yang bertindak sebagai penghalang alami terhadap tsunami.
Sayangnya, kajian aspek teknis terhadap fungsi dan peran vegetasi pantai sebagai pelindung daerah pantai masih tergolong sangat kurang dilakukan di Indonesia yang diketahui sebagai salah satu negara yang pernah memiliki hutan pantai terbesar kedua di dunia (Diposaptono S., 2008). Sesungguhnya, pantai-pantai yang kurang cocok ditanami mangrove tetap bisa memiliki sabuk pantai. Beberapa wilayah pantainya lebih cocok untuk vegetasi non mangrove, seperti cemara, kelapa, ketapang, waru laut, dan lain sebagainya. Dengan konfigurasi vegetasi dan ketebalan serta kerapatan tertentu, sabuk pantai yang terbentuk akan bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat. Penelitian lebih lanjut terhadap perilaku berbagai jenis pohon pantai dalam mitigasi bencana tsunami masih dibutuhkan. Namun sumber pengetahuan yang menjelaskan kinerja sabuk pantai dalam menghadapi gelombang tsunami saat ini sebagian besar didasarkan pada hasil eksperimen empiris dan laboratorium. Jika didukung penyelidikan lapangan pasca bencana tsunami, tentu pengetahuan yang ada saat ini dapat digunakan sebagai panduan aplikasi sabuk pantai sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana tsunami. Saat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan, berdasarkan kondisi faktual yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, menyusun Pedoman Pengelolaan Sabuk Pantai untuk Mitigasi Tsunami, untuk memberikan panduan mengenai perencanaan, teknis penanaman, serta monitoring sabuk pantai untuk mitigasi bencana tsunami sesuai dengan pengetahuan yang tersedia saat ini. Yang juga penting dalam hal konservasi sabuk pantai ini adalah peran masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam menjaga lingkungan, memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan memberikan informasi jika terjadi bahaya dan/ atau perusakan lingkungan di wilayah
pesisir dan pulaupulau kecil. Selama sepuluh tahun terakhir , berbagai bencana alam terjadi di Indonesia. Mulai dari gempa 7,2 SR di Aceh dan Sumatra Utara yang diikuti tsunami pada 26 Desember 2004, gempa 6,2 SR di SelatanYogyakarta dan Klaten, 25 Mei 2006, letusan Merapi 14 Juni 2006, gempa dan tsunami 17 Juni di Pangandaran Jawa Barat, banjir di Wasior Papua, serta letusan Merapi 26 Oktober dan 5 November 2010. Jumlah korban dari semua bencana tersebut mencapai ratusan ribu jiwa manusia, belum lagi kerusakan infra struktur dan harta benda lainnya. Yang baru-baru ini terjadi adalah guncangan gempa berkekuatan 6,8 Skala Richter (SR), di Nusa Dua, Bali pada Kamis, 13 Oktober 2011 lalu. Masyarakat Bali yang selama ini tenang pun heboh. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh wilayah Indonesia harus waspada dan siaga menghadapi bencana yang sewaktu-waktu tiba. Karena tak dapat dipungkiri, sebagian besar tempat di Indonesia selalu terancam bencana alam seperti gempa, letusan gunungapi, tanah longsor, dan banjir. Hal ini merupakan dampak dari kondisi geologis dan tectonic setting, yang membangun Kepulauan Nusantara. Tatanan Tektonik Indonesia Bumi itu dinamis, dengan proses-proses internal dan eksternal yang kompleks. Prosesproses internal bertanggung jawab atas bergeraknya lempeng-lempeng besar litosfera. Interaksi antar lempeng-lempeng ini membangkitkan tekanan internal yang dapat mengakibatkan deformasi batuan, menghasilkan gempa, kegiatan gunung berapi, dan gerakangerakan tektonik secara perlahan (creep) sepanjang jalur-jalur sesar (patahan). Proses-proses ini memicu berbagai kejadian eksternal seperti tanah longsor, aliran lumpur, dan tsunami. Menurut teori tektonik lempeng, lapisan kulit bumi yang terdiri dari litosfer dan kerak, berbentuk lempengan-lempengan yang terpecah-pecah, yang mengapungapung di atas lapisan cair-liat yang disebut astenosfer. Berdasarkan komposisi dan beratjenisnya, lempeng-lempeng litosfer dapat dibedakan menjadi lempeng benua dan lempeng samudra. Lempeng benua disusun terutama oleh unsur-unsur Si (silikon) dan Al (aluminium), yang pada umumnya berketebalan 30 - 70 km dengan berat jenis + 2,6- 2,7. Sedangkan lempeng samudra tersusun oleh unrus-unsur Si dan Mg (magnesium), biasanya tipis (+ 8 km) dengan berat jenis + 3 (Zumberge & Nelson, 1976). Potonganpotongan lempeng ini bergerak, ada yang saling menjauh, ada yang saling bertemu dan bertumbukan, serta ada yang saling bergeseran. Bila dua lempeng saling bertumbukan, maka gejala-gejala geologi yang ditimbulkan adalah vulkanisme (pembentukan gunungapi), pembentukan pegunungan lipatan, pengangkatan, dan persesaran. Bila dua lempeng saling menjauh, akan terjadi pembentukan palung, atau pembentukan pematang tengah samudra. Pada pematang tengah samudra, dierupsikan magma secara terus-menerus dari astenosfer ke permukaan, yang kemudian membentuk morfologi seperti “zebra cross” di tengah-tengah samudra. Bila dua lempeng saling bergeseran akan terbentuk sesar transformal. Kepulauan Indonesia terbentuk akibat pertemuan antara Lempeng Benua Eurasia (Eropa-Asia), Lempeng Hindia - Australia, dan Lempeng Samudra Pasifik. Lempeng Hindia - Australia mendesak Lempeng Eurasia dari arah selatan, dan Lempeng Pasifik mendesak dari arah timur. Implikasi pertemuan lempeng-lepeng ini di Indonesia adalah terbentuknya sirkumsirkum gunungapi aktif, jalur-jalur pegunungan lipatan, sesarsesar aktif, dan zona-zona gempa tektonik.