BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesarbesar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.1 Guna memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-undang tersebut selama lebih kurang empat dasawarsa sejak diberlakukannya telah dapat memberikan sumbangan yang penting bagi pembangunan nasional. Dalam perkembangan lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang materi muatannya bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan di masa depan. Di samping itu, pembangunan pertambangan harus menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional maupun internasional. Tantangan utama yang 1
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
1
dihadapi oleh pertambangan mineral dan batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat.2 Untuk menghadapi tantangan lingkungan strategis dan menjawab sejumlah permasalahan tersebut maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan diganti dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dimana peraturan perundang-undangan baru ini dapat memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:3 1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha. 2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masingmasing. 2 3
Ibid Ibid
2
3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah. 4. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. 5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan. 6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan
harus
dilaksanakan
dengan
memperhatikan
prinsip
lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Adanya kenyataan tidak berkorelasi antara berlimpahnya kekayaan sumber daya alam Indonesia dengan kesejahteraan rakyatnya merupakan anomali yang mengindikasikan ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan kekayaan bahan galian di Indonesia. Namun di mana letak kesalahan itu terjadi? Hal ini memerlukan kejujuran dan kearifan untuk menjawabnya. Melalui, kejujuran dan kearifan diyakini dapat melahirkan sebuah jawaban solutif, guna menghindari kesalahan itu tidak terulang kembali.4 Dari hasil pengamatan, memang terdapat beberapa kesalahan dalam melakukan pengelolaan kekayaan sumber daya bahan galian. Kesalahan itu, apabila dituntut bersifat kompleks dan sistematis. Kompleksitas dan 4
Nandang Sudrajat, 2010, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hlm. 7
3
sistematisnya kesalahan dimaksud, karena berawal dari kebijakan yang dibuat dalam melaksanakan pengelolaan dan pengusahaan bahan galian selama ini. Secara garis besar, kesalahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar, yaitu: 1. Kesalahan pemaknaan atas esensi Pasal 33 ayat (3) tentang hak menguasai negara atas bahan galian. Kesalahan pemaknaan atas esensi tersebut mengenai adanya kelemahan pengaturan pertambangan dan keserakahan yang ditengarai dilakukan pelaku usaha pertambangan dan oknum pemerintah, berpadu menjadi satu kesatuan utuh, sehingga membuat persoalan pengelolaan dan pengusahaan bahan galian tidak sebatas kecilnya hasil yang diterima negara dan bangsa ini, tetapi juga telah mendorong berbagai kenyataan pahit, terkorbankannya kepentingan rakyat setempat khususnya dan negara pada umumnya. 2. Kelemahan landasan yuridis formal tentang pengelolaan dan pengusahaan bahan galian. Kelemahan ini berkaitan erat dengan kesalahan pemaknaan atas esensi Pasal 33 ayat (3) di atas. Sebagaimana diketahui, landasan hukum kegiatan usaha pertambangan yang berlaku sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, tidak mempunyai keberpihakan sama sekali terhadap rakyat. 3. Keserakahan pelaku kegiatan usaha pertambangan dan oknum pemerintah. Ini terjadi dan berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya, didorong dan disebabkan oleh dua faktor di atas. Para oknum pelaku usaha dan pemerintah dengan jeli memanfaatkan kesalahan pemaknaan dan
4
kelemahan peraturan perundang-undangan untuk mengeruk kekayaan sumber daya bahan galian, hanya demi kepentingannya sendiri. Perjalanan dan penantian panjang atas kondisi pengelolaan dan pengusahaan bahan galian yang terjadi selama ini, untuk sementara cukup terobati, sejalan dengan telah lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atas perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Secara substansi Undang-undang ini cukup mengakomodasi gejolak dan kegelisahan sebagian warga bangsa ini, tinggal menunggu pada tataran implementasinya. Bentuk-bentuk akomodasi dimaksud adalah tercantumnya beberapa aturan yang secara yuridis mempunyai keberpihakan, baik terhadap kepentingan rakyat setempat maupun kepentingan nasional, yaitu: 1. Diakomodasinya pertambangan rakyat secara proporsional; 2. Adanya fungsi pengendalian negara/pemerintah dalam pengelolaan dan pengusahaan bahan galian; 3. Pendelegasian pengelolaan dan pengusahaan bahan galian dilakukan secara fair, yaitu melalui mekanisme lelang; 4. Kewenangan masing-masing wilayah administratif atas pengelolaan bahan galian diatur dengan jelas. Pada kenyataannya lokasi mineral dan batubara berada di dalam kawasan hutan yang boleh dipergunakan sesuai dengan fungsi dan peruntukannya sebagaimana telah ditetapkan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Penggunaan tanah kawasan hutan di luar fungsi dan
5
peruntukannya sejauh mungkin harus dibatasi dan diterbitkan hanya untuk keperluan-keperluan yang menyangkut kepentingan umum secara terbatas atau kepentingan pembangunan lainnya diluar sektor kehutanan. Pemanfaatan sumber daya alam di luar sektor kehutanan melalui jalur investasi merupakan salah satu alternatif yang dominan dalam menunjang perekonomian Negara. Pemanfaatan tersebut pada saat ini mendapatkan porsi perhatian yang lebih besar, mengingat berbagai dampak yang ditimbulkan, baik dari aspek yuridis, ekonomi, politik maupun konservasi dan keseimbangan ekosistem lingkungan hidup. Di sisi lain pemanfaatan sumber daya alam terutama sektor pertambangan di dalam kawasan hutan sudah dipastikan akan merusak kondisi kawasan hutan. Mengingat usaha untuk mewujudkan kembali kondisi alam seperti semula membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan kondisi kawasan hutan tersebut belum tentu dapat kembali lagi sama seperti semula, maka diperlukan langkah yang tepat dalam pengelolaannya. Termasuk dalam konteks ini, dalam hal pemberian izin atas pengelolaan kawasan hutan, harus dilakukan dengan sangat selektif, mengingat izin sebagai salah satu upaya kontrol dan pengawasan dari Pemerintah terhadap pelaksanaan kewajiban dari para pemegang izin sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang bersifat konkrit, individual dan final. Pada
umumnya
pemerintah
memperoleh
wewenang
untuk
mengeluarkan izin tersebut ditentukan secara tegas dalam penentuan perundang-undangan yang menjadi dasar dari perizinan tersebut. Akan tetapi
6
dalam penerapannya menurut Marcus Lukman, kewenangan pemerintah dalam bidang izin tersebut bersifat diskresionare power atau berupa kewenangan bebas, dalam arti bahwa pemerintah diberi kewenangan untuk mempertimbangkan atas dasar inisiatif sendiri hal-hal yang berkaitan dengan izin, misalnya pertimbangan tentang:5 1. Kondisi-kondisi yang memungkinkan suatu izin dapat diberikan kepada pemohon; 2. Bagaimana mempertimbangkan kondisi-kondisi tersebut; 3. Konsekuensi yuridis yang mungkin timbul akibat pemberian atau penolakan izin dikaitkan dengan pembatasan peraturan perundangundangan yang berlaku; 4. Prosedur apa yang harus diikuti atau dipersiapkan pada saat dan sesudah keputusan diberikan baik penerimaan maupun penolakan pemberian izin. Pengelolaan suatu kawasan hutan semaksimal mungkin harus berada pada posisi memperkuat fungsi pokok hutan sebagai penyeimbang ekosistem, karena dalam UU Kehutanan yang lama UU No. 5 Tahun 1967 memberikan tekanan pada aspek eksploitasi hutan untuk devisa Negara, sedangkan dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 menekankan pada aspek pemanfaatan yang sesuai dengan fungsi hutan. Sedangkan terminologi pemanfaatan dalam realitanya lebih mengarah pada pemenuhan nilai ekonomis, sehingga yang terjadi dalam pengelolaan suatu kawasan hutan masih berada di luar fungsi pokoknya.
5
Markus Lukman, 1996, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Disertasi, Universitas Padjajaran, Bandung, hlm. 189.
7
Hukum di bidang kehutanan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hukum di bidang lain, antara lain dengan bidang pertambangan. Hal ini berarti, peraturan yang satu dengan yang lain seharusnya saling melengkapi dan saling mendukung, namun dalam implementasinya terkadang justru ada yang
saling
bertentangan,
tumpang
tindih
sehingga
menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi para pihak yang berkepentingan. Usaha untuk mewujudkan satu payung hukum yang dapat mengakomodasi berbagai kesimpangsiuran sedang dan masih terus diupayakan. Keterkaitan antara hukum kehutanan dengan hukum pertambangan antara lain dalam hal terjadi penggunaan maupun pemanfaatan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan dan kegiatan lain di luar sektor kehutanan. Walaupun penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk kegiatan lain di luar sektor kehutanan dimungkinkan, namun pada prinsipnya penggunaan kawasan hutan tersebut harus sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Penggunaan kawasan hutan yang menyimpang dari fungsi dan peruntukannya dapat dilakukan dengan syarat harus ada persetujuan dari Menteri Kehutanan. Pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan dapat dilakukan antara lain dengan pola pinjam pakai kawasan hutan. Terkait dengan pelaksanaannya, pihak kehutanan telah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/MenhutII/2006
(tidak
berlaku
lagi),
Peraturan
Menteri
Kehutanan
Nomor
P.43/Menhut-II/2008, Permenhut P.18/Menhut-II/2011, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan 8
Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan
Hutan,
dan
Peraturan
Menteri
Kehutanan
Nomor
P.14/Menhut-II/2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dimaksud dengan hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Menurut Pasal 28 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pada tahap implementasi, berbagai pedoman pinjam pakai kawasan hutan yang dikeluarkan ternyata mengalami kendala dan permasalahan dalam pelaksanaannya.
Berbagai
pro
dan
kontra
bermunculan
seiring
diberlakukannya pedoman pinjam pakai kawasan hutan tersebut. Hal ini dikarenakan
masih
terdapat
beberapa
kekurangan/kelemahan
dalam
pengaturannya. PT.
Bukit Asam yang terletak di Kabupaten Muara Enim adalah
perusahaan BUMN yang bergerak dalam bidang penambangan dan 9
perdagangan batubara yang operasinya meliputi pembukaan tanah pucuk, lapisan
tanah
penutup,
pengambilan
lapisan
batubara
kemudian
mengembalikan lapisan pucuk dan tanah penutup untuk kegiatan penanaman kembali. PT. Bukit Asam sebagai perusahaan BUMN yang terkait dengan penambangan sumber daya alam mineral dan batubara yang tidak dapat diperbaharui yang dimana lokasi penambangannya terletak di kawasan hutan produksi Kabupaten Muara Enim sehingga menjadi menarik untuk dikaji dan diteliti lebih dalam bagaimana pengurusan izin penggunaan kawasan hutan produksi untuk pertambangan mineral dan batubara tersebut. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan kajian dengan mengambil judul sebagai berikut: “Perizinan Penggunaan Kawasan Hutan Produksi Untuk Pertambangan Minerba di Kabupaten Muara Enim“. Penelitian ini hanya berfokus pada tiga hal yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, dimana ketiga aspek tersebut masuk dalam lingkup pengelolaan pertambangan batubara. Adanya pengkajian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam rangka optimalisasi pengelolaan pertambangan batubara di kawasan hutan produksi untuk meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dan Negara.
10
B. Rumusan Masalah Berdasarkan gambaran dan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana penggunaan izin eksploitasi tambang batubara di kawasan hutan produksi Kabupaten Muara Enim? 2. Apa saja faktor kendala dalam penggunaan izin eksploitasi tambang batubara di kawasan hutan produksi Kabupaten Muara Enim?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian hukum ini mencakup dua hal, yaitu: 1. Tujuan Subyektif Tujuan Subyektif dari penelitian ini adalah untuk memperoleh seluruh data yang berkaitan dengan obyek yang diteliti dalam rangka penyusunan penulisan hukum ini sebagai syarat penulis dalam memperoleh gelar kesarjanaan pada Strata 1 (satu) di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2. Tujuan Obyektif Adapun tujuan obyektif yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah: a. Mengetahui penggunaan izin eksploitasi tambang batubara di kawasan hutan produksi Kabupaten Muara Enim. b. Mengetahui faktor kendala dalam penggunaan izin eksploitasi tambang batubara di kawasan hutan produksi Kabupaten Muara Enim.
11
D. Keaslian Penelitian Untuk melihat keaslian penelitian, telah dilakukan penelusuran pada berbagai referensi dan hasil penelitian serta dalam media cetak maupun elektronik. Terdapat 2 (dua) penelitian yang berhubungan dengan pinjam pakai kawasan hutan, yaitu: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Susy Sulistyani pada tahun 2007, dalam tesis berjudul “Kendala Pelaksanaan Kebijakan Penyediaan Lahan Kompensasi Dalam Proses Pinjam Pakai Kawasan Hutan Untuk Usaha Pertambangan” pada Jurusan Magister Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.6 Perbedaan tersebut terdapat pada penelitian oleh Susy Sulistyawati pada prinsipnya bersifat penelitian hukum normatif untuk menganalisa peraturan perundang-undangan maupun pendapat para ahli. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa kendala pelaksanaan kebijakan penyedian lahan kompensasi dalam proses pinjam pakai kawasan hutan untuk usaha pertambangan bersumber dari faktor internal dan eksternal dari kebijakan yang bersangkutan. Kendala faktor internal: kebijakan persyaratan penyediaan lahan kompensasi dalam Permenhut P.14/Menhut-II/2006 isinya lebih mementingkan aspek ekologis dalam melindungi kepentingan di sektor kehutanan saja dan belum dapat menjangkau kepentingan sektor pertambangan serta unimplementative. Kendala faktor eksternal: muatan persyaratan lahan kompensasi dalam Permenhut P.14/Menhut-II/2006 pada tahap implementasi memberatkan 6
Susy Sulistiani, 2007, Kendala Pelaksanaan Kebijakan Penyediaan Lahan Kompensasi Dalam Proses Pinjam Pakai Kawasan Hutan Untuk Pertambangan.
12
para pengusaha tambang, maka stakeholders kurang memberikan dukungan dan respon positif, sehingga menjadi kendala dalam peaksanaan kebijakan yang bersangkutan. Sedangkan penelitian penulis menitik beratkan pada perizinan penggunaan kawasan hutan produksi untuk pertambangan di Kabupaten Muara Enim. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Sukarno Putro dengan judul “Penggunaan Kawasan Hutan Dengan Pola Pinjam Pakai di KPH Surakarta”.7 Terdapat perbedaan antara penelitian penulis dengan penelitian yang dilakukan oleh Sukarno Putro. Perbedaan tersebut terletak pada lokasi penelitian dan fokus kajiannya. Penelitian yang dilakukan oleh Sukarno Putro lebih menitikberatkan fokus kajiannya pada pemenuhan kewajiban Negara dalam melaksanakan pengukuhan atas lahan kompensasi dari pinjam pakai kawasan hutan, sedangkan penelitian penulis menitikberatkan pada perizinan penggunaan kawasan hutan produksi untuk pertambangan di Kabupaten Muara Enim.
E. Manfaat Penelitian Penulis meyakini bahwa penelitian yang dilakukan untuk penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi yang diperlukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum agraria khususnya dalam hal perizinan penggunaan kawasan hutan produksi untuk pertambangan. 7
Sukarno Putro, Penggunaan Kawasan Hutan Dengan Pola Pinjam Pakai di KPH Surakarta
13
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada aparat pemerintah yang terkait dengan pengambilan keputusan, khususnya yang berkaitan dengan perizinan penggunaan kawasan hutan produksi untuk pertambangan.
14