BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera tersebut, perlu
secara
terus-menerus
ditingkatkan
usaha-usaha
pencegahan
dan
pemberantasan tindak pidana umumnya serta tindak pidana korupsi khususnya. 2 Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, dalam bentuk tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan fenomenal adalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. 3 Korupsi merupakan kata yang populer dimasyarakat dan menjadi tema pembicaraan sehari-hari. Korupsi sudah terjadi sejak zaman dahulu dan merrupakan suatu peristiwa universal yang dapat terjadi diseluruh dunia. Di Indonesia,
tindak
pidana
Korupsi
sudah
meluas
dalam
masyarakat.
Perkembangannya terus meningkat dari tahun ketahun baik dari jumlah kasus
2
Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.3 Tahun 1971,LN. No. 19 Tahun 1971,TLN. No. 2958, Penjelasan umum 3 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika,2012, hal 1.
1 Universitas Sumatera Utara
yang terjadi maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Di berbagai belahan Dunia, korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya, hal ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh korupsi dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius karena dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial, ekonomi dan politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya yang menjadi ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur. Tindak pidana korupsi merupakan persoalan klasik yang telah lama ada. Sejahrawan Onghokham pernah menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. 4masih menurut Onghokham, pemisahan keuangan tersebut
tidak ada
dalam konsep tradisional. 5 Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tindak pidana korupsi mulai ada pada saat sistem politik modern dikenal. 6 Juniadi Suwartojo dengan tegas menyatakan bahwa tindak pidana korupsi ialah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar normanorma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan, pungutan, penerimaan, atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan 4
LPPNRI,Panduan Kegiatan Sadar Hukum Mengenai Korupsi Kolusi Nepotisme Bagi Aparatur Pemerintah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat, Jakarta, 2008, hlm.3-4 5 Ibid. 6 Ibid.
2 Universitas Sumatera Utara
penerimaan dan/ atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tjuan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentinngan dan/ atau keuangan negara/masyarakat. 7 Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian di Indonesia yang terjadi secara sistematik dan meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. 8 Tindak pidana korupsi telah menjadi sesuatu yang sistemik, sudah menjadi suatu sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara dan bahkan dapat dikatakan bahwa pemerintahan justru akan hancur apabila tindak pidana korupsi diberantas. Struktur pemerintahan yang dibangun dengan latar belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan akan hancur manakala korupsi tersebut dihilangkan. 9 Berdasarkan data Political dan Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2010, Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik. Jika dilihat dalam kenyataan sehari-hari, tindak pidana korupsi hampir tejadi disetiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari mengurus izin mendirikan bangunan, proyek pengadaan di instansi pemerintah sampai
7
Ibid. Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Penelitian hukum tentang Aspek Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jakarta, 2008, hlm.1. 9 LPPNRI, Op.Cit.,hlm.4-5 8
3 Universitas Sumatera Utara
proses penegakan hukum. Tanpa disadari, tindak pidana korupsi sudah dianggap suatu hal yang lumrah dan wajar untuk dilakukan oleh masyarakat umum. Hal serupa terlihat pula dalamhal memberikan hadiah kepada pejabat pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan. Kebiasaankebiasaan itu dipandang lumrah dilakukan sebagai bagian dari budaya ketimuran. Kebiasaan koruptif ini lama-lama akan menjadi bibit-bibit tindak pidana korupsi yang nyata. 10 Sejarah menorehkan catatan panjang perjuangan bangsa Indonesia melawan tindak pidana korupsi. Namun demikian, hingga saat ini tindak pidana korupsi masih merajalela bahkan semakin canggih dan semakin tersistematis. Sebagai bangsa pejuang, bangsa Indonesia tidak pernah dan tidak boleh menyerah. Perlawanan terhadap tindak pidana korupsi harus terus dilakukan. Perlawanan terhadap tindak pidana korupsi ini tentunya harus dilakukan dengan lebih masif, sistematis, konsiten, dan berkomitmen. 11 Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah dilakukan selama lebih dari 60 tahun, baik pada Orde lama, Orde Baru, maupun pada era reformasi, serta era baru pemerintahan saat ini. Namun demikian, segala daya dan upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat dalam menanggulangi tindak pidana korupsi ternyata belum menunjukan hasil seperti yang diharapkan. 12 Meningkatnya tindak pidana korupsi akan membawa bencana tidak hanya terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa 10
Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami untuk membasmi, Buku Saku untuk memahami tindak pidana korupsi, komisi pemberantasan korupsi, Jakarta, 2006, hlm.1. 11 Komisi Pemberantasan Korupsi, Optimalisasi pelayanan publik laporan tahunan KPK 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta,2008, hlm.14. 12 LPPNRI, Op.Cit., hlm, 4-6.
4 Universitas Sumatera Utara
dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat dan karena itu semua, maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. 13 Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi serta ancaman nyata pasti akan terjadi, yaitu dampak dari tindak pidana korupsi ini,maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan Nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas, dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum. Di tengah upaya pembangunan nasional diberbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan, adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan di intensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Pemberantasan korupsi bukanlah hal yang baru dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya aturan-aturan hukum mengenai 13
Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 LN. No. 137 Tahun 2002, TLN No. 4250, Penjelasan Umum. (selanjutnya Penulis akan menyebut dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK).
5 Universitas Sumatera Utara
pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini. Diberlakukannya undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dimaksudkan untuk menanggulangi dan memberantas korupsi dimaksudkan untuk menanggulangi dan memberantas korupsi baik oleh pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat. Pemberantasan tindak pidana korupsi dalam pasal 1 angka 3 UndangUndang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK di definisikan sebagai berikut: “ serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Korupsi dalam praktik pelaksanaannya sangat erat kaitannya dengan keuangan negara. Keuangan negara
dalam arti luas meliputi APBN, APBD,
keuangan negara pada Perjan, Perum, Perkebunan Nusantara, dan sebagainya. Keuangan dalam arti sempit hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggung jawabkan keuangan negara. 14 Korupsi adalah bagian dari aktivitas-aktivitas buruk yang menjauhkan negara ini dari pemerintahan yang bersih, jujur dan jauh dari rasa keadilan. Dengan kata lain, korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam praktiknya, tindak pidana korupsi sering dilakukan oleh pejabat atau mantan kepala pemerintahan pada pada masa pemerintahan/ kepemimpinannya, baik itu yang berada
di pusat,
maupun yang berada di daerah, bahkan tidak jarang pula merambat sampai pada Pejabat dilingkup Desa. Dalam ruang lingkup desa, praktik pelaksanaan tindak
14
Adrian Sutedi, Hukum Keuangan Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Halaman 10
6 Universitas Sumatera Utara
pidana korupsi sangat erat kaitannya dengan Alokasi dana Desa, Pendapatan Desa, Bantuan Sosial Desa dan lain sebagainya. Terbukti dari ada yang namanya Hari Anti Korupsi Sedunia. Ini tentu merupakan muara dari kekhawatiran dan keprihatinan bersama dari semua negara atas praktek korupsi ini. Korupsi bukanlah penyakit budaya atau penyakit politik, akan tetapi sebab semua itu tergantung cara dan dari sudut mana orang memandang. Yang pasti korupsi ini adalah tindak pidana yang harus diganjar dan diberi sanksi. Korupsi tidak terjadi hanya ditingkatan pusat melainkan juga terjadi di daerah – daerah. Korupsi juga tidak mengenal profesi. Salah satu permasalahan korupsi adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh Parno, Kepala Desa Paya Itik Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara yang mengkorupsi Alokasi Dana Desa sehingga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp. 38.587.553.12 - . Penanganan kasus tersebut di Pengadilan Negeri Medan hingga ke Pengadilan Tinggi Medan Untuk itu Penulis memilih judul : “Analisis Hukum Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa Paya Itik dalam Perspektif Kriminologis. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai Tindak Pidana Korupsi Dana Desa ? 2. Bagaimana faktor-faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa Paya Itik?
7 Universitas Sumatera Utara
3. Bagaimana penerapan kebijakan hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi dalam perspektif kriminologis?, C. Keaslian Penulisan Sepanjang penelusuran di perpustakaan Fakultas hukum USU skripsi dengan judul ANALISIS HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH KEPALA DESA PAYA ITIK DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGIS ( STUDI PUTUSAN No. 17/Pid.Sus/TPK/2016/PN-Mdn) belum pernah diteliti dalam bentuk skripsi dari Departemen Hukum Pidana di Fakultas Hukum USU, namun ada beberapa skripsi yang mengangkat tentang korupsi tetapi ditinjau dari segi yang berbeda. Adapun skripsi yang terlebih dahulu mengangkat tentang korupsi antara lain berjudul Pertanggung jawaban Tindak Pidana Korupsi DPRD Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah Periode 1999-2004 ( Studi Putusan No. 37/Pid/B/2008/PN.Btg), Proses Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (Studi Dalam Lembaga Terkait Di Medan), Kajian Hukum Tentang Ekstradisi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi, dan sebagainya. Penulisan dalam skripsi ini berbeda dari penulisan skripsi sebelumnya yang mengangkat tentang korupsi. Penulisan skripsi ini membahas tentang faktor penyebab melawan hukum dalam tindak pidana korupsi serta kedudukan hukum dalam studi putusan. D. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Adapun tujuan umum yang ingin dicapai adalah untuk memberikan suatu gambaran atau pembahasan mengenai adanya suatu peluang terjadinya tindak pidana korupsi melalui pengelolaan dana desa, serta hukuman yang berlaku bagi
8 Universitas Sumatera Utara
pelaku tindak pidana korupsi terhadap dana desa. 2. Tujuan Khusus 1. Untuk Mengetahui dan Menganalisa peraturan yang digunakan dalam menjerat pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia; 2. Untuk mengetahui
faktor-faktor
penyebab
seseorang
menyalah
gunakan wewenang dengan melawan hukum seperti tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa Paya Itik Kecamatan Galang Kabupaten Deli serdang. E. Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis Manfaat yang berkaitan dengan keilmuan, antara lain : 1. Bagi para peneliti untuk mengembangkan kembali apa yang telah diangkat dalam tulisan ini serta pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum Pidana. 2. Pengembangan bahan perkuliahan pada materi dalam hukum pidana atau pun bidang hukum lain yang berkaitan. 3.
Bahan publikasi ilmiah. 2. Manfaat Praktis
1. Bagi Kepala Desa serta jajarannya agar lebih berhati-hati dalam mengelola dana desa yang jumlahnya besar tersebut. 2. Bagi Pemerintah Daerah agar terus melakukan pengawasan terhadap jalannya pengelolaan dana desa di tiap desa. 3. Bagi pemerintah pusat serta aparat penegak hukum agar melakukan upaya penanggulangan tindak pidana korupsi secara konsisten, efektif dan
9 Universitas Sumatera Utara
efisien terhadap pengelolaan dana desa, agar turunnya dana desa yang jumlahnya besar tersebut tidak disalahgunakan dikemudian hari. F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengaturan hukum Mengenai Tindak Pidana Korupsi A. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Korupsi sudah terjadi sejak zaman dahulu dan merupakan suatu peristiwa universal yang dapat terjadi diseluruh dunia termasuk Indonesia. Terminologi korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio atau corruptus, berasal dari kata corrumpere adalah suatu kata dari bahasa latin yang lebih tua. 15 Selanjutnya istilah korupsi muncul dalam beberapa bahasa di Eropa seperti bahasa inggris yaitu Corruption dan corrupt, bahasa Perancis dengan kata corruptie yang selanjutnya menjadi “korupsi” dalam bahasa indonesia. 16 Dalam Black’s Law Dictionary, pengertian korupsi adalah sebagai berikut. 17 Corruption : An act is done with an intention to give someone advantage inconsistent with oficial duty and the rights of others. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the rights of others. See Bribe, Extortion.
15
H.Juni sjafrien jahja, Dr. SH,MH. Say no to korupsi. Visimedia meretas generasi bijak, Jakarta, hlm.7. 16 Ibid.hlm.8. 17 Henry Campbell Black, M.A, Black’s Law Dictionary, (St Paul, Minn, West Publishing Co.).,Sixth Edition, 1990, hal.191,345.
10 Universitas Sumatera Utara
Korupsi
: suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas dan hak orang lain. perbuatan seorang pejabat atau seorang pemegang kepercayaan yang secara bertentangan dengan hukum, secara keliru menggunakan kekuasannya untuk mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bertentangan dengan tugas dan hak orang lain.
Praktik korupsi tidak hanya melanda negara-negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Hanya saja korupsi di Indonesia sudah merupakan
kejahatan yang sangat luar biasa (extraordinary crimes),
sehingga tuntutan ketersediaan perangkat hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang menangani korupsi tersebut tidak dapat dielakkan lagi. Kiranya rakyat Indonesia sepakat bahwa korupsi harus dicegah dan dibasmi dari tanah air, karena korupsi sudah terbukti sangat menyengsarakan rakyat bahkan rakyat sudah merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial rakyat Indonesia. Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan hukum dan penegak hukum semata-mata melainkan persoalan sosial dan psikologi sosial yang sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan hukum, sehingga wajib segera dibenahi secara simultan. Korupsi juga merupakan persoalan sosial karena korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerintah kesejahteraan dan merupakan persoalan psikologi sosial karena korupsi merupakan penyakit sosial yang sulit disembuhkan. 18
18 Ermansjah Djaja, Dr. S.H, M.Si. Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Penerbit Sinar Grafika, 2010. Hal 28
11 Universitas Sumatera Utara
Tindak pidana korupsi adalah salah satu bagian hukum pidana khusus, disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, yaitu dengan adanya penyimpangan hukum pidana formil atau hukum acara. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum posif Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitab undang-undang hukum pidana (Wetboek van Strafrecht) 1 Januari 1918, kitab undang-undang hukum pidana (Wetboek van Strafecht) sebagai suatu kodifikasi atau unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asa konkordansi dan diundangkan dalam staatbland 1915 Nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915. 19 Selanjutnya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 keberadaan tindak pidana korupsi juga diatur dalam hukum positif Indonesia, pada waktu seluruh wilayah negara Republik Indonesia dinyatakan dalam keadaan perang berdasarkan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 , UndangUndang Nomor 79 Tahun 1957 tentang penyelesaian pernyataan keadaan perang sebagai yang telah dilakukan dengan keputusan Presiden Repbulik Indonesia Nomor 225 tahun 1957 tanggal 17 Desember 1957, yang mana dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah diterbitkan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi untuk yang pertama kali, yaitu peraturan penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/011/1957. Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut hanya berlaku untuk sementara, karena Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan bahwa Peraturan penguasa perang pusat tersebut segera digantikan dengan peraturan perundangundangan yang berbentuk undang-undang. Dalam keadaan yang mendesak dan
19
Ibid, hal 29
12 Universitas Sumatera Utara
perlunya diatur segera tentang tindak pidana korupsi, dengan berdasarkan pada pasal 96 ayat 1 undang-undang dasar sementara 1950, penggantian peraturan penguasa perang pusat tersebut ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk pemerintah pengganti undang-undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya berdasarkan undang-undang Nomor 1 Tahun 1960 ditetapkan menjadi undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang pengusutan penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. 20 Ternyata dalam penerapan dan pelaksanaanya undang-undang Nomor Prp Tahun 1960 belum mencapai hasil seperti yang diharapkan sehingga 11 (sebelas) tahun kemudian digantikan dengan undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Setelah selama 28 (dua puluh delapan) tahun berlaku ternyata undang-undang Nomor 3 tahun 1971 telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dn kebutuhan hukum mengenai pemberantasan tindak pidan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara pada waktu itu, dengan menetapkan ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, yang antara lain menetapkan agar diatur lebih lanjut dengan undang-undang tentang upaya pemberantasan tindak pidan korupsi yang dilakukan dengan tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Dengan berdasarkan kepada ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tersebut, telah ditetapkan pada tanggal 19 Mei 1999, undang-undang Nomor 28 Tahun 1999. Selanjutnya pada tanggal 16 agustus 1999 telah ditetapkan undang-
20
Ibid, hal 30
13 Universitas Sumatera Utara
undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai pengganti undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang dinyatakan telah dilakukan perubahan untuk pertama kalinya dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Atas undang-undang Nomor 31 Tahun1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana korupsi (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4150), yang disahkan dan mulai berlaku sejak tanggal 21 Nopember 2001. Karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi dianggap belum berfungsi secara efektif dan efisiensi dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka pada tanggal 27 Desember 2002 telah diundangkan undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4250). 21 Memperhatikan Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, maka tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi yaitu Korupsi Aktif dan Korupsi Pasif. A. Korupsi Aktif adalah sebagai berikut : Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (Empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
21
Ibid, hal 31
14 Universitas Sumatera Utara
(satu milyar rupiah)”. Dalam ayat (2) yang berbunyi, “dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 3 yang berbunyi, “ setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau pearekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling lama sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Memberi hadiah Kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999). Percobaan pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak pidana Korupsi (Pasal 15 Undangundang Nomor 20 tahun 2001). Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001). Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 20 Tagun 2001).
15 Universitas Sumatera Utara
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001). Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara nasional Indonesia atau Kepolisian negara
Reublik
Indonesia
melakukan
perbuatan
curang
yang
dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang undang Nomor 20 tahun 2001). Setiap orrang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001). Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang di tugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001). B. Sedangkan Korupsi Pasif adalah sebagai berikut : Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001). Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mepengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan
16 Universitas Sumatera Utara
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang nomor 20 Tahun 2001). Orang yang menerima penyerahan bahan atau keparluan tentara nasional indonesia, atau kepolisisan negara republik indonesia yang mebiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau c Undang-undang nomor 20 tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 20 tahun 2001). Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mengerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,atau sebaga akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-undang nomor 20 tahun 2001). Hakim yang menerima hadiah atau janji,padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (pasal 12 huruf c Undangundang nomor 20 tahun 2001). Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat uang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (pasal 12 huruf d Undangundang nomor 20 tahun 2001). Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (pasal 12 Undang-undang nomor 20 tahun 2001).
17 Universitas Sumatera Utara
2. Faktor-faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana Korupsi A. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi Pada dasarnya terdapat banyak faktor penyebab tindak pidana korupsi, oleh karenanya, merupakan suatu yang sangat sulit untuk menjelaskan faktorfaktor penyebab dilakukannya tindak pidana korupsi secara keseluruhan. Pada bagian ini, penulis akan mencoba menguraikan beberapa faktor dasar yang menyebabkan tindak pidana korupsi. Thomas Hobbes melihat tindak pidana korupsi sebagai persoalan biasa, bukan kejahatan. 22 Menurut filosofi ini tindak pidana korupsi merupakan suatu yang alamiah sifatnya. 23 Tindak pidana korupsi berkaitan erat dengan karakter hakiki dalam diri manusia itu sendiri. 24 Karakter hakiki manusia itu mempengaruhi persfektif terhadap lingkungan atau masyarakatnya. 25 Dengan demikian, karakter hakiki manusia akan mempengaruhi sebuah sistem dimana pun ia hidup. 26 Baharudin Lopa menyatakan bahwa lemahnya sistem merupakan salah satu sebab terjadinya tindak pidana korupsi diberbagai sektor. 27 Tidak dapat disangkal bahwa lemahnya mekanisme diberbagai sektor birokrasi dewasa ini seperti dikeluhkan oleh pengussaha nasional termasuk pengussaha kecil maupun pengusaha asing karena masih banyaknya mata rantai yang harus mereka lalui untuk memperoleh izin atau fasilitas-fasilitas tertentu (misalnya saja fasilitas 22
Adrian Blau, Hobbes on Corruption, UK, University of Manchester Publisher, 2009, page.52. Ibid. 24 Ibid. 25 Ibid. 26 Ibid. 27 Baharuddin Lopa, kejahatan korupsi dan penegakan hukum, kompas,23 Maret 2002, hlm.15. 23
18 Universitas Sumatera Utara
kredit). 28keadaan
yang
kurang
menggembirakan
ini
dalam
praktiknya
menyebabkan suburnya suap menyuap dan pemberian komisi sebagai salah satu bentuk perbuatan tindak pidana korupsi, bahkan tanda berliku-likunya mekanisme administrasi, tindak pidaana korupsi ini tetap saja berlangsung. 29 Manusia dewasa ini sedang hidup di tengah kehidupan material yang sangat mengedepan. Ukuran orang disebut sebagai kaya atau berhasil adalah ketika yang bersangkutan memiliki sejumlah kekayaan yang kelihatan di dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang menempati suatu ruang untuk bisa mengakses kekayaan, maka seseorang akan melakukannya secara maksimal. Di dunia ini, banyak orang yang mudah tergoda dengan kekayaan. Persepsi tentang kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang, menyebabkan seseorang akan mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan bagaimana kekayaan tersebut diperoleh. Dalam banyak hal, penyebab seseorang melakukan korupsi adalah (1) Lemahnya pendidikan agama, moral, dan etika, (2) tidak adanya sanksi yang keras terhadap pelaku korupsi, (3) tidak adanya suatu sistem pemerintahan yang transparan (good governance), (4) faktor ekonomi, (5) manajemen yang kurang baik dan tidak adanya pengawasan yang efektif dan efisien serta, (6) Modernisasi
yang menyebabkan
pergeseran
nilai-nila
kehidupan
yang
berkembang dalam masyarakat. 30 Leden Marpaung mengatakan : Untuk dapat membuat rintangan atau hambatan tindak pidana korupsi, maka diperlukan pemahaman yang seksama
28
Ibid. Ibid 30 Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak pidana khusus, Sinar Grafika, Jakarta. h. 15 29
19 Universitas Sumatera Utara
terhadap semua hal-hal yang mendukung atau semua
mempengaruhinya. 31 Hampir
segi kehidupan terjangkit korupsi. Tindak korupsi pada
dasarnya
bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang bersifat kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelakupelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari
situasi
lingkungan
yang
kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Dengan
demikian
secara
garis
besar
penyebab
korupsi
dapat
dikelompokan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Berikut ini faktor-faktor tersebut diuraikan sebagai berikut: 32 1. Faktor internal, merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri, yang dapat dirinci menjadi : A. Aspek Perilaku Individu, terdiri dari : 1). Sifat tamak/rakus manusia. Korupsi,
bukan
kejahatan
kecilkecilankarena mereka membutuhkan
makan. Korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus, tidak jujur. Sudah
berkecukupan,
tapi serakah. Mempunyai
hasrat
besar untuk
memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus. Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajib hukumnya. 2). Moral yang kurang kuat.
31
Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi (Pemberantasan dan Pencegahan), Djambatan, Jakarta, 2004,hlm. 82 32 Lihat juga analisa lebih detail sebagaimana dipaparkan oleh badan pengawasan keuangan dan pembangunan (BPKB) yang berjudul “strategi pemberantasan korupsi”
20 Universitas Sumatera Utara
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. odaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahannya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu. 3). Gaya hidup yang konsumtif. Kehidupan di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup seseorang konsumtif. Perilaku konsumtif bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang tindakan
untuk memenuhi
untuk
melakukan
berbagai
hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu
adalahdengan korupsi. B. Aspek Sosial Kemasyarakatan Perilaku
korup
behavioris mengatakan
dapat bahwa
terjadi karena dorongan
keluarga. Kaum
lingkungan keluargalah yang
secara
kuat
memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya. 33 2. Faktor eksternal, pemicu perilaku korup yang disebabkan oleh faktor di luar diri pelaku. a. Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi. Pada umumnya jajaran mana-jemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan denganberbagai bentuk. Oleh karena
33
Kristian, S.H.,M.Hum, Yopi Gunawan Dr. S.H.,M.H.,M.M,Tindak Pidana Korupsi, Bandung,2015,refika aditama hlm.64.
21 Universitas Sumatera Utara
itu sikap masyarakat yang berpotensi
menyuburkan tindak korupsi terjadi
karena : (1). nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi. Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat.Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan. 34 (2). Masyarakat
kurang
menyadari bahwa
korban
utama
korupsi adalah
masyarakat sendiri. Anggapan masyarakat umum terhadap peristiwa korupsi, sosok yang paling dirugikan adalah negara. Padahal bila negara merugi, esensinya yang paling rugi adalah
masyarakat
juga, karena proses
anggaran
pembangunan bisa
berkurang sebagai akibat dari perbuatan korupsi. (3). Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi. Setiap perbuatan korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari. (4). Masyarakat
kurang
diberantas
masyarakat ikut
bila
menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan aktif
dalam
agenda pencegahan
dan
pemberantasan.
34
Ibid.hlm.65.
22 Universitas Sumatera Utara
Pada
umumnya masyarakat berpandangan
bahwa masalah korupsi
adalah tanggung jawab pemerintah semata. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya. C. Aspek ekonomi. Pendapatan/gaji tidak mencukupi kebutuhan. Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi. 35 D. Aspek Politis. Kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Kontrol sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan
penggunaan
kekuasaan negara
sebagai
suatu
lembaga
yang
diorganisasikan secara politik, melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya. 36 Dengan
demikian
instabilitas
politik, kepentingan
politis,
meraih
dan
mempertahankan kekuasaan sangat potensi menyebabkan perilaku korupsi. E. Aspek Organisasi: (1). Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan. Posisi pemimpin dalam suatu lembaga
formal
maupun
informal mempunyai pengaruh penting bagi
bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya. 35 36
Ibid. Ibid.
23 Universitas Sumatera Utara
(2). Tidak adanya kultur organisasi yang benar. Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi. (3). Kurang memadainya sistem akuntabilitas. Institusi pemerintahan umumnya pada satu sisi belum dirumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya, dan belum dirumuskan tujuan periodetertentu guna mencapai
dan hal
sasaran tersebut.
yang
harus dicapai dalam
Akibatnya, terhadap
instansi
pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasarannya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi. (4). Kelemahan sistim pengendalian manajemen. Pengendalian anajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/ lemah pengendalian manajemen sebuah oganisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya. (5). Lemahnya pengawasan. Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) dan pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat). Pengawasan ini kurang bisa efektif karena beberapa faktor, diantaranya adanya tumpang tindih
pengawasan
pada
berbagai instansi,
24 Universitas Sumatera Utara
kurangnya profesional pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri. 3. Penerapan Kebijakan hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi dalam perspektif kriminologis A. Kebijakan Hukum Pidana Menurut E.Utrecht hukum adalah dihimpunan petunjuk hidup (perintah atau larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah itu. Pidana (hukuman) adalah masalah yang pokok dalam hukum pidana, sebab sejarah dari hukum pidana pada hakekatnya ada;ah sejarah dari pidana dan pemidanaan. Menurut hukum pidana kita disamping pidana juga dikenal apa yang dinamakan tindakan. Perbedaan antara pidana dan tindakan secara tradisional
dinyatakan
sebagai berikut : pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat. Jadi, secara dogmatis pidana itu untuk orang yang normal jiwanya, untuk orang yang mampu bertanggung jawab tidak mempunai kesalahan dan orang yang tidak mempunyai kesalahan tidak mungkin dipidana. 37 J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastriparnoto mengungkapkan bahwa hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badanbadan resmi, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
37
I Made Widnyana.2010. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : PT Fikahati Aneska,halaman.75.
25 Universitas Sumatera Utara
masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan hukuman. 38 Hukum pidana atau the Criminal Law sering disebut sebagai hukum kriminil, karena memang persoalan yang dibicarakan dan yang diaturnya mengenai kejahatan-kejahatan dan hal-hal yang bersangkut paut dengan kejahatan perilaku anggota masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat.Pengertian hukum pidana menurut Prof. Moeljatno, S.H. adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk : 39 a) Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. b) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidan, di mana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga
38 39
Chainur Arrasjid. 2004. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.halaman.21. Bambang Poernomo. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia, halaman.22.
26 Universitas Sumatera Utara
perbuatan yang bersifat pasif ( tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum). Secara umum , pengertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah “Policy” atau “beleid” khususnya dimaksudkan dalam arti”Wijsbeleid” ,menurut Robert R.Mayer dan Ernest Greenwood, dapat Dirumuskan sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif, 40 David L,Sills Menyatakan bahwa Pengertian
Kebijakan
(Policy)
adalah
menyatakan
bahwa
pengertian
kebijakan(Policy) adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan bagaimana cara melakukan
atau
melaksanakan
sesuatu
yang
telah
direncanakan
atau
diprogramkan 41. Menurut Marc Ancel, pengertian Penal Policy (kebijakan Hukum Pidana) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. 42
40
Sultan Zanti Arbi , Dan Wayan Ardana ,Rancangan Penelitian dan kebijakan sosial , (Jakarta CV.Rajawali ,1997), Hal 63, yang Terjemahan dari “the Design Of Social Policy” Tulisan Robert R.Mayer dan Ernest Greenwood. 41 Barda Nawawi Arif ,Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan kejahatan dengan Pidana Penjara ,(Badan Penerbit Universitas Diponegoro,1994),Hal 63. 42 Barda Nawawi Arif ,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,(Bandung;PT.Citra Aditya Bakti,2002),Hal 23 .
27 Universitas Sumatera Utara
B. Tindak Pidana Korupsi Dalam Prespektif Kriminologis Korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Tidak saja karena modus dan teknik yang sistematis, akibat yang ditimbulkan kejahatan korupsi bersifat pararel dan merusak seluruh sistem kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan bahkan sampai pada kerusakan moral serta mental masyarakat. Kerugian secara ekonomi dari korupsi, jelas dapat dirasakan oleh masyarakat, tercermin dari tidak optimalnya pembangunan ekonomi yang dijalankan, selain itu hasil yang diperoleh dari berbagai aktifitas ekonomi bangsa, seperti pajak, menjadi jauh lebih kecil dari yang seharusnya dicapai. Kerugian dalam
bidang politik,
praktek korupsi menimbulkan
diskriminasi pelayanan publik ataupun diskriminasi penghargaan terhadap hakhak politik masyarakat. Sedangkan kerugian dalam bidang sosial-budaya dan moral, praktek korupsi telah menimbulkan “penyakit” dalam masyarakat, bahwa perbuatan tersebut seakan dianggap sebagai perbuatan yang halal dan wajar. Sosiolog Raimon Aron mengatakan bahwa korupsi pada akhirnya akan mengundang gejolak revolusi,
serta menjadi alat
yang ampuh untuk
mendiskreditkan pemerintah, jika pemerintah tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus
korupsi. Peristiwa ini pernah terjadi di Indonesia,
pada masa
pemerintahan presiden Soeharto. Kala itu pemerintah tidak mampu mencegah, memberantas dan menyelesaikan kasus-kasus korupsi, akhirnya presiden Soeharto harus
mengundurkan diri
dari
jabatannya sebagai presiden. Memberantas
korupsi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, perlu adanya usaha yang bersifat luar biasa. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa memberantas korupsi tidak bisa lagi menggunakan cara bertindak dan berfikir biasa, tetapi
28 Universitas Sumatera Utara
harus sebaliknya yaitu bertindak dan berfikir luar biasa. Oleh karena itu harus tumbuh sikap keberanian dari para penegak
hukum untuk melakukan
lompatan-lompatan yuridis dan diimbangi dengan kesadaran hukum masyarakat untuk menerima putusan-putusan yang di luar kebiasaan. Andi Hamzah juga berpendapat bahwa pemberantasa korupsi tidak hanya bertumpu pada pembaharuan undang-undang, namun harus terdapat upaya lebih dari itu. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Thomas
More,
menunjukkan bahwa dalam 25 tahun terdapat 72.000 pencuri telah dihukum gantung di daerah yang penduduknya tiga sampai empat juta orang, tetapi kejahatan terus saja merajalela. More berpendapat, bahwa dengan kekerasan saja tidak akan mampu untuk membendung kejahatan, maka harus diimbangi dengan usaha lain, dengan mencari kausa dari kejahatan lalu mengurangi kausa tersebut. Dengan demikian kejahatan korupsi tidak mampu ditanggulangi hanya dengan upaya represif tetapi diintegrasikan dengan upaya preventif. Barda Arief Nawawi mengkritik strategi pemberantasan korupsi yang hanya difokuskan pada upaya memperbaharui undang-undang korupsi. Strategi demikian lebih bersifat fragmenter, parsial, simptomatik dan represif, karena seolah-olah hanya melihat satu faktor kondisi saja sebagai penyebab atau titik lemah dari upaya pemberantasan korupsi selama ini. Padahal jika dilihat dari sudut kebijakan criminal
(crime policy), strategi
dasar
penanggulangan
kejahatan (the basic crime prevention strategy) seyogianya diarahkan pada upaya peniadaan (mengeliminasi) atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kausa-kausa dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadinya kejahatan korupsi. Kriminologi sebagai salah satu ilmu yang mengkaji
29 Universitas Sumatera Utara
tentang kejahatan, dapat ikut andil untuk menganalisa dan mencari penyebab dari kausa kejahatan korupsi, yang akhir-akhir ini marak terjadi di Indonesia. Hasil dari analisa tersebut, nantinya dapat dijadikan sumbangsih pemikiran dalam mencegah kejahatan korupsi. Kriminologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membahas tentang kejahatan,eksistensinya tidak lebih awal dari permasalahan kejahatan itu sendiri. Kejahatan merupakan suatu permasalahan umurnya setua peradaban manusia.
Sedangkan kriminologi keberadaannya baru dipopulerkan oleh P.
Topinard (1830-1911) seorang ahli antropologi dari Perancis pada abad ke19. 43Bonger
menguatkan
eksistensi kriminologi dengan mengatakan bahwa
sebelum P. Topinard telah ada pelopor-pelopor yang mengkaji
masalah
kejahatan, telah dimulai sejak zaman kuno sampai revolusi Perancis. 44 J.E. Sahetapy, dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, mengatakan bahwa hal yang paling dianggap gampang untuk menampik apa yang dinamakan kejahatan, tetapi tidaklah mudah jika hendak bertindak sesuai dengan apa yang dinamakan kejahatan. 45 Namun, yang paling sulit dan acap kali bahkan mengerikan, apabila kriminologi dipakai untuk
menganalisis
apa
yang dinamakan kejahatan. Ungkapan tersebut
menunjukkan adanya suatu kesulitan dalam menganalisa
dan
mengkaji
persoalan kejahatan. Tidak hanya dalam menganalisa, mendiskripsikan apa yang dimaksud kejahatan, merupakan hal sulit bagi kriminologi, terbukti seringkali
ahli
kriminologi
terlibat
perdebatan
kontroversial
mengenai
pengertian kejahatan. Meskipun, kontroversial pada hakekatnya merupakan hal 43
Topo Santoso, dan Eva Achjani Z, Kriminologi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 9. Baca bukunya W.A. Bonger, op. cit, hlm. 43-63 45 J.E. Sahetapy, Pisau Analisa Kriminologi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 1. 44
30 Universitas Sumatera Utara
yang wajar
dalam perdebatan khazanah keilmuan dan akan menjadi
lebih
menarik apabila kontroversial tersebut dihubungkan dengan kejahatan tertentu yaitu korupsi. Apakah korupsi merupakan tipologi kejahatan? Soerjono Soekanto, mencoba mengkompilasi pandangan-pandangan para ahli kriminologi dalam mendeskripsikan kejahatan dengan menjadi tiga golongan. Pertama, golongan hukum atau yuridis; kedua, golongan non yuridis; dan ketiga, golongan yang mengatas namakan sebagai kriminologi baru atau kriminologi kritis. 46 Golongan yuridis berpendapat bahwa sasaran perhatian yang layak bagi kriminologi terhadap kejahatan adalah mereka yang telah diputuskan oleh pengadilan pidana sebagai
penjahat
karena kejahatan yang dilakukannya.
Seperti yang dikatakan oleh Paul W. Tappan dalam melihat kejahatan dari sudut pandang yuridis: “An intentional act in violation of the criminal law (statutory or case law), committed without defence or excuse, and penalized by the state as a felony andmisdemeanor”. 47 W.
A.
Bonger,
juga mengemukakan pendapatnya bahwa kejahatan
merupakan perbuatan anti-sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa pemberian derita, dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusanrumusan
hukum
(legal definitions) mengenai kejahatan. 48 Sutherland, juga
berpendapat bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh Negara oleh karena merupakan perbuatan yang merugikan Negara dan terhadap perbuatan tersebut Negara bereaksi, dengan hukuman sebagai suatu upaya pamungkas (ultimum remedium). 46
Soerjono Soekanto dkk, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 19-30. 47 Ibid, hlm. 21. 48 W.A. Bonger, op. cit, hlm. 21
31 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan
pendapat-pendapat di
atas,
bahwa
kejahatan
dalam
prespektif golongan yuridis adalah perbuatan yang telah diatur oleh perundangundangan
dan mendapatkan reaksi dari negara berupa pidana bagi yang
melanggarnya. Jika definisi kejahatan yang didiskripsikan oleh golongan yuridis dihubungkan dengan korupsi,
maka korupsi
merupakan kejahatan,
karena
perbuatan korupsi telah diatur secara jelas dalam undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Anti Korupsi, salah satu pasalnya adalah: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Siapa saja yang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara disebut korupsi. Golongan yuridis berpendapat bahwa korupsi merupakan tipologi kejahatan dalam kajian kriminologi. Menurut golongan non yuridis kejahatan bukanlah perbuatan yang telah diatur dalam perundang-undangan seperti yang telah didefinisikan oleh golongan yuridis. Kejahatan dapat dirumuskan sebagai suatu “cap” atau “label” yang dilekatkan pada perilaku tertentu oleh pihak yang berada dalam suatu posisi untuk melaksanakan kekuasaan. Secara sosiologis, hal tersebut merupakan konsekwensi dari terjadinya proses interaksi social, bahwa orang perorangan di dalam pergaulan sehari-hari, secara sadar maupun secara tidak sadar mengadakan aktifitas-aktifitas dan pola-pola perikelakuan yang dikaitkannya dengan kehidupan sehari-hari, karena kejahatan dianggap sebagai sesuatu perilaku yang dianggap atau
32 Universitas Sumatera Utara
membahayakan
masyarakat, maka masyarakat memberikan “cap” jahat pada
suatu perikelakuan tertentu. 49 Menurut Austin Turk, kejahatan merupakan suatu status bukanlah perilaku atau perbuatan. Turk menekankan bahwa sebagian terbesar orang yang mengerjakan perilaku yang secara hukum dirumuskan sebagai kejahatan, maka data kejahatan yang didasarkan pada penahanan atau penghukuman tidak berguna dalam menjelaskan siapa yang melakukan kejahatan, melainkan hanya siapa yang diberikan cap atau label sebagai penjahat. Howard Becker berpendapat kejahatan bukanlah
merupakan
lebih umum tentang kejahatan. Bahwa
suatu
kualitas
tindakan
yang
dilakukan
melainkan akibat penerapan cap atau label tertentu terhadap perilaku tertentu. Richard Quinney mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu rumusan tentang perilaku manusia yang diciptakan oleh yang berwenang dalam suatu masyarakat yang secara politis terorganisasi. Kejahatan merupakan suatu hasil rumusan perilaku yang diberikan terhadap sejumlah orang oleh orang-orang lain; dengan begitu kejahatan adalah sesuatu yang diciptakan. Golongan non yuridis sepakat berpendapat bahwa kejahatan bukanlah merupakan suatu perilaku atau perbuatan tetapi kejahatan adalah status, cap atau label, yang
sengaja
perbuatan,
di
diberikan
kepada
orang tertentu
yang
melakukan
mana perbuatan tersebut dianggap oleh masyarakat dapat
mengganggu eksistensi komunitas masyarakat tertentu. Korupsi jika dilihat dari prespektif non yuridis merupakan kejahatan, karena korupsi merupakan “cap” atau “label” seperti yang diungkapkan oleh para ahli kriminologi yang 49
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Rajawali,Jakarta,1980
Sosiologi Hukum dan Masyarakat,
33 Universitas Sumatera Utara
beranggapan kejahatan dari sisi non yuridis. Korupsi merupakan perbuatan yang dapat menghancurkan tatanan social masyarakat yang telah permanen, sampai digolongkan sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Sadjipto Rahardjo,
menganggap
korupsi
sebagai
parasit,
yang
menghisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan saat pohon itu mati maka para koruptor pun akan ikut mati karena tidak ada lagi yang dihisap. Terhadap perbuatan seperti
itu masyarakat dalam interaksi
sosialnya
akan
memberikan cap atau lebel terhadap perbuatan itu, karena dapat mengganggu masyarakat. Golongan ketiga, yang mengatas namakan dirinya sebagai kriminologi baru, memiliki pandangan yang bertolak dari anggapan bahwa kejahatan harus dijelaskan dengan melihat pada kondisi-kondisi struktural yang ada dalam masyarakat
dan menempatkan kejahatan dalam konteks ketidak merataan
kekuasaan, kemakmuran dan otoritas
serta
kaitannya
dengan
perubahan-
perubahan ekonomi dan politik dalam masyarakat. Ukuran dari kejahatan atau tidaknya suatu perbuatan bukan ditentukan oleh nilai-nilai dan norma-norma yang dianggap sah oleh mereka yang duduk pada posisi-posisi kekuasaan atau kewibawaan (yuridis), melainkan oleh besar kecilnya kerugian atau keparahan sosial (social injuries) yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut dan dikaji dalam konteks ketidak merataan kekuasaan dan kemakmuran dalam masyarakat. Perilaku menyimpang sebagai proses sosial dianggap terjadi sebagai reaksi
terhadap kehidupan kelas seseorang. Meskipun
mendeskripsikan
tentang
kejahatan,
tidak
terlalu
golongan kriminologi baru
ini
jelas telah
memberi sumbangsih besar dalam dialektika kriminologi, pandangannya lebih
34 Universitas Sumatera Utara
kepada kausa kejahatan yang diakibatkan oleh faktor struktural yaitu ketidak merataan kekuasaan dan kesejahteraan. Potensi ini telah menjadi penyebab terjadinya kejahatan sebagai reaksi terhadap kehidupan kelas seseorang. Kejahatan yang dilakukan bukan semata-mata “kejahatan” tetapi lebih kepada reaksi ketidak adilan terhadap kesejahteraan. Korupsi jika ditinjau dari prespektif kriminologi baru, maka korupsi merupakan kejahatan, karena korupsi memiliki dampak social (social injuries) yang sangat luar biasa. Akan terjadi kesenjangan struktural yang diakibatkan oleh kejahatan korupsi itu, hal tersebut akan terus berlaku selama kejahatan korupsi tersebut dapat ditanggulangi. Ibarat
“lingkaran
setan”,
kejahatan
korupsi
cenderung dilakukan dengan cara berkorporasi, baik dari atasan ke bawahan atau sebaliknya dari bawahan ke atasan. Amien Rais berpendapat bahwa skala korupsi telah menjadi sedemikian menggurita dan dapat dikatakan bukan saja korupsi telah membudaya, namun juga telah melembaga.
Telah mengalami
proses institusionalisasi, sehingga hamper-hampir tidak ada lembaga Negara atau pemerintah yang bebas dari korupsi. kenyataan tersebut dipertegas oleh sebuah jurnal asing yang mengatakan bahwa “corruption is way of live in Indonesia”. 50 Analisa kriminologi terhadap korupsi menghasilkan sintesa bahwa korupsi merupakan kejahatan, sintesa ini dihasilkan dari hasil analisis deskripsi para ahli kriminologi tentang kejahatan, baik ahli kriminologi yang berpandangan kejahatan merupakan perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan
dan mendapatkan
sanksi
pidana
bagi
yang
50
Edi Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (penyunting), Menyingkap korupsi, Kolusi, Nepotisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, 1999, hlm. ix.
35 Universitas Sumatera Utara
melakukannya,
atau
yang
mendeskripsikan kejahatan
bukanlah
suatu
perbuatan tetapi status atau lebel yang diberikan oleh masyarakat terhadap perbuatan yang mengganggu eksistensi
komonitas
masyarakat,atau
yang
mendeskripsikan kejahatan dari prespektif akibat yang disebabkan oleh struktural. Menarik jika sintese di atas dihubungkan dengan pendapat Sadjipto 51 Raharjdo tentang korupsi konvensional, mengatakan: “Korupsi versi Undang-Undang Antikorupsi “hanya” merumuskan korupsi sebagai perbuatan yang merugikan keuangan Negara, baik untuk kepentingan sendiri maupun kelompok. tentu saja itu sudah lumayan, tetapi jika kita ingin menuntaskan pemberantasan korupsi dengan sekalian percabangannya, maka sasaran tembak yang demikian itu belum mencukupi. Yang kita tembak baru korupsi konvensional” Dapat disimpulkan, bahwa korupsi yang dianalisa di atas adalah korupsi konvensional, maka tidak menjadi perdebatan jika korupsi konvensional itu ditetapkan sebagai kejahatan, pasti tidak akan ada yang menolak dan menentang sintese itu. Lalu bagaimana dengan korupsi yang non konvensional, apakah merupakan kejahatan atau tidak?. Satjipto
Rahardjo,
memberikan
contoh
bahwa
korupsi
non
konvensional itu adalah “korupsi kekuasaan”, yaitu pelaksanaan kekuasaan publik mana pun dan pada tingkat mana pun, yang berkualitas jahat, tidak jujur, lemah empati, tidak bermutu, dan merusak kepercayaan public. Ia adalah penggunaan
kekuasaan
secara
melakukan pekerjaan/proyek di
sewenang-wenang
(willekeur),
ceroboh,
bawah standar; bekerja asalasalan, tidak
perduli perasaan rakyat, dan sebagainnya. 52
51 52
Satjipto Rahardjo, op. cit, hlm. 135. Ibid, hlm. 136.
36 Universitas Sumatera Utara
Kualitas
pelayanan menjadi
parameter
untuk menentukan korupsi
kekuasaan. Seorang pejabat public yang membiarkan rakyat menunggu adalah contoh tingkah laku pelayanan yang buruk, demikian pula dengan pekerjaan proyek-proyek fisik. Parameter korupsi kekuasaan adalah “menjalankan tugas atau pekerjaan secaratidak memadai atau patut.” Ukuran ini bisa dikenakan pada sekalian jabatan di ranah public, mulai pimpinan proyek, akuntan, guru, dosen, rector, kepala rumah sakit, kepala desa, bupati, jaksa, hakim, legislative, menteri dan seterusnya. Korupsi non konvensional ini amat diduga akan terjadi setiap hari berdampingan dengan korupsi konvensional, tetapi tanpa terdeteksi, apalagi mengangkatnya ke dalamundang-undang. Lebih
menakutkan
lagi
apabila difikirkan betapa
korupsi non konvensional tersebut dapat menjadi voorklas (taman kanakkanak) dari korupsi konvensional. Lebih fatal lagi jika masyarakat tidak menganggapnya sebagai suatu kejahatan, karena ada hubungan simbiusis mutualisme antara koruptor dan masyarakat. Dengan begitu, korupsi non konvensional itu bukanlah suatu kejahatan karena tidak terkriminalisasi dalam perundang-undangan korupsi, korupsi non konvensional itu diamini atau disetujui oleh masyarakat, dengan kata lain masyarakat tidak merasa dirugikan dan tidak merasa diusik eksistensinya, dengan begitu dapat disimpulkan bahwa korupsi konvensional tersebut bukanlah sebuah kejahatan. Salah satu penyebab sulitnya korupsi dapat ditanggulangi, karena penanggulangan korupsi hanyalah sebatas korupsi yang bersifat konvensional sedangkan korupsi yang non konvensional belum tersetuh oleh yuridis, sosiologis
37 Universitas Sumatera Utara
dan dampak yang diakibatkannya, padahal korupsi non konvensional laksana taman kanak-kanak yang akan berkembang kearah korupsi konvensional jika tidak ditanggulangi. Syed Hussein Alatas, telah memberikan gambaran dampak dari korupsi itu, dengan mengatakan bahwa korupsi akhirnya akan menggerogoti habis dan
menghancurkan masyaakatnya sendiri (self-destruction). Korupsi sebagai
parasit yang menghisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan saat pohon itu mati maka para koruptor pun akan ikut mati karena tidak ada lagi yang bisa dihisap. 53 Masyarakat Indonesia harus disadarkan kembali kepada living law, bahwa korupsi non konvensional merupakan kejahatan yang wajib untuk dihindarkan. Masyarakat Indonesia juga harus disterilkan dari kontaminasi nilai-nilai luar yang negative. Dengan begitu korupsi yang bersifat non konfensional akan menjadi kriminalisasi meskipun ditingkat social dan ini menjadi
mudal
utama
dalam menciptakan ketertiban dan pencegahan dari
kejahatan korupsi. G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian hukum yang Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat
53
S.H. Alatas, Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, 1987, hlm. 120.
38 Universitas Sumatera Utara
merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tirtier. Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada : a. Penelitian terhadap asas-asas hukum. b. Penelitian terhadap sistematika hukum. c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum. d. Penelitian terhadap sejarah hukum. e. Penelitian terhadap perbandingan hukum. Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini. 2. Metode Pendekatan Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. 3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian penulis dalam menyusun skripsi ini adalah Pengadilan Negeri Medan. 4. Metode Pengumpulan Data Berdasarkan pendekatan dan data dalam penelitian ini, maka metode pengumpulan data yang dipakai adalah studi kepustakaan, yaitu menelaah bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala desa paya itik dalam perpektif kriminologis.
39 Universitas Sumatera Utara
5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data Prosedur pengumpul dan pengambilan data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan skripsi ini seperti, buku-buku, makalah, artikel dan berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan yang berkenaan dengan tindak Pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala desa paya itik dalam perspektif kriminologis. 6. Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis data lalu diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.
40 Universitas Sumatera Utara