BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya.1 Ketentuan tersebut membawa akibat hukum bahwa perseroan terbatas (yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan Perseroan) memiliki hak, kewajiban, dan harta kekayaan tersendiri, yang terpisah dari hak, kewajiban, dan harta kekayaan para pendiri atau pemegang sahamnya. Sebagai suatu artificial person, perseroan tidak mungkin memiliki kehendak, oleh karena itu juga tidak dapat melakukan tindakannya sendiri. Guna keperluan tersebut maka dikenal adanya 3 (tiga) organ perseroan, yaitu: 1. Direksi; 2. Komisaris; dan 3. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Direksi perseroan merupakan satu-satunya organ dalam perseroan yang melaksanakan fungsi pengurusan perseroan dan dalam pengurusan tersebut direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. 2 Tanggung jawab tersebut 1 2
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
1
2
dibebankan kepada direksi sebagai suatu badan, dan karenanya setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan perseroan. Setiap kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh salah seorang direksi mengakibatkan anggota direksi tersebut bertanggung jawab secara pribadi atas setiap kerugian perseroan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka membuat setiap anggota direksi berkewajiban untuk melakukan check and balance atas tindakan anggota direksi lainnya. Metode check and balance ini tidak ditujukan untuk menimbulkan konflik antar anggota direksi, melainkan sebagai alat koordinasi bagi seluruh anggota direksi.3 Berdasarkan fiduciary duty, direksi suatu perseroan diberi kepercayaan yang tinggi oleh perseroan untuk mengelola suatu perusahaan. Dalam hal ini, direksi harus memiliki standar integritas dan loyalitas yang tinggi, tampil serta bertindak untuk kepentingan perseroan, secara bona fides. Direksi juga harus mampu mengartikan dan melaksanakan kebijakan perseroan secara baik demi kepentingan perseroan, memajukan perseroan, meningkatkan nilai saham perseroan, menghasilkan keuntungan pada perseroan, shareholders dan stakeholders. Berdasarkan kewenangan yang ada padanya (proper purposes), direksi harus mampu mengekspresikan dan menjalankan tugasnya dengan baik, agar perusahaan selalu berjalan di jalur yang benar dan layak. Dengan demikian, direksi harus mampu menghindarkan perusahaan dari tindakan-tindakan yang illegal, bertentangan dengan peraturan
3
Gunawan Widjaja, 2003, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 4
3
dan kepentingan umum serta bertentangan dengan kesepakatan yang dibuat dengan organ perseroan lain, shareholders dan stakeholders.4 Fiduciary duty oleh Black’s Law Dictionary diartikan sebagai a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the best interests of the other person (such as the duty that one partner owes to another).5 Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa hubungan fiduciary timbul ketika satu pihak berbuat sesuatu bagi kepentingan pihak lain dengan mengesampingkan kepentingan pribadinya sendiri. Fiduciary duty direksi ini mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:6 1. Direksi dalam melakukan tugasnya tidak boleh melakukannya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan pihak ketiga, tanpa persetujuan dan atau sepengetahuan perseroan; 2. Direksi tidak boleh memanfaatkan kedudukannya sebagai pengurus untuk memperoleh keuntungan, baik untuk dirinya sendiri maupun pihak ketiga, kecuali atas persetujuan perseroan; 3. Direksi tidak boleh menggunakan atau menyalahgunakan asset perseroan untuk kepentingannya sendiri dan atau pihak ketiga. Selain itu, direksi dalam perseroan juga harus memperhatikan hal-hal yang bersifat negatif pada perseroan, seperti unfettered discretion, maksudnya
4
Misahardi Wilamarta, 2002, Hak Pemegang Saham Minoritas dalam Rangka Good Corporate Governance, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 135 5 Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, West Publishing, St. Paull-Minn, hlm. 545 6 Chatamarrasjid, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 196-197
4
agar direksi jangan sampai terbelenggu oleh keinginan-keinginan membuat kebijakan di luar kewenangannya. Dalam artian ini, direksi harus mampu menolak berbagai intervensi dari pemegang saham yang memaksanya untuk mengambil kebijakan demi kepentingan atau motif-motif pribadi.7 Karena kedudukan direksi yang bersifat fiduciary, yang oleh UUPT sampai batas-batas tertentu diakui, maka tanggung jawab direksi menjadi sangat tinggi (high degree). Tidak hanya bertanggung jawab terhadap ketidakjujuran yang disengaja (dishonesty), tetapi dia bertanggung jawab secara hukum terhadap tindakan mismanagement, kelalaian atau gagal atau tidak melakukan sesuatu yang penting bagi perseroan.8 Pasal 97 ayat (2) UUPT menyebutkan bahwa setiap anggota direksi wajib dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Dengan demikian direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan, artinya secara fiduciary harus melaksanakan standard of care. Fiduciary duty adalah tugas yang dijalankan oleh direktur dengan penuh tanggung jawab untuk kepentingan (benefit) orang atau pihak lain (perseroan). Dalam menjalankan tugas fiduciary duties, seorang direksi harus melakukan tugasnya sebagai berikut:9 1. Dilakukan dengan iktikad baik; 2. Dilakukan dengan proper purposes;
7
Misahardi Wilamarta, Op. Cit, hlm. 135-136 Munir Fuady, 2003, Perseroan Terbatas, Paradigma Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 82 9 Ibid 8
5
3. Dilakukan dengan kebebasan yang tidak bertanggung jawab (unfettered discretion); dan 4. Tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of duty and interest). Oleh karena itu apabila terjadi conflict of duty dan benturan kepentingan pada saat menjalankan perseroan, direksi harus mampu mengelola secara bijak berbagai pertentangan sebagai akibat adanya perbedaan
kepentingan
para
pemegang
saham.
Namun,
dalam
pelaksanaannya, pengelolaan perbedaan kepentingan ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, misalnya membuat berbagai perjanjian yang menguntungkan perseroan, tidak menyembunyikan suatu informasi untuk kepentingan pribadi, tidak menyalahgunakan kepercayaan dan tidak melakukan kompetisi yang tidak sehat.10 Pembubaran adalah suatu tindakan yang mengakibatkan perseroan berhenti eksistensi dan tidak lagi menjalankan kegiatan bisnis untuk selamalamanya.
Kemudian
diikuti
dengan
proses
administrasinya
berupa
pemberitahuan, pengumuman dan pemutusan hubungan kerja dengan karyawannya.11 Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa perseroan dapat bubar karena: 1. Berdasarkan keputusan RUPS; 2. Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah berakhir;
10 11
Misahardi Wilamarta, Op. Cit, hlm. 136 Munir Fuady, 2003, Op. Cit, hlm. 178
6
3. Berdasarkan penetapan Pengadilan; 4. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan; 5. Karena harta pailit perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang; atau 6. Karena dicabutnya izin usaha perseroan sehingga mewajibkan perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 menentukan bahwa Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan atas: 1. Permohonan
kejaksaan
berdasarkan
alasan
perseroan
melanggar
kepentingan umum atau perseroan melakukan perbuatan melanggar peraturan perundang-undangan; 2. Permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian; 3. Permohonan pemegang saham, direksi atau komisaris berdasarkan alasan perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan. Penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruc c menjelaskan bahwa alasan perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan, antara lain: 1. perseroan tidak melakukan kegiatan usaha (non aktif) selama 3 (tiga) tahun atau lebih, yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan yang disampaikan kepada instansi pajak;
7
2. dalam hal sebagian besar pemegang saham sudah tidak diketahui alamatnya walaupun telah dipanggil melalui iklan dalam surat kabar sehingga tidak dapat diadakan RUPS; 3. dalam hal perimbangan pemilikan dalam perseroan sedemikian rupa sehingga RUPS tidak dapat mengambil keputusan yang sah, misalnya 2 (dua) kubu pemegang saham masing-masing memiliki 50% (lima puluh persen) saham; atau 4. kekayaan perseroan berkurang sedemikian rupa sehingga dengan kekayaan yang ada perseroan tidak mungkin lagi melanjutkan kegiatan usahanya. Pasal 146 ayat (2) menyatakan bahwa dalam penetapan pembubaran perseroan tersebut juga harus ditetapkan penunjukan likuidator. Berdasarkan uraian di atas, maka pada dasarnya selain mempunyai tugas dan tanggung jawab yang cukup berat, direksi juga perlu mendapatkan perlindungan hukum dari tuntutan berbagai pihak manakala direksi telah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara baik dan benar. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
guna
“PERLINDUNGAN
penyusunan HUKUM
tesis
dengan
TERHADAP
mengambil DIREKSI
judul DALAM
PEMBUBARAN PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
8
1. Hal-hal
apa
saja
yang
menyebabkan
direksi
dapat
diminta
pertanggungjawaban secara pribadi? 2. Apakah perlindungan hukum terhadap direksi dalam hal terjadinya pembubaran perseroan terbatas menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 sudah cukup? 3. Hal-hal apakah yang dapat menghindarkan direksi dari tanggung jawab secara pribadi terhadap pembubaran perseroan terbatas?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan mengkaji hal-hal apa saja yang menyebabkan direksi dapat diminta pertanggungjawaban secara pribadi 2. Untuk mengetahui dan mengkaji apakah bentuk perlindungan hukum terhadap direksi dalam hal terjadinya pembubaran perseroan terbatas menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 sudah cukup 3. Untuk mengetahui dan mengkaji hal-hal yang dapat menghindarkan direksi dari tanggung jawab secara pribadi terhadap pembubaran perseroan terbatas
D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum khususnya tentang hukum perusahaan. 2. Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum perusahaan khususnya tentang perlindungan hukum terhadap direksi dalam pembubaran perseroan terbatas
9
3. Merupakan rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut tentang perlindungan hukum terhadap direksi dalam pembubaran perseroan terbatas dari sudut pandang yang berbeda.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan diperoleh beberapa hasil penelitian tentang perseroan terbatas, akan tetapi penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang hendak penulis laksanakan, yaitu perlindungan hukum terhadap direksi dalam pembubaran perseroan terbatas berdasarkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007. Adapun hasil penelitian tersebut adalah: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Darmanto tahun 2007, dengan judul: Tinjauan
Yuridis
Rapat
Umum
Pemegang
Saham
Mengenai
Pemberhentian Direksi pada Perseroan Terbatas (Kasus PT. Multi Nitro Tama Kimia). Permasalahan yang di teliti adalah mengenai akibat hukum dari pelaksanaan RUPS yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 91 ayat (1) dan (2) UUPT dan akibat hukumnya terhadap direksi yang diberhentikan melalui RUPS tersebut? 2. Penelitian yang dilakukan oleh Yohana Trimora tahun 2007, dengan judul: Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Minoritas Dalam Hal Dilusi Saham. Permasalahan yang diteliti adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas dalam hal dilusi saham dan upaya hukum yang harus dilakukan oleh pemegang saham minoritas dalam melindungi hak-haknya dalam hal terjadi dilusi saham tersebut.
10
Berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan, kedua penelitian di atas mengambil permasalahan RUPS dan perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan mengambil permasalahan perlindungan hukum terhadap direksi dalam pembubaran perseroan terbatas. Berdasarkan pengamatan penulis, penelitian tentang perlindungan hukum terhadap direksi dalam pembubaran perseroan terbatas sampai saat ini belum pernah ada. Akan tetapi apabila ternyata pernah dilaksanakan penelitian yang sama atau sejenis, maka penelitian ini diharapkan dapat melengkapinya.