BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Manado merupakan ibukota provinsi Sulawesi Utara yang dikenal dan digaungkan sebagai daerah miniatur kerukanan umat beragama di Indonesia1. Hal tersebut sangat membanggakan pemerintah daerah, termasuk masyarakat. Ini terlihat dari headline news surat kabar lokal yang mengkontraskan toleransi masyarakat terhadap perayaan Natal di Manado dengan tidak terimanya sebagian masyarakat Bogor terhadap perayaan hari raya tersebut di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin, hingga umat harus beribadah di luar ruangan2. Sejak konflik bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan), mendera Indonesia di paruh kedua 1990-an hingga awal 2000-an, Manado serta Sulawesi Utara tetap bertahan dengan citra aman dan toleran, sekalipun secara geografis diapit daerah konflik. Sebelah selatan ada konflik Poso (1999-2000) di Sulawesi Tengah; sebelah timur, konflik Maluku (1999-2001) dan Maluku Utara (2000); sebelah barat ada konflik Kalimantan di Ketapang (1998) juga Sambas dan Sampit (2000-2001)3. Citra damai tersebutlah yang kemudian mendorong kedatangan para korban dari daerah bertikai, terutama Maluku Utara dan Maluku untuk menyelamatkan diri di daerah ini4.
Manado Post (Jumat, 11 Desember 2009) hlm. 7 kolom 3-7 Manado Post (Selasa, 27 Desember 2011) hlm. 1 kolom 1-7 3 Murni Djamal, Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini (Jakarta: INIS Universiteit Leiden dan Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah, 2003) Kata Pengantar, hlm. xi 4 Consortium for Assistance to Refugees and Displaced in Indonesia, Bulletin, Edisi I (Manado: Mei 2002) hlm. 2-3 1 2
1
Tidak sampai disitu, imaji aman, damai dan toleran umat beragama dan etnis di Sulawesi Utara melekat kuat dan tergambar dari lagu “Torang Samua Basudara” dengan penyanyi Rama Aiphama. Lagu yang dilepas pada khalayak tahun 1999 tersebut, mengusung semangat rukun BoHuSaMi, akronim bentukan pemerintah daerah yang didasarkan dari nama suku bangsa tempatan di Sulawesi Utara, yaitu: Bolaang-Mongondow; Hulu(Goro)ntalo; Sangi(he)r; Minahasa. Syair dan video klip lagu tersebut secara emosional berisi ajakan dan pengingat untuk hidup rukun sekalipun memiliki latar belakang berbeda-beda. Kisah-kisah manis tersebut berbanding lurus dengan tuturan warganya dan beberapa orang yang pernah mampir di Manado. Sekalipun sebagaimana anggapan umum, orang Manado lekat dengan identitas Kristen dan nilai-nilai (ke)Barat(an)5 yang terkenal individualistis itu, namun tetap saja masyarakat mempertontonkan toleransi dalam arena pluralitas. Semisal, pada perayaan Tahun Baru Imlek 2012, salah seorang pemuka agama yang meneruskan tradisi tiap tahunnya mengajak seluruh warga kota tidak perduli dari kalangan apapun untuk bersukacita bersama pada perayaan tersebut yang dipusatkan di Klenteng Besar Ban Hin Kiong jam 12 Malam (Pacific TV, Headline News, 22 Januari 2012). Begitu juga penuturan salah seorang warga Yogyakarta yang pernah mengunjungi Manado dan terkesan dengan toleransinya6. Ketika ia memesan sajian di rumah makan “khas Manado”, pada saat bersamaan ada seorang wanita berjilbab datang dan dengan rasa hormat, pramusaji mengatakan: “maaf ibu, kami tidak bisa menghidangkan menu disini untuk ibu, mungkin ibu bisa memesan
Bert Tua’ Supit, “Quo Vadis Tou Minahasa”, di dalam Buletin Tou Nga’asaan (Edisi II, Agustus 2005) hlm. 8 6 Wawancara spontan dengan Amir (nama disamarkan) di Condong Catur, Sleman, Rabu, 25 Januari 2012 5
2
menu di restoran sebelah yang menyediakan menu nasional”. Ibu itupun berkata: “tidak apa-apa, saya hanya menunggu teman saya saja disini”. Toleransi tersebut, lebih lanjut dikatakan informan tersebut, belum pernah ia temui di daerah asalnya. Sejak dekade 1980an, beberapa peneliti dalam publikasinya menangkap fenomena kerukunan dan kerjasama harmonis dimaksud, termasuk menyematkan nama-nama ataupun istilah-istilah sejuk untuk propinsi Sulawesi Utara, khususnya kota Manado. Mereka antara lain: Y. V. Van Paasen7; AP Abdullah8; Karen P. Kray9; Kelly Swazey10; David Henley, Maria J.C. Schouten dan Alex Ulaen11; Gabriele Weichart12; dan Ilham Daeng Makkelo13. Karya-karya mereka bisa dibilang isinya antara lain menangkap dan merepresentasikan masyarakat Manado dalam wajah damai, saling menerima dan toleran dengan perbedaan14. Konstruk-relasi saling-menerima tersebut tentu menarik dan penting dipelajari. Karena, dalam kasus ini, masyarakat terlihat mem(di)bangun identitas sebagai orang Manado, sebuah identitas yang dilekatkan pada sebuah kota. Penduduknya mulai melepaskan identitas lama yang melekat bedasarkan etnisitas, Y.V. Paassen, MSC, “Kerjasama Antar Agama dan Prospeknya: Kasus Sulawesi Utara”, di dalam Koentjaraningrat (Peny.), Masalah-masalah Pembangunan Bunga Rampai Antropologi Terapan (Jakarta: LP3ES, 1982) hlm. 371-387 8 Abdullah AP, “Kerukunan Hidup Umat Beragama: Studi Kasus di Kota Manado”, di dalam Tim Penyusun, Direktori Penelitian Agama, Konflik dan Perdamaian (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Institut Pluralisme Indonesia, 2005) hlm. 232 9 Karen P. Kray, Operasi Lilin dan Ketupat: Conflict Prevention In North Sulawesi Indonesia, MA Thesis (Ohio: The Faculty of International Studies of Ohio University, 2006) 10 Kelly Swazey, “From The City of Brotherly Love: Observation on Chrstian-Muslim Relations on North Sulawesi”, di dalam Explorations Journal of Asian Studies, Volume 7, Issue 2, Special Edition: Islam in Southeast Asia (Manoa: University of Hawai’I, musim semi 2007) hlm. 47 11 David Henley, Maria J.C. Schouten, Alex J. Ulaen, “Preserving The Peace in Post-New Order Minahasa”, di dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken (Eds.), Renegotiating Boundaries Local Politics in Post-Suharto Indonesia (Leiden: KITLV Press, 2007) hlm. 307-326 12 Gabriele Weichart, “We Are All Brothers and Sisters: Community, Competion and Church in Minahasa”, di dalam Françoise Douaire-Marsaudon and Gabriele Weichart (Eds.), Les Dynamiques Religieuses dans le Pacifique: Formes et Figures Contemporaines de la Spiritualité Océanienne [Religious Dynamics in the Pacific: Contemporary Forms and Key Figures of Oceanian Spirituality] (Marseille: Pacific-Credo Publications, 2010) 13 Ilham Daeng Makkelo, Kota Seribu Gereja Dinamika Keagamaan dan Penggunaan Ruang di Kota Manado (Yogyakarta: Ombak, 2010) 14 Substansi tulisan-tulisan dimaksud akan disajikan lebih lanjut di bagian kajian pustaka. 7
3
agama, “genealogi kekerabatan runut-jelas”, “teritori-adat”; termasuk pakempakem budaya yang dikenali sebagai “asli” atau “tradisional” seperti pakaian-adat, rumah-adat, alat musik dan sebagainya. Alih-alih mereka meng(di)identifikasi sebagai orang Manado, lepas dari Minahasa atau “orang-gunung”, Jawa, Sangir, Talaud, Gorontalo, Bugis, Cina, Kristen, Islam, Katolik, Hindu dan Budha. Di sisi lain, bertolak belakang dengan penjelasan di atas, mengikuti logika teori dramaturgi Erving Goffman15, maka apa yang (di)nampak(an) adalah semacam pertunjukan sandiwara panggung-depan (front stage) dan berbeda dengan narasi sebaliknya; kehidupan tanpa “riasan” di panggung-belakang (backstage). Mengikuti alur pikir Goffman, fenomena identitas panggung-depan masyarakat Manado tentu memiliki fenomena panggung-belakang yang kontras. Beberapa ilmuwan sosial juga telah secara sederhana menangkap dan mengemukakan hal tersebut. Beberapa publikasi mengenai dinamika wajah timpang dan suram masyarakat Manado, serta bertolak belakang dengan citra rukun yang selama ini ter(di)bangun, antara lain: Abdullah AP16; Henny Warsilah dan Riwanto Tirtosudarmo17; LSI (Lingkaran Survei Indonesia)18; Kelly
Penjelasan mengenai hal ini dapat dilihat pada Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (Edinburgh: University of Edinburgh Social Sciences Research Center, 1956); Suko Widodo, “Teori Dramaturgi Erving Goffman”, di dalam Bagong Suyanto dan M. Khusna Amal (Eds.), Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial (Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2010) hlm. 175 16 Abdullah AP, Op. Cit. 17 Henny Warsilah dan Riwanto Tirtosudarmo, “Potensi Sosial Budaya dan Ekonomi Daerah Penelitian (Studi Kasus Dua Kota di Indonesia Bagian Timur: Manado-Sulut dan DenpasarBali)”, di dalam Henny Warsilah (Ed.), Kelas Menengah dan Demokratisasi: Partisipasi Kelas Menengah Dalam Kontrol Sosial Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang Baik dan Bersih(Jakarta: LIPI, 2005) 18 Lingkaran Survei Indonesia, “Faktor Agama Dalam Pilkada”, di dalam Kajian Bulanan Edisi 10 (Jakarta: Februari 2008) 15
4
Swazey19; Ilham Daeng Makkelo20. Substansi karya-karya yang telah disebut akan disajikan secara lebih luas pada bagian Kajian Pustaka. Dalam tataran realitas-empirik, kecenderungan serupa juga nampak pada wacana pembentukan Kota Manado Utara21. Sekalipun isu yang diangkat demi pemerataan pembangunan. Namun, bagi masyarakat Manado Utara, ini dapat dilihat sebagai suatu wujud resistensi atau kecemburuan pada mereka di wilayah Manado Selatan yang dinilai lebih tersentuh pembangunan. Hal ini, dalam konteks identitas sosial yang berkembang pada masyarakat, bisa dikontraskan secara biner-oposisif, superior-inferior, superordinat-subordinat, pusat-pinggiran, dimana orang di Manado Selatan -termasuk Manado Tengah- berada pada posisi superior yang kebetulan melekat identitas Minahasanya, yaitu bangsa22 tempatan dan kadang-kadang secara sarkastik, namun lebih sering diam-diam, disandangkan sebagai “tuan-rumah”. Sementara orang Manado Utara, mau tidak mau dilabelkan dalam posisi inferior yang lekat dengan identitas Kristen-Sangi(he)r-pendatang ataupun bisa juga Muslim-pendatang (Gorontalo, Bugis, Jawa dan sebagainya). Bagi masyarakat Manado sendiri, identitas sosial tersebut dirangkum singkat dalam istilah sabla aer. Sabla aer merupakan bahasa Melayu-Manado yang secara literal berarti “di seberang air (kuala atau sungai)”. Istilah ini pertama kali digunakan Sekretaris Residen Manado Ph. E. L. Sigar tahun 1923 untuk menyebut penduduk Sangir di Manado Utara sekaligus memuji kesungguhan dan semangat kerja mereka yang Kelly Swazey, Op. Cit. Ilham Daeng Makkelo, Op. Cit. 21 Lihat ”Manado Utara Layak Mekar Jadi Daerah Otonom”, di dalam http://beritamanado. com/kota-manado/manado-utara-layak-mekar-jadi-daerah-otonom/47062/ (Posted Selasa, 9 Agustus 2011, 9.49 PM) diunduh Kamis, 12 Januari 2012, pukul 9.53 PM 22 Soal identifikasi bangsa untuk Minahasa dan bukan etnis atau suku bangsa akan dijelaskan lebih lanjut dalam Bab II 19 20
5
hebat bagi kemajuan ekonomi Manado23. Kini, sabla aer tidak hanya menjadi sebuah penunjuk teritori semata. Bagi warga, istilah itu secara konotatif merujuk pada golongan masyarakat kelas dua yang berpretensi sekaligus berpreferennsi pada agama tertentu yang saling rekat dengan etnis tertentu, seperti Islampendatang (Gorontalo, Jawa, Bugis) ataupun Kristen-pendatang (Sangi(he)r). Jelas bahwa, sabla aer merupakan identitas di dalam identitas menyangkut relasi antar agama maupun etnis di Manado yang selama ini ter(di)bentuk dan menjalar dalam banyak ruang sosial masyarakat. Maka, berdasar berbagai penjelasan di atas, penulis mengajukan penelitian berjudul: “Menyatukan dan Memecah Belah: Praktek dan Wacana Identitas Sosial di Kota Manado”. Pertimbangan lain dipilihnya topik ini, karena kebanyakan kajian mengenai identitas Manado banyak dipadankan dengan identitas Minahasa yang cenderung berkonsentrasi menyoroti akselerasi ke-Minahasa-an yang lekat dengan keKristenan juga ke-Barat-(barat)an24. Juga didapati studi-studi tentang identitas orang Manado belum serius menyoroti secara sekaligus, pembentukan identitas baru dengan mengenyampingkan identitas lama yaitu etnisitas dan beralih pada nama kota yang tidak harus kait-mengait secara historis dengan etnis tertentu25. Termasuk relasi identitas di dalam, yaitu sabla aer. Dimana, identitas dimaksud, secara bertindihan menjadi perekat masyarakat, juga pemecah belah. Jadi, posisi karya ini, ingin penulis tempatkan sebagai penambah literatur yang selama ini telah ada dan dipelajari; atau dapat dilihat sebagai sepotong kaca dalam mosaik dinamika kebudayan masyarakat Manado secara khusus dan Remy Sylado, “Fatsal Penyairnya Ketimbang Puisinya”, di dalam Pitres Sombowadile, Coelacanth Tak Pernah Mati Kumpulan Puisi Pitres Sombowadile (Manado: Komunitas Sastra Manado, 2007) Pengantar, hlm. 5 24 Mengenai pernyataan ini akan dijelaskan secara terpisah pada bagian “Kajian Pustaka” 25 Akan dijelaskan secara terpisah pada Bab II 23
6
Indonesia pada umumnya. Sekaligus, menjadi refleksi juga cermin bagi penulis tentang diri sendiri dan masyarakat tempat penulis hidup dan belajar. Dimana hingga kini, bahkan sampai seumur hidup belum bisa dipahami secara utuh. Namun, tetap bisa berikhtiar untuk terus menuju pengertian yang semakin baik dan berpihak pada kesetaraan, sebagaimana secara ideal dicita-citakan dalam slogan Torang Samua Basudara.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana dan dalam ruang-ruang relasi empiris, simbolis serta politis apa warga kota sebagai agen (masyarakat umum, pemerintah, tokoh, media lokal) membangun wacana dan praktek identitas Torang Samua Basudara dalam yang menyatukan beragam identitas agama dan etnis? 2. Bagaimana dan dalam ruang-ruang relasi empiris, simbolis, politis apa warga kota sebagai agen membangun wacana dan praktek identitas sosial sabla aer yang bersifat memecah belah?
1.3. Ruang Lingkup, Fokus dan Tujuan Penelitian Penelitian ini mengenai orang Manado (manadonese) dengan sampel wilayah penduduk di kota Manado yang penulis tempatkan secara geografis-administratif sebagai ruang lingkup spasial. Dalam garis waktu, sekalipun tetap mengambil sumber-sumber sejarah, fenomena identitas sosial penelitian ini difokuskan pada pembentukan identitas sosial setelah kemunculan istilah Torang Samua Basudara
7
sekitar tahun 1997-1998 di masa pemerintahan Gubernur E. E. Mangindaan hingga saat ini. Jadi, identitas sosial yang dimaksud disini sifatnya kontemporer. Pertimbangan hal di atas karena memang sedari awal penulis tertarik untuk meneliti fenomena identitas sosial yang berdinamika dalam masyarakat kota ini. Padanya tentu melekat juga, heterogenitas penduduk yang pada tahun 2003 – tahun terakhir pencatatan sebaran penduduk berdasarkan agama- masih didominasi pemeluk agama Kristen26. Hingga sensus 2000 tercatat Minahasa merupakan entitas (etnis) bangsa yang paling banyak secara kuantitas 27. Namun semakin lama, indikasi menunjukkan timbulnya keseimbangan kuantitas karena didorong cepatnya mobilitas penduduk yang datang ke Manado dari luar daerah karena daya tarik ekonomi dan keamanan bagi para korban kerusuhan. Manado dapat dipandang -mengikuti Pierre Bourdieu- sebagai arena28 yang berbagai orang dari latar belakang agama dan etnis ada di dalamnya, saling memainkan peran masing-masing untuk berebut ruang lewat modal budayanya. Namun begitu, fokus penelitian ini bukanlah arena itu sendiri, melainkan “permainan” identitas sosial masyarakat di dalam arena, baik yang berwajah menyatukan juga memecah-belah. Namun begitu, karena kota Manado itu sendiri dianggap29 sebagai salah satu daerah tempatan (etnis)bangsa Minahasa, serta
Lihat Badan Pusat Statistik Kota Manado, Manado Dalam Angka 2003 (Manado: Badan Pusat Statistik. 2004) hlm. 118; jumlahnya berturut-turut, Kristen lainnya (177.692 jiwa), Islam (138.642 Jiwa), Katolik (21.842 Jiwa), Budha (7.224 Jiwa); Hindhu (1.010 Jiwa) 27 Lihat Badan Pusat Statistik Kota Manado, Manado Dalam Angka 2000 (Manado: Badan Pusat Statistik. 2001); jumlahnya berturut-turut, Minahasa (152.464), Sangihe (73.575); Gorontalo (64.502); Lainnya (54.423 Jiwa); Jawa (18.292 Jiwa), Bolmong (6.551 Jiwa); Talaud (3.216 Jiwa). 28 Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977) 29 Tanda tanya (?) sengaja disandangkan karena diketahui ada beberapa karya, terutama dari mereka ‘orang tua’ Minahasa yang mengklaim Manado adalah bagian dari wilayah Minahasa Pakasaan (wilayah adat) Tombolu, terutama karya pada catatan kaki No. 30. Namun, ada juga beberapa catatan perjalanan abad lampau mengenai tanah di Manado yang dulunya 26
8
sering penduduknya disamakan dengan orang Minahasa30, termasuk masyarakat berinteraksi dalam budaya-dominannya31. Tentu penjelasan (pra)identitas orang Manado, umumnya - dijelaskan dalam Bab II- akan bias Minahasa. Padahal disadari, penelitian ini nantinya akan menyoal identitas-identitas serta sentimensentimen selain orang Manado-Minahasa itu sendiri, tapi juga Manado-Sangir, Manado-Gorontalo, Manado-Islam, pendatang dan seterusnya. Berdasarakan penjelasan pada bagian-bagian sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui bagaimana dan dalam ruang-ruang relasi empiris, simbolis serta politis apa warga kota (masyarakat umum, pemerintah, tokoh, media lokal) membangun wacana dan praktek identitas Torang Samua Basudara dalam yang menyatukan beragam identitas agama dan etnis; (2) Mengetahui Bagaimana dan dalam ruang-ruang relasi empiris, simbolis, politis serta resistensi apa warga kota membangun wacana dan praktek identitas sosial sabla aer yang bersifat memecah belah; (3) Memperoleh penajaman serta penjelasan berbeda mengenai teori identitas sosial yang selama ini telah terbentuk. 1.4. Kajian Pustaka Sebagaimana pernyataan Hamerster (1916) yang dikutip oleh Peter Nas, menggambarkan Manado dalam detail berarti mendeskripsinya sebagai bagian
status quo dan oleh pemerintah kolonial diberikan kepada etnis Bantik -salah satu bagian dari sub-etnis Minahasa yang punya kedekatan fisiologis, etnisitas dan bahasa dengan orang Sangir-, dapat dilihat di: Alfred Russel Wallace, The Malay Archipelago (Hongkong: Periplus, 2008) hlm. 183-203. 30 Lihat All People Iniative, “Minahasa In The New York Metro Area”, Bulletin (Oktober 2007); Alex John Ulaen, La ‘Residentie Manado’ À La Fin Du XIXe Siècle: Une Introduction à l’étude historique du pays Minahasa à Célèbes Nord [Karesidenan Manado Pada Akhir Abad Ke XIX: Pengantar Kajian Kesejarahan Tanah Minahasa, Sulawesi Utara] (Manado: MarIn CRC, 2010) hlm. 30 31 Lihat Boy E. L. Rondonuwu, Minahasa Tanah Tercinta (DPD KNPI Tingkat II Minahasa, 1984); Ch. Rondonuwu , Tentang Minahasa (Tomohon: Yayasan Mapalus Minaesa, 1982)
9
dari Minahasa32. Maka sangat beralasan dan saling terkait jika mendiskusikan identitas dan dinamika orang Manado melalui studi-studi yang kebanyakan tentang identitas Minahasa, baik sejak masa kolonial hingga pasca-kolonial. Apalagi, studi dan publikasi yang membahas Minahasans, secara kuantitas jauh lebih kaya dari bahasan tentang Manadonese. Pengamatan Reimar Schefold yang dikemukakan dalam pengantar pada buku yang dieditorinya33, mengemukakan karya tentang Minahasa setelah Perang Dunia I sangat kurang karena dianggap tidak memiliki “atraksi eksotik” yang bisa mendorong timbulnya banyak publikasi. Menurut saya, ini karena orang Minahasa bisa dianggap sudah membawa semangat dan model hidup barat. Persoalan identitas Minahasa yang cenderung berwarna barat akan dijelaskan sekilas dalam kajian pustaka ini dan lebih rinci pada Bab II untuk memeta-awalkan gerak identitas di Manado sejauh catatan-catatan pustaka. Agar ada semacam fondasi untuk lebih memahami arah kajian dalam penelitian ini. Identitas Minahasa, sebagaimana dikaji oleh beberapa ahli terlihat menggambarkan kedekatan gaya hidup dengan dunia barat terutama Belanda. Will Lundstrӧm-Burghoorn, melihat bagaimana identitas ini sangat terpengaruh oleh Belanda34. Mulai dari pengaturan rumah dan pekarangannya, kebiasaan berpesta, minuman serta makanan yang dikonsumsi. Tak lepas dari itu adalah soal tradisi penamaan anak yang mengikuti model barat, termasuk penggunaan fam atau nama keluarga. Ia mengangkat bagaimana fleksibilitas identitas Minahasa yang selalu Peter Nas, “Miniature of Manado Images of A Peripheral Settlement”, di dalam Reimar Schefold (Ed.), Minahasa Past and Present Tradition and Transition in an Outer Island Region of Indonesia (Leiden: Research School CNWS, 1995) hlm. 61 33 Reimar Schefold (Ed.), Minahasa Past and Present Tradition and Transition in an Outer Island Region of Indonesia (Leiden: Research School CNWS, 1995) Introduction, hlm. 2 34 Will Lundstrӧm-Burghoorn, Minahasa Civilization A Tradition of Change (Gothenburg: Acta Universitatis Gotheburgensis, 1981) 32
10
berubah. Karena tidak semuanya identik dengan Belanda, kebiasaan minum Cocacola saat pesta atau ketika Natal misalnya. Dengan demikian, Will mencoba mengemukakan bahwa perubahan adalah kebudayaan Minahasa itu sendiri. Karya ini sendiri, dapat dikatakan sebagai peta untuk menyelami lebih dalam, aspekaspek hidup spesifik orang Minahasa-kontemporer. Tahun 1982, Van Passen merekam kerukunan umat beragama dalam karyanya di buku yang dieditori Koentjaraningrat35. Karya yang memperlihatkan bagaimana pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, pada dasarnya, secara kultural toleran menerima berbagai kepelbagaian. Hal tersebut tercermin dalam berbagai kegiatan yang selalu menampilkan kerjasama lintas agama. Termasuk, bagaimana masyarakat Sulawesi Utara ia istilahkan sebagai orang-orang yang asing dengan Prinzipienreiter, pembela mati-matian dalil-dalilnya36. Karya penting yang juga bisa dilihat adalah dua karya David Henley yang mengusung ide sejalan, soal kesadaran nasionalisme dan regionalisme37. David Henley melihat bagaimana pergulatan identitas Minahasa dalam pengaruh serta ke-identik-an dengan kolonial hingga akhirnya dikenal dengan Twapro, akronim dari Twalfde Provincie van Netherlandsch atau provinsi kedua-belas Belanda. Hingga akhirnya ini menjadi persoalan identitas bagi orang Minahasa di tengah nasionalisme Indonesia, atau dikotomisasi pro Belanda-anti Belanda. Maupun setelah merdeka, pro-negara kesatuan atau federal. Apalagi, praktis pasca perang Tondano melawan Belanda pada dasawarsa pertama abad ke 19, Belanda telah Y.V. Paassen, Op. Cit. Ibid., hlm. 381 37 David Henley, “Nationalism and Regionalism in Colonial Indonesia: The Case of Minahasa”, di dalam Indonesia, No. 55, The East Indies and The Dutch, April 1993 (Ithaca: Southeast Asia Program Publication at Cornell University, 1993) hlm. 91-112; David Henley, Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in The Dutch East Indies (Leiden: KITLV Press, 1996) 35 36
11
sepenuhnya mengontrol Minahasa. Namun, karena sumber pustakanya sangat banyak diambil dari perpustakaan Belanda, ini menjadi cukup memasang kolonial dalam ramah-wajah. Bahwa, sekalipun masih ada penjelasan singkat disana-sini mengenai perlawanan rakyat yang memilih bergabung ke Indonesia. Namun, tetap belum cukup untuk mencegah kesan Minahasa sebagai “antek-antek” Belanda. Abdullah AP, dalam laporan penelitian yang tercatat di Direktori Penelitian Agama, Konflik dan Perdamaian menyampaikan hubungan antar umat-beragama di Kota Manado dengan kalimat “cukup-menggembirakan”38. Kemudian secara bertolak belakang, amatannya menunjukkan bahwa pemukiman penduduk cenderung terbagi berdasarkan golongan agama tertentu. Terutama pemeluk Kristen dan Islam, dimana ia menangkap adanya saling curiga, saling merendahkan, rasa ketidakpuasan antar sesama dan saling menuduh39. M. J. C. Schouten mengklaim Minahasa sebagai daerah dengan masyarakat yang paling terpengaruh dengan Belanda dibanding wilayah manapun di nusantara40. Semua aspek hidup terkena imbasnya. Dari kekerabatan yang mengikuti sistem kolonial; bahasa yang akhirnya meminggirkan bahasa etnis dan terganti Belanda disamping Melayu-Manado; soal status dan sistem politik yang berada di bawah kendali kolonial; perekrutan untuk mengabdi sebagai tentara Hindia Belanda yang akhirnya menaikkan status sosial; pemberian pangkat Tituler untuk pimpinan walak41; soal perkebunan kopi dan kopra; dan terutama soal kepemimpinan. Karya ini menarik, karena dengan data yang kaya, studi dalam
Abdullah AP, Op. Cit., hlm. 232 Ibid. hlm. 233 40 M. J. C. Schouten, Leadership and Social Mobility in a Southeast Asia Society: Minahasa, 1677-1983 (Leiden: KITLV Press, 1998) 41 Walak istilah untuk sistem pimpinan tradisional beberapa negorij (kampung), sekarang setingkat dengan kecamatan. 38 39
12
buku ini menjadi sebuah perbandingan antara elit kolonial dan kelas menengah Minahasa. Kumpulan tulisan yang bisa dirujuk dalam mendiskusikan identitas Minahasa adalah karya-karya yang dieditori Helmut Bucholt dan Ulrich Mai42. Pemilahan buku ini dalam tiga bagian, yaitu: aspek sejarah-sosial dan budaya; politik lokal dan diferensiasi sosial, serta; aspek ekonomi dan ideologi dalam pembangunan regional menjadikannya mudah dipahami sesuai isu. Diskusi dalam buku ini akhirnya memperlihatkan bagaimana hubungan Minahasa dengan dunia kolonial sejak masa kolonial hingga kini, akhirnya mempengaruhi nilai, norma, model hidup, aspirasi politik, diferensiasi sosial, pasar, sosial-ekonomi bahkan orientasi outward lookingnya. Akhirnya menempatkan identitas Minahasa pada kajian akselarasi perubahan dan dalam konteks modernisasi di setiap masa yang dilalui. Studi menarik dan kaya informasi juga dapat diperoleh dari bunga rampai mengenai Minahasa yang menempatkan Reimar Schefold43 sebagai editor. Para kontributor
menyumbangkan
gagasan-gagasan
multi-dimensional
tentang
Minahasa. Baik dari dari aspek sejarah, tradisi, mitos, geografis, demografis bahkan kelompok-kelompok minoritas di dalamnya (Islam dan Bajo). Karena itulah buku ini menjadi menarik dan penting sebagai sumber informasi akademis. Tesis Mahyudin Damis harus mendapat apresiasi dan tempat tersendiri disini. Ia membahas salah satu wujud identitas orang Islam di kota Manado, yaitu Taptu-
Helmut Bucholt and Ulrich Mai, Continuty, Change and Aspirations: Social and Cultural Life in Minahasa, Indonesia (Singapore: Institute of Souteast Asian Studies, 1994) 43 Reimar Schefold, Op. Cit. 42
13
Hijrah kaum muda44. Dalam salah satu bagiannya, dia menyentil istilah sabala aer yang tidak hanya bermakna teritorial namun lebih dari itu, kultural45. Menunjuk orang Islam-Manado yang tinggal di wilayah “kumuh dan padat-penduduk” (slum) di Manado Utara, kemudian dihubungkan dengan para pendatang46. Termasuk penyertaan cerita simpang-siur yang menjadi sentimen antar warga ketika masa penelitiannya, bahwa ada isu proses Islamisasi dengan cara memperkosa wanita-wanita Kristen47. Namun, saya sebagai native, juga orang yang sedang mempelajari antropologi, melihat karya ini -dalam banyak bagiansebagai sebuah “kemarahan tidak pada tempatnya”. Karya ini terlihat Islamsentris dan melekat dengan itu -sebagai antropolog- penulisnya kurang menyadari setting by design masa itu yang dibanjiri provokasi di berbagai daerah untuk membakar kemarahan dan kerusuhan massa. Sebagai pembanding misal-nya, kasus pencemaran sumur warga Islam Kei di Maluku dengan kepala babi 48. Atau kegiatan KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) warga Kristen yang, ketika itu hampir selalu menyertakan kesaksian warga dari daerah kerusuhan dan pastinya “membela” warga Kristen dan terkesan “menyudutkan” warga Islam. Termasuk video kerusuhan di Kalimantan ber(di)isi suara berbahasa Arab yang disebarkan secara luas pada kalangan terbatas. Ditambah, realitas politik otonomi-pemekaran ketika itu, yakni pemisahan provinsi Gorontalo, mendorong terbangun dan tersebarnya isu etnis serta agama untuk menjadi alat pemulus tujuan politik.
Mahyudin Damis, Taptu Hijrah di Kalangan Kaum Muda Islam Manado, Sulawesi Utara: Sebuah Interpretasi (Tesis Magister Antropologi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1999) 45 Mahyudin Damis, Op. Cit., hlm. 138-139 46 Loc. Cit. 47 Loc. Cit. 48 Keterangan Sahrul, Mahasiswa Pasca-sarjana S2 Antropologi angkatan 2009 pada diskusi pengalaman penelitian di FIB UGM, Kamis 9 Januari 2012 44
14
Lepas dari argumen-argumen dan data yang dibangun dalam karya-karya di atas. Catatan yang perlu dilihat dalam semua karya ini, baik konteks lampau hingga kini adalah bagaimana bangsa Minahasa yang dalam banyak karya diidentikkan dengan orang Manado, karena kesuksesan misi NZG (Netherland Zendeling Genootschap) dan melaluinya, introduksi pendidikan serta nilai barat dalam semua aspek kehidupan. Setelah itu, masuk pada ranah globalisasi dan modernisasi.
Kemudian
digambarkan
sebagai
anak
ibu
pertiwi
paling
“terwesternisasi”, “termodernisasi”, “terkristenisasi” dan akhirnya paling “tidak ter-Indonesiasi”. Lagipula, semua kajian di atas terkesan menempatkan Minahasa sebagai identitas etnis otentik, sama halnya juga dengan kajian-kajian lebih kontemporer yang nanti dijelaskan. Terkesan melihat Minahasa sebagai komunitas yang dipagari wilayah, bahasa, sejarah dan akhirnya “terkurung” di tengah dan dari situ berhubungan dengan identitas-identitas lain. Baik itu pada karya berbentuk buku yang mendalami suatu aspek hidup tertentu ataupun dalam bentuk artikel yang masih berupa sketsa. Artikel Peter Nas49 yang terkesan mencoba lepas dari anggapan otentisitas tersebut –kemudian menjadi relevan dengan rencana studi ini-. Dimana, ia secara spesifik mencoba melihat identitas Manadonese dan bukan Minahasans. Sekalipun tetap tidak lepas dari melihat Minahasa, pengaruh barat dalam arsitek, tata kota, pertanian, pasar dan koneksi global. Namun, ia juga menjelaskan bagaimana identitas ini berdialog dengan identitas Islam, Gorontalo, China, Sangir, Talaud, selain tentu dengan dunia barat beserta Kristen dan pendidikan-nya. Walau memang, kajian ini masih berbentuk percahan.
49
Peter Nas, Op. Cit.
15
Sekalipun belum seserius studi-studi sebelumnya yang sudah berbentuk buku, telah ada beberapa studi tentang identitas Minahasa kontemporer. Artinya diterbitkan dalam angka tahun 2000an, terutama dalam ranah politikpemerintahan. Tulisan Michael Jacobsen misalnya, setelah melihat pengaruh yang kuat dari Belanda sebagaimana akademisi lain, ia intinya mempertanyakan tentang pencarian identitas Minahasa pasca orde baru50 karena terkesan hilang arah. Melalui Gerakan Peduli Minahasa yang digaungkan salah satu LSM lokal, ada percobaan kembali ke identitas tradisional/purba, melalui program rekontekstualisasi atau revitalisasi bahasa maupun kepercayaan lokal misalnya, yang praktis hampir menjadi -sebagaimana ia istilahkan- historical artefact51. Ia berpendapat hal tersebut merupakan respon resistensi atas “jawanisasi” dan “islamisasi” di pemerintahan pusat, yang melihat Minahasa sebagai periferi, kemudian direspon dengan mencoba membentuk “pusat” sendiri. Termasuk, bagaimana ia melihat ketakutan, tersainginya Minahasa dari Gorontalo dengan menguhubungkan hal tersebut dengan identitas Islam mereka. Karya ini cukup mengkontraskan identitas-politik Minahasa yang saling kait-mengait dengan agama dan nasionalisme Indonesia. Pada artikel lain, Jacobsen melihat bagaimana penerimaan formasi global dalam identitas Minahasa sebagai akibat dari pendidikan barat yang mereka terima, termasuk juga introduksi nilai dan moral Kristen52. Jadi, dapatlah
Michael Jacobsen, “On The Question of Contemporary Identity in Minahasa, North Sulawesi Province , Indonesia”, di dalam Journal of Asian Studies, Vol. I (Hongkong: The Chinese University Press, 2002) hlm. 31-58 51 Ibid., hlm. 39 52 Micahael Jacobsen, “Appropriating the Global Within The Local, Identity Formation among The Minahasa in Contemporary Indonesia”, di dalam Catarina Kinnvall and Kristina Jansson (Eds), Globalization and Democratization in Asia, The Construction of Identity (London and New York: Routledge, 2002) hlm. 229-245 50
16
dikatakan identitas lokal kontemporer Minahasa adalah apa yang berlaku global. Kemudian, hal tersebut berkontestasi dengan identitas nasional, yang mau tidak mau harus diterima di bawah doktrin negara kesatuan orde baru. Jika tidak, bisa membahayakan, karena sangat bertentangan dengan identitas kolonial-Minahasa yang federalis-Kristen. Kemudian, akhirnya itu bertarung dengan negara kesatuan dan Islam serta Jawa. Jadi, dapat dilihat, bahwa dua artikel Jacobsen ini, mencoba menjelaskan aspek identitas-politik di(orang) Minahasa. Narasi kecil kontemporer yang mempersoalkan identitas Minahasa semakin mengerucut dan beragam isu, karena mulai mengeksplorasi identitas dalam hal spesifik namun mulai mendalam, sekalipun belum seserius beberapa karya pra2000an yang sampai menjadi buku. Isinya bukan lagi gelitikan disana-sini seperti karya-karya sebelumnya. Karya pada paruh kedua tahun 2000an dari menyangkut identitas politik-pemerintahan, serta makanan dan musik. Masuk akal karena pada kajian terdahulu telah secara sangat sekilas mengemuka identitas Minahasa yang ditandai jenis makanannya, senang pesta, musik dan berdansa juga menari. Gabriele Weichart, melihat praktek kuliner sebagai salah satu identitas Minahasa53. Karya ini sangat menarik, karena mengkaji bagaimana membayangkan tentang orang Minahasa juga berarti membayangkan para penikmat masakan pedas dan binatang-binatang liar. Setelah mendeskripsi tipikal makanan Minahasa dan sumber-sumbernya yang berasal dari alam. Weichart masuk pada bagian “We eat pork whereas They eat beef”. Kajian yang mendikotomi selera dan aturan makan dengan identitas agama Kristen dan Islam. Termasuk menekankan kontras siapa “We” dan siapa “They”. Terlihat, bahwa identitas Minahasa dalam makanan Gabriele Weichart, “Minahasa Identity: A Culinary Practice”, di dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Special Volume (Jakarta: Departemen Antropologi UI, 2004) hlm. 55-74 53
17
membelah mana Kristen-Minahasa dan Islam-bukan. Hal sederhana-alamiah yakni makanan, terikat dengan identitas agama-etnis yang kultural dan simbolis. Artikel Weichart yang lain juga bercerita tentang identitas kuliner Minahasa, yaitu “roti” dan “anggur”54. Sebuah artikel sederhana yang elegan. Ia menyoal bagaimana jenis makanan yang terlihat bergaya barat akhirnya menjadi penanda identitas etnik dan kultural mereka55. Begitu juga minuman keras, yaitu cap tikus dan saguer, yang sekalipun ditemukan di berbagai tempat di Asia-tenggara sebagai produk olahan pohon aren dalam nama-nama berbeda, namun akhirnya diakui sebagai representasi etnik ataupun budaya Minahasa56. Tahun 2010, Weichart juga mempublikasi artikel yang relevan dengan tulisan ini57, ia melihat pembentukan identitas di Minahasa yang menjembatani banyak perbedaan sejarah, latar belakang termasuk agama, juga modal simbolis-kultural dan memberi judul artikelnya We Are All Brothers and Sisters padanan kata dari kredo berbahasa Melayu-Manado Torang Samua Basudara. Karya Perry Rumengan, seorang etnomusikolog Minahasa juga patut dicatat disini58. Ia mendiskusikan bagaimana Minahasa sebagai negeri “penyanyi yang menyanyi”. Dikenal sebagai daerah dengan penduduk senang menyanyi, disana mungkin ada kelompok paduan suara terbanyak di dunia. Ia juga melihat bagaimana musik, tarian dan macam-macam pertunjukan etnik –yang semuanya membawa unsur musik- Minahasa sangat ber-hibridisasi oleh warna Portugis, Gabriele Weichart, “Same Stuff, Different Meaning…..Same Meaning Different Stuff? A Story of ‘Bread’ and wine in Indonesia”, di dalam Anthropological Notebooks 12 (1)(Slovenia: Slovene Anthropological Society, 2006) hlm. 17-34 55 Ibid., hlm. 19 56 Ibid., hlm. 28 57 Gebriele Weichart, 2010, Op. Cit. 58 Perry Rumengan, “Minahasa! Penyanyi Negeri Menyanyi”, di dalam Budi Susanto (Ed.), Penghibur(an) Masa Lalu dan Budaya Hidup Masa Kini Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2005) hlm. 187-234 54
18
Spanyol serta Belanda. Ini tercermin dari komposisi dan properti yang digunakan, sekalipun juga masih membekas tipe-tipe notasi tradisional-otentik. Namun begitu, identitas musik inipun, tidak bisa lepas dari Kristenisasi, Belandanisasi, serta pengaruh politik gereja. Beberapa publikasi berbahasa Indonesia yang berkonsentrasi pada isu distribusi modal politik dari beberapa akademisi, peneliti dan lembaga survei, seperti Henny Warsilah dan Riwanto Tirtosudarmo59 serta Lingkaran Survei Indonesia (LSI)60 juga patut dicatat. Studi mereka melihat diskriminasi pasifis, preferensi dan pretensi tertentu di bidang politik pada orang-orang Muslim Manado yang cenderung ter(di)sisihkan dalam panggung politik lokal. Ini tentu bertolak belakang dengan identitas damai yang selama ini terbangun. Menunjukkan bahwa ada sisi suram dan timpang di Kota Manado yang dicitrakan aman, damai dan toleran. Para penulis kajian yang tersaji dalam paragraf ini, mengungkapkan silang sengkarut identitas agama dan etnis yang dihubungkan dengan distribusi modal politik. Karen P. Kray61 dalam tesisnya di Ohio University, menemukan bahwa kerjasama antar umat-beragama di Manado berjalan baik, terutama mengerucut pada umat Kristen dan Islam. Ini tergambar dari judul karyanya, yang merepresentasikan simbol Lilin untuk umat Kristen dan Ketupat untuk umat Islam. Karya yang menyajikan bagaimana pencegahan konflik di Sulawesi Utara berjalan sukses dan mengikutsertakan berbagai pihak secara seimbang. Kelly Swazey, dalam artikel pendeknya, menyajikan kontras dinamika identitas masyarakat Kota Manado. Lewat judul, ia memuji kerukunan penduduk Henny Warsilah dan Riwanto Tirtosudarmo, Op. Cit., hlm. 33-45 Lingkaran Survei Indonesia, Op. Cit., hlm. 5-11 61 Karen P. Kray, Op. Cit. 59 60
19
lewat judul The City of Brotherly Love62 atau kota kasih persaudaraan. Namun, pembahasannya juga menangkap adanya gelagat diskriminasi berbau agama dan etnis tertentu (Islam-Gorontalo) ketika penggusuran PKL di Kota Manado tahun 2005 yang lalu63. Thesis Kelly Alicia Swazey di University of Hawai‟I Manoa juga perlu dikemukakan disini64. Ia melihat bagaimana pembentukan identitas komunitas Minahasa yang melewati batas teritori atau trans-nasional, di Amerika Serikat. Sekalipun masih tetap menyangkut soal ke-Kristenan, namun sudah beralih menjadi “Minahasanisasi” dalam “Amerikanisasi”, dan bukan “Belanda-nisasi”, sebagaimana kajian-kajian tentang Minahasa sebelumnya. Kajian sejarah penggunaan ruang kota Manado juga perlu dicatat. Karena menangkap dinamika identitas warga. Ilham Daeng Makkelo melihat Manado sebagai kota ramah dan terbuka bagi penduduk tempatan dan pendatang. Lekat dengan identitas Kristen Protestan peninggalan Belanda, terutama pasca kemerdekaan dikenal sebagai masyarakat toleran. Orang Minahasa-Protestan yang dianggap penduduk tempatan, dengan senang berbagi ruang keagamaan dengan pendatang beragama Islam asal Gorontalo, Bugis, Makassar, Jawa, termasuk denominasi Kristen yang belakangan muncul di Manado masa pasca-kolonial, selain tentu penduduk-penduduk Islam keturanan Arab dan Ternate, keturunan Cina serta umat Katolik yang sudah dahulu ada65. Namun, dalam observasinya, sekalipun surga kehidupan umat beragama, namun penggunaan ruang keagamaan
Kelly Swazey, Op. Cit., hlm. 47 Ibid., hlm 50 64 Kelly Alicia Swazey, Carrying Culture and (Re)Creating Nation Through Christianity: Minahasa Culture and Identitty in Transnational Indonesia Churches in New England (Master of Art Thesis in University of Hawai’I at Manoa, 2008) 65 Ilham Daeng Makkelo, Op. Cit., hlm. 128-179 62 63
20
yang terwujud dari tebaran gereja di jalanan arteri kota masih kental dengan identitas Kristen-Minahasa yang disajikan dengan pengkalimatan cukup provokatif, yaitu “pemilik-sah” Kota Manado. Dimana golongan lain –dengan penekanan pada umat Islam- hanya leluasa mendapat tempat ibadah di lorong-lorong, perkampungan atau yang bukan jalan utama, sehingga kurang bisa menunjukkan dirinya ke khalayak ramai66. Namun, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hal yang perlu dikritisi dalam tulisan-tulisan di atas adalah, para penulisnya, lagi-lagi menempatkan Minahasa dalam identitas-otentik. Setelah itu di relasikan dengan identitas-identitas etnis, agama, makanan, politik67. Kecuali sajian beberapa pembahasan mengenai Manadonese, yang sayang masih terbatas dan kurang mendalam jika dilihat sebagai karya antropologis. Maka, berbeda dengan karya-karya yang telah dijelaskan, juga dalam kerinduan menambah khazanah sudut pandang berbeda, rancangan penelitian ini akan menempatkan identitas sosial orang Manado di kota Manado sebagai payung besar. Bagaimana proses penciptaannya, kemudian didalamnya silang sengkarut -sekalipun ada kemungkinan besar ke-Minahasaan masih dominan-, berdinamika identitas sosial dalam istilah sabla aer. Dimana mempertemukan identitas Minahasa, Kristen(termasuk/atau Katolik), Islam, Gorontalo, Cina, Jawa, dan identitas lainnya yang berbenturan dalam pentas sejarah yang kemudian berdampak pada ruang-ruang sosial masa kini. Jika ditarik hubungan kajian pustaka ini dengan rumusan masalah yang juga terkait langsung dengan operasionalisasi penelitian dan metode yang dipilih adalah soal dekonstruksi wajah identitas sosial: (1) menyatukan, melihat 66 67
Ibid., hlm. 174-176 Lihat tulisan ini hlm. 12 paragraf ke-2.
21
pembentukan wacana dan praktek identitas di Manado yang memayungi identitas etnis dalam ruang-ruang empiris, simbolis dan politik, dimana ini memberikan gambaran dan perluasan wacana bahwa orang Manado itu bukan (hanya) Minahasa; (2) memecah-belah, dimana akan melihat wacana dan praktek memecah belah dalam ruang-ruang empiris, simbolis dan politik resistensi orang Manado di kota Manado. Beberapa titik fokus yang akan menjadi media untuk melihat dua identitas ini adalah: perayaan publik; peran agen dalam agensi – mengikuti Giddens-
(Pemerintah, Organisasi dan Media); Geo-Sosial; dan
Konstruksi Citra yang tergambir dari sindiran-sindiran dan mop-mop populer. Berpijak dari situ, saya harapkan karya ini akan menunjukkan wajah reflektifmanusiawi identitas sosial di Kota Manado, yang sekalipun kontras dan tidak konsisten atau berbenturan satu sama lain, namun merupakan realitas masyarakat dan berwarna lain dari kajian-kajian yang selama ini membahas Manadonese atau jika tidak bisa disamakan, Minahasans.
1.5. Landasan Teori Identitas dalam kamus-kamus istilah antropologi yang dibuat oleh ahli-ahli Indonesia diartikan kurang lebih sama. Ini mungkin karena istilah pada kamus terbitan yang satu mengacu pada istilah dalam kamus terbitan sebelumnya dari ahli lain. Hal tersebut-pun dapat dilacak dalam daftar pustaka. Koentjaraningrat bersama beberapa koleganya68 serta Suyono69 mendefinisikan Identitas sebagai kesadaran akan sifat khas diri sendiri, golongan sendiri, kelompok sendiri,
Koentjaraningrat, et.al., Kamus Istilah Antropologi (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984) hlm. 66 69 Ariyono Suyono dan Amirudin Siregar, Kamus Antropologi (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985) hlm. 155 68
22
komunitas sendiri atau negara sendiri. Agak berbeda dengan Suyono, Koentjaraningrat menggunakan kata “kesadaran” di depan kalimatnya. Definisi tersebut, menurut penulis telah cukup menggambarkan sifat (identitas)“sosial” dalam identitas, yaitu dengan penggunaan frasa “golongan sendiri, kelompok sendiri, komunitas sendiri, negara sendiri”. Tentu hal tersebut menggambarkan semacam
timbul
kesadaran
mengklasifikasi
untuk
“menyamakan”
serta
“membedakan” diri dan komunitasnya, dalam hal ini, berdasarkan ciri-ciri tertentu menjadi “in-group” atau “out-group”. Pengertian di atas tentu kurang tajam, perlu menggiringnya menuju definisi yang (juga)berpapasan dengan sentimen sosial. Tentu karena karya ini membahas identitas sabla aer yang memecah-belah. Dalam arti, identitas dimaksud dapat sekedar bermakna sebagai pembeda komunitas, bersifat pasif. Atau juga menjadi sentimen, yang lebih bersifat aktif. Koentjaraningrat70 beserta koleganya dan Suyono71, lebih lanjut mencatat sentimen sebagai gabungan perasaan dan pendapat yang mendasari suatu aksi atau timbangan pendapat. Jika secara seksama melihat definisi ini, maka kita harus menyadari, bahwa sentimen tidak selalu
bermakna
destruktif.
Namun,
secara
lebih
halus,
dapat
juga
(sekedar)menjadi “timbangan pendapat”. Sehingga jika dipadankan dengan kata sosial dibelakang sentimen, maka bisa menunjuk, kepada komunitas atau kelompok tertentu, berdasarkan suatu sifat atau ciri misalnya. H. Tajfel, sebagaimana diuraikan Rupert Brown dari University of Kent72, melihat identitas sosial seseorang terutama sekali ditopang oleh perbandingan-
Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm. 66 Suyono, Op.Cit., hlm. 370 72 Rupert Brown, “Social Identity (Identitas Sosial)”, di dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper (Eds.), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 2000) hlm. 987 70 71
23
perbandingan sosial, yang membedakan in-group dan out-group yang relevan. Lebih lanjut, konsep identitas sosial sebagaimana dijelaskan, terbukti bisa menerangkan prevalensi dari diskriminasi antar grup, bahkan sekalipun tidak ada konflik kepentingan yang riil dan menyediakan analisis yang persuasif dari tuntutan (plight) kelompok-kelompok minoritas, konflik industri serta pembedaan linguistik antara kelompok-kelompok etnik. Ini berarti, konsep identitas sosial dapat dilihat semacam perluasan dari, konsep mainstream identitas etnis dalam antropologi oleh Fredrik Barth73. Jadi, pembedaan-pembedaan dalam identitas sosial, melebar melewati batas-otentik wilayah, genealogis ataupun bahasa lebih dari batas identitas etnis. Bisa selera, dialek, agama, ekonomi, gaya-hidup, model rumah, kuliner dan sebagainya. Tentu ini bertolak belakang dengan yang dikemukakan oleh Fredrik Barth sekitar 40 tahun yang lalu, atau tepatnya, bisa dilihat sebagai perluasan. Macam-macam identitas sosial ini tentu berdinamika dan bergerak. Beberapa yang dipublikasi mengemuka menjadi sentimen dan kemudian, konflik. Secara politis di Indonesia, identitas digunakan dalam dinamika politik di berbagai daerah untuk pembentukan propinsi baru, perebutan kembali posisi kekuasaan sesudah tersingkir, dalam mengembangkan inter-relasi sosial, ataupun dalam memelihara keutuhan suatu komunitas etnis74. Konsep yang penting dicatat dalam studi identitas adalah apa yang oleh Hari Poerwanto disebut dengan identifikasi solidaritas dan loyalitas sebagai anggota
Fredrik Barth (Ed.), Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Social Difference (Boston: Boston, Little Brown, 1966) 74 Nico L. Kana, “Politik Identitas Dalam Dinamika Politik di Berbagai Daerah di Indonesia”, di dalam Jurnal Renai Kajian Politik Lokal dan Sosial-Humaniora, Tahun IX, No. 2, 2009 (Yogyakarta: Percik) hlm. 3 73
24
komunitas75, hingga ini menjadi fokus utama studi seperti ini76. Sekalipun konsep ini dalam artikel tersebut diterapkan pada suku bangsa, namun nampak relevan untuk diterapkan pada realitas orang Manado di kota Manado. Sekilas, hubungan konsep dan kondisi lapangan menampakkan, bahwa pada banyak sisi, subjek penelitian meninggalkan latar belakang identitas primordialnya dan secara sadaregaliter menempelkan diri dalam payung Manadonese, yaitu suatu konsep identifikasi ke arah supra-lokal yang lebih besar dan lebih kompleks pengorganisasiannya77. Namun, pada sisi lain, secara dualistis, mereka tidak sertamerta meninggalkan identitas yang terikat pada pertalian darah, tempat tinggal, agama dan tradisi karena masih ingin mempertahankannya, walaupun demi tuntutan praktis kemajuan, mereka mengidentifikasi diri ke “atas” untuk meningkatkan taraf kehidupan78. Lebih lanjut dijelaskan, dalam konsep ini, fenomena “menyatukan” dan “memecah-belah” ini muncul secara bersamaan79. Sehingga penting untuk menelusuri fenomena seperti dijelaskan dengan mengaitkan dengan latar belakang sejarah80. Ditarik ke masa lalu, format identitas sosial merupakan persoalan ketika masa kolonial dalam masyarakat plural Hindia-Belanda, terutama di bidang ekonomi dan kemudian berdampak dalam lapangan hidup lain, sebagaimana konsentrasi studi J.S. Furnivall81. Dalam remarkable book-nya82, ia melihat bagaimana
Hari Poerwanto, “Ekspresi Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional” di dalam Heddy Shri Ahimsa-Putri (Ed.), Esei-esei Antropologi –Teori, Metodologi dan Etnografi- (Yogyakarta: Kepel Press, 2006) hlm. 62 76 Ibid., hlm. 71 77 Ibid. hlm. 67 78 Loc. Cit. 79 Loc. Cit. 80 Ibid., hlm. 71 81 J. S. Furnivall, Netherlands India: The Study of Plural Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 1944 [1939]) 75
25
identitas orang Eropa, Cina, Arab, Pribumi Jawa yang sekalipun hidup berdampingan namun terpisah secara politik. Pun jarang bertemu secara aman dalam hubungan ekonomi karena ada dominasi ekonomi-politik-pemerintahan dari komunitas yang lebih kecil secara kuantitas. Lebih lanjut, hal tersebut merupakan bentukan pemerintah kolonial yang menggunakan garis etnis untuk membangun identitas dan supremasi. Garis etnis ini langsung juga menunjuk pada agama. Hingga kini, konstruksi culture system kolonial ini tidak hanya berpengaruh secara ekonomi, tetapi juga mental-outlook masyarakatnya83. Baik dalam point of view politik, gender, pasar dan agama. Namun, yang perlu diperhatikan, studi ini dilaksanakan di pulau Jawa. Tetapi karena menggunakan judul “Netherlands India” (Hindia-Belanda), maka kesan buku ini adalah mewakili wilayah nusantara. Padahal harus ada studi lebih lanjut untuk menelusuri multi realitas di wilayah lain Indonesia. Sehingga tidak terkesan membuat generalisasi terburu-buru. Studi identitas sosial tentu bukan kajian baru di jagad antropologi. Namun, realitas identitas sosial di Kota Manado, sejauh ini memperlihatkan wajah dualistis. Ada yang menyatukan, mengintegrasi, dengan bukti dalam masyarakat majemuknya, sebagaimana dijelaskan pada bagian latar belakang. Kota ini kini mutiara perdamaian di Indonesia. Namun, di dalam masyarakatnya-pun, timbul gerak yang memecah-belah. Membedakan masyarakat dalam fragmen-fragmen di ruang-ruang sosial tertentu. Ini tergambar dalam istilah sabla aer.
Pujian ini dapat dilihat pada Clive Day, “Review Netherlands India: A Study of Plural Economy by J. S. Furnivall”, di dalam The English Historical Review Vol. 55, No. 217, Januari 1940 (Oxford: Oxford University Press) hlm. 139 83 Ibid., hlm. 140 82
26
Pada sisi menyatukan, soal memayungi berbagai identitas etnis yang berbeda, konsep Thomas Hylland Eriksen84 dalam contohnya di negara commonwealth Mauritius sekiranya bisa dijadikan salah satu alat analisa awal dalam tesis ini. Eriksen melihat suatu supra-ethnic community atau non-ethnic community yang memayungi dan melampaui identitas etnis-otentik, bisa lagu kebangsaan, bendera, bahasa atau apa saja, kemudian terbangun suatu identitas nasional(isme) bersama85. Dalam kasus di kota Manado, penerapan konsep ini dapat diperkecil skalanya dalam terbentuknya regionalisme yang menunjuk pada pembentukan identitas sebagai orang Manado. Identitas penduduk kota Manado, sebagaimana bisa kita terka dari judul tulisan ini dan paragraf-paragraf di atas, secara integratif-emic, ter(di)identifikasi bukan lewat latar belakang primordialnya yang justru dikesampingkan, melainkan ke arah supra-ethnic atau non-ethnic, yaitu pada satuan spasial-regional, yaitu orang(kota) Manado. Multikulturalisme86 juga dapat dijadikan referensi teoritis disini. Konsep ini berbeda dengan masyarakat majemuk (plural society) Furnivall, dimana satuan masyarakat tetap terseparasi. Juga tak sama dengan supra ethnic atau non ethnic community Eriksen yang terkesan asimilatif sehingga memungkinkan adanya penetrasi struktural untuk rekayasa kondisi tersebut. Walaupun bisa juga rekayasa dimaksud bersifat pasifis dan kurang(tidak) disadari. Multikulturalisme, dipahami
Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism Anthropological Perspective (London and New York: Pluto Press, 2010[1993]) 85 Ibid., hlm. 140-145 86 Lihat: Bikhu Parekh, Rethinking Multicuturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik (Yogyakarta: Impulse dan Kanisius, 2008); Michel Wieviorka. ”Is Multiculturalism the Solution”, di dalam Ethnic and Racial Studies, Volume 21 (London: Routledge, 1998) hlm. 885-889; Gayatri Spivak dan Gunew Sneja, ”Question on Multiculturalism”, di dalam Simon During (Ed.), The Cultural Studies Reader (London: Routledge., 1998) hlm. 193-203 84
27
sebagaimana layaknya Bhineka Tunggal Ika dalam semboyan Indonesia, eksistensi
keberagaman,
namun
dalam
hal
operasionalisasi
kehidupan,
keberagaman tersebut menyatu dalam kebersamaan. Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman budaya dalam kesederajatan. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan
dalam
kesederajatan
baik
secara
individual
maupun
secara
kebudayaan87. Sehingga, disini kita melihat adanya dua sifat sekaligus dari multikulturalisme, yaitu sebagai wacana dan praktek. Akhiran “isme” memperlihatkan konsep ini sebagai wacana, sebuah ideologi abstrak. Namun lewat pengertiannya, kita melihat aspek operasional yang memungkinkan konsep ini tidak hanya dijadikan kerangka teoritis semata tapi termanifestasi sebagai praktek sosial. Sintesa praktek multikulturalisme bermuara pada kata kunci toleransi. Pada sisi berbeda, secara dualistis, banyak (sub)identitas primordial yang membangun Manadonese itu, terutama etnisitas berkelindan-berbenturan dalam keharian hidup warga, yaitu dalam bidang agama, ekonomi, politik yang tergambar lewat istilah sabla aer. Jadi, ada penegasan identitas komunitas yang lebih kecil berdasarkan ciri-ciri in-group maupun out-group. Itu tak bisa hilang dan bersifat memecah belah. Sehingga, hal ini seolah membingungkan, tidak stabil ataupun tidak konsisten. Karena memang begitu. Dinamika wacana dan praktek identitas di kota Manado integratif pada satu sisi, namun terfragmentasi pada sisi berbeda. Bisa juga diandaikan, bahwa masyarakat dalam fragmentasi ini Parsudi Suparlan. “Multikulturalisme: Konsep yang Terus Dibentuk”, di dalam Kompas 31 Juli 2002. 87
28
terbagi menjadi lapisan-lapisan sosial, ada yang di “atas” dan “bawah”. Sehingga, tak bisa disangkal, pemilik wajah mendua ini merupakan satu komunitas masyarakat kota. Lapisan sosial identitas pada paragraf di atas dapat dianalogikan sebagai struktur, sebuah konstruksi sosial. Ini terlihat sejalan dengan penjelasan Strukturasi Anthony Giddens dimana tidak akan ada pelaku yang membuat pilihan kecuali dalam kondisi struktural spesifik dan tidak ada unsur atau ciri struktural akan terwujud kecuali sebagai hasil dari konsekuensi-konsekuensi tindakan yang disengaja88. Selain itu, ada juga penjelasan bahwa identitas dipilih dan dikonstruksi89. Pilihan kata kerja “membuat pilihan”, “tindakan yang disengaja” “dipilih” dan “dikonstruksi” dari dua kalimat sebelumnya menujukkan faktor kesengajaan, kesadaran otonom dan proses. Hal tersebut memberikan pengertian bahwa strukturasi dalam kasus penelitian ini, bertujuan menjelaskan bagaimana proses konstruksi(menjadi) struktur tersebut dibangun secara sadar dan bukan menjelaskan relasi dalam struktur yang sudah jadi dan bersifat unconciousness selayaknya dalil strukturalisme. Pada penjelasan mengenai strukturasi, kita menemukan beberapa hal penting yaitu penekanan pentingnya kesadaran diri yang refleksif90. Kemudian, ada persoalan ketidakmantapan, tidak lestari, perubahan, ketidakpastian, berubah dan selalu berubah seumur hidup91 yang sesuai dengan kondisi kini dan tidak harus begitu besok92.
Lihat: Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of The Theory of Structuration (Cambridge: Polity, 1984); Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial;Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: YOI, 2010) hlm. 240 89 Pip Jones, Op. Cit., hlm. 254 90 Ibid., hlm. 244, 247, 251-254, 91 Ibid., hlm. 244, 248, 92 Ibid., hlm. 251 88
29
Jadi, dari penjelasan Giddens kita mengerti bahwa struktur dan konstruksi (identitas) tidak harus linear karena merupakan pilihan refleksif yang otonom, karena itu struktur tidak harus stabil. Sehingga, dalam hal ini, Giddens menyebutkan
adanya
“dualitas
struktur”,
dimana
struktur
tidak
hanya
menghambat atau menentukan bentuk-bentuk tertentu perilaku tetapi juga “memberikan kemampuan” bagi perilaku93. Kondisi struktural dimana tindakan manusia diwujudkan disebutnya agensi, tempat dimana struktur tersebut direproduksi atau didefinisikan kembali94. Struktur-struktur tersebut itu secara berkesinambungan dapat dimodifikasi dalam tindakan95 sehingga relasi struktur dan tindakan menjadi dialektik96, tak terpisahkan secara teoritis97. Sehingga, ada kesadaran (perlunya) struktur dibangun dalam institusi yang mantap –sekalipun tidak mantap- sehingga menjadi wahana untuk mewujudkan keberadaan dirinya dan identitasnya yang oleh Giddens disebut sekuritas ontologis. Dari sini, kita dapat memetik bahwa agensi yang menjadi tempat strukturasi tentu memerlukan agen sebagai faktor pembentuk struktur yang penting. Disamping itu, kita melihat bahwa strukturasi bukan persoalan kondisi ketika struktur telah jadi, tetapi bagaimana ia menjadi. Pada sisi memecah-belah, separasi dalam masyarakat kiranya sejalan dengan klaim terkenal Pierre Bourdieu, Distinction98, atau pembedaan. Ia menjelaskan, dalam masyarakat ada “penghakiman-penghakiman” soal selera, ekonomi bahkan seni. Ada yang berselera tinggi dan ada pula yang berselera rendah. Proses Ibid., hlm. 240 Loc. Cit. 95 Ibid., hlm. 241 96 Ibid., hlm. 240 97 Ibid., hlm 249 98 Pierre Bourdieu, Distinction:A Social Critique of The Judgement of Taste (Cambridge and Massacushetts: Harvard University Press, 1984) 93 94
30
distinction ini bergerak nyata, karena ia melihat bahwa kebudayaan dalam masyarakat itu dibayangkan bersifat aristokrat, memiliki tingkatan99. Lebih tajam, mengikuti pandangan Bourdieu, Richard Jenkins menguraikan100, bahwa realitas masyarakat sebagai „arena‟ (field) untuk berjuang dan merupakan sebuah „selera tertentu‟ yang merepresentasi identitas kelas atau kelompok sosial tertentu pula. Jalannya adalah dengan mempertaruhkan bendabenda kultural (gaya hidup), perumahan, kemajuan intelektual (pendidikan), pekerjaan, tanah, prestise, kekuasaan (politik), kelas sosial dan lainnya. Kemudian dari situ terbentuklah perbedaan yang separatif (distinction). Semacam timbul segregasi, tidak hanya spasial, juga sosial. Lebih lanjut, hal itu merupakan peta selera dan preferensi yang berhubungan dengan tingkat pendididikan dan kelas sosial tertentu. Pendeknya, ini adalah permulaan dari model gaya hidup kelas.
1.6. Metode dan Jalannya Penelitian Penelitian ini penulis arahkan secara strategis, menggunakan pendekatan pasca-struktural101. Hal mana juga dengan memperhatikan berbagai macam kekurangan sumber pustaka ilmiah mengenai -secara spesifik- identitas sosial orang Manado di kota Manado. Pendekatan pasca-struktural termasuk melihat makna tafsiriah dari simbol-simbol yang terkandung di dalam fenomena. Sebagai konsekuensi, untuk memperoleh data, penulis harus merekam “ingatan”, baik
Ibid., hlm. 11-17 Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004) hlm. 124; 211; 212; 229 101 Madan Sarup, Posstruktualisme dan Posmodernisme Sebuah Pengantar Kritis [Terj.] (Yogyakarta: Jendela, 2004 [1993]); Anthony Giddens, “Strukturalisme, Post-Strukturalisme dan Produksi Budaya”, di dalam Anthony Giddens dan Jonathan Turner (Eds.), Social Theory Today Panduan Sistematis Tradisi dan tren Terdepan Teori Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) hlm. 333-382 99
100
31
yang diperoleh melalui teks –yang menunjuk pada isu penelitian- berupa berita, catatan-catatan kolonial, sejarah lisan, idiom-idiom masyarakat, ungkapanungkapan perasaan, cerita rakyat, sindiran-sindiran dan sebagainya dalam berbagai bentuk data, baik itu kualitatif maupun kuantitatif. Dalam penelitian ini penulis mendekonstruksi serta merepresentasikan identitas sosial
orang Manado yang selama ini sudah “mapan”. Dalam arti,
menyajikan realitas identitas “lain” dari identitas sosial yang selama ini ter(di)bangun, yaitu orang Manado ekuivalen dengan orang Minahasa, toleran dan segala macam identitas yang dianggap mapan dan melekat di dalamnya. Ruang sosial yang penulis tentukan untuk melihat wacana dan praktek identitas sosial, sebagaimana tergambar dalam rumusan masalah adalah dengan melihat keseharian hidup warga102. Secara lebih rinci, ruang-ruang sosial keseharian hidup yang dipilih untuk menjelaskan pertanyaan penelitian adalah pemanfaatan ruang publik fisik (secara geo-sosial), keikutsertaan agen (masyarakat luas, pemerintah, tokoh agama dan masyarakat dan media) dalam perayaan publik, media massa baik cetak dan elektronik, politik kewargaan serta peran dialektis agen sebagai sumber (re)produksi wacana dan pelaksana praktek identitas sosial. Ruang-ruang sosial di atas penulis pilih karena dalam kemajemukan masyarakat kota Manado, ruang-ruang inilah yang sekiranya mempertemukan identitas sosial mereka. Akhirnya, dari ruang-ruang sosial inilah diharapkan akan tergambar wacana dan praktek kemajemukan yang menyatukan dan menseparasi. Dalam keseharian hidup yang dirinci tersebut, saya menggambarkan citra dan konstruksi struktur dari wacana dan praktek identitas sosial dimaksud. Rincian mengenai ini dan keterkaitannya dengan rumusan masalah, kajian pustaka dan operasionalisasi metode atau paradigma penelitian dapat dilihat di halaman 22 bagian kajian pustaka pada bab ini. 102
32
Demi memperoleh data-data dimaksud, saya melakukan observasi atau pengamatan103. Saya diuntungkan posisinya sebagai pelaku kebudayaan, sehingga lewat seluruh indera dan interpretasi dapat menangkap perasaan, ingatan, ekspresi dan emosi tineliti. Penting juga bagi penulis untuk memperoleh data dengan wawancara104. Ini memungkinkan penulis untuk bisa menggali ingatan-ingatan verbal yang terkait dengan topik penelitian, termasuk menangkap gelagat non-verbal. Penguasaaan bahasa dan eskpresi lokal akan mempermudah penulis memahami interpretasiinterpretasi subjek terhadap realitas-realitas identitas sosial yang mereka hadapi. Sekalipun beresiko tidak mampu “mengambil jarak” karena posisi saya sebagai native. Namun melalui modal pengetahuan dan latihan menjadi antropolog, saya sendiri berusaha dan berharap mampu menjembatani masalah positioning ini, yaitu menjadi seorang subjek dalam hal penguasaan bahasa, simbol dan ekspresi lokal serta secara bersamaan berusaha berefleksi untuk mengambil jarak dan menilai diri(masyarakat) sendiri. Perlu juga disadari, konsekuensi logis dari paradigma pasca-struktural adalah perluasan wacana reflektif tanpa menghasilkan analisa utuh-menyeluruh105. Akhirnya, metode kepustakaan106 saya gunakan secara khusus dalam tulisan ini. Terutama lewat catatan-catatan pustaka kolonial yang diambil dari berbagai sumber misalnya untuk melihat konstruksi-sosial masyarakat yang dibangun Harsja Bachtiar, “Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian”, di dalam Koentjaraningrat (Ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1990) hlm. 108-128; Bambang Rudito dan Melia Famiola, Social Mapping Metode Pemetaan Sosial (Bandung: Rekayasa Sains, 2008) hlm. 81-108 104 Irawati Singarimbun, “Teknik Wawancara”, di dalam Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (Peny.), Metode Penelitian Survay (Jakarta: LP3ES, 1983) hlm. 143-166 105 Madan Sarup, Op. Cit., hlm. 17 106 Sartono Kartodirjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumen”, di dalam Koentjaraningrat (Ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1990) hlm. 44-69 103
33
kolonial. Juga berita-berita di media cetak, sehingga penulis dapat menangkap identitas-identitas sosial yang mengemuka dalam wacana-wacana masyarakat setempat ataupun yang dibentuk lewat media. Data yang telah terkumpul lewat alur di atas penulis kodifikasi dalam bentuk transkrip, kliping, naskah formal, foto-foto, bagan, alur sejarah serta keteranganketerangan yang kemudian dideskripsi dan dianalisa dalam tulisan dengan memperhatikan relasi kontekstual dan teoritisnya. Penelitian lapangan dilakukan selama kurun waktu sekitar 8 bulan, yaitu antara pertengahan bulan Juni 2012 sampai awal Maret 2013 di Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Subjek penelitian adalah orang Manado di Kota Manado. Warga kota sendiri tidak menyebut mereka sebagai orang Manado tetapi lebih spesifik ke arah pemukiman yang mereka tinggali. Tetapi, mereka akan melabeli diri sebagai orang Manado –sekalipun berada di kota sendiri- jika diperhadapkan dengan wacana mengenai “kondisi orang luar” di luar wilayah Manado. Jadi, pencantuman “orang Manado” dalam tulisan ini lebih sebagai amatan dari luar sebagai peneliti, sebuah perspektif bird eye view untuk mengambil jarak. Sekalipun dalam beberapa kondisi, sebagaimana baru dijelaskan, wacana orang Manado bagi orang Manado di kotanya akan hadir jika berada dalam posisi oposisi dengan “orang dan kondisi di luar”.
1.7. Sistematika Penulisan Tesis ini dibagi atas lima bab yang mencakup unsur-unsur teoritis dan representasi empiris dari penelitian. Dua bab, yaitu III dan IV secara khusus dibuat berdasarkan rumusan masalah penelitian. Tiap bab dibagi menjadi
34
beberapa sub bab tematis yang bertujuan membawa pada fokus bahasan dari masalah yang ingin dijelaskan sebagaimana tujuan dan pertanyaan penelitian. Tiap bab ditandai dengan angka romawi besar (I, II, dst.). Sementara sub bab diberi penanda menggunakan angka arab yang secara berurutan menunjuk pada pada bab, lalu sub-bab kesekian (1.1; 1.2; 2.1; 2.2; dst.). Secara rinci, kelima bab tersebut dibagi dan diberi judul seperti demikian: (I) Pendahuluan yang terdiri dari tujuh sub bab tematis; (II) Membayangkan Manado: Identifikasi Lokasi dan Subjek Penelitian, terdiri dari tiga sub bab; (III) Wacana dan Praktek Menyatukan: Menjadi Manado, Menjadi Torang Samua Basudara, terdiri dari enam sub bab; (IV) Wacana dan Praktek Memecah Belah: Menjadi Sabla Aer, Menjadi Warga Kelas Dua. Terdiri dari lima sub bab; (V) Penutup, terdiri dari dua sub bab.
35