42
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA DI INDONESIA
A. Pengertian Kerukunan Hidup Umat Beragama Istilah “kerukunan” berasal dari kata rukun, yang merupakan kata serapan dari bahasa arab yakni ruknun jamaknya arkan berarti asas atau dasar, misalnya; rukun Islam, asas Islam atau dasar agama Islam.1 Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia “rukun” (kata benda) berarti sendi, asas, dasar; sesuatu yang harus dipenuhi untuk mendapatkan sahnya sesuatu amalan. Rukun (kata sifat) bearti tidak berseteru, baik dan damai, dapat berdampingan dan damai; bersatu hati, bersepakat. Sedangkan arti kata “kerukunan” dalam kamus lengkap bahasa indonesia yakni berarti rasa rukun, kesepakatan, kekompakan.2 Secara etimologi kerukunan adalah suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai unsur yang berlainan dari setiap unsur tersebut saling menguatkan.3 Jadi, kerukunan hidup umat beragama berarti hidup dalam suasana baik dan damai, tidak bertengkar, bersatu hati dan bersepakat antar umat yang berbeda-beda agamanya atau antara umat dalam satu agama.4
1
Departemen Komunikasi dan Informatika RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Jakarta, Badan Informasi Publik Pusat Informasi Kesejahteraan Rakyat, 2005, hlm 6 2 Tanti Yuniar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta, Agung Media Mulia, hlm 524. Lihat juga Imam Syaukani, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, Jakarta, Puslitbang, 2008, hlm 5 3 Jirhanuddin, Perbandingan Agama Pengantar Studi Memahami Agama-Agama, Yokyakarta, Pustaka Pelajar, 2010, hlm 189-192 4 Departemen Komunikasi dan Informatika RI, Himpunan Peraturan..., hlm 7
43
Menurut Franz Magnis Suseno, bahwa kerukunan berasal dari kata rukun yang diartikan berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam maksud untuk saling membantu. Juga dapat dipahami bahwa pengertian keadaan rukun merupakan suatu keberadaan semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka berkerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat.5 Kerukunan mencerminkan hubungan timbal balik yang ditandai oleh sikap saling menerima, saling mempercayai, saling menghormati dan menghargai, serta sikap saling memaknai kebersamaan.6 Dalam pasal 1 angka (1) peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan No.8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat dinyatakan bahwa kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mencermati pengertian kerukunan umat beragama seperti dijelaskan di atas, tampaknya peraturan bersama ini mengingatkan kepada bangsa Indonesia bahwa 5
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta, Gramedia Utama, 2001, hlm 39 6 Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama, Jakarta, Puslitbang, 2005, hlm 7-8
44
kondisi ideal kerukunan umat beragama, bukan hanya tercapainya suasana batin yang penuh toleransi antar umat beragama, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mereka bisa saling bekerjasama.7 Karena itu, dapat disimpulkan bahwa kerukunan hidup umat beragama adalah berupa terjadinya hubungan yang baik antara penganut agama yang satu dengan yang lainnya dalam satu pergaulan dan kehidupan beragama, dengan cara saling memelihara, saling menjaga serta saling menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian atau perasaan antar sesama pemeluk agama Perlu dipahami juga bahwa dalam kerukunan hidup umat beragama bukan berarti agama-agama yang ada melebur kepada satu totalitas (sinkretisme agama) dengan menjadikan agama-agama tersebut sebagai mazhab dari agama totalitas itu. Melainkan sebagai cara atau sarana untuk mempertemukan, mengatur hubungan luar antara orang yang tidak seagama atau antara golongan umat beragama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.8 Istilah kerukunan hidup umat beragama muncul secara formal untuk kali pertama dari kata sambutan Menteri Agama K.H Mohammad Dachlan pada Musyawarah Antar Umat Beragama pada tanggal 30 November 1967 di gedung Dewan Pertimbangan Agung Jakarta.9 Diadakannya Musyawarah Antara Umat Agama tersebut karena pada saat itu timbul berbagai ketegangan antar berbagai 7
Imam Syaukani, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan..., hlm 6-7 Said Agil Husein Al-Munawwar, Fiqh Hubungan Antar Agama, Jakarta, Ciputat Press, 2005, hlm 4-5 9 Achmad Syahid dan Zainudin Daulay (editor), Riuh di Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Jakarta, 2002, hlm xxvi 8
45
agama di Indonesia, terutama antara Islam dan Kristen/Katolik, yang jika tidak segera diatasi akan dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Hal ini tampak jelas seperti yang disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam sambutannya pada pembukaan musyawarah tersebut: Secara jujur dan dengan hati terbuka, kita harus berani mengakui, bahwa Musyawarah Antara Agama ini justru diadakan oleh karena timbul berbagai gelaja di beberapa daerah yang mengarah pada pertentangan agama. Permerintah memang sangat berhati-hati dalam memberikan penilaian terhadap gejala-gejala itu, yang secara lahiriah memang bersifat lokal dan bersumber pada salah pengerti; bahkan mungkin telah pula sengaja ditimbulkan oleh kegiatan gerakan politik sia-sia G-30-S/PKI, alat-alat negara kita kemudian cukup mempunyai dokumen-dokumen bukti bahwa sisa-sisa G-30-S/PKI merencanakan memecah belah persatuan kita dengan usaha mengadu-domba antara suku, antara golongan, antar agama dan lain sebagainya. Akan tetapi, di lain pihak pemerintah sesungguh-sungguh merasa prihatin yang sangat mendalam; sebab apabila masalah tersebut tidak segera kita pecahkan bersama secara tepat maka gejala-gejala tersebut akan dapat menjalar ke mana-mana yang dapat menjadi masalah nasional, melainkan dapat mengakibatkan bencana nasional.10 Musyawarah tersebut merupakan pertemuan pertama antar semua pimpinan dan pemuka agama-agama di Indonesia, untuk membahas masalah yang memang sangat mendasar dalam hubungan antar umat beragama di Indonesia. 11 Pertemuan tersebut selanjutnya diikuti oleh berbagai jenis kegiatan antar agama, antara lain berupa: dialog, konsultasi, musyawarah, kunjungan kerja pimpinan majelis-majelis agama secara bersama ke daerah-daerah, seminar antar cendiakiawan berbagai agama, sarasehan pimpinan generasi muda agama, dan sebagainya.
10
Departemen Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Badan Penelitian dan Pengembangan, Jakarta, 1997, hlm 3 11 Sudjangi, “Kajian Agama dan Masyarakat III, Kerukunan Hidup Umat Beragama”, dalam Departemen Agama RI, Kompilasi Peraturan..., hlm 3
46
Dari kata sambutan K.H Mohammad Dachlan pada Musyawarah Antar Umat Beragama inilah, istilah Kerukunan Hidup Umat Beragama mulai muncul dan kemudian menjadi istilah baku dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Keputusan Presiden, dan KeputusanKeputusan Menteri Agama. B. Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia Sebagaimana firman Allah Swt dalam al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 13, Allah berfirman:
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Dalam ayat ini dijelaskan bahwa umat manusia harus menerima kenyataan pluralitas dalam kehidupan di dunia, karena telah menjadi sunatullah. Ayat ini juga menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan, menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, dengan tujuan agar manusia saling mengenal dan saling menghargai. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural dalam berbagai aspeknya; etnis, bahasa, budaya dan agama. Hal ini merupakan kenyataan historis yang tidak
47
dapat disangkal oleh siapapun. Suatu fakta juga bahwa di Indonesia sekurangkurangnya ada sekian banyak kepercayaan, hal ini pula yang tidak dapat diabaikan.12 Karena itu, sudah semestinya pluralitas ini diyakini sebagai sunatullah dan dijadikan aset kekayaan bangsa. Dengan keadaan objektif bangsa Indonesia yang multi agama, maka bangsa Indonesia telah menetapkan bahwa Negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.13 Hal ini telah diatur dalam pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaanya itu.14 Salah satu solusi untuk permasalahan pluralitas agama di Indonesia adalah dengan membangun pondasi yang kokoh, memberi dan menerima satu sama lain yang didasarkan pada saling menghargai perbedaan.15 Pluralitas tidak hanya sebatas mengakui kemajemukan, namun harus terlibat dengan aktif
dan baik dalam
kemajemukan. Tetapi harus diingat bahwa pluralitas bukan menafikan agama-
12
Koenjaraningrat, Pengantar Antropologi Pokok-Pokok Etnografi, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hlm 193 13 Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung, Mizan, 2001, hlm 348 14 Bentuk pengaturan lebih lanjut tentang agama sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar adalah diterapkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2014, hlm 161. Lihat juga Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2014, hlm 183 15 Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap..., hlm 346-347.
48
agama, bukan pula sinkretis terhadap agama, namun mengakui adanya relativisme dalam agama.16 Oleh karena itu, salah satu agenda besar kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan membangun kesejahteraan hidup bersama seluruh warga negara dan umat beragama.17 Hambatan yang cukup berat untuk mewujudkan agenda tersebut adalah masalah kerukunan nasional, termasuk dalam kerukunan hidup umat beragama. Diantara upaya yang telah dilakukan pamerintah untuk mewujudkan kerukunan hidup umat beragama dan untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa. Diantara upaya tersebut adalah pembinaan kerukunan hidup antar umat beragama, melalui peraturan perundang-undangan kerukunan hidup umat beragama.18 Kerukunan hidup umat beragama kiranya akan menjadi agenda nasional bahkan internasional yang tidak kunjung usai. Ini bisa dipahami karena masa depan suatu bangsa sedikit banyak tergantung pada sejauh mana keharmonisan hubungan antar umat beragama ini. Kegagalan dalam merealisasikan agenda ini diyakini dapat mengantarkan suatu bangsa Indonesia kepada perpecahan.19
16
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antar Agama, Yogyakarta, Mataram Minang Lintas Budaya, 2004, hlm 173 17 Said Agil Husein Al-Munawwar, Fiqh Hubungan..., hlm vii 18 Departemen Komunikasi dan Informatika RI, Himpunan Peraturan..., hlm 5 19 M. Quraish Shihab, Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, Bandung, Pustaka Hidayah, 1988, hlm.133
49
Banyak hal yang melatarbelakangi mengapa wacana kerukunan hidup umat beragama ini harus terus dilaksanakan. Diantaranya:20 Pertama, perlunya sosialisasi bahwa pada dasarnya semua agama datang untuk mengajarkan dan menyebarkan damai dan perdamaian dalam kehidupan umat manusia. Kedua, wacana agama yang pluralis, toleran, dan inklusif merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran agama itu sendiri. Sebab pluralitas apa pun, termasuk pluralitas agama, dan semangat toleransi dan inklusivisme adalah hukum Tuhan atau sunnatullah yang tidak bisa diubah, dihalang-halangi, dan ditutup-tutupi. Oleh karena itu, wacana pluralitas ini perlu dikembangkan lebih lanjut di masyarakat luas. Hal ini bukan untuk siapasiapa, melainkan demi cita-cita agama itu sendiri, yaitu kehidupan yang penuh kasih dan sayang antar sesama umat manusia. Ketiga, ada kesenjangan yang jauh antara cita-cita ideal agama-agama dan realitas empirik kehidupan umat beragama di tengah masyarakat. Keempat, semakin menguatnya kecenderungan eksklusivisme dan intoleransi di sebagian umat beragama yang pada gilirannya memicu terjadinya konflik dan permusuhan yang berlabel agama. Kelima, perlu dicari upaya-upaya untuk mengatasi masalahmasalah yang berkaitan dengan kerukunan dan perdamaian antar umat beragama. Agama dalam kehidupan masyarakat plural selain dapat berperan sebagai faktor pemersatu (integratif) juga sebagai faktor pemecah (disintegratif). Fenomena ini banyak ditentukan oleh empat hal, yaitu: (1).Teologi agama dan doktrin
20
Nur Achmad (editor), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, Jakarta, Penerbit Kompas, 2001, hlm ix
50
ajarannya, (2).Sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayati agama tersebut, (3).Lingkungan sosio-kultural yang mengelilinginya, (4).Peranan dan pengaruh pemuka agama tersebut dalam mengarahkan pengikutnya.21 Adanya perbedaan agama dan aliran keagamaan pada masyarakat Indonesia, memungkinkan terjadinya konflik antar umat beragama akibat dari kesalahpahaman yang berlanjut dengan bentrok-bentrok fisik. Penyebab timbulnya konflik hubungan antar umat beragama tersebut bersumber dari beberapa faktor antara lain : (1).Sifat dari masing-masing agama yang mengandung tugas dakwah/misi seperti Islam Kristen dan budha (2).Kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan orang lain (3).Kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan apa dan toleransi dalam kehidupan masyarakat (4).Kecurigaan masing-masing pihak akan kejujuran pihak lain, baik interen umat beragama maupun antar umat beragama maupun antara umat beragama dengan pemerintah, (5).Perbedaan yang cukup mencolok dalam status social, ekonomi, dan pendidikan antara berbagai golongan agama (6).Kurangnya komunikasi pemimpin masing-masing umat beragama dan (7).Kecendrungan fanatisme yang berlebihan yang mendorong munculnya sikap kurang menghormati bahkan memandang rendah orang lain.22 Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa konflik antar beragama terjadi tidak semata-mata disebabkan oleh satu faktor tunggal, melainkan kumpulan dari berbagai faktor. Latar belakang penyebabnya cukup kompleks, sehingga sulit untuk diketahui secara tepat, faktor mana yang paling dominan.23 Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, agar persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dapat dilumpuhkan 21
Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, Jakarta, Prenada Media, 2003, hlm 320-322 22 Nasir Tamara dan Saiful Anwar Hashem, “Agama dan Dialog Anar Peradaban“ dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (Editor), Agama dan Dilaog Antar Peradaban, Jakarta, Paramadina, 1996, hlm.xiii. 23 Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm 282
51
dengan cepat, maka dikembangkan konflik agama akan lebih mudah menumbuhkan perpecahan.24 Ia menjelaskan bahwa konflik antar umat agama tidak terlepas dari faktor eksternal, selain karena adanya faktor internal. Akan tetapi, patut disadari bahwa sering kali bukan faktor eksternal yang dinilai lebih berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan faktor internal yang berasal dari umat beragama itu sendiri.25 Dengan demikian pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama yang benar merupakan usaha utama untuk mewujudkan kerukunan hidup umat beragama di Indonesia. Upaya ini ditempuh guna menumbuhkan kesadaran akan persatuan dan kesatuan bangsa dengan terwujudnya kerukunan hidup umat beragama. Menurut M. Quraish Shihab, pandangan orang terhadap agama ditentukan oleh pemahamannya terhadap ajaran agama itu sendiri.26 Begitu juga menurut Ninian Smart, bertambahnya pengetahuan atau pemahaman keagamaan dapat melunakkan permusuhan, dan dalam tahap ini berarti meningkatkan kesepakatan.27 Sejalan dengan pandangan di atas, dalam konsep hukum Islam, terdapat aturan yang menekankan prinsip al-dharuriyat al-hamsah dalam penerapan hukum Islam sebagaimana dirumuskan oleh para ahli ushul fiqh. Adapun lima prinsip agama itu yaitu: 1.Memelihara agama (hifdz ad-din). 2.Memelihara Jiwa (Hifdz al-nafs).
24
Ahmad Mansur Suryanegara, Benarkah Reformasi Melahirkan Perang Agama, Jakarta, Al-Ishlahy Press, 1999, hlm 27 25 Syahrin Harahap, Teologi Kerukunan, Jakarta, Predana Media Group, 2011, hlm5-6 26 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Jakarta, Mizan, 2003, hlm 375 27 Ahmad Norma Permata, (editor), Metodologi Studi Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, hlm 151
52
3.Memelihara keturunan (hifdz al-nasl). 4.Memelihara harta (hifz al-Mal) dan 5.Memelihara akal (Hifdz al-Aql).28 Kelima prinsip dasar agama ini harus dipahami dengan benar agar tidak menjadi salah paham. Memahami dengan benar prinsip-prinsip agama yang dikemukan di atas, akan menghasilkan penerapan nilai-nilai keagamaan, baik syariat, ibadah, muamalah maupun sosial dalam kontek agama dengan benar. Bila lima prinsip dasar agama ini dipahami dengan benar tentu tidak akan ada kerusakan dan kerusuhan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Pada dasarnya kerukunan hidup umat beragama dapat terwujud karena setiap agama memiliki dasar ajaran hidup rukun. Semua agama menganjurkan untuk senantiasa hidup damai dan rukun dalam hidup dan kehidupan sehari-hari. Uraian dari ajaran agama-agama di Indonesia yang mendasari ajaran untuk hidup rukun, dapat diketahui sebagai berikut: 1. Agama Islam Secara positif Islam mendukung kerukunan hidup umat beragama. Sikap kerukunan hidup yang tertanam dalam setiap pribadi muslim adalah berdasarkan atas pelajaran al-Qur’an dan Sunnah, antara lain pada surat ali Imran ayat 64. Allah berfirman:
28
Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan Sumber Daya Manusia dan Terciptanya Masyarakat Madani, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2003, hlm 167
53
Artinya: “Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".29 Kepada orang kafir pun terdapat penggarisan untuk menunjukkan kerukunan sebagaimana terdapat dalam surat al-Kafirun ayat 1-5. Allah berfirman:
Artinya: “1.Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir. 2.aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3.Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. 4.Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. 5.Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6.Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.”30 Berdasarkan pemahaman terhadap kedua ayat di atas, dapat dikatakan bahwa
al-Quran menjadi pola hidup rukun bersama umat agama lain. Sebagai konsekuensi
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah..., hlm 58 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah..., hlm 203
29 30
54
dari ajaran ini, dalam berdakwah, Islam juga melarang menggunakan kekerasan dan pemaksaan untuk menarik penganut agama lain menjadi penganut Islam.31 2. Agama Kristen Menurut agama Kristen, kasih adalah hukum utama dan yang terutama dalam kehidupan orang Kristen.32 Agama Kristen juga beranggapan bahwa aspek kerukunan hidup beragama dapat diwujudkan melalui Hukum Kasih yang merupakan norma dan pedoman hidup yang terdapat dalam al-kitab.hukum kasih tersebut ialah mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia, hukum kasih ini terdapat pada Mat 22:37; Rum 13:10; Kor 13:4-7 dan 13.33 3. Agama Katolik Kerukunan hidup umat beragama menurut ajaran Katolik sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Konsili Vatikan II tentang sikap gereja terhadap agamaagama bukan Katolik. Deklarasi tersebut berpegang teguh pada hukum yang paling utama “Kasihanilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap hal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri”. (Mark 12:30-31; Luk 10:27; Mat 22:37-40).34
31
Zakiah Dradjat (et all), Perbandingan Agama..., hlm 143 Zakiah Dradjat (et all), Perbandingan Agama, Jakarta, Bumi aksara, 1996, hlm 139-140 33 Pendeta Sd Laiya, “Sumbangan Pikiran Umat Kristen Protestan dalam Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama” dalam Departemen Agama RI, Pekan Orientasi Antara Umat Beragama Dengan Pemerintah, Jakarta, 1981, hlm 103 34 Zakiah Dradjat (et all), Perbandingan Agama..., hlm 140-141 32
55
4. Agama Hindu Pandangan agama Hindu tentang kerukunan hidup antar umat beragama dapat diketahui dari tujuan agama Hindu yakni Moksartham Jagathita Ya Ca Iti Dharma. Dharma artinya mencapai kesejahteraan hidup manusia baik jasmani maupun rohani. Maka untuk mencapai kerukunan umat beragama manusia harus mempunyai dasar hidup yang disebut Catur Parusa Artha; Dharma, Artha, Kama, Moksha. Keempat dasar inilah yang merupakan titik tolak terbinanya kerukunan umat beragama. Juga memberikan sikap hormat-menghormati dan hargamenghargai keberadaan umat beragama lain. Tidak saling mencurigai dan tidak saling mempersalahkan dan dapat menumbuhkan saling kerja sama.35 5. Agama Buddha Pandangan agama Buddha mengenai kerukunan Hidup Umat Beragama dapat dicapai dengan titik tolak empat kebenaran. Pertama, hidup itu adalah suatu penderitaaan (Dukha-Satya). Kedua, penderitaan disebabkan karena keinginan rendah (Samudaya-Satya). Ketiga, apabila keinginan rendah dapat dihilangkan maka penderitaan akan berakhir. Keempat, jalan untuk menghilangkan keinginan rendah ialah melaksanakan 8 (delapan) jalan utama, yaitu pengertian yang benar, pikiran yang benar, ucapan yang benar, maka pencaharian yang benar, daya upaya yang benar, pemusatan pikiran (konsentrasi) yang benar. (Marga-satya).
Persada Hindu Dharma, “Kerukunan Hidup Umat Beragam Menurut Agama Hindu” dalam Departemen Agama RI, Pekan Orientasi Antara Umat..., hlm 153-154. Lihat juga Zakiah Dradjat (et all), Perbandingan Agama..., hlm 141-142 35
56
Dalam pengajaran Buddha Gautama kepada manusia telah dilaksanakan dengan dasar, yaitu:36 a. Keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat ditembus oleh pikiran manusia b. Metta, welas asih terhadap semua makhluk sebagai kasih ibu terhadap putranya yang tunggal. c. Karunia, kasih sayang terhadap sesama makhuk, kecendrungan untuk selalu meringgankan penderitaan makhluk lain. d. Mudita, perasaan turut bahagia dengan kebahagian makhluk lain tanpa benci, iri hati, perasaan prihatin bila makhluk lain menderita. e. Karma, tumimbal lahir (reinkarnasi) atau umum yang kekal, karena ini adalah hukum sebab dan akibat. Dan karma adalah jumlah seluruhnya dari perbuatan-perbuatan baik dan tidak baik 6. Agama Kong Hu Cu Dalam pokok-pokok ajaran agama Kong Hu Cu dijelaskan bahwa semua manusia mempunyai sifat seperti sifat yang dimiliki oleh langit yaitu sifat samawi. Sifat ini dinamakan dalam bahasa Tionghoa yakni Sing. Oleh karena itu, tiap-tiap manusia terhadap manusia lain adalah saudara. Maka wajib menolong sesama manusia dan menjaga agar sifat-sifat samawi (Sing) mereka tetap suci.37
Vihara Metta Maittreya, “Kerukunan Dalam Pandangan Umat Buddha” dalam Departemen Agama RI, Pekan Orientasi Antara Umat..., hlm 162-163 37 Muhammaaddin, Agama-Agama Di Dunia, Palembang, Awfamedia, 2009, hlm 28 36
57
Dalam pokok-pokok ajaran agama Kong Hu Cu dijelaskan juga bahwa setiap manusia harus memiliki Yen, yang mengandung pengertian bahwa setiap insan harus terdapat dalam dirinya kebaikan, budi pekerti, cinta dan kemanusiaan.38 Bila seseorang telah memiliki Yen, maka Chung Tzu muncul sebagai watak ideal padanya. Chung Tzu dipandang sebagai lambang bagi orang bijaksana yang percaya terhadap dirinya sendiri dan mempunyai rasa tanggung jawab.39
C. Kebijakan Pemerintah Tentang Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia Kebijakan pemerintah tentang kerukunan hidup umat beragama di Indonesia berawal dari Penetapan Presiden Republik Indonesia No.1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Januari 1965 oleh Presiden Sukarno.40 Kebijakan ini diambil dalam rangka pertama, pengamanan Negara dan masyarakat. Kedua, cita-cita revolusi nasional dan pembangunan nasional semesta menuju ke masyarakat adil dan makmur. Ketiga, untuk pengamanan revolusi dan ketentraman masyarakat. Setelah itu, Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 Desember 1967 oleh presiden soeharto.41 Kebijakan ini diambil karena agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat pada negeri 38
Muhammaaddin, Agama-Agama Di Dunia... hlm 29 Muhammaaddin, Agama-Agama Di Dunia... hlm 29 40 Departemen Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan ..., hlm 87-89 41 Departemen Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan ..., hlm 99-100 39
58
leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psikologi, mental dan moril yang kurang wajar terhadap warga Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, maka perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang wajar. Selanjutnya, Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.01/BER/mdn-mag/1969 Tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 September 1969 oleh KH. Muhammad Dachlan selaku Menteri Agama dan Amir Machmud selaku Menteri Dalam Negeri.42 Kebijakan ini diambil berdasarkan berbagai pertimbangan, yaitu: pertama, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu. Kedua, pemerintah mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan bantuan guna memperlancar usaha mengembangkan agama sesuai dengan ajaran agama masingmasing dan melakukan pengawasan sedemikian rupa, agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agama dan dalam usaha mengembangkan agama itu dapat berjalan dengan lancar, tertip dan dalam suasana kerukunan. Ketiga, pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha pengembangan agama dan pelaksanaan ibadat
pemeluk-pemeluknya,
sepanjang
kegiatan-kegiatan
tersebut
tidak
bertentangan dengan hukum yang berlaku dan tidak mengganggu keamanan dan 42
Departemen Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan ..., hlm 102-105
59
ketertiban umum. Keempat, perlunya diadakan ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan tugas aparatur pemerintah dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeluknya. Setelah Mukti Ali dilantik menjadi Menteri Agama pada tanggal 11 September 1971 yang menggantikan KH. Muhammad Dachlan dalam Kabinet Pembangunan I. Sejarah mencatat bahwa Mukti Ali telah membangun landasan teoritik kerukunan hidup umat beragama di Indonesia dengan memajukan konsep agree in disagreement (setuju dalam perbedaan).43 Dalam konsep ini dijelaskan bahwa Orang yang beragama harus percaya bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik dan paling benar, dan orang lain juga dipersilahkan, bahkan dihargai, untuk percaya dan yakin bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik dan paling benar. Pada saat Mukti Ali melakukan modernisasi44 melalui instrumen negara, anak-anak asuhannya melakukan modernisasi melalui instrumen di luar negara, dalam forum diskusi Limited Group, generasi baru pemikir dan aktivis Islam tahun 1970-an.45 Dalam forum diskusi ini, titik tekan utamanya berusaha mengembangkan format baru politik Islam pada substansi, bukan bentuk dan simbol-simbol semata.46
43
Achmad Syahid dan Zainudin Daulay (editor), Riuh di Beranda..., hlm xiii-xiv Modernisasi ini merupakan kata pilihan dari pemerintah Orde Baru, sebagai terapi kecenderungan konflik-konflik yang ada di Indonesia. Saat itu pamerintah dihadapkan pada keharusan untuk segera melaksanakan pembangunan, maka modernisasi yang dikemas dalam bingkai stabilitas nasional. Akhirnya memang hal ini berfungsi banyak, yang terpenting diantaranya adalah mengeliminasi secara sistematis dan mengisolasi secara terukur pengaruh afiliasi dan dinamika politik yang syarat ideologis. 45 Setelah kegagalan PKI 1965 yang juga dirasakan orang di Yogyakarta, banyak anak muda mendambakan adanya pemikiran baru tentang Islam yang tidak selalu bernada politis. Anak-anak 44
60
Menurut Achmad Syahid dan Zainuddin, kebijakan-kebijakan pemerintah masa Orde Baru tentang kerukunan hidup umat beragama, yang diawali saat Mukti Ali selaku Menteri Agama, merupakan kebijakan politik kerukunan.47 Dalam kerangka modernisasi kehidupan politik, kebijakan tersebut diarahkan kepada konsep kerukunan hidup umat beragama di Indonesia yang berlandaskan kepada Tri Kerukunan yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah.48 Untuk mewujudkan Tri Kerukunan tersebut, selama kepemimpinan Mukti Ali, Departemen Agama membagi kegiatan keagamaan ke dalam dua bentuk. Disatu pihak murni bersifat agama sementara di sisi lain bersifat politis.49 Dalam bentuk kegiatan keagamaan yang murni bersifat agama, ditegaskan bahwa pemerintah membolehkan bahkan mendukung segala bentuk kegiatan keagamaan masyarakat yang berkaitan dengan peningkatan penghayatan agama. Sedangkan dalam bentuk kegiatan keagamaan yang bersifat politis, ditekankan bahwa pamerintah menghindari segala bentuk kegiatan keagamaan yang cenderung mengarah kepada
muda ini lantas bergabung dengan Mukti Ali untuk membentuk Limited Group, dan berdiskusi tentang masalah-masalah agama. Setiap Jum’at malam, anak-anak muda itu berkumpul, berdiskusi dan berdialog tentang masalah-masalah keagamaan. Nama-nama anak muda dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), adalah Dawam Rahardjo, Ahmad Wahabi, Djohan Effendi, Wajiz Anwar, Syu’bah Asa. Mereka mengundang juga Nurcholish Madjid, Utomo Dananjaya,WS Rendra dan tidak jarang pula orang-orang non-muslim. Lihat Abdurrahman (et al), Agama dan Masyarakat; 70 Tahun H. A. Mukti Ali, Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993, hlm 37. Lihat juga Azyumardi Azra dan Saiful Umam (Editor), Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik, Jakarta, Badan Litbang Agama, 1982, hlm 294 46 Achmad Syahid dan Zainudin Daulay (editor), Riuh di Beranda..., hlm xv 47 Achmad Syahid dan Zainudin Daulay (editor), Riuh di Beranda..., hlm x 48 Departemen Komunikasi dan Informatika RI, Himpunan Peraturan..., hlm 5. Lihat juga Departemen Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan ..., hlm 99-100 49 Achmad Syahid dan Zainudin Daulay (editor), Riuh di Beranda..., hlm xiv
61
perjuangan politis. Terkait dengan kebijakan ini, Mukti Ali menegaskan bahwa ia percaya suatu aspirasi dan pilihan politik dalam kebijakan membagi kegiatan keagamaan akan memperbaiki hubungan antara umat Islam dan negara Indonesia.50 Penyataan ini disampaikan pada suatu seminar di Malang pada tahun 1972. Sampai pada struktur politik Orde Baru runtuh pada Mei 1998, kebijakankebijakan pemerintah tentang kerukunan hidup umat beragama masih seperti politik kerukunan yang didesain oleh pemerintah Orde Baru yang mengarah pada Tri Kerukunan.51 Pola-pola kerja dan strategi kebijakan kerukunan hidup umat beragama yang diterapkan pada era Reformasi, masih belum benar-benar mampu bergeser dari fundamental pola kebijakan kerukunan hidup umat beragama yang diterapkan pada pemerintahan orde Baru. Paradigma dan visi kebijakan pemerintah di era Reformasi tentang kerukunan hidup umat beragama masih belum terumuskan dengan jelas.
Ali Munhanif, “Prof. DR. H. A. Mukti Ali: Modernisasi Politik Keagamaan Orde Baru” dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (Editor), Menteri-Menteri Agama RI..., hlm 294 51 Achmad Syahid dan Zainudin Daulay (editor), Riuh di Beranda..., hlm xx 50