BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun kelompok. Bahasa adalah sistem lambang yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 1983:17). Bahasa juga merupakan identitas suatu bangsa. Bahasa Indonesia merupakan salah satu identitas kenasionalan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai alat komunikasi resmi kenegaraan dalam undangundang dasar. Dan sebagai bangsa yang multilingual, bahasa Indonesia juga merupakan bahasa persatuan yang dapat mengikat dan memperat rasa persatuan antar penutur bahasa yang berbeda-beda. Selain bahasa Indonesia, bahasa ibu atau bahasa pertama (B1) yang diperoleh manusia lebih sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya, bahasa ibu atau bahasa pertama seorang anak Indonesia adalah bahasa daerahnya masing-masing. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa kedua karena baru dipelajari ketika masuk sekolah, dan ketika dia sudah menguasai bahasa ibunya; kecuali mereka yang sejak bayi sudah mempelajari bahasa Indonesia dari ibunya (Chaer dan Agustina, 1995:108). Berdasarkan pernyataan di atas, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan dwibahasawan atau bilingual bahkan multilingual karena memiliki kemampuan menggunakan dua bahasa atau lebih sekaligus.
1
2
Menurut data dari www.ethnologue.com, bahasa daerah dengan jumlah penutur terbanyak di Indonesia adalah bahasa Jawa yang berjumlah 84.308.740 pada sensus tahun 2000. Masyarakat tutur Jawa tersebar hampir di seluruh pulau besar maupun pelosok Indonesia. Masyarakat tutur (Speech Community) merupakan suatu kelompok orang atau suatu masyarakat yang mempunyai verbal repertoir relatif sama serta mempunyai penilaian yang sama terhadap normanorma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu (Chaer dan Agustina, 1995:46-47). Fishman mengatakan bahwa masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya (via Chaer dan Agustina, 1995:47). Kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur merujuk pada pengertian masyarakat yang sangat luas dan dapat juga hanya merujuk pada sekelompok kecil orang. Demikian juga, Bloomfield membatasi dengan “sekelompok orang yang menggunakan sistem isyarat yang sama” (via Chaer dan Agustina 1995: 48). Salah satu penyebab tersebarnya masyarakat tutur Jawa di seluruh Indonesia adalah transmigrasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, transmigrasi merupakan perpindahan penduduk dari satu daerah (pulau) yang berpenduduk padat ke daerah (pulau) lain yang berpenduduk jarang (Tim Penyusun, 2005:1209). Transmigrasi pertama kali terjadi pada masa Pemerintah Hindia Belanda tahun 1905. Pada saat itu Pemerintah Hindia Belanda berasumsi bahwa telah terjadi ledakan penduduk di Pulau Jawa sehingga perlu dipindahkan ke daerah yang lebih sedikit penduduknya (Swasono, 1985:71-72). Program
3
transmigrasi kembali berlanjut pada masa pemerintahan Presiden Soeharto pada zaman Orde Baru. Palembang merupakan ibukota dari provinsi Sumatera Selatan. Palembang merupakan salah satu kota di Indonesia yang menjadi tujuan transmigrasi, baik yang didatangkan oleh pemerintah maupun yang datang atas kemauan sendiri. Pendatang berasal dari berbagai daerah lain di Sumatera bahkan dari luar pulau Sumatera. Seperti dikatakan pada paragraf sebelumnya, bahasa Jawa merupakan bahasa dengan jumlah penutur terbanyak di Indonesia termasuk di Palembang. Salah satu kelompok tutur bahasa terbanyak dari luar pulau Sumatera yang menetap di Palembang adalah masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa dan penduduk asli memiliki latar belakang sosial budaya, pendidikan, keterampilan, dan bahasa yang berbeda. Dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan bahasa daerah masing-masing. Cara demikian tidak menimbulkan masalah atau salah pengertian ketika yang berkomunikasi dengan sesama penutur daerahnya. Akan tetapi, hal semacam itu tampaknya akan menyulitkan mereka dalam berhubungan dengan masyarakat di luar kelompoknya. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan untuk menjalin komunikasi di antara mereka. Namun, bahasa Indonesia sebagai bahasa formal dirasa terlalu kaku untuk digunakan dalam interaksi sehari-hari. Oleh karena itu, masyarakat Jawa yang merupakan minoritas di daerah transmigrannya mulai mempelajari bahasa sekitar yaitu Melayu Palembang. Sebagai bahasa sehari-hari, bahasa Melayu Palembang merupakan bahasa kedua (B2) setelah bahasa ibu (B1) mereka. Karena faktor lingkungan, maka bahasa Melayu Palembang lebih sering
4
digunakan daripada bahasa Jawa. Namun sebagai bahasa ibu, bahasa Jawa tidak lantas dilupakan dari kehidupan berbahasa masyarakat Jawa tersebut. Dalam beberapa peristiwa tutur, bahasa Jawa masih sering digunakan bahkan di tengah dialog yang berbahasa Melayu Palembang. Bahasa Jawa yang digunakan terwujud dalam bentuk kata, frasa, maupun kalimat. Sebagai lokasi penelitian, kelurahan Kemang Manis dipilih karena masyarakat Jawa di daerah ini masih aktif menggunakan bahasa Jawa dengan sesama kelompok tuturnya. Bahkan dalam berkomunikasi dengan masyarakat tutur Melayu Palembang pun bahasa Jawa juga digunakan baik secara sadar atau spontan. Di kelurahan ini juga terdapat paguyuban masyarakat Jawa yang masih aktif dan rutin mengadakan pertemuan. Maka dari itu, penulis bermaksud menganalisis bahasa Jawa yang digunakan di dalam bahasa Melayu Palembang di kelurahan Kemang Manis kota Palembang berdasarkan kajian sosiolinguistik dan mendeskripsikannya dengan bahasa yang mudah dipahami pembaca.
1.2 Rumusan Masalah Mengacu pada uraian di atas, permasalahan yang menarik dan akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana situasi dan keadaan masyarakat Jawa di kelurahan Kemang Manis kota Palembang? 2. Berdasarkan analisis sosiolinguistik, bagaimana bentuk bahasa Jawa di dalam bahasa Melayu Palembang yang ada di kelurahan Kemang Manis kota Palembang.
5
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk. 1. Mendeskripsikan situasi dan keadaan masyarakat Jawa di kelurahan Kemang Manis kota Palembang. 2. Mendeskripsikan bentuk bahasa Jawa di dalam bahasa Melayu Palembang yang ada di kelurahan Kemang Manis kota Palembang berdasarkan analisis sosiolinguistik.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan referensi dan pembanding untuk penelitian bahasa maupun penelitian sosial selanjutnya. Penelitian ini juga bermanfaat bagi pembaca untuk mengetahui bentuk bahasa Jawa yang digunakan dalam bahasa Melayu Palembang terutama yang ada di kelurahan Kemang Manis kota Palembang.
1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian tentang bentuk suatu bahasa dalam bahasa lain sudah pernah diteliti sebelumnya. Berikut ini beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Pertama, hasil penelitian berupa skripsi yang dilakukan oleh Nissa (2014) dengan judul Interferensi Leksikal Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Jawa Studi Kasus Siaran Berita Pojok Kampung di Wilayah Jawa Timur. Penelitian tersebut
6
membahas tentang bentuk-bentuk dan pengaruh interferensi leksikal bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa dalam siaran berita Pojok Kampung. Kedua, hasil penelitian berupa skripsi yang dilakukan oleh Arofah (2009) dengan judul Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda (analisis komparatif fono-leksikal). Penelitian tersebut mendeskripsikan tentang perbandingan bahasa Jawa dan bahasa Sunda dari segi fonologi dan leksikonnya. Sehingga dari penelitian tersebut dapat diketahui persamaan dan perbedaan unsur-unsur kebahasaan pada bahasa yang bersangkutan. Ketiga, hasil penelitian berupa skripsi yang disusun oleh Yosita (2013) dengan judul Ragam Hormat Bahasa Jawa Kalangan Muda di Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (Analisis Sosiolinguistik). Dalam skripsi tersebut Yosita menganalisis bentuk ragam hormat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari kalangan muda terhadap lawan bicaranya. Bentuk ragam hormat yang dianalisis berupa percakapan langsung dan juga bahasa SMS (Short Message Service). Keempat, hasil penelitian berupa buku yang disusun oleh Sudrajat, dkk. (1990) dengan judul Interferensi Leksikal Bahasa Indonesia ke dalam bahasa Lampung. Dalam buku tersebut peneliti menganalisis interferensi bahasa Indonesia dalam bahasa Lampung yang digunakan di kehidupan sehari-hari. Kata bahasa Indonesia yang berinterferensi ke dalam bahasa Lampung, ada yang mengalami perubahan fonetis ada yang tidak. Baik kata yang mengalami perubahan fonetis maupun tidak, tidak mengalami perubahan makna.
7
Dari literatur di atas terdapat beberapa keterkaitan dalam bidang kajian dan teori yang mendukung penelitian. Namun perbedaan yang mendasar adalah bahasa yang diteliti, objek bahasa dan tempat berlangsungnya penelitian. Sejauh pengetahuan penulis belum ada penelitian sejenis yang mengambil objek kajian bahasa Jawa di dalam bahasa Melayu Palembang terutama di kelurahan Kemang Manis kota Palembang.
1.6 Landasan Teori Penelitian mengenai Analisis Sosiolinguistik Bahasa Jawa di dalam Bahasa Melayu Palembang di Kelurahan Kemang Manis Kota Palembang ini didasarkan pada teori yang terdapat dalam kajian sosiolinguistik. Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan lingusitik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat (Rokhman, 2011:1). Sosiologi merupakan kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah sosial dalam suatu masyarakat, akan diketahui cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bagaimana mereka bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam tempatnya masing-masing di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, secara mudah dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin
8
yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat (Chaer dan Agustina, 1995:2-3). Adapun teori-teori dalam kajian sosiolinguistik yang dijadikan acuan dalam melakukan penelitian ini adalah teori kontak bahasa, bilingualisme, tingkat tutur, dan interferensi. 1.6.1 Kontak Bahasa Kontak bahasa adalah pemakaian lebih dari satu bahasa di tempat dan pada waktu yang sama (Thomason, 2001:1). Kontak bahasa dapat terjadi antara lain melalui (1) pindahnya sebuah kelompok ke tempat kelompok lain, (2) melalui hubungan budaya yang erat, dan (3) melalui pendidikan (Thomason, 2001:17-20). Suwito (1985:39) menunjukkan bahwa apabila terdapat dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama akan terjadilah kontak bahasa. Mackey, mengatakan bahwa kontak bahasa merupakan gejala bahasa (langue) yang dapat mempengaruhi bahasa satu kepada lainnya baik langsung maupun tak langsung, sehingga menimbulkan perubahan bahasa yang dimiliki oleh ekabahasawan (via Suwito, 1985:39). Sedangkan Kridalaksana (1983: 93) mengatakan bahwa kontak bahasa adalah saling pengaruh antara pelbagai bahasa karena para bahasawannya sering bertemu; tercakup di dalamnya bilingualisme, peminjaman, perubahan bahasa, kreolisasi dan pijinisasi. Kontak bahasa tidak hanya terjadi pada tataran bahasa, tetapi juga pada tataran dialek atau varian suatu bahasa.
9
1.6.2 Bilingualisme Bilingualisme adalah penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau oleh suatu masyarakat (Kridalaksana, 1983:26). Sedangkan Mackey berpendapat bahwa kedwibahasaan atau bilingualisme merupakan gejala tutur (parole) yang bersumber dari gejala bahasa (langue), sehingga dengan kata lain dapat dikatakan bahwa bilingualisme terjadi akibat adanya kontak bahasa (via Suwito, 1985:39). Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual atau dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan (Chaer dan Agustina, 1995: 112). Demikian juga Bloomfield menegaskan bahwa seorang penutur disebut bilingual apabila penutur itu mahir (proficient) berbahasa asing seperti ia berbahasa aslinya sendiri (via Sudradjat, 1990:3). Oleh karena itu, bilingualisme diterangkan sebagai praktik peggunaan dua bahasa secara bergiliran (Rusyana, 1981:5). 1.6.3 Tingkat Tutur Terdapat tiga tingkat tutur bahasa Jawa yaitu tingkat tutur ngoko, madya, dan krama. Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara orang pertama (O1) terhadap orang kedua (O2). Dapat dikatakan bahwa O1 tidak memiliki rasa segan terhadap O2, sehingga digunakan bahasa Jawa tingkat tutur ngoko untuk menyatakan keakraban di antar keduanya (Poedjosoedarmo dkk,
10
2013:19). Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko. Tingkat ini digunakan untuk mencerminkan rasa sopan O1 terhadap O2 namun masih dalam suasana yang akrab. Tingkat tutur madya berasal dari tingkat tutur krama, namun dalam perkembangannya telah mengalami tiga tahap yang penting. Tahapan tersebut adalah kolokiahsasi (informalisasi), penurunan tingkat, dan ruralisasi (Poedjosoedarmo dkk, 2013:21). Tingkat tutur krama adalah tingkat tutur bahasa Jawa yang mencerminkan rasa penuh sopan santun. Penggunaan tingkat tutur krama menandakan adanya perasaan segan O1 terhadap O2, karena O2 adalah orang yang belum dikenal, berpangkat, keturunan bangsawan, berwibawa, dan lain-lain (Poedjosoedarmo dkk, 2013:20). 1.6.4 Interferensi Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual (Chaer dan Agustina, 1995:159). Interferensi merupakan penggunaan unsur bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individual dalam suatu bahasa (Kridalaksana, 1983:66) Interferensi biasanya terjadi pada saat dwibahasawan menggunakan bahasa kedua (B2), dan yang berinterferensi ke dalam bahasa kedua itu adalah bahasa pertama atau bahasa ibu. Interferensi dapat terjadi dalam sistem fonologis (fonis dan fonemis), sistem gramatikal, sistem leksikal, dan sistem semantik suatu bahasa (Kridalaksana, 1985:26).
11
1.7 Metode Penelitian Metode penelitian merupakan teknik yang digunakan peneliti untuk mengkaji objek yang bersangkutan sebagai acuan dalam melakukan suatu penelitian. Metode yang dipilih tentu saja harus berkaitan dengan alat dan objek yang dituju agar mempermudah jalannya penelitian. Penelitian tentang Analisis Sosiolinguistik Bahasa Jawa di dalam Bahasa Melayu Palembang di Kelurahan Kemang Manis Kota Palembang bersifat deskriptif dan sinkronis yang terbagi dalam tiga tahapan dalam pelaksanaannya yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian/perumusan hasil analisis (Mahsun, 2006:84). 1.7.1 Metode Pengumpulan Data Dalam proses pengumpulan data penelitian, penulis menggunakan metode simak dengan cara mengamati penggunaan bahasa oleh informan. Secara khusus penulis menggunakan teknik dasar yaitu teknik sadap lalu teknik lanjutan yaitu teknik simak bebas libat cakap, teknik simak libat cakap, teknik rekam, dan teknik catat. Teknik simak bebas libat cakap (SBLC) adalah menyadap perilaku berbahasa di dalam suatu peristiwa tutur dengan tanpa keterlibatannya dalam peristiwa tutur tersebut (Mahsun, 2006:219). Penulis melakukan perekaman percakapan yang terjadi antara O1 dan O2 dalam kondisi yang situasional serta mencatat hal-hal penting yang terjadi saat peristiwa tutur berlangsung. Dalam teknik ini penulis tidak terlibat dalam percakapan secara langsung, namun hanya sebagai pendengar dan pengamat.
12
Sedangkan teknik simak libat cakap (SLC) adalah upaya penyadapan peristiwa tutur oleh peneliti dengan cara peneliti terlibat langsung dalam peristiwa tersebut (Mahsun, 2006:221). Dalam teknik ini peneliti ikut berpartisipasi dalam peristiwa tutur yang berlangsung. Peneliti tidak melakukan perekaman peristiwa tutur melainkan hanya mencatat hal-hal penting yang menjadi topik pembicaraan saat peristiwa tutur berlangsung. Setelah
menyelesaikan
pengumpulan
data,
peneliti
harus
segera
mempelajari catatan-catatan atau mentranskripkan rekamannya, melengkapinya dengan membuat catatan-catatan tentang hal-hal yang belum tercatat di lapangan (Mahsun, 2006: 246). 1.7.2 Metode Analisis Data Salah satu bagian terpenting dalam suatu penelitian adalah analisis data. Agar penulis mendapatkan hasil yang sesuai dengan kebutuhan dan realita di lapangan, maka dibutuhkan suatu metode yang tepat untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan. Metode analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Analisis kualitatif adalah data yang bukan berwujud angka misalnya jenis kelamin, bahasa yang digunakan suatu komunitas, warna kulit, dan lainnya (Mahsun, 2006:230). Dalam Analisis Sosiolinguistik Bahasa Jawa di dalam Bahasa Melayu Palembang di Kelurahan Kemang Manis Kota Palembang digunakan metode padan sebagai bentuk analisis data kualitatif yang telah tersedia. Padan merupakan kata yang bersinonim dengan kata banding dan sesuatu yang dibandingkan mengandung makna adanya keterhubungan sehingga padan
13
diartikan sebagai hal menghubung-bandingkan (Mahsun, 2006:112). Metode padan adalah metode/cara yang digunakan dalam upaya menemukan kaidah dalam tahap analisis data yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1988:120). Metode padan dibagi menjadi dua bagian yaitu metode padan intralingual dan metode padan ekstralingual. Metode padan intralingual adalah metode analisis dengan cara menghubung-bandingkan antar unsur yang bersifat lingual/ bahasa, baik yang terdapat dalam satu bahasa maupun yang terdapat dalam beberapa bahasa yang berbeda
(Mahsun,
2006:112).
Sedangkan
metode
padan
ekstralingual
menghubung-bandingkan hal-hal di luar bahasa, misalnya referen dan fonetik artikulatoris tergantung konteks sosial pemakaian bahasa, penutur bahasa yang dipilih misalnya berdasarkan jenis kelamin, usia, kelas sosial, dan sebagainya (Mahsun, 2006:115). Data yang dianalis berbentuk dialog-dialog antar informan seperti yang terlampir pada lampiran 1. Adapun nama-nama yang ada pada analisis data sebagai informan terlampir pada lampiran 2. Secara rinci, penelitian ini dianalisis menggunakan metode padan intralingual dan ekstralingual karena menghubungbandingkan hal-hal di dalam bahasa antara bahasa Jawa dan bahasa Melayu Palembang serta hal-hal di luar bahasa yaitu referen dan konteks sosial pemakaian bahasa.
14
1.7.3 Metode Penyajian Data Hasil analisis data berupa jawaban atas permasalahan yang telah dijelaskan dan disajikan dengan metode informal, yaitu menggunakan uraian kata-kata agar mudah dipahami oleh pembaca (Mahsun, 2006:255).
1.8 Sistematika Penyajian Tahap terakhir dari penelitian ini berupa laporan penelitian. Analisis Sosiolinguistik Bahasa Jawa di dalam Bahasa Melayu Palembang di Kelurahan Kemang Manis Kota Palembang disajikan dalam empat bab. Bab I pendahuluan berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II merupakan deskripsi mengenai situasi dan keadaan masyarakat Jawa di kelurahan Kemang Manis kota Palembang berdasarkan jumlah kepala keluarga, tingkat pendidikan, dan mata pencaharian. Bab III berisi tentang deskripsi bentuk-bentuk penggunaan bahasa Jawa di dalam bahasa Melayu Palembang di kelurahan Kemang Manis kota Palembang berdasarkan analisis sosiolinguistik. Bab IV merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan pembahasan bab-bab sebelumnya dan saran.