1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian Kebijakan desentralisasi merupakan tata cara penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan dan demokrasi di tingkat daerah yang dilaksanakan di beberapa negara termasuk Indonesia. Salah satu argumen yang mendasari kebijakan desentralisasi adalah terciptanya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Desentralisasi mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1903 saat Pemerintah Belanda menerapkan Desentralisatie Wet 1903. Secara empirik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia telah terjadi delapan kali perubahan perundang-undangan yang dijadikan dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah. Beberapa saat setelah proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945. Secara silih bergandi undang-undang ini diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, UndangUndang Nomor 1 tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, UndangUndang Nomor 18 tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974, UndangUndang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Setiap undang-undang tersebut mengatur otonomi daerah namun cenderung berbeda-beda sesuai dengan kondisi politik yang melatarbelakangi diterbitkannya undang-undang dimaksud. Pada saat pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah cenderung lebih besar 1
2
mempergunakan kebijakan desentralisasi dibanding kebijakan sentralisasi. Menurut Bowman dan Hampton (Made Suwandi, dkk, 2004 : 7) mengatakan : “ tiada satupun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah yang luas dapat menentukan kebijakan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijakan dan program-programnya secara efisien”. Dari pandangan tersebut dapat dilihat urgensi kebutuhan akan pelimpahan ataupun penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat baik dalam konotasi politis maupun administrasi kepada organisasi atau unit diluar pemerintah itu sendiri, dalam pengertian yang luas, penyerahan ataupun pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah tersebut dalam domain kebijakan desentralisasi. Indonesia yang merupakan salah satu negara yang luas dan terdiri dari ribuan pulau, sangat sulit apabila pengaturan penyelenggaraan pemerintahan secara efektif, efisien dan akuntabel hanya dikendalikan dari Ibukota Jakarta. Untuk itu diberlakukan sub national government sebagai unit pemerintahan di tingkat daerah sebagai pelaksana kebijakan desentralisasi yang bersifat otonom, dengan demikian desentralisasi diharapkan mampu membawa sejumlah manfaat bagi masyarakat di Daerah ataupun pemerintahan nasional. Selanjutnya argumen rasionalitas dari pelaksanaan kebijakan desentraliasi menurut Shabbir Cheema dan Rondinelli (1983 : 14-16) meliputi : a) Desentarlisasi merupakan cara yang ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan yang bersifat sentralistik, dengan desentralistik perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah bersifat heterogen; b) Desentralisasi dapat memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat; c) Dengan Desentralisasi fungsi dan penugasan kepada pejabat di Daerah, maka tingkat pemahaman serta sensitivitas terhadap kebutuhan masyarakat Daerah meningkat;
3
d) Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya “penetrasi” yang lebih baik dari Pemerintah Pusat bagi Daerah-daerah yang terpencil atau sangat jauh dari pusat; e) Desentralisasi memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan di dalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah; f) Desentralisasi dapat meningkatkan kapasitas lembaga privat di Daerah; g) Desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di pusat; h) Desentralisasi juga dapat menyediakan struktur dimana berbagai departemen di pusat dapat dikoordinasikan secara efektif bersama dengan pejabat di Daerah dan NGOs di berbagai Daerah; i) Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan diperlukan guna melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program; j) Desentralisasi dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan atas berbagai aktifitas yang dilakukan oleh elite lokal, yang seringkali tidak simpatik dengan program pembangunan nasional dan tidak sensitiv terhadap kebutuhan kalangan miskin di pedesaan; k) Desentralisasi dapat menghantarkan kepada administrasi pemerintahan yang mudah disesuaikan, inovatif dan kreatif. l) Desentralisasi perencanaan dan fungsi manajemen dapat memungkinkan pemimpin di Daerah menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektif di tengah-tengah masyarakat; m) Desentralisasi dapat memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di Daerah; n) Desentralisasi dapat meningkatkan penyediaan barang dan jasa di tingkat daerah dengan biaya yang lebih rendah.
Sedangkan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia selain karena merupakan negara yang sangat luas, argumen rasionalitas bagi munculnya sebuah agenda baru kebijaksanaan nasional tentang pemerintahan daerah yang menekankan kepada desentralisasi dengan memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah, menurut Ryaas (2003 : 37) dikarenakan : Pertama, persiapan ke arah federasi Indonesia masih belum memungkinkan. Kedua, pilihan otonomi luas merupakan pilihan yang sangat strategis dalam rangka memelihara nation state yang sudah lama kita bangun dan kita pelihara. Ketiga, Sentralisasi/dekonsentrasi terbukti gagal mengatasi krisis nasional. Keempat, pemantapan demokrasi politik. Kelima, Desentralisasi
4
akan mencegah terjadinya kepincangan di dalam menguasai sumber daya yang dimiliki dalam semua negara (keadilan). Urgensi kebutuhan akan pendelegasian sebagian kewenangan pemerintah pusat baik dalam konotasi politis maupun administratif kepada organisasi atau unit diluar
pemerintah
pusat,
memberikan
gambaran
bahwa
pada
hakekatnya
desentralisasi tidak lain merupakan refleksi dari power sharing, yang merupakan pembagian atau distribusi kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kebijakan desentralisasi yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UndangUndang Nomor 5 Tahun 2974 membawa perubahan yang sangat besar sekali dalam penyelenggaraan pemerintahan di Daerah. Perubahan paradigma sebagai akibat implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 secara keseluruhan berpengaruh dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, terutama pada pemerintahan tingkat lokal di dalamnya termasuk kecamatan, yang mengatur tentang kewenangan Camat. Perbandingan antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dengan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang kecamatan terutama kewenangan camat, sangat besar sekali pengaruhnya, hal ini karena dampak kebijakan tentang ketiga Undang-Undang tersebut menganut paham sentralisasi dan desentralisasi. Pada era Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 menggunakan kebijakan sentralisasi, artinya bahwa seluruh instansi dan perangkat di Daerah merupakan kepanjangangan perangkat Pusat sehingga diatur secara sentralisasi dari Jakarta, termasuk kewenangan Camat, karena
5
Camat merupakan Kepala Wilayah. Menurut Pasal 77 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 disebutkan Kepala Wilayah meliputi : a) b) c) d) e)
Propinsi dan Ibukota Negara disebut Gubernur; Kabupaten disebut Bupati; Kotamadya disebut Walikotamadya; Kota Administratif disebut Walikota; Kecamatan disebut Camat.
Selanjutnya dalam Pasal 80 disebutkan bahwa : Kepala Wilayah sebagai Wakil Pemerintah adalah Penguasa Tunggal dibidang pemerintahan dalam wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan mengkoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat disegala bidang. Wewenang Camat menurut Pasal 81 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah : a) membina ketentraman dan ketertiban di wilayahnya sesuai dengan kebijaksanaan ketentraman dan ketertiban yang ditetapkan oleh Pemerintah; b) melaksanakan segala usaha dan kegiatan di bidang pembinaan ideologi negara dan politik dalam negeri serta pembinaan kesatuan bangsa sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah; c) menyelenggarakan koordinasi atas kegiatan-kegiatan instansi-instansi vertikal dan antara instansi-instansi vertikal dengan dinas-dinas Daerah, baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaan untuk mencapai dayaguna dan hasilguna yang sebesar-besarnya; d) membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan Daerah; e) mengusahakan secara terus menerus agar segala peraturan perundangundangan dan Peraturan Daerah dijalankan oleh instansi-instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta pejabat-pejabat yang ditugaskan untuk itu serta mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintah; f) melaksanakan segala tugas pemerintahan yang dengan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan diberikan kepadanya; g) melaksanakan segala tugas pemerintah yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu instansi lainnya.
6
Wewenang Camat sebagai Kepala Wilayah berdasarkan Pasal 80 dan 81 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini merupakan kewenangan atributif, sedangkan kewenangan delegatif merupakan kewenangan yang dijalankan Camat berasal
dari
Kepala
Wilayah
yang
lebih
tinggi
kedudukannya,
yaitu
Bupati/Walikotamadya dan Gubernur. Sehinga Camat menurut kebijakan ini mempunyai wewenang atributif dan wewenang delegatif (Sadu Wasistiono, 2002 : 28). Selanjutnya Undang-Undang Nomor otonomi
5 Tahun 1974 termasuk sistem
yang menggabungkan implementasi
asas
desentralisasi
dan
asas
dekonsentrasi dalam satu institusi. Hal ini misalnya terlihat dari adanya wilayah administrasi di tingkat Provinsi yang juga ada di Tingkat Kabupaten/Kotamadya yang sekaligus adalah juga Daerah Otonom Tingkat II. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 serta UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004
menggunakan kebijakan desentralisasi, terdapat
sejumlah pergeseran tentang Camat, yaitu : Pertama, kedudukan Camat berubah dari Kepala Wilayah menjadi perangkat Daerah Kabupaten/Kota. Kedua, Camat tidak memiliki garis komando ke Kepala Desa, melainkan garis koordinasi. Ketiga, tugas pokok dan fungsi Camat adalah sesuai dengan pendelegasian sebagian kewenangan yang
diberikan
oleh
Bupati/Walikota.
Camat
bertanggungjawab
kepada
Bupati/Walikota karena diangkat oleh Bupati/Walikota berdasarkan usulan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota. Selain itu, berdasarkan Pasal 126 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Camat juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan, yaitu : untuk mengkoordinasikan sejumlah kegiatan, berupa: pemberdayaan
7
masyarakat, upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum, penerapan dan penegakkan peraturan perundang-undangan, pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum, dan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan, untuk membina penyelenggaraan pemerintah desa dan atau kelurahan untuk melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan atau belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan. Dengan demikian, pergeseran kewenangan Camat dalam melaksanakan tugasnya dapat memainkan peran yang strategis, yang dimaksudkan ini adalah karena kecamatan dapat menjadi agen strategis pelaksanaan pemerintahan yang demokratis dan partisipatif sesuai dengan kewenangan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Adanya reformasi kecamatan, karena secara teoritik perubahan struktur dan status kecamatan sebelum dan sesudah reformasi mempunyai makna substansial. Kecamatan sudah sangat dikenal masyarakat Indonesia sebagai ujung tombak pemerintah pusat dalam melaksanakan program, dan kegiatan pemerintah kepada masyarakat. K.D. Jackson (Sadu, 1991 : 12) berpendapat perbaikan kinerja birokrasi pemerintahan secara keseluruhan banyak ditentukan oleh kinerja kecamatan. Dengan demikian, apabila Camat dikuatkan kewenangannya, maka kecamatan dapat berperan strategis untuk mewujudkan tujuan otonomi daerah yaitu mendorong percepatan kesejahteraan masyarakat melalui pemberian pelayanan yang efektif, efisien, responsif dan akuntabel. Selanjutnya wewenang Camat diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, merupakan penjabaran secara rinci dari Pasal 126
8
UU Nomor 32 Tahun 2004. Camat melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah menurut Pasal 15 ayat (2) meliputi aspek: a) b) c) d) e) f) g) h) i)
perizinan; rekomendasi; koordinasi; pembinaan; pengawasan; fasilitasi; penetapan; penyelenggaraan; daan kewenangan lain yang dilimpahkan.
Pemerintah Kabupaten Bandung sejak tanggal 2 Oktober 2001 telah menetapkan Keputusan Bupati Nomor 21 Tahun 2001 tentang pelimpahan sebagian kewenangan Bupati Kepada Camat, yang mencakup 27 Bidang Kewenangan dan 110 Rincian Kewenangan, kemudian disempurnakan dengan terbitnya keputusan Bupati Bandung Nomor 8 Tahun 2004. Sebagian kewenangan yang didelegasikan atau dilimpahkan tersebut mencakup 9 Jenis Kewenangan, 25 Bidang Kewenangan dan 614 rincian kewenangan. Kebijakan yang telah dibuat memang mendahului dari Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, namun secara substansi dan polanya sama, hal ini sebelum dilakukan penyusunan terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Pemerintah atau Kementerian Dalam Negeri. Adapun tujuan kebijakan bupati tentang pendelegasian wewenang dari bupati kepada camat secara umum adalah untuk efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan serta pendekatan pelayanan kepada masyarakat. Tujuan ini sejalan dengan amanah dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
9
tentang Pemerintahan Daerah, bahwa tujuan penyelenggaraan pemerintahan diarahkan pada terciptanya organisasi yang sesuai dengan kebutuhan publik dan berorientasi pada pelayanan publik serta berdampak pada kehidupan politik pada masyarakat, artinya penataan organisasi dan peningkatan kualitas pelayanan publik jika dikelola dengan baik akan mendapat dukukungan publik, dan jika kurang dilaksanakan dengan baik akan membawa dampak sebaiknya. Implementasi kebijakan tentang pendelegasian wewenang dari bupati kepada camat di Kabupaten Bandung diharapkan merupakan perwujudan amanah dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menekan pada peningkatan kualitas pelayanan kepada publik dan bukan mengutamakan tujuan politik. Hal ini berarti bahwa untuk melaksanakan amanah Undang-Undang tersebut, Bupati
Nomor 32 Tahun 2004
Bandung sebagai implementor untuk mewujudkan amanah
dimaksud melalui kebijakan pendelegasian wewenang dengan target group, yaitu camat . Selanjutnya dari 9 Jenis Kewenangan, 25 Bidang Kewenangan dan 614 rincian kewenangan, yang akan penulis jadikan penelitian adalah bidang pengembangan otonomi daerah dan kependudukan. Argumen penulis mefokuskan pada penelitian ini dikarenakan sebagian besar rincian bidang ini sangat dibutuhkan dan diimplementasikan di kecamatan, serta dapat meningkatkat kualitas kinerja pemerintahan desa dan masyarakat, dibanding dengan bidang-bidang yang lainnya. Sedangkan
tujuan
kebijakan
Pendelegasian
pengembangan otonomi daerah dan kependudukan adalah :
wewenang
bidang
10
1) meningkatkan kinerja pembangunan desa, yang berarti bahwa pembangunan di Kabupaten Bandung harus memberikan perhatian yang besar dan sungguhsungguh
terhadap
pengembangan
desa,
peningkatan
kualitas
kinerja
pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat di pedesaan. Desa yang dalam susunan pemerintahan merupakan unit pemerintahan terendah adalah ujung tombak pembangunan daerah dan lokus yang menjadi muara seluruh aktifitas pembangunan serta; 2) memberikan
kemudahan
pada
masyarakat
dalam
pelayanan
dokumen
kependudukan. Pendelegasian sebagian kewenangan dari Bupati kepada Camat Bidang Pengembangan Otonomi Daerah dan Kependudukan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Bandung Nomor 8 tahun 2004, dengan rincian sebagai berikut : 1.
Bidang Pengembangan Otonomi Daerah 1) Aspek Penyelenggaraan : a) Penyelenggaraan pemberhentian kepala desa; b) Penyelenggaraan pengangkatan dan pemberhentian pejabat kepala desa; c) Penyelenggaraan pengesahan, pelantikan dan pengambilan sumpah kepala desa hasil pemilihan; d) Penyelenggaraan pengangkatan, pelantikan dan pengambilan sumpah keanggotaan BPD; e) Penyelenggaraan pemberhentian Anggota BPD; f) Persetujuan pemberhentian sementara kepala desa; 2) Aspek Koordinasi - Koordinasi dalam pengaturan dan pembinaan pemerintahan desa; 3) Aspek Fasilitasi a) Fasilitas kerjasama antar lembaga pemerintahan desa; b) Fasilitasi pengusulan pemekaran desa/kelurahan;
11
c) Pengusulan batas wilayah kecamatan dan batas wilayah antar desa/ kelurahan; d) Fasilitasi
penanganan
dan
penanggulangan
masalah-masalah
penyelenggaraan pemerintahan desa; 4) Aspek Pembinaan a) Pembinaan penyusunan APBDes; b) Pembinaan pendaatan dan kekayaan desa serta Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dan UED lain; c) Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa; d) Pembinaan bimbingan teknis pendataan data dasar profil desa; e) Pembinaan Bimbingan teknis pendataan monografi desa; f) Pembinaan teknis pengisian bukua administrasi desa; g) Pembinaan pemilihan kepala desa; h) Pembinaan dan bimbingan peningkatan kemampuan anggota BPD dan lembaga lainnya; i) Pembinaan kelembagaan yang ada di desa;
2. Bidang Kependudukan 1) Aspek Perijinan a) Pemberian pelayanan administrasi dan pendataan penduduk, meliputi: b) Pelayanan peberbitan Kartu Keluarga; c) Pelayanan penerbitan Kartui Tanda Penduduk (KTP); d) Pelayanan penerbitan Surat Keterangan Ahli Waris; e) Pelayanan penerbitan Rekomendasi Untuk Kependudukan; f)
Pelayanan penerbitan Surat Keterangan Kelahiran;
g) Pelayanan penerbit Surat Keterangan Kematian; h) Pelayanan Penerbitan Surat Keterangan Lahir Mati; i)
Pelayanan Penerbitan Surat Keterangan Perkawinan;
j)
Pelayanan Penerbitan Surat Bukti Pendaftaran Tamu;
k) Pelayanan Penerbitan Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPPEM); l)
Pelayanan penerbitan Surat Keterangan Jaminan Bertempat Tinggal;
12
m) Pelayanan penerbitan Surat Keterangan Berpenghasilan Bagi Wiraswasta; n) Pelayanan penerbitan Surat Keterangan Pindah Antar Kecamatan dalam; wilayah Kabupaten Bandung; o) Pelayanan penerbitan Kartu Keterangan Bertempat Tinggal (KKBT); p) Pelayanan penerbitan Kartu Identitas Kerja (KIK); q) Pelayanan penerbitan Surat Keterangan Penduduk Sementara;
2) Aspek Penyelenggaraan a) Penyelenggaraan
sistem
administrasi
kependudukan
(Pendaftaran/Pencatatan Penduduk yang berkaitan dengan kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, perpindahan, adopsi, pengakuan anak, naturalisasi, dan pencatatan perubahan atas status penduduk termasuk biodata penduduk; b) Penerbitan Akta Catatan Sipil; c) Penyelenggaraan Sistem Informasi Kependudukan; d) Penyelenggaraan SIDUGA (Sistem Informasi Kependudukan Keluarga); e) Penataan persebaran penduduk di lingkungan kecamatan; f)
Penyelenggaraan persebaran penduduk di lingkungan kecamatan;
g) Pendataan data keluarga; 3) Aspek Rekomendasi -
Rekomendasi dalam penetapan proyeksi penduduk (jumlah, mutu, struktur dan komposisi).
Berdasarkan rincian tersebut bahwa bidang pengembangan otonomi daerah meliputi 20 rincian urusan, 4 aspek penyelenggaraan, dan bidang kependudukan terdiri dari 25 rincian urusan, 4 aspek penyelenggaraan pendelegasian wewenang. Rincian urusan merupakan sub-sub urusan dari bidang-bidang yang didelegasikan, yang dalam implementasinya masih perlu diuraikan ke dalam bentuk program dan
13
beberapa kegiatan. Sedangkan aspek merupakan jenis cara penyelenggaraan rincian urusan bidang yang didelegasikan. Beberapa keuntungan yang diperoleh dari kebijakan pendelegasian wewenang dari Bupati kepada camat : a)
Beban pemerintah kabupaten dalam penyediaan/pemberian layanan semakin berkurang karena telah didelegasikan kepada camat sebagai ujung tombak;
b) Pemerintah kabupaten tidak perlu membentuk kelembagaan yang besar sehingga dapat menghemat anggaran; c)
Alokasi dan distribusi anggaran lebih merata keseluruh wilayah sehingga dapat menjadi stimulan bagi pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional;
d) Sebagai wahana memberdayakan fungsi Camat dan perangkat kecamatan yang selama ini terabaikan, artinya dengan adanya kebijakan pendelegasian wewenang dari bupati kepada camat, khususnya bidang pengembangan otonomi daerah dan kependudukan Camat lebih mempunyai peran yang luas, karena selama ini tanpa adanya pendelegasian kewenangan, camat dengan kewenangan sekarang yang dimilikinya kurang dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan pemerintah desa dan masyarakat dibidang pengembangan otonomi daerah dan kependudukan, tetapi jika terjadi suatu peramasalahan, camat tetap mempertanggungjawabkan permasalahan dimaksud. Uraian teresebut menggambarkan bahwa pendelegasian kewenangan kepada camat akan membawa manfaat tidak saja kepada kecamatan yang menerima limpahan, namun juga kepada Kabupaten yang bersangkutan.
14
Namun, di dalam implementasi kebijakan pendelegasian wewenang dari Bupati kepada Camat masih belum dapat dilaksanakan secara menyeluruh pada masing-masing rincian urusan wewenang yang didelegasikan kepada Camat termasuk bidang pengembangan otonomi daerah dan kependudukan (sumber : Bagian Otonomi Daerah Sub Bag Kewenangan Kabupaten Bandung, 2010), artinya bahwa efektivitas keberhasilan implementasi belum tercapai dan secara teknis implementasi beberapa sub rincian dari bidang pengembangan otonomi daerah dan kependudukan masih perlu ditingkatkan. Ketidakberhasilan Camat dalam melaksanakan kebijakan pendelegasian rincian urusan kewenangan bukan berarti Camat tidak mampu melaksanakan wewenang tersebut tetapi cenderung disebabkan tidak seimbangnya pendelegasian wewenang yang diberikan dengan pendukung untuk melaksanakan wewenang dimaksud, artinya personil, prasarana dan sarana, pembiayaan belum secara penuh diberikan kepada Camat. Selanjutnya camat dalam menjalankan implementasi kebijakan bupati tentang pendelegasian wewenang bidang pengembangan otonomi daerah dan kependudukan dihadapkan bahwa kecamatan belum seutuhnya sinergis dan terpadu dengan instansi atau
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang mengelola
kewenangan di bidang pengembangan otonomi daerah dan kependudukan, artinya bahwa SKPD terkait cenderung melaksanakan program dan kegiatan yang mefokuskan pada kepentingan SKPD dimaksud belum melibatkan dan memadukan program-program
SKPD
dengan
program-program
di
kecamatan
dalam
implementasi kebijakan dimaksud. Selain itu kekurangan personil secara kualitas dan kuantitas di kecamatan sebagai pelaksana kebijakan pendelegasian wewenang, SKPD
15
terkait kurang berperan dalam mewujudkan dan membantu perangkat kecamatan yang memiliki kompetensi dasar dibidang pengembangan otonomi daerah dan kependudukan. Selanjutnya SKPD terkait belum melibatkan kecamatan secara mendalam yang berkaitan dengan rincian urusan yang didelegasikan kepada camat, camat hanya diberi tembusan saja dalam implementasinya, tetapi jika terjadi permasalahan di wilayah kerja camat, camat yang pertama kali diminta keterangan untuk memberikan informasi, bahkan cenderung menyalahkan kecamatan yang tidak aktif dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan di kecamatan. Hal ini dapat dilihat belum adanya mekanisme kerja dan petunjuk teknis yang disusun oleh instansi terkait atau yang mempunyai kewenangan ke dua bidang dimaksud. Petunjuk Teknis merupakan tata cara pelaksanaan dijadikan sebagai pedoman Camat dalam mengimplementasi kebijakan pendelegasian wewenang, agar tidak melampui wewenang serta dapat mengetahui jika ada kekurangan SKPD atau Camat yang kurang responsif terhadap implementasi dimaksud, serta membantu camat dan SKPD
dalam melakukan
kooordinasi dan hubungan kerja dengan instansi terkait. Implementasi kebijakan tentang pendelgasian wewenang yang dihadapkan dengan berbagai dinamika berdampak pada manfaat pendelegasian
wewenang
bidang pengembangan otonomi daerah dan kependudukan yaitu meningkatnya pemberdayaan penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemecahan permasalahan pemerintahan di desa serta pelayanan dokumen kepada masyarakat masih belum dapat dilaksanakan secara menyeluruh sehingga belum tercipta kecamatan sebagai pusat pelayanan kepada masyarakat, dikarenakan keterbatasan Camat beserta
16
perangkatnya dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Keterbatasan tersebut juga disebabkan karena belum direncanakan secara sistematis sehingga tidak didukung dengan anggaran yang sesuai dengan yang didelegasikan, sehingga mengakibatkan perubahan yang akan diwujudkan sebagai dampak implementasi kebijakan pendelegasian wewenang bidang pengembangan otonomi daerah dan kependudukan masih berjalan lambat karena kurangnya personil kecamatan baik kuantitas maumpun kualitas. Sumber daya yang dibutuhkan Camat dalam melaksanakan pendelegasian wewenang bidang pengemangan otonomi daerah dan kependudukan masih terbatas, baik personil, pembiayaan maupun sarana dan prasarana, selain hal tersebut dikarenakan kurangnya perencanaan dan penganggaran dalam implementasi pendelegasian wewenang bidang pengembangan otonomi daerah dan kependudukan. Adapun Strategi pencapaian pendelegasian wewenang bidang pengembangan otonomi daerah dan kependudukan secara teknis belum diarahkan secara rinci, dan karakteristik antar instansi sebagai penguasa pendelegasian wewenang bidang otonomi daerah dalam mengimplementasikan setiap program pendelegasian belum bersifat
transparan,
sehingga
menimbulkan
kebingungan
Camat
beserta
perangkatnya, untuk melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi. Hal ini berdampak terhadap Loyalitas dan daya tanggap pelaksana pendelegasian wewenang bidang pengembangan otonomi daerah dan kependudukan yaitu camat dan perangkatnya masih mengalami kebingungan dikarenakan rincian program pelaksanaan belum jelas sehingga Camat sulit untuk merencanakan sekaligus menganggarkan program yang didelegasikan.
17
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan
uraian
latar
mengidentifikasikan permasalahan Bupati
tentang
pengembangan
belakang
penelitian
di
atas,
penulis
penelitian adalah : Implementasi Kebijakan
pendelegasian wewenang bupati kepada camat bidang otonomi
diimplementasikan
secara
daerah
dan bidang kependudukan belum dapat
menyeluruh
sehingga
efektivitas
keberhasilan
implementasi kebijakan masih perlu ditingkatkan. Hal ini dikarenakan : a) Semua instansi yang terlibat belum berperan sepenuhnya bermitra dengan Camat dalam hal pengintegrasian program pendelegasian wewenang, khususnya bidang pengembangan otonomi daerah daerah dan bidang kependudukan. b) Strategi pelaksana implementasi kebijakan pendelegasian wewenang belum sepenuhnya menggambarkan pelaksanaan yang didelegasikan dan kurangnya keterpaduan dengan instansi yang terkait, instansi terkait secara teknis belum memberikan tata cara pelaksanaan pendelegasian wewenang. c) Aparatur
kecamatan secara kualitas dan kuantitas sebagai pelaksana
pendelegasian
wewenang
bidang
pengembangan
otonomi
daerah
dan
kependudukan belum seluruhnya mempunyai kompetensi dasar yang dibutuhkan. d) Pendelegasian Wewenang Kecamatan belum dapat menjadikan kecamatan sebagai pusat pemecahan permasalahan pemerintahan desa dan belum menjadi pelayanan terpadu pada tingkat kecamatan. Berdasarkan identifikasi masalah tersebut dapat dirumuskan menjadi pertanyaan penelitian, yang akan dijadikan sebagai obyek kajian dan pembahasan sebagai berikut :
18
Bagaimanakah implementasi kebijakan Bupati tentang pendelegasian wewenang kepada camat bidang
pengembangan otonomi daerah dan kependudukan di
Kabupaten Bandung ? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun Tujuan penelitian tentang Implementasi Kebijakan Pendelegasian Wewenang Bupati kepada Camat bidang pengembangan otonomi daerah dan kependudukan adalah : untuk memperoleh konsep baru dalam pengembangan Ilmu Administrasi Publik, khususnya dalam hal implementasi kebijakan publik. 1.4. Manfaat Penelitian Penulis berharap hasil penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui pemahaman tata cara
implementasi kebijakan
pendelegasian wewenang bidang
pengembangan otonomi daerah dan kependudukan terhadap hal-hal yang terjadi sebenarnya menurut pelaksana kebijakan dan instansi yang terkait kebijakan. Hasil yang di dapat dari penelitian diharapkan dapat bermanfaat mencakup dua aspek, yaitu aspek terhadap pengembangan ilmu (aspek teoretis, dan aspek praktis (guna laksana) penerapan bagi penyelenggara pemerintahan baik pemerintah kabupaten maupun pemerintah. 1.4.1. Aspek Teoretis Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam membangun dan mengembangkan konsep Implementasi Kebijakan yang berorientasi terhadap peningkatan
kualitas
pelayanan
melalui
pendelegasaian
wewenang
bidang
pengembangan otonomi daerah dan kependudukan, yang diterapkan dalam kajian Ilmu Administrasi Publik.
19
1.4.2. Aspek Praktis Adapun manfaat aspek praktis dari hasil penelitian ini untuk : a) kejelasan implementasi kebijakan pendelegasian wewenang bupati kepada camat bidang pengembangan otonomi daerah dan bidang kependudukan sebagai pedoman bagi pelaksana kegiatan. b) lebih meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan kepada pemerintahan desa dan masyarakat serta menjadikan kecamatan sebagai pusat pelayanan terpadu serta memberikan informasi untuk bahan pertimbangan Pemerintah, sebagai masukan kebijakan Pemerintah
dalam
menata ulang kecamatan secara komprehensif
dengan memperhatikan kebijakan lokal.