1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai upaya mewujudkan tujuan negara Indonesia yang adil dan sejatera,
pemerintah perlu
melakukan pembangunan di segala
bidang.
Pembangunan menunjuk bentuk nyata dari setiap gerak dan program pemerintah untuk menyelenggarakan segenap kebutuhan bangsa dan negara. Bahkan dalam perkembangannya konsep pembangunan tidak hanya melakukan pembaharuan dan perubahan, tetap juga harus dilaksanakan atas prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan berkelanjutan.1 Sebagaimana termaktub dalam pembukaan UndangUndang Dasar (UUD) RI 1945, pada alinea keempat yang menyatakan antara lain, ‘bahwa kemerdekaan Indonesia dimaksudkan untuk memajukan masyarakat yang sejahtera adil dan makmur berdasarkan Pancasila”. Maka untuk mewujudkan citacita luhur itu, pembangunan dilaksanakan disegala bidang, antara lain meliputi bidang
politik,
ekonomi,
sosial,
budaya,
pertahanan
dan
keamanan
(poleksosbudhankam). Salah satu bidang pembangunan yang penting adalah bidang ekonomi, dimana secara konstitusional telah diatur dalam Pasal 33 UUD NRI 1945. Melalui ketentuan
konstitusional
tersebut,
pembangunan
ekonomi
Indonesia
menggunakan sistem ekonomi Pancasila atau disebut juga dengan sistem demokrasi ekonomi. Konsep ini oleh beberapa pakar disebut mendekati konsep 1
Nasional.
Lihat Pasal 2 (1) Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Pembangunan
2
welfare state.2 Dalam konsep welfare state, negara mempunyai peran yang aktif dan responsif dalam mengelola dan mengorganisasikan aktifitas pembangunan perekonomian secara nasional. Negara dituntut mampu menjalankan tanggung jawabnya untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.3 Kedudukan dan peran sentral negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam konsep welfare state, sebagaimana disebutkan secara limitatif dalam Pasal 33, UUD NRI 1945, yang bunyi selengkapnya sebagai berikut: (1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3). Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4). Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.4 (5). Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam undang-undang.5 Ketentuan dalam konstitusi tersebut, memberikan dasar dan panduan kepada penyelenggara negara untuk melaksanakan pembangunan nasional. Secara asas dan konseptual Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945, dirujuk sebagai
2
Rizal Ramli, et. all., 1997, Agenda Aksi Liberalisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia, Pusat Pengembangan Manajemen (PPM) FE-UII bekerja sama dengan PT. Tiara Wacana Yogyakarta: Yogyakarta, hlm. 247. 3
Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Penerbit Konstitusi Pers: Jakarta, hlm. 148-149. 4
Lihat dalam Perubahan Keempat UUD 1945 tahun 2002
5
Ibid
3
landasan konstitusinal
terhadap wujudnya prinsip Hak Menguasai Negara
(HMN). Prinsip HMN ini, memberikan kekuasaan kepada negara atas pengelolaan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Dalam konteks ini, negara mempunyai wewenang tertinggi untuk: (1). Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; (2). Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (3). Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 6 Mahkamah Konstitusi dalam putusan pengujian terhadap UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Ketenagalistrikan7, Jo UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi8, UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,9 telah menafsirkan HMN mencakup lima pengertian, yaitu; (1) Negara merumuskan kebijakan (beleid), (2) termasuk melakukan pengaturan (regelen daad), (3) melakukan pengurusan (bestuurdaad), (4) melakukan pengelolaan (beheer daad), dan (5) melakukan pengawasan (toezicht houden daad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.10
6
Lihat dalam UU nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA Pasal 2 ayat 2.
7
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003
8
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003
9
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004
10
Disarikan dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18835/mk-hapus-frase-dimuka-sekaligus-; diakses tanggal 25-05-2011; dan http://arfpgmi.blogspot.com/2009/01/penafsiran-konsep-penguasaan-negara.html, diakses tanggal 25-05-2011.
4
Berdasarkan atas prinsip HMN tersebut, negara mempunyai wewenang untuk memberikan penggunaan tanah kepada pelaksana pembangunan atas nama pembangunan nasional. Sementara disisi yang lain tanah yang menjadi objek pembangunan mempunyai keterbatasan, memiliki keragaman bentuk penguasaan dan kepemilikian, keragaman yang menunjukkan negara tidak berkuasa sepenuhnya, bahkan tidak semua tanah milik negara. Tanah yang menjadi objek pembangunan itu, dapat berupa tanah yang berasal dari tanah negara yang bebas, tanah yang sudah dimiliki secara privat, baik secara individu atau badan hukum, tanah milik sekelompok orang, maupun masyarakat hukum adat tertentu. Sementara itu secara sosiologis dan antropologis, tanah juga merupakan kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir manusia membutuhkan tanah untuk tempat hidupnya bahkan sampai meninggal duniapun manusia membutuhkan tanah untuk tempat peristirahatan yang terakhir. Secara kosmologis, tanah merupakan suatu tempat dimana mereka tinggal, tempat dari mana mereka berasal dan akan kemana pula mereka pergi. Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai kultural, sosial, politik dan pertahanan keamanan. Hubungan antara manusia dengan tanah merupakan suatu hubungan relatif yang bersifat abadi, karena tidak mungkin akan terjadi bahwa tidak ada hubungan antara manusia dengan tanah.11 Begitu pentingnya tanah bagi manusia, sehingga kepemilikan tanah merupakan sebuah hak asasi manusia (HAM) yang dilindungi oleh hukum
11 Iman SoetiknJo, 1987, Proses Terjadinya UUPA, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta: hal 13.
5
internasional maupun hukum nasional. Dalam hukum Internasional, hak milik ini diatur dalam dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), khususnya Pasal 17.1, yang berisi tentang hak untuk memiliki harta benda; Pasal 17.2 tentang perlindungan harta benda dirampas secara sewenang-wenang; Pasal 30 tentang perlindungan dari tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan hak dan kebebasan-kebebasan apapun. Perlindungan khusus mengenai tanah dalam DUHAM diatur bersamaan dengan perlindungan terhadap benda, karena tanah merupakan bagian dari benda. Secara konstitusional perlindungan hak milik tanah ini diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 28 H ayat (4), dan Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Pasal 28 H ayat (4) UUD NRI 1945,
menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Namun demikian hak kepemilikan tanah selain diakui sebagai hak asasi manusia, juga mempunyai fungsi sosial. 12 Oleh karena itu, hak atas tanah tersebut dapat dicabut oleh Negara untuk kepentingan umum sebagaimana ketentuan dalam Pasal 18 UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria, yang disebut juga Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang merupakan wujud fungsi sosial, namun pemegang haknya harus diberi ganti kerugian yang layak sebagai wujud hak asasi manusia.
12
Pasal 6 undang-undang nomor 5 tahun 1960 yang disebut juga dengan Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
6
Pada pembangunan ekonomi, selalu timbul potensi masalah dan konflik sosial
yang
disebabkan
adanya
penggunaan
tanah
untuk
kepentingan
pembangunan. Antara kepentingan negara dengan konsep HMN, berhadapan dengan kepentingan individu atau sekelompok masyarakat dan/atau dengan badan hukum. Idealnya untuk kepentingan pembangunan, negara atau pemerintah mempunyai cadangan atau menyediakan Tanah Negara (TN) sehingga tidak berpotensi menimbulkan masalah. Tanah Negara tersebut dapat berasal dari TN bebas yang belum ada kepemilikan privat ataupun dengan menyediakan bank tanah bagi kepentingan pembangunan. Bank tanah merupakan tempat yang dapat memberikan informasi mengenai harga tanah yang wajar, yang sesuai dengan pasar kepada masyarakat umum (publik domain).13 Namun dalam kenyataannya pemerintah tidak mampu memenuhi semua penyediaan tanah untuk kebutuhan pembangunan tersebut, sehingga banyak pembangunan yang dilakukan harus dengan cara mengambil dan memanfaatkan tanah-tanah rakyat.14 Sedangkan pengambilan tanah rakyat tersebut, acapkali menimbukan kerugian bagi masyarakat yang terkena dampak pembangunan. Padahal berdasarkan MPR RI No.II/MPR/1983, Bab IV, bagian D butir 27, ditegaskan bahwa; “Pemanfaatan tanah harus sungguh-sungguh membantu usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial.
13
Ketut Wikantika, 9 April 2007, Bank Tanah Pengendali Harga Tanah, tersedia dalam http://wikantika.wordpress.com/2007/04/09/bank-tanah-pengendali-harga-tanah/, diakses tanggal 26 Juni 2011. 14
Ibid.
7
Secara umum, ada 3 (tiga) instrumen hukum yang menjadi dasar landasan bagi negara dalam memperoleh tanah yang telah dimiliki secara privat untuk pembangunan
kepentingan
umum,
yaitu:
(1)
instrumen
hukum
privat
(privatrecht), (2) instrumen hukum publik (publicrecht) dan (3) instrumen hukum campuran (gemeenschapelijkrecht). 1. Instrumen Hukum Privat (privatrecht). Negara sebagai subyek hukum, dapat berperan sebagai subyek hukum publik, yaitu “Pemilik kekuasaan kenegaraan” maupun sebagai subyek hukum privat. Sebagai subyek hukum privat, negara dapat melakukan perbuatan hukum privat, yaitu perbuatan yang berada dalam wilayah lalu lintas hukum privat. Perbuatan hukum privat menganut asas persamaan kedudukan antara para pihak dan asas kebebasan berkontrak. Persamaan kedudukan bermakna bahwa Para Pihak mempunyai kedudukan dan posisi yang sejajar atau sederajad. Dasar dari asas kebebasan berkontrak adalah adanya kesepakatan dari para pihak. Dalam kesepakatan, tidak boleh ada paksaan atau penipuan. Kesepakatan harus didasarkan pada keikhlasan atau kerelaan dari para pihak. Perbuatan hukum privat dari negara dalam rangka untuk memperoleh tanah, dapat dilakukan dalam bentuk tukar menukar, jual beli, hibah atau bentuk lain
yang
disepakati
para
pihak
(voluntary
conveyance),
seperti
pelepasan/penyerahan hak atas tanah secara suka rela dari Pemiliknya.15
15
Gunanegara, 2008, Rakyat & Negara Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan: Pelajaran Filsafat, Teori Ilmu dan Jurisprudensi, Jakarta: Tatanusa, hlm. 115-125.
8
2. Instrumen Hukum Publik (publiekrecht). Hukum publik disebut juga dengan hukum administrasi, yang diartikan sebagai kaidah yang tidak ada dalam hukum privat, kaidah hukum pidana, serta dalam hukum tata negara. Sebagai negara hukum, maka setiap perbuatan hukum publik dari negara dalam rangka untuk memperoleh tanah harus didasarkan pada konstitusi atau undang-undang yang dibuat secara khusus. Perbuatan hukum publik negara dalam rangka untuk memperoleh tanah yang pernah dilakukan di Indonesia adalah: Perampasan (seizure), nasionalisasi, landreform dan pencabutan hak atas tanah. Pencabutan hak atas tanah yang dilakukan secara sepihak oleh negara berdasarkan ideologi HMN untuk pembangunan kepentingan umum. 3. Instrumen Hukum Campuran (gemeenschapelijkrecht). Instrumen
hukum
campuran
memadukan
antara
aturan-aturan
berdasarkan hukum privat dengan aturan dalam hukum publik. Bentuk perbuatan hukum publik ini, adalah dalam bentuk “pengadaan tanah”. Dalam pengadaan tanah ini, unsur hukum publiknya ditandai dengan adanya penggunaan kewenangan negara yang bersifat memaksa. Sedangkan unsur privatnya adalah dipersyaratkannya adanya aspek kerelaan/keikhlasan dari pemilik/pihak yang berhak
untuk
menyerahkan/melepaskan
hak
atas
tanah.
Keberadaan
kerelaan/keikhlasan pemilik/pihak yang berhak untuk menyerahkan/melepaskan hak atas tanah ini merupakan unsur dari hukum privat.16
16
Ibid, hlm. 115 dan 147-154.
9
Dari ketiga mekanisme instrumen hukum pengambilan tanah rakyat tersebut, mekanisme instrumen hukum campuran dengan cara ‘pangadaan tanah” adalah mekanisme yang paling sering digunakan pemerintah dalam pengambilan tanah rakyat. Mekanisme ini paling sering digunakan dan paling banyak menimbulkan masalah baik secara yuridis maupun empiris. Salah satu masalah yuridis tersebut, adalah permasalahan yang berkaitan dengan pengaturan pengadaan tanah untuk pembangunan, baik meliputi aspek formil maupun aspek materiilnya. Permasalahan yuridis yang berkaitan dengan aspek formil dan aspek materiil. Aspek formil berkaitan dengan bentuk produk hukum yang mengatur pengadaan tanah. Berdasarkan hasil inventarisasi yang telah dilakukan, prosuk hukum pengaturan mengenai pengadaan tanah beragam, yaitu dari bentuk Peraturan Menteri, Keputusan Presiden, Peraturan Presiden dan terakhir dalam bentuk Undang-Undang. Semestinya pengaturan pengadaan tanah dibuat dalam bentuk undang-undang, karena materinya muatannya mengatur mengenai Hak Milik, yang merupakan hak konstitusional dan HAM.17
17 Kondarus, “Quo Vadis Perpres No. 36 Tahun 2005”, dalam Jurnal keadilan, vol. 4 no. 3 tahun 2006/2007, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan: Jakarta, hlm. 29-32; juga dalam Maria S.W. SumardJono, 2007, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas: Jakarta, hlm. 91-92; dan Maria S.W. SumardJono, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas: Jakarta, hlm. 281-282; dan Adrian Sutedi, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 230; serta dalam WidJoyanto, dalam Jurnal keadilan vol.4 no. 3:32; Jurnal Keadilan, 2006, vol.4 no. 3 tahun 2006/2007, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan: Jakarta, Permasalahan bentuk produk hukum ini juga ditulis dalam tulisan PHBI, 2005, dalam www.phbi.or.id diakses tanggal 9 Nopember 2005.
10
Permasalahan pengaturan pengadaan tanah dilihat dari aspek materiil, berkaitan dengan substansi hukum, yaitu materi muatan peraturan sering tidak lengkap dan tidak tegas atau jelas. Diantara adalah belum diaturnya mekanisme pembangunan kepentingan umum, masih kaburnya kriteria pembangunan untuk kepentingan umum, tidak jelasnya aturan sistem dan mekanisme akses informasi dan partisipasi masyarakat dalam pengadaan tanah, komposisi Panitia Pengadaan Tanah (PPT) yang hanya dari unsur pemerintah saja18, pengaturan pembatasan tenggang
waktu
musyawarah
sehingga
tidak
konsisten
dengan
esensi
musyawarah19, Pemberian ganti rugi hanya terhadap yang bersifat fisik saja namun yang bersifat non fisik tidak diatur20, tidak diaturnya bentuk dan mekanisme ganti rugi pengambilan tanah ulayat21 dan penunjukan lembaga konsinyasi yang tidak tepat22. Problematika empiris terjadi sejak sebelum pengambilan tanah sampai dengan setelah dilakukannya pengambilan tanah. Problematika empiris ini merupakan dampak dari permasalahan yuridis khususnya dari aspek materiil. Tidak diaturnya mekanisme penentuan pembangunan untuk kepentingan umum,
18
Dikutip dari Jurnal keadilan, vol. 4 no. 3 tahun 2006/2007, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan: Jakarta, hlm 2-3; dan Maria S.W. SumardJono, 2007, Op. Cit., hlm. 104-105; serta dalam www.suarapembaharuan.com/News/2005/06/09/Utama/ut01.htm, diakses tanggal 9 Nopember 2005. 19
Jurnal Keadilan, 2006, Op. Cit., hlm 2-4.
20
Jurnal Keadilan 2006, Ibid hlm. 3; dan Maria S.W. SumardJono, 2007, Op. Cit., hlm. 87-89 dan 103-104; serta Maria S.W. SumardJono, 2008, Op. Cit., hlm. 261-262. 21
Syafruddin Kalo, “Reformasi Peraturan dan Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum”, dalam Jurnal Hukum Bisnis volume 24 nomor 1, 2005, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis: Jakarta, hlm. 88. 22
Jurnal Keadilan, 2006, Op. Cit,.hlm.. 3-4; Kondarus, dalam Jurnal keadilan vol. 4 no. 3, Op.Cit. hlm 29-30; dan Maria S.W. SumardJono, 2007, Op. Cit., hlm. 105-106.
11
kaburnya kriteria pembangunan untuk kepentingan umum dan tidak jelasnya aturan sistem dan mekanisme akses informasi dan partisipasi masyarakat dalam pengadaan
tanah,
berdampak
pada
masalah
empiris
yaitu
ditolaknya
pembangunan tersebut oleh masyarakat sehingga menyebabkan terhambatnya atau tertundanya pelaksanaan pembangunan dan
munculnya
spekulan tanah.
Permasalahan Komposisi Panitia Pengadaan Tanah (PPT) yang hanya terdiri dari unsur pemerintah saja cenderung tidak independen dan terjadi kolusi antara pemerintah selaku pemrakarsa dengan investor yang merupakan mitra pemerintah dalam pembangunan23. Begitu juga pembatasan waktu musyawarah, dasar pemberian ganti rugi yang kurang berdasar pada nilai pasar, berdampak pada problem empiris rendahnya ganti rugi yang diberikan. Contohnya kasus pengadaan tanah untuk pembangunan pelebaran jalan Martadinata dan Yos Sudarso Kota Manado, dimana Panitia Pengadaan Tanah (PPT) berdasarkan musyawarah semu menetapkan ganti kerugian sebesar dua kali Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), dimana menurut masyarakat, nilai ganti kerugiannya masih jauh di bawah harga pasar. Kemudian PPT memutuskan bahwa uang ganti kerugian dititipkan ke Pengadilan Negeri, dan selanjutnya dilakukan penggusuran secara paksa.24 Hal ini juga terjadi di lokasi penelitian
23
Disarikan dari Maria S.W. SumardJono, 2007, Op. Cit., hlm. 72-75 dan 102-103; dan Maria S.W. SumardJono, 2008, Op. Cit. Hlm. 284-288; dan Syafruddin Kalo, Op. Cit., hlm. 2-3; dan Adrian Sutedi, Op. Cit. Hlm. 154-226; Fajrimei A Gofar dalam http://www2.kompas.com, diakses tanggal 20-09-2005; dan http://www.walhi.or.id/kampanye/psda/050920_perpres-tnhawu/, diakses tanggal 20-09-2005; dan http://www.opensubscriber.com, diakses tanggal 19-05-2005; serta http://www.solusihukum.com, diakses tanggal 21-05-2005. 24
Ricko Sangian, “Ganti Rugi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Studi Kasus Pelebaran Jalan Martadinata dan Yos Sudarso Kota Manado)”, Jurnal Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013, hlm. 76, dalam
12
pengadaan tanah untuk pembangunan jalan Tol MOKER di wilayah Jombang. Contoh lain terjadi pada pengadaan tanah untuk pembangunan bendungan irigasi Krueng Pase di Desa Pulo Blang, Kecamatan Meurah Mulia, Kabupaten Aceh Utara. Panitia pengadaan tanah tidak melakukan penyuluhan, tidak ada keterbukaan informasi, tidak ada surat undangan, musyawarah ganti kerugian dilakukan secara semu dan manipulatif, menentukan harga ganti rugi secara sepihak dan tidak layak, tidak mengganti rugi tanaman dan bangunan yang bersangkutan dengan tanah. Akibatnya, masyarakat terkena dampak pembangunan tidak dapat mempertahankan keadaan sosial ekonominya, bahkan tingkat kesejahteraan sosial ekonominya menjadi lebih buruk jika dibandingkan keadaan sebelum tanahnya diserahkan atau dilepaskan haknya.25 Bahwa pengadaan tanah, juga dapat menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan pemilik tanah asal, serta memunculkan konflik struktural yang berakibat terjadinya kerugian materiil, immateriil bahkan sampai dengan korban jiwa.26
http://eJournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/view/3198/2740, diakses tanggal 7 Juni 2016. 25
Baihaqi, “Landasan Yuridis Terhadap Aturan Hukum Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum”, dalam Jurnal Ilmiah Peuradeun, Vol. 2 No. 2, May 2014, Indexed by International Multidisciplinary Journal: OAJI: 745/1396982282-2014/R-6-465, ORCHID iDs: 0000-0001-8.492-315x; Thomson Reuters, RID-F-6135-2014, ISI Impact factor Value 2013 ICR: 0.217, Google Scholar Index-h.3, i10,3; Copernicus Publications, The Innovative Open Access Publisher; SCAD Independent, IAO Acreditation 4-8362/387/IAO/2014, hlm. 128 dan 141. 26
Disarikan dari Jurnal Keadilan vol.4 no. 3, 2006, Op. Cit., Hlm 1-2; dan Kondarus, 2006, dalam Jurnal Keadilan vol.4 no. 3, 2006, Op. Cit., Hlm 28-29; dan http://perpustakaan.bappenas.go.id, diakses tanggal 15-06-2006; dan Maria S.W. SumardJono, 2007, Op. Cit., Hlm 105; dan Jurnal keadilan vol.4 no. 3, 2006, Op. Cit., Hlm 2; dan Syafruddin Kalo, 2005, dalam Jurnal Keadilan vol 24 no 1, 2005, Op. Cit., Hlm 87; dan Gofar dalam www2.kompas.com/kompas-cetak/0506/25/fokus/1837983.htm, diakses tanggal 7-05-2007; dan www.indomedia.com/poskup, diakses tanggal 14-12-2004; dan Kompas, tanggal 11-05-2008; dan WidJoyanto, 2006, dalam Jurnal keadilan vol. 4 no. 3 tahun 2006, Op. Cit., Hlm 32; serta www.smeru.or.id, diakses tanggal 7-05-2007; serta YLBHI, dan Walhi, dan KSPA, dan ELSAM, dalam www.mail-archive.com, 09-05-2005; dan dalam Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Citra Media: Jakarta, hlm 224.
13
Kondisi permasalahan pengadaan tanah tersebut menyebabkan sulit tercapainya keadilan sosial bagi pemilik tanah, bahkan mereka menjadi korban pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Permasalahan ini sampai sekarang belum mendapatkan penyelesaiannya secara tuntas, sebab hampir setiap peraturan yang dibuat oleh negara untuk mengatur masalah ini selalu menimbulkan kontroversi. Sejak Indonesia merdeka, pengaturan tentang pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum, telah ada 5 peraturan yang pernah dan sedang berlaku. Secara berturut-turut, (1) UU Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, Lembaran Negara Republik Indonesia (LN) Tahun 1961 Nomor 288, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLN) Nomor 2324, (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, yang ditetapkan di Jakarta, tanggal 3 Desember 1975, (3) Keputusan Presiden Republik Indonesia (Kepres) Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang ditetapkan di Jakarta, tanggal 17 Juni 1993, (4) Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang ditetapkan di Jakarta, tanggal 3 Mei 2005 Jo. (5) Perpres Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang ditetapkan di
14
Jakarta, tanggal 5 Juni 2006, dan (6) UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, LN Tahun 2012 Nomor 22, TLN Nomor 5280. Setelah dilakukan identifikasi terhadap 6 peraturan diatas, dapat diketahui bahwa tidak semua peraturan pengadaan tanah tersebut,
memuat ketentuan
mengeai prinsip-prinsip yang menjadi asas dalam pengaturan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Beberapa peraturan yang menyebutkan prinsip-prinsip adalah Kepres No. 55 Tahun 1993, Perpres No. 36 tahun 2005 Jo. Perpres No. 65 Tahun 2006 dan UU No. 2 Tahun 2012. Adapun prinsi-prinsip pengaturan pengadaan tanah tersebut adalah: prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah;27 prinsip kemanusiaan; prinsip demokratis; dan prinsip adil.28 Namun prinsip-prinsip tersebut ditempatkan di konsideran menimbang, yang tidak menjamin prinsip-prinsip tersebut dijabarkan dalam norma peraturan di dalamnya. Berdasarkan latar belakang diatas, dan sehubungan dengan kompleksitas permasalahan pengadaan tanah untuk pembangunan tersebut, maka diperlukan penelitian dan kajian untuk melakukan pembaharuan hukum yang mengatur pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Terutama yang berkaitan dengan penerapan prinsip partisipatif dan prinsip keadilan sosial pengadaan tanah dalam kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum.
27 Prinsip ini diatur dalam konsideran Menimbang huruf b Kepres Nomor 55 Tahun 1993; konsideran Menimbang huruf a Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Jo konsideran Menimbang Perpres Nomor 65 Tahun 2006. 28
Prinsip ini diatur dalam konsideran Menimbang huruf b UU Nomor 2 Tahun 2012.
15
Sehingga dapat memberikan sumbangan kepada pola pengaturan yang lebih baik, dan berkelanjutan. B. Perumusan masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa telah terjadi berbagai masalah yang timbul sebagai akibat dari pengadaan tanah untuk pelaksanaan pembangunan, disebabkan adanya kelemahan peraturan. Sedangkan pada sisi yang lain, untuk mendukung pelaksanaan pembangunan, menyusun peraturan yang
pemerintah telah
semestinya dapat menjamin bahwa pelaksanaan
pengadaan tanah untuk pembangunan mendapat
perlindungan dan jaminan
hukum bagi semua pihak. Namun masalah tersebut menimbulkan pertanyaan; Apakah muatan peraturan pengadaan tanah tersebut telah menerapkan prinsipprinsip Hak Menguasai Negara, demokrasi ekonomi dan keadilan sosial, sebagaimana yang secara konstitusional dijamin oleh UUD NRI 1945?, Bagaimana penerapan prinsip-prinsip tersebut diatur dalam muatan materi peraturan perundangan tentang pengadaan tanah untuk pembanguan kepentingan umum?
dimana letak kelemahan atau kekurangan pengaturan prinsip-prinsip
tersebut? Mengapa terdapat masih terjadi banyak masalah dalam pelaksanaan pengadaan tanah? Apa akar masalah penyebab terjadinya masalah tersebut? Bagaimana penyelesaian masalah yang dilakukan? Dan berbagai pertanyaan lainnya. Oleh sebab itu, melihat begitu luas cakupan masalah yang berkaitan, maka penulis bermaksud membatasi diri dengan mengkaji hanya pada aspek bagaimana penerapan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial dalam
16
pengaturan dan pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Sebab, sepanjang penulis ketahui, belum ada kajian yang fokus pada masalah tersebut, sehingga memberi ruang bagi penulis untuk mendalami dan memberikan konstribusi bagi penyempurnaan materi muatan aturan untuk membantu mengurangi masalah dalam pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Adapun fokus permasalahan yang hendak dikaji dan dianalisi adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana perkembangan penerapan prinsip partisipatif dan keadilan sosial dalam peraturan perundang-undangan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum? 2. Bagaimana penerapan prinsip partisipatif dan keadilan sosial dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan Tol MoJokertoKertosono (MOKER)? 3. Bagaimana pengaturan dan pelaksanaan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memenuhi prinsip partisipatif dan keadilan sosial?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi dan mengkaji penjabaran prinsip partisipatif dan prinsip keadilan dalam peraturan perundang-undangan tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
17
2. Mendeskripsikan dan mengkaji penerapan prinsip partisipatif dan prinsip keadilan dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi kegiatan pembangunan jalan Tol MoJokerto-Kertosono (MOKER). 3. Menemukan dan mendeskripsikan pengaturan dan pelaksanaan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memenuhi prinsip partisipatif dan prinsip keadilan sosial.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini mengambil objek hukum pertanahan yang mengatur pengadaan tanah untuk pembangunan, dengan mengkaji aspek konstruksi muatan pengaturan yang berkaitan dengan prinsip-prinsip norma konstitusional. Bahwa, penyelenggaraan pengadaan tanah untuk pembangunan melibatkan kepentingan tertentu dan di dorong oleh kondisi sosial tertentu. Maka sangat diperlukan konsistensi dalam penerapan prinsip-prinip norma konstitusi dalam muatan aturan pelaksananya, untuk mengurangi bahkan menghindari berbagai masalah yang timbul dalam pengadaan tanah untuk pembangunan nasional. Oleh sebab itu, hasil penelitian ini diharapkan memebrikan manfaat bagi ; 1.
Pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang ilmu hukum dan ilmu perundang-undangan. Di bidang ilmu hukum, manfaat akan diperoleh bidang hukum pertanahan, berkaitan dengan perlunya konsistensi penerapan muatan prinsip-prinsip dasar yang secara normatif konstitusional dalam berbagai peraturan pelaksana hukum pertanahan. Konsistensi
diperlukan
mengingat
dalam
pembentukan
hukum
18
pertanahan telah terjadi pengaruh mempengaruhi antara berbagai kepentingan. Timbulnya berbagai masalah dalam pengadaan tanah untuk pembangunan, disebabkan oleh inkonsistensi dalam penerapan asas atau prinsip dasar dalam muatan materi peraturan perundang-undangan. Inilah arti penting dari
manfaat kajian ini bagi pengembangan hukum
pertanahan. Selain itu, bagi ilmu perundang-undangan, penelitian ini mempertegas bahwa dalam merumuskan suatu norma perundang-undangan perlu secara konsisten memperhatikan dan menjabarkan prinsip-prinsip dasar yang secara konstitusional diatur. Bahwa dalam siatuasi apapun, dan pengaruh apapun tidak boleh meninggalkan prinsip-prinsip dasar itu, sebab dalam penyusunan peraturan yang demikian akan melahirkan peraturan yang inkonstutusional. Padahal, dalam konteks hukum pertanahan, implikasinya sangat berkaitan dengan kepentingan hajat hidup orang banyak dan pembangunan nasional secara makro. 2.
Kepentingan praktis, penelitian ini diharapkan mempunyai nilai guna dalam pengembangan dan penerapan kebijakan pengadaan tanah untuk pembangunan penerapan
kepentingan
pengaturan
dan
umum.
Dengan
pelaksanaan
mengkaji
pengadaan
bagaimana tanah
bagi
pembangunan untuk kepentingan umum yang memenuhi prinsip partisipatif dan prinsip keadilan sosial ini, diharapkan dapat sejalan dengan prinsip-prinsip dasar yang ada, sehingga dapat memberikan manfaat;
19
a. Bagi penyelenggara negara dalam merumuskan kebijakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang lebih partisipatif dan berkeadilan sosial; b. Bagi masyarakat yang terkena dampak adanya pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum, dapat memberikan peranan dan partisipasinya dalam mewujudkan keadilan sosial dan berkelanjutan; c. Bagi pelaku usaha yang melaksanakan program pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum, dapat memperoleh kepastian dan keadilan dalam menjalankan usahanya tersebut.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan telaah dan penelusuran yang telah dilakukan yang bersumber dari bahan kepustakaan, internet dan informasi lain, terdapat beberapa penelitian atau hasil kajian yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini, yaitu kajian mengenai hak atas tanah,29 kebijakan di bidang pertanahan,30 kajian mengenai penggunaan tanah,31 kajian Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Alam, 32 dan kajian mengenai pengadaan tanah.33
29
Hak atas tanah dikaji oleh Aslan Noor dengan judul disertasi “Kajian HAM terhadap Hak Milik atas tanah bagi Bangsa Indonesia; dan oleh Achmad Sodiki dengan judul “Penataan Pemilikan Hak Atas Tanah di Daerah perkebunan Kabupaten Malang. 30
Kebijakan Pertanahan dikaji oleh Nurhasan Ismail dengan judul disertasi “Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi Politik”; dan Ida Nurlinda dengan judul disertasi “Penerapan Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria Menurut Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 Dalam Kebijakan Pertanahan Nasional. 31
Penggunaan tanah dikaji oleh Ronald Z. Titahelu dengan judul disertasi “Penetapan Asas-Asas Hukum Umum Dalam Penggunaan tanah Untuk Sebesar-Besar Kemakmuran Rakyat (Suatu Kajian Filsafati dan Teoritik tentang Pengaturan dan penggunaan Tanah di Indonesia”; dan Sri Hajati dengan judul disertasi “Pengaturan hak Atas Tanah Untuk Investasi.” 32
Kajian mengena Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Alam telah dikaji oleh M. Bakri dengan judul disertasi “Implementasi Pengaturan Hak Menguasai Tanah Oleh Negara”; Suteki dengan judul disertasi “Pembaharuan Politik Hukum Tentang Hak Menguasai Negara Atas
20
Kajian tentang hak atas tanah dilakukan oleh Aslan Noor dan Sri Hajati dalam disertasi mereka pada tahun 2003. Aslan Noor mengkaji tentang “Konsepsi Hak Milik atas tanah bagi Bangsa Indonesia”, yang membahas tentang landasan pemikiran lahirnya konsepsi hak milik atas tanah bagi bangsa Indonesia, konsepsi hak milik atas tanah bagi bangsa Indonesia sebagai refleksi hak asasi manusia dan pengembangan konsepsi hak milik atas tanah bagi bangsa Indonesia dalam pengertian privat dan publik.34 Sri Hajati mengkaji tentang “Pengaturan hak atas tanah untuk investasi”, menyimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan menunjukkan
adanya
inkonsistensi
pengaturan
hak
menguasai
negara
sebagaimana amanat dan semangat prinsip-prinsip dalam UUPA dan peraturan pelaksanaannya dimana seolah-olah negara adalah pemilik tanah. Inkonsistensi tersebut berimplikasi kepada pemberian HGU, HGB dan Hak pakai kepada investor, sehingga berdampak pada tanah sebagai komoditas, adanya akumulasi penguasaan tanah dari investor, pengabaian hak-hak masyarakat adat dan pemerosotan kesejahteraan pemilik tanah yang tanahnya diambil untuk pembangunan.35
Sumber Daya Air Berbasis Nilai Keadilan Sosial”; dan Winahyu Erwiningsih dengan judul disertasi “Pelaksanaan Pengaturan Hak Menguasai Negara Atas Tanah Menurut UUD 1945.” 33
Pengadaan tanah dikaji oleh Muchsan dengan judul disertasi “Perbuatan Pemerintah Dalam memperoleh Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum; dan Gunanegara dengan judul disertasi “Pengadaan Tanah Oleh Negara Untuk Kepentingan Umum.” 34
Aslan Noor, 2003, “Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau dari Ajaran Hak Asasi Manusia”, Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran: Bandung, hlm iv” 35
Sri Hajati, 2003, “Pengaturan Hak Atas Tanah Untuk Investasi”, Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga:Surabaya, hlm viii
21
Penelitian yang terkait dengan kebijakan pertanahan dilakukan oleh Nurhasan Ismail dalam disertasinya pada tahun 2006 dan Ida Nurlinda dalam disertasinya tahun 2008. Nurhasan Ismail mengkaji tentang “Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi Politik”, yang intinya menyimpulkan bahwa hukum pertanahan pada masa Orde Lama dan Orde Baru hanya ditempatkan sebagai instrumen dari kebijakan pembangunan ekonomi. Terdapat perubahan pilihan kepentingan dan nilai dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada masa Orde lama menekankan nilai sosial tradisional (partikularistik, askriptif dan kolektif) dan menekankan pada pembagian tanah secara langsung kepada sebanyak mungkin masyarakat. Pada masa Orde Baru menekankan pemberian tanah kepada masyarakat yang mampu mengembangkan usaha dan meningkatkan produksi dalam penggunaan tanah (investor) dan berdasar nilai-nilai sosial modern (universalistik, individualistik dan pencapaian prestasi). Perubahan kepentingan dan nilai tersebut berimplikasi kepada kelompok sosial yang diuntungkan. Pada masa Orde Lama menekankan keadilan korektif dan diskriminasi positif sehingga yang diuntungkan adalah mayoritas yang lemah secara ekonomi. Sedangkan pada masa Orde Baru yang lebih menekankan keadilan distributif yang menguntungkan kelompok yang kuat secara ekonomi.36 Ida Nurlinda meneliti tentang “Penerapan prinsip-prinsip Pembaruan Agraria menurut Tap MPR nomor
36
IX/2001 dalam Kebijakan Pertanahan
Nurhasan Ismail, 2006, “Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi Politik”, Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada:Yogyakarta, hlm xv
22
Nasional” yang temuannya antara lain; bahwa pada tataran normatif, peneraan prinsip
keadilan
dan
prinsip
demokratis
dalam
kebijakan
pengakuan,
penghormatan dan perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat sudah relatif baik, dalam arti sudah mengacu pada prinsip keadilan & prinsip demokratis. Adapun pada tataran empiris, masih terus terjadi pengingkaran terhadap eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat. Hal ini disebabkan karena kebijakan pemerintah masih mengandalkan tanah dan Sumber Daya Agraria (SDAgr) lainnya sebagai sarana untuk meningkatkan devisa negara, serta tidak adanya kesamaan persepsi para pemangku kepentingan dalam menafsirkan makna peraturan perundang-undangan yang obyek pengaturannya terkait dengan kebijakan tanah dan SDAgr lainnya. Penerapan prinsip keberlanjutan kapasitas produksi, kapasitas sosial, dan kapasitas ekologis dalam kebijakan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah harus dilakukan semata-mata untuk mensejahterakan rakyat.37 Pada tahun 1993, Ronald Z. Titahelu dalam disertasinya yang berjudul “Penetapan Asas-Asas Hukum Umum dalam Penggunaan Tanah Untuk SebesarBesar Kemakmuran Rakyat (Suatu Kajian Filsafati dan Teoritik tentang Pengaturan dan Penggunaan Tanah di Indonesia)” menyimpulkan bahwa kepentingan umum dan fungsi sosial atas tanah mempunyai hubungan yang erat
37
Ida Nurlinda, 2008, “Penerapan Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria Menurut Tap MPR IX/2001 Dalam Kebijakan Pertanahan Nasional”, Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada:Yogyakarta, hlm 439-440
23
dengan asas-asas hukum maupun nilai dan norma yang mengatur penggunaan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.38 Disertasi yang mengkaji hak menguasai negara dilakukan oleh M. Bakri pada tahun 2005, Suteki pada tahun 2008 dan Winahyu Erwiningsih pada tahun 2009. M. Bakri memfokuskan penelitiannya dengan judul “Implementasi Pengaturan Hak Menguasai Tanah oleh Negara”, menyimpulkan
bahwa
paradigma lama tentang pemegang kekuasaan hak menguasai tanah oleh negara berada di tangan pemerintah pusat perlu diganti dengan paradigma baru yaitu hak menguasai tanah oleh negara berada di tangan pemerintah daerah. Wewenang pemerintah pusat di bidang pertanahan hanya terdiri atas lima kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 (3) angka 14 Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000, selain itu dipegang oleh pemerintah daerah. Namun demikian, perlu diatur perimbangan keuangan dari dana yang bersumber pada eksploitasi sumber daya alam antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Perlu dilakukan revisi terhadap beberapa Pasal UUPA agar pelaksanaan hak menguasai tanah oleh negara tetap menjamin hak ulayat dan hak perorangan serta hak penguasaan sumber daya alam mempunyai fungsi sosial.39
38
Ronald Z. Titahelu, 1993, “Penetapan Asas-Asas Hukum Umum Dalam Penggunaan Tanah Untuk Sebesar-Besar Kemakmuran Rakyat (Suatu Kajian Filsafati Dan Teoritik Tentang Pengaturan dan Penggunaan Tanah di Indonesia)”, Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga: Surabaya, hlm 354. 39
Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), Citra Media: Jakarta, hlm 256-260.
24
Penelitian Winahyu Erwiningsih yang berjudul “Pelaksanaan Pengaturan Hak Menguasai Negara atas Tanah Menurut UUD 1945” menyimpulkan bahwa, makna dan substansi dari hak menguasai negara atas tanah terjabarkan dalam asas-asas hukum pertanahan Indonesia yang dijiwai oleh pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam pembukaan UUD 1945. Adapun makna dan subtansinya mencakup, asas penghargaan terhadap hak perseorangan atas tanah, asas keseimbangan hak dan kewajiban, asas permusyawaratan dalam membuat dan melaksanakan kebijakan pemerintahan, asas mendahulukan kepentingan umum dan pemanfaatan untuk orang banyak, serta asas keadilan sosial.40 Suteki melakukan penelitian dengan judul “Pembaharuan Politik Hukum Tentang Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Air (SDA) Berbasis Nilai Keadilan Sosial (Studi Privatisasi Pengelolaan SDA)”. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa politik hukum HMN atas SDA mengingkari nilai keadilan sosial karena adanya intra-societal environment berupa privatisasi air, konflik kepentingan, inkonsistensi penafsiran HMN atas SDA oleh Mahkamah Konstitusi serta pendangkalan makna negara dan extra-societal environment berupa tekanan perekonomian global yang liberal kapitalistik sehingga mengakibatkan goal substitution dari negara provider menjadi negara regulator. Privatisasi pengelolaan SDA membahayakan akses rakyat terhadap air. Berdasarkan nilai keadilan sosial, politik hukum HMN atas SDA ideal dan “eksisting” dapat
40
Winahyu Erwiningsih, 2009, Pelaksanaan Pengaturan Hak Menguasai Negara atas Tanah Menurut UUD 1945, Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia:Yogyakarta, hlm 297.
25
membentuk politik hukum baru yang disebut politik hukum HMN atas SDA “Prismatik”.41 Penelitian yang mengkaji masalah pengadaan tanah dilakukan oleh Muchsan pada tahun 2007, Gunanegara pada tahun 2006, dan Mukmin Zakie pada tahun 2012. Muchsan mengkaji aspek perbuatan pemerintah, dengan judul, ”Perbuatan Pemerintah dalam Memperoleh Hak Atas Tanah untuk Kepentingan Umum”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang berdasarkan UUD 1945, kekuasaan pemerintah lebih dominan daripada kekuasaan DPR sebagai lembaga yang mewakili rakyat. Hal ini mengakibatkan perbuatan pemerintah dalam perolehan hak atas tanah lebih bersifat perbuatan pemerintah yang bebas. Jadi, pelaksanaan demokrasi berpengaruh dalam perbuatan pemerintah dalam memperoleh hak atas tanah, meskipun pengaruh itu tidak sempurna. Pengaruh perumusan pengertian kepentingan umum terhadap perbuatan pemerintah dalam perolehan hak atas tanah untuk kepentingan umum, yang hasilnya adalah perumusan kepentingan umum
dalam
peraturan
perundang-undangan
mempengaruhi
perbuatan
pemerintah dalam memperoleh hak atas tanah untuk kepentingan umum.42 Gunanegara meneliti tentang “Pengadaan Tanah oleh Negara untuk Kepentingan Umum”. Hasil penelitian Gunanegara menunjukkan bahwa, (1)
41
Suteki, 2008, Pembaharuan Politik Hukum Tentang Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Air (SDA) Berbasis Nilai Keadilan Sosial (Studi Privatisasi Pengelolaan SDA), Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro: Semarang, hlm xvii-xix. 42
Muchsan, 1997, “Perbuatan Pemerintah Dalam Memperoleh Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum”, Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada:Yogyakarta, hlm xvii.
26
kepentingan umum tidak pernah diformulasikan secara memadai dalam hukum positif, (2) pembangunan dikatakan mempunyai kepentingan umum jika memenuhi tujuh syarat untuk kepentingan umum, tiga kriteria kepentingan umum, dan mempunyai tujuan, (3) pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat berdasarkan hukum privat, hukum publik dan hukum campuran, dan (4) pola penetapan ganti rugi dalam pengadaan tanah dilakukan secara sepihak oleh negara, dan tidak ada pilihan lain bagi pemilik tanah selain harus menerima pembayaran.43 Kemudian kajian yang dilakukan Mukmin Zakie, dengan judul “UndangUndang Pengmbilan Tanah di Indonesia dan di Malaysia (Suatu Kajian Perbandingan)”. Penelitian tersebut, fokus kajian pada aspek efektifitas penyelesaian masalah dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum di
Indonesia dan Malaysia, dengan pendekatan perbandingan. Adapun masalahmasalah yang dibahas dan dibandingkan adalah konsepsi mengenai hubungan hukum hak atas tanah, prosedur pengadaan tanah, pemberian ganti rugi, konsep mengenai kepentingan umum. Selain itu dibahas pula mengenai pengalaman kedua negara yang berkaitan dengan hambatan-hambatan dalam pengadaan tanah. Secara umum disimpulkan bahwa masing-masing negara mempunyai pendekatan hukumnya sendiri dan mempunyai kelebihan dan kekurangan yang saling mengisi.44
43
Gunanegara, 2006, Pengadaan Tanah Oleh Negara Untuk Kepentingan Umum, Program Pascasarjana Universitas Airlangga:Surabaya, hlm ix-x. 44
Mukmin Zakie, 2012. “Undang-Undang Pengambilan Tanah di Indonesia dan di Malaysia : Suatu Kajian Perbandingan”. Tesis Ph.D, Universiti Kebangsaan Malaysia.
27
Fokus kajian dalam penelitian ini berbeda dengan kajian yang sebelumnya dan jika ada beberapa tema yang sama, maka penelitian ini merupakan pengembangan dengan fokus yang berbeda dari penelitian terdahulu sebagaimana dipaparkan di atas. Kajian yang paling dekat dengan disertasi ini adalah kajian mengenai hak atas tanah. Disertasi Muchsan (2007) menemukan bahwa pengaturan demokrasi dalam UUD NRI 1945 menyebabkan kekuasaan pemerintah lebih dominan dan bebas dibanding dengan kekuasaan
DPR
(executive heavy). Dalam pengadaan tanah, hal itu nampak pada perumusan kepentingan umum yang sangat longgar sehingga dapat mencakup banyak kegiatan pembangunan
yang
dapat
dimasukkan dan diperoleh dengan
menggunakan mekanisme pengadaan tanah tersebut. Adapun Gunanegara (2006) mengkaji pengadaan tanah difokuskan pada kriteria pembangunan untuk kepentingan umum, instrumen hukum yang digunakan dalam pengadaan tanah, dan pola penetapan ganti kerugian. Adapun dalam kajian ini lebih difokuskan pada penerapan prinsip partisipatif dan keadilan sosial dalam pengaturan mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dengan tujuan menemukan “Pembaharuan Hukum Pengaturan
Pengambilan
Tanah
bagi
Pelaksanaan
Pembangunan
untuk
Kepentingan Umum yang Partisipatif dan Berkeadilan Sosial”. Secara ringkas, penelitian atau kajian sejenis yang telah dilakukan dapat dilihat dalam tabel 1 berikut:
28
Tabel 1: Penelitian/Kajian Terdahulu Yang Memiliki Relevansi Dengan Disertasi KAJIAN PENELITI Hak Atas Aslan Noor, Tanah 2003, PPS. Unpad
Kebijakan Pertanahan
Penggunaan Tanah
JUDUL Kajian HAM terhadap Hak Milik atas Tanah bagi Bangsa Indonesia
Achmad Sodiki, 1994, PPS-UNAIR
Penataan Pemilikan Hak Atas Tanah di Daerah Perkebunan Kabupaten Malang
Nurhasan Ismail, 2006, PPS-UGM.
Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi Politik
Ida Nurlinda, 2008, PPSUGM
Penerapan prinsip2 Pembaruan Agraria Menurut Tap MPR IX/2001 dalam Kebijakan Pertanahan Nasional
Ronald Z. Titahelu, 1993, PPS.Unair.
Penetapan Asas-Asas Hukum Umum dalam Penggunaan Tanah untuk Sebesar-Besar Kemakmuran Rakyat (Suatu Kajian Filsafati dan Teoritik Tentang Pengaturan dan Penggunaan Tanah di
FOKUS KAJIAN 1. Landasan pemikiran lahirnya konsepsi hak milik atas tanah bagi bangsa Indonesia 2. Konsepsi hak milik atas tanah bagi bangsa Indonesia sebagai refleksi dari ajaran HAM 3. Perkembangan hak milik atas tanah bagi bangsa Indonesia dalam siklus hak milik privat dan hak milik publik 1. Konsep pemilikan hak atas tanah dalam rangka penataan pemilikan HAT 2. Pemakaian tanah yang dilakukan oleh rakyat dipandang dari segi dinamika hukum dan historis 3. Peluang perolehan HAT perkebunan melalui penataan pemilikan HAT oleh rakyat berdasarkan undang-undang 1. Perkembangan pilihan kepentingan dan nilai-nilai sosial yang menjadi landasan dalam pengaturan hukum pertanahan pada periode orde lama dan orde baru 2. Kelompok-kelompok yang diuntungkan dari Perkembangan pilihan kepentingan dan nilai sosial dalam pengaturan hukum pertanahan pada periode orde lama dan orde baru 1. Untuk memahami dan mengkaji penerapan prinsip keadilan dan prinsip demokratis dlm kebijakan pengakuan, penghormatan dan perlindungan Hak ulayat masy hk adat pada saat ini dan pada masa ayang akan datang 2. Untuk memahami dan mengkaji penerapan prinsip keberlanjutan terkait dengan kapasitas produksi, kapasitas sosial dan kapasitas ekologis, dalam kebijakan penguasaan, Pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat ini dan masa yang akan dating 1. Hubungan antara sila keadilan sosial dalam Pancasila dengan kepentingan umum dan fungsi sosial. 2. Hubungan antara wewenang negara dengan asas-asas keadilan sosial dalam Pancasila.
29
Sri Hajati, 2003, PPSUnair. Hak Menguasai Negara
M. Bakri, 2005, PPSUnair
Suteki, 2008, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
Pengadaan tanah
Indonesia) Pengaturan Hak atas Tanah untuk Investasi
Implementasi pengaturan Hak Menguasai tanah oleh Negara
Pembaharuan Politik Hukum Tentang Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Air Berbasis Nilai Keadilan Sosial (Studi Privatisasi Pengelolaan Sumber Daya Air) Winahyu Pelaksanaan Erwiningsih, Pengaturan Hak 2009, PPSMenguasai Negara UII atas Tanah Menurut UUD 1945 Muchsan, Perbuatan Pemerintah 2007, PPS- Dalam Memperoleh UGM Hak Atas Tanah untuk Kepentingan Umum
Wewenang dan kewenangan negara dalam hubungannya dengan HMN dalam rangka pemberian HAT untuk penanaman modal setelah perjanjian Marrakesh 1. Pembatasan wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai tanah oleh negara yang diatur dalam UUPA 2. Implementasi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai tanah oleh negara terhadap hak ulayat 3. Implementasi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai tanah oleh negara terhadap hak perorangan atas tanah 1. Alasan politik hukum tentang HMN atas SDAir mengingkari nilai keadilan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 2. Alasan privatisasi pengelolaan SDAir membahayakan akses rakyat terhadap air 3. Pembaharuan politik hukum tentang HMN atas SDAir yang berbasis nilai keadilan sosial Aspek yuridis tentang makna, substansi dan kewenangan negara atas SDA khususnya tanah, serta penjabarannya dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan. pengaruh pelaksanaan asas demokrasi terhadap perbuatan pemerintah di Indonesia dalam perolehan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Hasil penelitian ini adalah dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia berdasarkan UUD 1945, kekuasaan pemerintah lebih dominan daripada kekuasaan DPR sebagai lembaga yang mewakili rakyat. Hal ini mengakibatkan perbuatan pemerintah dalam perolehan hak atas tanah lebih bersifat perbuatan pemerintah yang bebas. Jadi pelaksanaan demokrasi berpengaruh dalam perbuatan pemerintah dalam memperoleh hak atas tanah, meskipun pengaruh itu tidak sempurna. Pengaruh perumusan pengertian kepentingan umum terhadap perbuatan pemerintah dalam perolehan hak atas tanah untuk kepentingan umum, yang hasilnya adalah perumusan kepentingan umum dalam peraturan perundang-undangan mempengaruhi perbuatan pemerintah dalam memperoleh hak atas tanah untuk kepentingan umum.
30
Gunanegara, 2006, PPSUnair.
Pengadaan Tanah Oleh Negara untuk Kepentingan Umum
Mukmin Zakie, 2012, Tesis Ph.D. UKM
Undang-undang Pengambilan Tanah di Indonesia dan Malaysia (Kajian Perbandingan)
1. Jenis-jenis pembangunan untuk KU dan syarat-syarat untuk menetapkan kriteria KU 2. Instrumen hukum yang digunakan negara dalam pengadaan tanah untuk KU 3. Pola penetapan ganti rugi dalam pengadaan tanah oleh negara untuk KU Fokus perhatian kajian ini adalah mendekripsikan tentang perbandingan mengenai pengaturan hubungan hukum hak atas tanah dengan negara, prosedur pengadanaan tanah, pemberian ganti rugi dalam pengadaan tanah, konsep mengenai kepentingan umum dan hambatan-hambatan yang berkaitan dengan pengadaan tanah
Sumber : Dari berbagai sumber kajian terdahulu, telah diolah.