BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia sehari-hari. Untuk
dapat berinteraksi di berbagai bidang kehidupan, manusia menggunakan bahasa. Keraf dalam Smarapradhipa (2005:1) menjelaskan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Pengertian kedua menjelaskan bahasa adalah sistem komunikasi yang menggunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer. Penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi telah memungkinkan sebuah bahasa untuk dapat berkembang secara signifikan. Perkembangan bahasa juga mempengaruhi aspek-aspek yang terdapat dalam penggunaan bahasa, termasuk kosakata. Dalam mempelajari bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Jepang memerlukan pemahaman tentang aturan dan perkembangan yang terdapat pada bahasa tersebut. Linguistik adalah ilmu yang mengkaji tentang kaidah-kaidah bahasa secara umum. Ada beberapa hal yang menjadi kajian utama dalam linguistik, salah satunya adalah Semantik. Semantik adalah ilmu yang mengkaji tentang makna. Saeed (2003:3) mengatakan bahwa semantic is the study of meaning communicated of through language, yang berarti bahwa semantik adalah ilmu yang mempelajari tentang makna yang dikomunikasikan melalui bahasa. Dalam berkomunikasi makna kata menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan, karena komunikasi baru akan berjalan dengan lancar jika setiap kata yang digunakan oleh penutur dan mitra tutur memiliki makna yang tepat.
1 Universitas Sumatera Utara
Objek kajian semantik antara lain makna kata (go no imi), relasi makna antar satu kata dengan kata yang lainnya (go no imi kankei), makna frase (ko no imi), dan makna kalimat (bun no imi). Makna terbagi ke dalam beberapa jenis antara lain makna leksikal dan makna gramatikal, makna denotatif dan makna konotatif, makna dasar dan makna perluasan, makna konseptual dan makna kontekstual, serta makna asosiatif. Salah satu yang dikaji dalam relasi makna adalah sinonim, yang dalam bahasa Jepang disebut dengan ruigigo. Sinonim dapat diartikan sebagai kata yang sama atau hampir sama artinya. Misalnya, sudah dengan telah, besar dengan agung (Badudu dan Zain, 1996:1331). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinonim adalah bahasa atau kata yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk bahasa atau kata lainnya. Sedangkan menurut Harimurti Kridalaksana (1982:154), sinonim adalah bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain, persamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupun umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja. Berikut ini adalah beberapa pengertian tentang Ruigigo menurut para ahli bahasa, diantaranya adalah: Ruigigo ( 類 義 語 ) adalah beberapa kata yang memiliki bunyi ucapan yang berbeda namun memiliki makna yang sangat mirip (Iwabuchi dalam Sudjianto dan Dahidi, 2004 : 114). Menurut Naogakutosho dalam Kurnia (2006 : 10), ruigigo adalah: 形は違っていても、意味の似通っている語。類語。 Katachi wa chigatteitemo, imi no nikayotteiru go. Ruigo. “Bentuk dan ucapannya berbeda, arti katanya sama/mirip.Sejenis.”
2 Universitas Sumatera Utara
Pengertian yang sama juga dikemukakan oleh Kindaichi (1994 : 1375) yang menjelaskan bahwa ruigigo adalah: 意味がよく似ている。 Imi ga yoku nite iru. “Artinya sangat mirip”. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sinonim atau ruigigo adalah suatu kata atau beberapa kata yang memiliki bentuk dan ucapan yang berbeda namun memiliki arti yang sama atau mirip. Contoh sinonim dalam bahasa Jepang adalah: 使う Tsukau, 用いる Mochiiru, 使 用する Shiyousuru, 利用する Riyousuru,
雇う Yatou. かぶる Kaburu, かける
Kakeru, しめる Shimeru dan 着る Kiru. Kata-kata tersebut jika dipadankan ke dalam bahasa Indonesia menjadi satu kata, yaitu kata memakai. Seperti halnya dalam bahasa Indonesia, ada banyak jumlah sinonim dalam bahasa Jepang yang mengakibatkan pembelajar bahasa Jepang sering merasa kesulitan dan sering melakukan kesalahan dalam menggunakan kosakata yang bersinonim. Sinonim merupakan salah satu masalah dalam pengajaran bahasa asing termasuk bahasa Jepang. Kesulitan pembelajar biasanya berupa kurangnya pemahaman terhadap persamaan dan perbedaan kapan dan dalam situasi bagaimana suatu kosakata bisa digunakan dengan benar (Dedi Sutedi, 2005:76). Berdasarkan pengalaman yang Penulis alami, kesalahan penggunaan dan pemilihan kata yang bersinonim akan membuat lawan bicara menjadi bingung, tidak paham atau malah tersinggung dengan apa yang kita ucapkan.
3 Universitas Sumatera Utara
Kesalahan berbahasa pada pembelajar, umumnya terjadi karena adanya transfer negatif bahasa ibu dengan bahasa Jepang. Kesalahan yang muncul bisa berupa penggunaan kosakata, penggunaan pola kalimat, dan lain sebagainya, (Sutedi, 2008: 1). Maka pemahaman kosakata dianggap salah satu bagian penting dari proses pembelajaran suatu bahasa ataupun pengembangan kemampuan seseorang dalam suatu bahasa yang sudah dikuasai. Sinonim adalah beberapa kata yang maknanya hampir sama tetapi cara penggunaannya berbeda dalam kalimat tergantung dari konteks dan situasi dalam kalimat tersebut. Hal ini banyak ditemukan dalam bahasa Jepang, sehingga menjadi salah satu penyebab kesulitan dalam mempelajari bahasa Jepang (Dedi Sutedi, 2008:129). Salah satu sinonim (ruigigo) dalam bahasa Jepang adalah kata tetsudau dan tasukeru. Kata tetsudau dan tasukeru termasuk ke dalam kelas kata verba.Verba dalam bahasa Jepang disebut dengan doushi (動詞). Nomura dalam Sudjianto dan Dahidi (2004: 149) mengungkapkan bahwa doushi (verba) adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, yang dipakai untuk menyatakan aktivitas, keberadaan atau keadaan sesuatu. Sebagai contoh, pemakaian verba tetsudau dan tasukeru adalah seperti di bawah ini: 1.
何か困ったがあると、いつも家族が助けてくれた。 Nani ka komatta ga aruto, itsumo kazoku ga tasuketekureta. Jika saya mendapatkan kesulitan apapun, keluarga saya akan selalu menolong saya. (Masayoshi Hirose, 1994:416)
2.
部屋をかたずけるのを手伝ってください。 Heya o katazukeru no o tetsudatte kudasai.
4 Universitas Sumatera Utara
Tolong bantu saya merapikan kamar. (Masayoshi Hirose, 1994:418) Melihat kedua contoh kalimat tersebut, dapat diketahui bahwa verba tetsudau dan tasukeru jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia akan memiliki arti yang hampir sama yaitu „membantu‟ atau „menolong‟, tetapi penggunaannya berbeda dalam kalimat bahasa Jepang tergantung dari konteks dan situasi dalam kalimat tersebut. Untuk mengetahui cara penggunaannya dalam kalimat perlu menganalisis makna dan perbedaan dari kedua verba tersebut. Penggunaan verba tetsudau dan tasukeru juga mengacu pada maksud yang sama, memiliki makna dan nuansa yang dapat berbeda jika digunakan dalam komunikasi bahasa Jepang. Kurangnya pemahaman terhadap nuansa makna kata-kata yang bersinonim dapat menyebabkan tidak tepatnya penggunaan suatu kata, meskipun secara makna sudah dirasa tepat. Untuk menghindari kerancuan penggunaan kedua kata yang bersinonim tersebut, maka penulis merasa perlu melakukan suatu analisis yang dituangkan ke dalam skripsi yang berjudul “Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru dalam Kalimat Bahasa Jepang”.
1.2
Perumusan Masalah Verba tetsudau dan tasukeru jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia akan
memiliki arti yang hampir sama yaitu „membantu‟ atau „menolong‟, tetapi penggunaannya berbeda dalam kalimat bahasa Jepang tergantung dari konteks dan situasi dalam kalimat tersebut, sehingga mengakibatkan pembelajar bahasa Jepang sering merasa kesulitan dan sering melakukan kesalahan dalam menggunakan kosakata tetsudau dan tasukeru yang bersinonim tersebut. Berdasarkan definisi masalah tersebut di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
5 Universitas Sumatera Utara
1.
Apakah fungsi dan makna verba tetsudau dan tasukeru dalam bahasa Jepang?
2.
Bagaimanakah perbedaan nuansa makna verba tetsudau dan tasukeru dalam konteks kalimat berbahasa Jepang?
1.3
Ruang Lingkup Pembahasan Dalam penelitian ini, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan hanya
mengenai perbedaan nuansa makna verba tetsudau dan tasukeru ditinjau dari kajian Semantik. Untuk masing-masing verba tetsudau dan tasukeru akan dibahas 5 (lima) buah kalimat-kalimat berbahasa Jepang yang diambil dari 2 (dua) buah kalimat dari komik Pastel Kazoku, 3 (tiga) buah kalimat dari film animasi (anime) Zetsuen no Tempest, 1 (satu) buah kalimat dari Inu to Boku, 1 (satu) buah kalimat dari drama First Class dan 3 (tiga) buah kalimat dari kumpulan cerita pendek Aozora. Untuk masing-masing verba tetsudau dan tasukeru akan dibatasi 5 (lima) buah contoh kalimat. Untuk mendukung pembahasan, pada bab II Penulis akan menjelaskan juga tentang pengertian verba, ciri-ciri dan fungsi verba, pengertian verba tetsudau dan tasukeru, jenis-jenis makna dalam semantik, sinonim dan permasalahannya serta pemilihan kata. 1.4
Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1.
Tinjauan Pustaka Untuk menghindari kesalahan dan kekaburan dalam menginterpretasikan makna
kata-kata dan istilah yang digunakan dalam penelitian ini, penulis mendefinisikan beberapa istilah linguistik khususnya yang berkenaan dengan semantik, serta beberapa pengertian fungsi.
6 Universitas Sumatera Utara
Bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri. Sebagai sebuah sistem maka bahasa tersebut diatur oleh suatu aturan, kaidah, atau pola tertentu, baik dalam bidang tata bunyi, tata bentuk kata maupun tata kalimat. Bila aturan, kaidah, pola ini dilanggar, maka komunikasi dapat terganggu. (Abdul Chaer, 1994 : 1) Linguistik adalah ilmu tentang bahasa atau ilmu yang mengkaji tentang bahasa sebagai objek kajian (Abdul Chaer, 1994:1). Salah satu bidang kajian dari linguistik adalah semantik yang mengkaji tentang makna. Dalam cabang linguistik, semantik memegang peranan penting, karena bahasa yang digunakan dalam komunikasi tiada lain hanya untuk menyampaikan suatu makna. Misalnya seseorang menyampaikan ide dan pikiran kepada lawan bicara, lalu lawan bicara dapat memahami apa yang dimaksud, karena ia bisa menyerap makna yang disampaikan. Setiap jenis penelitian yang berhubungan dengan bahasa, apakah struktur kalimat, kosakata ataupun bunyi-bunyi bahasa, pada hakikatnya tidak terlepas dari makna (Dedi Sutedi, 2008:111). Ketika mempelajari sebuah bahasa, kualitas kemampuan berbahasa seorang pembelajar bahasa asing tergantung pada penguasaan huruf bagi bahasa yang memiliki huruf spesifik seperti bahasa Jepang dan Arab, pemahaman kaidah kebahasaan serta penguasaan kosakata, dapat dilihat dari kuantitas dan kualitas kosakata yang ia kuasai. Dalam bahasa Jepang, kosakata disebut goi. Goi dapat diklasifikasikan menjadi sepuluh kelas kata yang disebut dengan hinshi bunrui, yaitu verba (doushi), adjektiva-i (keiyoushi), adjektiva –na (keiyodoushi), nomina (meishi), pronomina (rentaishi), adverbial (fukushi), interjeksi (kandoushi), konjugasi (setsuzokushi), verba bantu (jodoushi) dan partikel (joshi), (Dahidi dan Sudjianto, 2004:98). Tetsudau dan tasukeru
7 Universitas Sumatera Utara
yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah termasuk ke dalam kelas kata verba (doushi). Kridalaksana (2008:254) menjelaskan bahwa verba adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat; dalam beberapa bahasa lain verba mempunyai ciri morfologis seperti ciri kala, aspek, persona atau jumlah. Sebagian besar verba mewakili unsur semantis perbuatan, keadaan atau proses; kelas ini dalam bahasa Indonesia ditandai dengan kemungkinan untuk diawali dengan kata tidak, dan tidak mungkin diawali dengan kata seperti sangat, lebih, dsb.; mis. datang, naik, bekerja, dsb. Verba dalam bahasa Jepang memiliki nuansa dan makna yang spesifik. Sering ditemukan beberapa kata yang sepintas memiliki kemiripan arti, namun ternyata setelah ditelaah lebih lanjut memiliki arti atau penggunaan yang berbeda. Dalam bahasa Jepang, terdapat banyak kata yang bersinonim (ruigigo), baik dalam kategori adjektiva (keiyoushi), nomina (meishi) maupun verba (doushi). Tetsudau dan tasukeru adalah verba yang bersinonim.
Dalam bahasa Jepang sinonim disebut ruigigo (類義語). Bahasa Jepang memiliki jumlah sinonim yang sangat banyak dan sulit dicari padanan katanya di dalam bahasa Indonesia. Menurut Mihara (2004:112), sinonim terbagi atas 3 (tiga) jenis, yaitu: 1.
Housetsu Kankei (suatu arti kata termasuk kedalam arti lain), misalnya pada kata kyoushi dan sensei. Makna kata kyoushi merupakan makna yang mempunyai cakupan makna lebih sempit dari kata sensei, sedangkan kata sensei dapat berarti luas yaitu meliputi daigishi (anggota kongres), isha (dokter) dan juga kyoushi (pengajar).
8 Universitas Sumatera Utara
2. Shisateki Tokuchou (kata yang sepadan dalam arti namun memiliki perbedaan), misalnya pada kata noboru dan agaru. Kedua kata tersebut memiliki makna yang sepadan, yaitu naik. Namun ada perbedaan dalam penggunaannya. 3. Dougigo (arti dan makna yang sama atau sepadan), misalnya pada kata takkyuu dan pinpon. Kedua kata tersebut sama- sama mempunyai padanan kata tenis meja. Selain sama maknanya, kata tersebut juga mempunyai satu kesamaan menyeluruh dari segi rasa atau nuansa. Sinonim ini muncul karena faktor pengaruh terjemah bahasa asing.
2. Kerangka Teori Sesuai dengan pembahasan skripsi ini, teori atau pendekatan yang digunakan untuk menganalisis makna verba tetsudau dan tasukeru adalah pendekatan secara linguistik dalam kajian semantik dan konsep sinonim. Semantik berasal dari bahasa Yunani yaitu sema (nomina) yang berarti tanda atau lambang. Sedangkan seamino (verba) memiliki arti menandai atau melambangkan. Jadi, ilmu Semantik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Semantik juga merupakan pelafalan lain dari “la semantique” yang dicetus oleh M. Breal dari Perancis. Ia mengungkapkan bahwa semantik merupakan satu cabang studi pada linguistik general dan analisis tentang makna-makna linguistik (Parera, 2004:14). Semantik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari arti kata atau makna kata. Selain mempelajari arti kata atau makna kata, semantik juga memberikan hubungan terhadap konsep dan tanda bahasa yang mewakilinya. Semantik merupakan bidang linguistik yang mempelajari makna tanda bahasa, yaitu kaitan antara konsep dan tanda bahasa yang melambangkannya (Kushartanti, 2005:114).
9 Universitas Sumatera Utara
Makna merupakan atribut yang bukan saja dari bahasa, tetapi juga dari segenap sistem tanda dan lambang. Kajian makna ini dinamakan semantik (R.H. Robins dalam Fauziah, 2006: 5). Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa semantik adalah salah satu cabang linguistik yang mempelajari tentang makna. Menurut Sutedi (2008:103), semantik atau imiron merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji tentang makna. Semantik memiliki peranan penting, karena bahasa yang digunakan dalam komunikasi tiada lain hanya untuk menyampaikan suatu makna. Misalnya, seseorang menyampaikan ide dan pikiran kepada lawan bicara, lalu lawan bicaranya dapat memahami apa yang di maksud, karena dia dapat menyerap makna yang disampaikannya. Objek kajian semantik di antaranya adalah makna kata (go no imi), relasi makna (go no imi kankei) antar satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam suatu idiom (ku no imi), dan makna kalimat (bun no imi). Relasi makna adalah hubungan secara semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya (Chaer, 1994:297). Satuan bahasa dapat berupa kata, frase maupun kalimat. Relasi makna dapat menyatakan antara lain kesamaan makna (sinonim), pertentangan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguiti), ketercakupan makna (hiponim), dan kelebihan makna (redudansi). Dalam menganalisis sinonim digunakan teknik substitusi (pemutasi). Yaitu dengan cara melihat apakah suatu kata dalam suatu kalimat bisa digantikan dengan sinonimnya atau tidak. Dalam hal ini apakah penggunaan kata tetsudau dapat digantikan dengan kata tasukeru dan memiliki makna yang beda atau tidak. Maka akan ditemukan kejelasan perbedaannya, dengan menganalisis unsur kalimat menggunakan teori semantik. 10 Universitas Sumatera Utara
Parera (2004:16), menjelaskan bahwa secara umum teori makna dibedakan atas: 1.
Teori Referensial atau Korespondensi
2.
Teori Kontekstual
3.
Teori Mentalisme
4.
Teori Formalitas Dari beberapa teori makna yang termasuk dalam kajian semantik di atas, teori
makna yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas adalah Teori Kontekstual. Teori makna Kontekstual adalah sebuah makna leksem atau kata-kata yang berbeda dalam suatu konteks, termasuk juga dapat berkenaan dengan situasinya (Chaer, 1994:290). Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Teori Kontekstual merupakan teori yang dapat digunakan untuk menganalisis verba berdasarkan konteks kalimat agar dapat mengetahui nuansa makna yang ditimbulkan dengan menggunakan verba tetsudau dan tasukeru. Sesuai dengan Teori Kontekstual, Penulis harus memilih kata yang bersinonim secara tepat dan seksama untuk menghindari kesalahan dalam menginterpretasikan maknanya. Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansanuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar, (Keraf, 2006:24). Berdasarkan teori makna di atas, maka penulis akan menginterpretasikan makna verba tetsudau dan tasukeru sesuai dengan konteks kalimatnya. Sementara itu, menurut KBBI (2008:322), fungsi adalah nomina 1. Jabatan (pekerjaan) yang dilakukan; 2. Faal (kerja suatu bagian tubuh); matematika 3. Besaran
11 Universitas Sumatera Utara
yang berhubungan; 4. Kegunaan suatu hal; linguistik 5.peran sebuah unsur bahasa dalam satuan sintaksis yang lebih luas (seperti nomina yang berperan sebagai subjek).
1.5 1.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1.
Mengetahui fungsi dan makna verba tetsudau dan tasukeru dalam bahasa Jepang.
2.
Mengetahui perbedaan nuansa makna verba tetsudau dan tasukeru dalam konteks kalimat berbahasa Jepang.
2.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1.
Dapat menambah pengetahuan mengenai kajian semantik, terutama penggunaan ruigigo dalam bahasa Jepang.
2.
Dapat menggunakan verba bersinonim khususnya tetsudau dan tasukeru secara tepat baik secara lisan maupun tulisan.
3.
Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberi penjelasan terhadap kebingungan dalam berbagai permasalahan penggunaan ruigigo terutama verba tetsudau dan tasukeru.
1.6
Metodologi Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif
(descriptive research), yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan membuat gambaran secara sistematis (Isyandi, 2003:13). Metode penelitian deskriptif sebagai “metode yang
12 Universitas Sumatera Utara
bertujuan membuat deskripsi; maksudnya membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diteliti. Metode ini dikatakan pula sebagai pencarian data dengan interpretasi yang tepat” (Djajasudarma, 2006: 9). Penulis juga mengunakan metode kepustakaan (library research), yaitu metode yang menggunakan pengumpulan data-data atau berbagai informasi dengan cara pengumpulan data dari beberapa buku atau referensi yang berkaitan dengan pembahasan (Isyandi, 2003:13). Dalam hal ini penulis mengumpulkan dan menganalisis data-data yang berhubungan dengan tata bahasa Indonesia dan tata bahasa Jepang dari berbagai buku dan sumber lainnya yang relevan dengan pembahasan skripsi ini.
13 Universitas Sumatera Utara