1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) karena dampak yang ditimbulkan memang luar biasa, yang selama ini terjadi secara sistematik dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat serta melemahkan nilai-nilai demokrasi, etika, keadilan dan kepastian hukum, juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Sedemikian besarnya dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi yang memunculkan persepsi bahwa pemberantasannya pun harus dilakukan secara luar biasa. Korupsi di negeri ini seperti sudah berakar dan menjalar yang biasanya terjadi di pemerintah pusat, kini bahkan sudah merambah pada pemerintahan yang lebih rendah seperti di daerah dan desa. Bukan saja di pemerintahan, namun sudah sampai pada lingkungan peradilan, perusahaan, pendidikan, segala sendi kehidupan. Memberantas korupsi adalah tugas utama yang harus segera diselesaikan. Mustahil merealisasikan pembangunan, memerangi kemiskinan, meningkatkan taraf pendidikan dan kesehatan namun korupsi masih merajalela. Karena bisa dikatakan korupsi merupakan asal muasal dari setiap
2
kejahatan besar, seperti; tindak pidana pencucian uang, tindak pidana perjudian, prostitusi, perbankan dan lainnya. Korupsi adalah kejahatan yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan, melalui kebijakan-kebijakan penguasa yang dilakukan secara sistematis untuk memaksimalkan keuntungan pribadi, penguasa dan kelompok. Kekuasaan ini sangat dipengaruhi oleh politik. Sehingga korupsi terjadi karena penyalahgunaan kekuasaan. Berbicara tentang kekuasaan tidak lepas dari pemerintahan. Struktur pemerintahan beserta hak dan kewajibannya telah diatur secara umum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta di atur pula mengenai asas otonomi pada Pasal 18 Ayat (2) UUD NRI 1945 “Pemerintahan Daerah propinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah secara otomatis diinstruksikan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur pemerintahan daerah sebagai daerah otonom, yang berisi hubungan wewenangnya dengan pemerintah pusat, dimana produk hukum ini sebagai implementasi Pasal 18 Ayat (2) tersebut. Maka, dibentuklah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, yang kini telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai tindakan nyata Indonesia yang bangga dengan asas Desentralisasi dan Otonomi Daerahnya.
3
Amrah Muslimin memberikan pengertian desentralisasi, yaitu pelimpahan kewenangan pada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu mengurus rumah tangganya sendiri.1 Untuk merealisasikan otonomi daerah, suatu daerah memerlukan pendanaan agar tiap daerah dapat mengelola potensi daerahnya dengan baik. Selanjutnya, UU Pemda Tahun 2004 tersebut diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, yang memberikan kepastian hukum terhadap perimbangan keuangan desa dan kabupaten/ kota. Hal ini berkaitan dengan asas desentralisasi dan otonomi daerah yang dianut Indonesia serta demokrasi dan masyarakat yang partisipatif sesuai konstitusi Negara yang merupakan dasar diberikannya kepastian terhadap perimbangan keuangan desa dan kabupaten/ kota. Berdasarkan PP Desa tersebut, pada Pasal 68 Ayat (1) huruf c, desa memperoleh jatah Alokasi Dana Desa (ADD). ADD yang diberikan ke desa merupakan hak desa. Sebelumnya, desa tidak memperoleh
kejelasan
anggaran
untuk
mengelola
pembangunan,
pemerintahan dan sosial kemasyarakatan desa. Saat ini, melalui ADD, desa berpeluang untuk mengelola pembangunan, pemerintahan dan sosial kemasyarakatan desa secara otonom. Dalam UU Pemda Tahun 2004 maupun 2014 tersebut di atur segala hal sampai pada diberikannya tiap daerah untuk mengelola urusan daerahnya sendiri berikut pemerintahan yang ada di bawahnya seperti desa. Pemerintah daerah menganggarkan dana yang digunakan untuk pembangunan desa,
1
Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, h. 5
4
pemberdayaan masyarakat, operasional pemerintah desa, tunjangan aparat desa, dan lainnya. Berdasarkan PP Desa, Pasal 68 Ayat (1) huruf c, sumber anggaran untuk ADD berasal dari APBD Kabupaten/ Kota. Komponen APBD yang dialokasikan sekurang-kurangnya 10% (persen) bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah. Maksud dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima Kabupaten/ Kota adalah dana bagi hasil pajak dan sumber daya alam, ditambah Dana Alokasi Umum (DAU) setelah dikurangi belanja pegawai. Diberikannya alokasi dana desa yang jumlahnya ditentukan secara lebih pasti tersebut tak khayal banyak menyeret kepala desa ke dalam kasus tindak pidana korupsi. Seperti misalnya kasus korupsi ADD pemerintah Kabupaten Buleleng, desa Alas Angker, Kecamatan Buleleng, Singaraja, kepala desa tersebut berinisial GS2. Selain itu masih banyak lagi kepala daerah yang tersangkut kasus ini, berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri, ada sebanyak 318 kepala daerah tersangkut kasus korupsi dari jumlah 524 kepala daerah dan wakil kepala daerah, jumlah ini dalam rentang tahun 2004Feberuari 2013. Pemerintah pusat berganti, seriring berjalannya tahun, kebijakan pun berganti, atas apresiasinya terhadap otonomi daerah, dirancanglah agenda prioritas Presiden dan Wakil Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla. Program dalam prioritas tersebut salah satunya adalah membangun Indonesia dari pinggiran 2
Antara Bali, 2010, http://m.antarabali.com/berita/5180/polres-buleleng-libatkan-bpkpselidiki-korupsi , Akses: tanggal 2 Nopember 2015, pukul: 22.43 Wita
5
dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Berdasarkan hal tersebut dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang dalam salah satu rumusan pasalnya memuat tentang dana alokasi desa yang membuat pro dan kontra pada tahun 2014 sampai dana itu dikeluarkan tahun 2015. Karena nilainya yang tidak tanggung-tanggung, banyak kalangan yang mengkhawatirkan kesiapan, sebanyak lebih dari 74.000 desa se-Indonesia dalam rangka menerima dan mengelola dana yang terbilang besar itu dari pemerintah pusat. Tiap desa akan menerima kucuran dana yang telah dianggarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berkisar 1,4 Milyar/ Tahun per Desa. Inilah yang menarik untuk dicermati, dimana sebelumnya desa belum pernah mendapatkan porsi anggaran dari APBN. Rumusan itu adalah dalam pasal 72 Ayat (1) UU Desa, Pasal 72 (1) Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari : a. Pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil asset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa; b. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; c. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota; d. alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota; e. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota; f. hubah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan g. lain-lain pendapatan Desa yang sah.
Berpijak dari rumusan pasal tersebut, rupanya menimbulkan kekhawatiran banyak kalangan. Dimana rumusan pasal tersebut bila diselewengkan akan memunculkan tindak pidana korupsi. Produk baru yang
6
disebut dana desa ini, nantinya memiliki potensi untuk berkontribusi dalam tindak pidana korupsi, melihat mental yang rendah di pemerintahan serta tuntutan ekonomi menjadikan seseorang berupaya semaksimal mungkin untuk pemenuhan kebutuhannya, maka bukan tidak mungkin korupsi bisa saja terjadi. Tindak pidana korupsi terkait pengelolaan keuangan terjadi lebih banyak disebabkan karena kacaunya administrasi keuangan tersebut, karena salah tafsir terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku atau ketidakpahaman aparat terhadap aturan tersebut. Secara
politis,
desentralisasi
merupakan
langkah
menuju
demokratisasi. Dengan desentralisasi, pemerintah lebih dekat dengan rakyat, sehingga kehadiran pemerintah lebih dirasakan oleh rakyat dan keterlibatan rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan dan pemerintahan semakin nyata. Secara sosial, desentralisasi akan mendorong masyarakat ke arah swakelola dengan memfungsikan pranata sosial yang merupakan social capital dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Dengan pranata yang telah internalized, mekanisme penyelesaian mereka dipandang lebih efektif, efisien dan adil. Sedangkan, secara ekonomi, desentralisasi diyakini dapat mencegah eksploitasi pusat dan daerah, menumbuhkan inovasi masyarakat dan mendorong motivasi masyarakat untuk lebih produktif. Secara administratif akan mampu meningkatkan
kemampuan
daerah
dalam
melakukan
perencanaan,
pengorganisasian, meningkatkan akuntabilitas atau pertanggungjawaban
7
publik.3 Sesungguhnya inilah arah yang ingin di capai pemerintah, maka di berikanlah dana desa tersebut. Berdasarkan data yang dilansir dari transparency.org, Negara kita menduduki peringkat 12 sebagai negara terkorup se-Asia dan peringkat 107 sebagai negara bebas korupsi dari 175 negara di tahun 2014, sangat memperihatinkan dibandingkan dengan negara tetangga seperti singapura masuk peringkat 7 negara terbersih dari korupsi dari 175 negara, atau Malaysia di peringkat 50.4 Dibalik manfaat yang baik dari pasal tersebut, rupanya ada kelam yang tersimpan menaruhkan kemakmuran masyarakat dan negara. Pada tahun 2015 dana dikucurkan dari pusat melalui pemerintahan daerah sebanyak tiga tahap. Muncul kekhawatiran akan rawannya penyimpangan dana desa tersebut bukan tidak beralasan, mengingat banyaknya pejabat yang korupsi. Berkaca di era otonomi daerah sekarang, desa mendapat dana milyaran dalam setahun, bukan hal yang mustahil jika dikemudian hari banyak kepala daerah ataupun kepala desa yang berurusan dengan hukum karena telah merugikan keuangan negara. Praktik korupsi pun akan berpindah dari kota ke desa. Berdasarkan hal tersebut di atas, pemerintah Indonesia baiknya semakin gencar memberantas korupsi, kata memberantas lebih menekankan kita akan suatu tindakan yang telah terjadi (represif), layaknya memotong rumput, setelah dipotong lalu tumbuh lebat lagi, begitulah korupsi, kita
3 Pheni Chalid, 2005, Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan dan Konflik, Cet. Ke-1, Kemitraan, Jakarta, h. 5 4 www.tahupedia.com/content/show/587/10-Negara-Terkorup-Di-Dunia, Akses: tanggal 16 Oktober 2015, pukul: 20.14 Wita
8
melakukan pemberantasan korupsi berarti tindak pidana tersebut sudah terlaksana, karena jika belum terlaksana, kita juga belum bisa mengetahui itu korupsi atau bukan. Untuk itu, sebagai reaksi dari rumusan pasal tersebut di atas, melihat pentingnya langkah adanya langkah penanggulangan tindak pidana korupsi dalam hal pengelolaan keuangan desa khususnya dana desa. Penulis tertarik untuk mengangkat tulisan ini dengan judul “Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Dana Desa di Bali”
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan dua permasalahan sebagai berikut : 1.2.1 Bagaimana pengaturan penanggulangan tindak pidana korupsi yang dilakukan di Indonesia ? 1.2.2 Bagaimana upaya penanggulangan agar pengelolaan keuangan dana desa di Indonesia khususnya di Bali terhindar dari Korupsi?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Agar penulisan tidak terlalu lebar dan tidak terlalu sempit dalam pembahasannya, penulis memberikan batasan penulisan, sesuai dengan lingkup, yang dibahas adalah pengaturan penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia dan upaya penanggulangan yang dilakukan untuk
9
mencegah agar pengelolaan keuangan dana desa di Indonesia khususnya di Bali terhindar dari korupsi.
1.4 Orisinalitas Fakta menunjukkan bahwa cukup banyak hasil penelitian yang berkaitan dengan obyek penelitian baik dalam bentuk laporan, skripsi, tesis maupun disertasi. Namun khsusus untuk penelitian hukum, dengan keterbatasan kemampuan untuk menelusuri hasil-hasil penelitian di bidang hukum, tidak banyak didapati penelitian tentang penelitian normatif-empiris mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Dana Desa di Bali. Dari hasil penelusuran, mendapat penelitian dalam bentuk skripsi yang membahas masalah tindak pidana korupsi, sebagai berikut : Tabel 1. Daftar Penelitian No. Judul / tahun penulisan 1
Kebijakan Dalam
Hukum
Penulis
Rumusan Masalah
Pidana I Gede Dion Raharja
Penanggulangan (Fakultas
-
Bagaimanakah
kebijakan
Hukum aplikatif dalam tindak pidana
Tindak Pidana Korupsi Yang Universitas Udayana)
korupsi
Dilakukan
pejabat legislatif negara?
Oleh
Pejabat
Legislatif Negara (2015)
yang dilakukan oleh
- Apakah kebijakan ancaman pidana
yang
diatur
dalam
undang-undang
tindak
pidana
10
korupsi
dapat
mencegah
terjadinya tindakan korupsi? 2
Penegakan Pidana
Hukum Korupsi
Pengadilan
Tindak
Tindak Debby Fitria Ulfa Dewi - Bagaimana frekuensi kasusPada (Fakultas
Hukum kasus tindak pidana korupsi pada
Pidana Universitas Udayana)
Korupsi Di Denpasar (2013)
Pengadilan
Tindak
Pidana
Korupsi di Denpasar dalam 3 (tiga) tahun terakhir? -
Bagaimana
implementasi
penjatuhan sanksi pidana pada Pengadilan
Tindak
Pidana
Korupsi di Denpasar?
Penulisan pertama, hanya membatasi tulisannya terkait pencegahan tindak pidana korupsi dengan menggunakan kebijakan hukum pidana yang di dalamnya berisi ancaman sanksi yang disusun oleh lembaga legislatif. Penulisan pada judul kedua, memfokuskan pembahasan pada penegakan hukum pidana korupsi pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Denpasar melalui pengimplementasian penjatuhan sanksi dan frekuensi kriminalitas pada pengadilan tindak pidana korupsi di Denpasar. Penegakan hukum bisa dikaitkan dengan pemberantasan korupsi sehingga tulisan tersebut bisa dikatakan menyerupai tulisan ini. Dari kedua tulisan di atas, jelas berbeda dengan apa yang dibahas dalam tulisan ini. Tulisan ini memfokuskan pembahasan pada pengaturan dan
11
upaya penanggulangan tindak pidana korupsi dalam mengelola keuangan dana desa. Dimana pembahasan tersebut muncul sebagai reaksi atas UU Desa perihal pengalokasian Dana Desa dalam APBN.
1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1
Tujuan Umum Adapun tujuan umum yang ingin dicapai adalah untuk memberikan suatu gambaran atau pembahasan mengenai adanya suatu peluang terjadinya tindak pidana korupsi melalui pengelolaan dana desa, serta penanggulangan tindak pidana korupsi tersebut terhadap dana desa
1.5.2 Tujuan Khusus 1. Untuk Mengetahui dan Menganalisa peraturan yang digunakan dalam penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia; 2. Untuk
mengetahui
upaya
penanggulangan
yang
digunakan
agar
pengelolaan keuangan dana desa di Bali dapat diminimalisir bahkan terhindar dari korupsi.
1.6 Manfaat Penulisan 1.6.1
Manfaat Teoritis Manfaat yang berkaitan dengan keilmuan, antara lain :
1. Bagi para peneliti untuk mengembangkan kembali apa yang telah diangkat dalam tulisan ini serta pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum Pidana;
12
2. Pengembangan bahan perkuliahan pada materi dalam hukum pidana atau pun bidang hukum lain yang berkaitan; 3. Bahan publikasi ilmiah. 1.6.2
Manfaat Praktis
1. Bagi Kepala Desa serta jajarannya agar lebih berhati-hati dalam mengelola dana desa yang jumlahnya besar tersebut; 2. Bagi Pemerintah Daerah agar terus melakukan pengawasan terhadap jalannya pengelolaan dana desa di tiap desa; 3. Bagi pemerintah pusat serta aparat penegak hukum agar melakukan upaya penanggulangan tindak pidana korupsi secara konsisten, efektif dan efisien terhadap pengelolaan dana desa, agar turunnya dana desa yang jumlahnya besar tersebut tidak disalahgunakan dikemudian hari.
1.7 Landasan Teoritis Untuk mengkaji permasalahan, penulis menggunakan teori-teori yang relevan, sebagai berikut : 1. Teori Penanggulangan Secara Teori ada dua cara menanggulangan kejahatan, Yaitu : 1.
Penanggungan secara preventif (Pencegahan)
2.
Penanggulangan secara represif
Penanggulangan secara preventif adalah merupakan usaha pencegahan kejahatan yang dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi. Usaha ini dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu :
13
a.
Cara Moralistik. Dilaksanakan dengan penyebarluasan ajaran-ajaran agama dan moral, perundangan-undangan yaitu baik dan saranasarana lain yang dapat menekan nafsu untuk membuat kejahatan.
b. Cara Abolisionistik. Yaitu berupa pemberantasan, menangulangi kejahatan dengan sebab musabnya. Umumnya kita ketahui bahwa tekanan ekonomi dan kemelarat merupakan salah satu sebab kejahatan. Penanggulangan
secara
repsepsi
merupakan
segala
tindakan
penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh aparatur-aparatur hukum sesudah terjadinya kejahatan, berusaha menekan jumlah kejahatan dan usaha memperbaiki pelaku kejahatan. 2. Teori Pemidanaan Teori pemidanaan yang secara umum diterima di Indonesia ada 2 (dua) yaitu : 1.
Teori Absolut. Teori ini disebut juga teori pembalasan. Pandangan dalam teori ini adalah bahwa syarat dan pembenaran dalam penjatuhan pidana tercakup dalam kejahatan iu sendiri, terlepas dari fungsi praktis yang diharapkan dari penjatuhan pidana tersebut. dalam ajaran ini, pidana terlepas dari dampaknya di masa depan, karena telah dilakukan suatu kejahatan, maka harus dijatuhkan hukuman. Dalam ajaran absolut ini terdapat keyakinan yang mutlak atas pidana itu sendiri, sekalipun penjatuhan pidana sebenarnya tidak berguna atau bahkan memiliki dampak yang lebih buruk terhadap pelaku kejahatan. Perlu diketahui bahwa maksud dan tujuan ajaran absolut ini selain sebagai
14
pembalasan, menurut pandangan Stammler, adalah juga untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa hukum telah ditegakkan. Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah yaitu :5 a.
Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan)
b.
Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan) Pembentukan teori absolut ini didasarkan atas pemikiran atau
teori-teori yang dibangun oleh ahli terdahulu. Metode mencari dasar pembenaran dari pidana dengan melihat kepada kehendak dari individu, tidak terdapat di dalam teori para penulis Jerman, yang di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal sebagai absolute theorieen atau teori absolut. Teori dari para penulis Jerman disebut teori absolut, karena mereka secara absolut bermaksud untuk melepaskan pengertian pidana itu dari tujuan pidana itu sendiri. teoriteori absolut itu antara lain: teori dari Kant, teori Hegel, teori Herbart, teori Stahl, teori von Bar, teori Kohler dan teori Polak yang dikenal sebagai object iveringstheorie.6 Jika dikaitkan dengan permasalahan, teori ini berhubungan dengan penanggulangan tindak pidana korupsi.
5
Muhammad Zainal Abidin dan I Wayan Edi Kurniawan, 2013, Catatan Mahasiswa Pidana, Indi Publishing, Depok, h. 35-36 6 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2010, Hukum Penitensier Indonesia, Cetakan pertama, Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13
15
2.
Teori Relatif. Teori relatif atau teori tujuan berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Dalam teori relatif penjatuhan pidana tergantung dari efek yang diharapkan dari penjatuhan pidana itu sendiri, yakni agar seseorang tidak mengulangi perbuatannya. Hukum pidana difungsikan sebagai ancaman sosial dan psikis. Hal tersebut menjadi satu alasan mengapa hukum pidana kuno mengembangkan sanksi pidana yang begitu kejam dan pelaksanaannya harus dilakukan di muka umum, yang tidak lain bertujuan utnuk memberikan ancaman kepada masyarakat luas.7 Sementara itu, sifat pencegahannya dari teori ini ada dua macam yaitu:8 a.
Teori pencegahan umum atau Algemene Preventie Theorieen, yang ingin dicapai dari tujuan pidana, yaitu semata-mata dengan membuat jera setiap orang agar tidak melakukan kejahatan.9 Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan
yang
serupa
dengan
penjahat
itu.
Feuerbach
memperkenalkan teori pencegahan umum yang disebut dengan paksaan psikologis. Dalam teorinya menghendaki penjeraan bukan melalui pidana, melainkan melalui ancaman pidana dalam 7
Muhammad Zainal Abidin dan I Wayan Edi Kurniawan, op.cit, h. 36 Muhammad Zainal Abidin dan I Wayan Edi Kurniawan, op.cit, h. 37-38 9 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, op.cit, h. 15 8
16
perundang-undangan. Tetapi apabila ancaman tidak berhasil mencegah suatu kejahatan, maka pidana harus dijatuhkan, karena apabila pidana tidak dijatuhkan akan mengakibatkan hilangnya kekuatan dari ancaman tersebut. Ajaran yang dikembangkan Feuerbach tidak mengenal pembatasan ancaman pidana, hanya syarat bahwa ancaman pidana tersebut harus sudah dietapkan terlebih dahulu. b.
Teori pencegahan khusus atau Bijzondere Preventie Theorieen, yang ingin dicapai dari tujuan pidana yakni membuat jera, memperbaiki dan membuat penjahat itu sendiri menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan lagi.10 Van Hamel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus, yaitu : -
Pidana selalu dilakukan untuk pencegahan khusus, yakni untuk menakut-nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah dengan cara penjatuhan pidana agar orang tidak melakukan niat jahatnya.
-
Akan tetapi, jika tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara menjatuhkan pidana, penjatuhan pidana harus bersifat memperbaiki dirinya.
10
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, loc.cit
17
-
Jika penjahat itu tidak dapat diperbaiki, penjatuhan pidana harus bersifat membinasakan atau membuat mereka tidak berdaya.
-
Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum di dalam masyarakat. Kaitan teori ini dengan permasalahan adalah dalam hal
penanggulangan tindak pidana korupsi dengan menitikberatkan pada pencegahan. 3. Teori Pengelolaan Keuangan Teori pengelolaan keuangan negara terkait dengan fungsi pemerintah dalam mengelola negara. Menurut pandangan dan teori ilmu pemerintahan yang dikembangkan oleh Longeman, seorang pakar ilmu pemerintahan dari Belanda menyatakan bahwa pemerintah yang mengatur distrik atau bagian merupakan berstuurdienst. Dienst merupakan bahasa Belanda yang saat ini dinaturalisasi menjadi bahasa Indonesia menjadi dinas yang dikepalai oleh seorang kepala pemerintahan yang disebut dengan hofd van gewestelijk bestuur. Teori ini telah sejalan dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, bahwa pemerintah daerah (Pemda) merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Dari ketiga fungsi utama pemerintah dalam mengelola negara, hanya fungsi alokasi yang diberikan kepada Pemda. Secara formal pembagian urusan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian
Urusan
Pemerintahan
Antara
Pemerintah,
18
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota. Pasal 2 Ayat (2) PP No. 38 Tahun 2007 telah jelas memberikan fungsi distribusi dan stabilisasi kepada pemerintah pusat yang terdiri dari politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Sedangkan dalam ayat (4) merinci urusan yang boleh dijalankan oleh Pemda yang salah satunya berisi urusan admnistrasi keuangan daerah.11 Pengelolaan keuangan didasarkan pada hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dengan urusan pemerintahan konkuren, UU Pemda Tahun 2014 Pasal 9 Ayat (3) “Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/ kota” Urusan pemerintahan konkuren adalah suatu bentuk penerapan asas otonomi. Dalam penerapan asas otonomi tersebut fungsi pemerintahan yaitu alokasi diturunkan ke daerah, karena daerah yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi dan situasi masyarakat setempat. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan dan penugasan urusan pemerintahan kepada daerah secara nyata dan bertanggungjawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsipprinsip 11
transparansi,
partisipasi,
dan
akuntabilitas.
Pendanaan
http://m.kompasiana.com/bahrullah/fungsi-pengawasan-pengelolaan-keuangan-negaradan-daerah_ , Akses: 25 Oktober 2015, pukul: 14.23 Wita
19
penyelenggaraan pemerintahan agar terlaksana secara efisien dan efektif serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tindak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur pendanaan penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi yang menjadi kewenangan daerah dibiayai dari APBD, sedangkan penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang menjadi tanggungjawab pemerintah dibiayai dari APBN, baik kewenangan pusat yang di dekonsentrasikan kepada Gubernur atau ditugaskan kepada pemerintah daerah dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam rangka Tugas Pembantuan. Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah : “Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari sistem keuangan Negara, dan dimaksudkan untuk mengatur sistem pendanaan atas kewenangan pemerintahan yang diserahkan, dilimpahkan, dan ditugasbantukan kepada Daerah”. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, didukung dana dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah, sedangkan yang menjadi kewenangan pemerintah, didukung dana dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara. Di bidang penyelenggaraan keuangan daerah, kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Dalam melaksanakan kekuasaan tersebut, kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh
20
kekuasaannya
berupa
perencanaan,
pelaksanaanm
penatausahaan,
pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan keuangan kepada para pejabat perangkat daerah. Pelimpahan sebagian atau seluruh kekuasaan ini, didasarkan atas prinsip pemisahan kewenagan antara yang memerintahkan, menguji dan yang menerima/ mengeluarkan uang.12 4. Teori Pengawasan Terselenggaranya pengawasan dalam sebuah institusi yaitu untuk menilai kinerja suatu institusi dan memperbaiki kinerja sebuah institusi. Oleh karena itu dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu adanya sistem pengawasan. Dengan demikian pengawasan merupakan instrumen pengendalian yang melekat pada setiap tahapan operasional penyelenggaraan pemerintahan daerah. Lyndal F. Urwik berpendapat, bahwa pengawasan adalah upaya agar sesuatu dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan dan instruksi yang dikeluarkan. George R Terry berpendapat, bahwa pengawasan adalah proses penentuan apa yang harus dicapai yaitu standar, apa yang sedang dilakukan, yaitu menilai pelaksanaan dan bila perlu melakukan perbaikan-perbaikan sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan standar.13 Kaitan teori pengawasan dengan permasalahan adalah dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dalam konteks dana desa diupayakan adanya pengawasan terhadap aparatur12
Siswanto Sunarno, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 77 13 http://www.negarahukum.com , Akses: 22 Oktober 2015, pukul: 13.45 Wita
21
aparatur pemerintahan terkait jalannya dana desa tersebut agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengawasan dilakukan untuk menjaga agar kegiatan pengumpulan penerimaan dan pembelanjaan pengeluaran negara sesuai dengan anggaran yang telah ditetapkan, untuk menjaga agar pelaksanaan APBN benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. 5. Teori Kemanfaatan Teori kemanfaatan erat kaitannya dengan tujuan hukum yang ketiga yaitu kemanfaatan, bagaimana hukum dimasyarakat. Secara etimologi, kata "kemanfaatan" berasal dari kata dasar "manfaat", yang menurut Kamus Bahasa Indonesia, berarti faedah atau guna.14 Hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk mencapai citacita masyarakat yang adil dan makmur. Bagi Hans Kelsen hukum itu sendiri adalah suatu sollenskategorie (kategori keharusan) bukannya seinkategorie (kategori faktual). Yang maksudnya adalah hukum itu dikonstruksikan sebagai suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu seharusnya” (what the law ought to be) melainkan “apa hukumnya” (what is the law). Sebagian orang berpendapat bahwa kemanfaatan hukum (zweckmasiggkeit) sangat berkorelasi dengan tujuan pemidanaan terutama sebagai prevensi khusus agar terdakwa tidak mengulangi kembali 14
Kamus Bahasa Indonesia, http://m.artikata.com/arti-339692-manfaat.html , Akses: 22 Oktober 2015, pukul: 13.20 Wita
22
melakukan perbuatan melawan hukum, dan prevensi umum setiap orang berhati-hati untuk tidak melanggar hukum karena akan dikenakan sanksinya. Oleh karena itu putusan hakim harus memberi manfaat bagi dunia peradilan, masyarakat umum dan perkembangan ilmu pengetahuan. Teori kemanfaatan tidak lepas dari aliran utilitarianisme, menurut aliran ini, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagian sebanyak-banyaknya kepada warga masyarakat yang didasari oleh falsafah sosial yang mengungkapkan bahwa setiap warga negara mendambakan kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu alatnya.15 Ajaran Bentham dikenal sebagai Utilitarianisme individual, yang menyatakan bahwa baik buruknya suatu perbuatan akan diukur apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Bentham mencoba menerapkannya di bidang hukum yaitu perundang-undangan dimana baik buruknya ditentukan pula oleh ukuran tersebut. sehingga undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik. Bentham berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki yaitu kebahagiaaan mayoritas rakyat. 16 Teori ini berkaitan dengan permasalahan yaitu, dalam hal pengelolaan dana desa, dana desa tersebut harus dimanfaat dengan sebaikbaiknya untuk kesejahteraan masyarakat desa. Sumber hukum yang 15
Hyronimus Rhiti, 2011, Filsafat Hukum; Edisi Lengkap (Dari Klasik Sampai Postmodernisme), Cetakan pertama, Universitas Atma jaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 159 16 Lilik Rasyidi dan Ira Thania Rasyidi, 2004, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 64
23
merupakan sumber dari turunnya dana desa tersebut diupayakan agar bermanfaat dan dapat dijadikan pedoman, begitupun dengan aturan lainnya yang berkaitan dengan dana desa seperti aturan tentang pengelolaan keuangan dana desanya, diupayakan bermanfaat sebagai pedoman dalam pengelolaan dana desa di masyarakat, agar tidak terjadi penyelewengan dana desa, maka masyarakat pun merasakan manfaat dana desa tersebut.
1.8 Metode Penelitian 1.8.1
Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif yang didukung dengan fakta empiris. Jenis normatif ini dipilih karena dalam mengkaji adanya celah dilakukannya tindak pidana korupsi adalah dimulai dari mengkaji rumusan pasal perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa. Rumusan norma yang dikaji terfokus pada dialokasikannya dana desa dalam APBN dengan jumlah yang besar, kemudian dari hal tersebut dihubungkan dengan teoriteori pencegahan, pemidanaan, pengelolaan keuangan serta pengawasan sebagai upaya pencegahan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan dilakukan pengkajian juga terhadap Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan Peraturan Bupati yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dana desa.
24
1.8.2
Jenis pendekatan a. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach). Dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan hukum yang sedang diteliti. Kaitannya dengan penelitian ini, permasalahan hukumnya berpijak dari salah satu rumusan pasal di dalam UU Desa. b. Pendekatan fakta (The fact Approach). Kaitannya dengan penelitian ini, dilakukan dengan melihat di Indonesia maraknya tindak pidana korupsi. Berlakunya UU Desa tersebut, rupanya menimbulkan kekhawatiran akan munculnya kasus korupsi baru di kemudian hari, dari sana timbullah reaksi penanggulangan
korupsi
dalam
konteks
dana
desa
setelah
diberlakukannya UU Desa ini. c. Pendekatan historis ( historical approach ). Dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu hukum yang dihadapi.17 1.8.3
Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum dalam penelitian ini diperoleh dari 2 (dua) sumber bahan hukum yaitu : 1) sumber bahan hukum primer; dan 2) sumber bahan hukum sekunder. Sumber bahan hukum primer diperoleh dari sumber yang mengikat (authoritative source), dalam bentuk perundang-undangan yang dalam hal ini terdiri dari : 17
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Cetakan Kesebelas, Kencana, Jakarta, h. 94-95
25
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 4. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa 5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah 6. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) 7. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari APBN 8. Peraturan Menteri Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan keuangan Desa 9. Peraturan Bupati Badung Nomor 31 tahun 2015 Tentang Tata Cara Pengalokasian Alokasi Dana Desa Kepada Desa Sumber bahan hukum sekunder diperoleh dari Buku-buku hukum (textbook), jurnal-jurnal hukum, artikel-artikel yang berkaitan erat dengan permasalahan yang diteliti serta situs-situs terpercaya di internet. 1.8.4
Data Penunjang Data penunjang dalam penelitian ini berupa hasil wawancara mendalam dari tokoh kunci (key person). Hasil wawancaranya terlampir.
26
1.8.5
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Bahan-bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ditelusuri menggunakan
metode
membaca
literatur
dan
menulis.
Teknik
membacanya dengan cara, pertama cari literatur yang relevan dengan permasalahan, buka daftar isi lalu cari BAB/ pembahasan yang terkait dengan permasalahan, baca cepat, setelah ditemukan, catat di kertas atau buku tulis mengenai penulis, tahun terbit, cetakan, judul, penerbit literatur serta halaman pembahasan yang ingin dituangkan dalam tulisan (membuat kartu data : kartu kutipan, ringkasan, ulasan). Sambil membaca, dilakukan penandaan untuk memberi tanda pada bagian yang dianggap penting. 1.8.6
Teknik Analisis Bahan Hukum Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul digunakan berbagai teknik seperti: teknik deskripif-analitis yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah pemecahan suatu tindak pidana, dengan menggambarkan peraturan perundang-undangan yang dipermasalahkan dikaitkan dengan teori-teori hukum yang relevan. Teknik sistematisasi yaitu teknik berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau propossi hukumantara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat Teknik evaluasi-argumentasi yaitu teknik berupa penilaian tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak
27
oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, yang tertera dalam dalam hukum primer atau sekunder. Untuk mengemukakan suatu evaluasi maka diperlukan suatu argumentasi yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat nalar.