BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat) Indonesia, diselenggarakan untuk sebagian urusan secara sentralisasi, dan diselenggarakan pula sebagian urusan pemerintahan secara desentralisasi, yakni wewenang mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan oleh satuan-satuan pemerintahan di tingkat yang lebih rendah dan bersifat otonom. Dalam rangka otonomi tersebut, perlu dijalankan sistem mekanisme yang baik tentang hubungan antara pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan. Dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan perubahannya, diletakkan dasar konstitusional tentang hubungan antara pusat dan daerah, yaitu berupa prinsip-prinsip, antara lain: Daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2)); Otonomi yang seluas-luasnya (Pasal 18 ayat (5)); Kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat (1)); Pengakuan dan penghormatan atas kesatuan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya (Pasal 18B ayat (2)); Pengakuan dan penghormatan atas pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa (Pasal 18B ayat (1)); Badan perwakilan dipilih langsung melalui suatu pemilu (Pasal 18 ayat (3));
Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Negara Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang”. Dengan adanya bunyi Pasal 18 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat disimpulkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan dengan sistem desentralistik. 1 Salah satu aspek mendasar dalam otonomi daerah adalah hubungan antara pusat dan daerah, di antaranya mengenai pembagian urusan dan pembagian wewenang pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembagian urusan pemerintahan terdiri atas: 1. urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat; 2. urusan yang dibagi antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan, yang selanjutnya dikenal adanya urusan Pemerintah daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Adapun pembagian kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintah tersebut di atas. Dalam hal inilah akan menentukan sejauhmana pemerintah
1
pusat
dan
pemerintah
daerah
memiliki
wewenang
untuk
Muhhamad Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah, UII Press, Hal. 2
menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan. Objek urusan pemerintahan bisa sama, tetapi wewenang atau ruang lingkupnya berbeda. Pembagian wewenang pemerintahan tersebut di atas, secara umum ditaur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (serta perubahannya) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pembagian urusan pemerintahan tersebut, secara khusus juga diatur dalam berbagai Undang-Undang sektoral, namun pengaturan tersebut seringkali menimbulkan persoalan karena kurang tepat dalam pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Salah satu konsekuensi otonomi daerah adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah muncul inherent risk (risiko bawaan), bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi bukan optimalisasi perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Bangsa Indonesia telah mengisi kemerdekaan dengan berbagai pembangunan di segala bidang. Pembangunan terjadi dari awal kemerdekaan sampai dengan saat sekarang ini. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 memberikan penjelasan tentang pembangunan nasional : “
Pembangunan
nasional
adalah
rangkaian
upaya
pembangunan
yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.” Sehingga kata pembangunan menjadi kata kunci bagai segalah hal dalam mengisi kemerdekaan, secara umum kata ini diartikan sebagai usaha untuk mewujutkan kehidupan masyarakat yang maju. 2 Kehidupan masyarakat suatu negara yang maju sangat didukung oleh sistem perekonomian nasional. Sistem perekonomian Indonesia tercantum pada Pasal 33 2
hal .1
Budiman Arief, 2000, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada pasal tersebut membahas tentang demokrasi ekonomi. Perekonomian Indonesia yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Pasal tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting dan menjadi dasar serta titik tolak bagi pembangunan ekonomi negara. Dengan demikian negara mempunyai peran dan tanggung jawab dalam bidang yang menyangkut seluruh sendi kehidupan perekonomian rakyat dan negara. Untuk memenuhi amanah pasal tersebut, dalam bidang ekonomi oleh negara dibentuklah perusahaan milik negara yang dikelola secara langsung oleh pemerintah pusat. Perusahaan ini disebut Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sedangkan ditingkat daerah dibentuk Perusahaan Daerah yang lebih dikenal dengan sebutan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sejak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, semangat otonomi daerah telah menjiwai ketatanegaraan Republik Indonesia.3 Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa Undang-Undang yang berorientasi pada otonomi daerah, yakni: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah. 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Undang-Undang Pokok Tentang Pemerintah Daerah. 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. 3
Ibid.
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terakhir diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan kecuali urusan tertentu yang diurus oleh pemerintah pusat, yakni urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter, yustisi, dan agama, sehingga dalam pelaksanaannya dapat dikatakan daerah menjalankan konsep otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab, sehingga tujuan pemberian otonomi dapat dicapai untuk memberdayakan daerah. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi titik tolak bergesernya orientasi, arah dan kebijakan pembangunan daerah. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi yang tertuang dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Dijelaskan bahwa pemberian otonomi luas kepada daerah
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Otonomi luas juga diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi yang diberikan kepada daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, nyata, dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian, dan pemanfaatan serta sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dalam mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, sudah barang tentu daerah memerlukan biaya yang cukup besar guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Oleh karena itu daerah diberi hak dan wewenang untuk menggali sumbersumber pendapatan daerahnya sendiri. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan implikasi timbulnya kewenangan dan kewajiban daerah untuk melaksanakan segala kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah secara lebih mandiri. Adanya kewenangan yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah merupakan peluang dan juga beban yang menuntut kesiapan daerah untuk melaksanakan otonomi. Peluang yang dimaksud adalah pemerintah daerah mempunyai kewenangan atas segala urusan yang terkait dengan pembangunan daerah dan pengelolaan keuangannya, sedangkan bebannya adalah pemerintah daerah tidak
menerima dana dari pusat sehingga daerah harus mampu mencari pendapatan sendiri untuk pembangunan daerahnya masing-masing. Dalam melaksanakan otonomi harus didukung oleh beberapa aspek yang harus dipersiapkan antara lain sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana prasarana, serta organisasi dan manajemennya. Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumbersumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada UndangUndang tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Semua sumber keuangan yag melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah. Menurut Halim seperti yang dikutip Adrian Sutedi, ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah sebagai berikut:4 1. Kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan. 2. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, pendapatan asli daerah harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan pusat dan daerah. Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan 4
Adrian Sutedi, 2009, Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah, PT Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 10.
pemerintahan. Oleh karena itu, untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah.
Kemampuan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sangat tergantung pada kemampuan pendanaannya. Sumber keuangan daerah selalu menjadi polemik karena ada perbedaan distribusi sumber pendapatan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Daerah selalu merasa bahwa sumber dana yang dimilikinya kurang memadai dan pemerintah pusat dituduh enggan berbagi pendapatan dengan daerah. Sejalan dengan upaya pemberdayaan daerah, pemerintah pusat juga melakukan penyerahan berbagai sumber-sumber pembiayaan untuk dipergunakan oleh daerah dalam melaksanakan otonomi daerah tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah daerah mengatur dengan terperinci sumber-sumber pembiayaan Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Pada dasarnya menurut ketentuan yang ada, sumber-sumber keuangan Pemerintah Daerah terdiri atas: 1. Pendapatan Asli Daerah. 2. Dana Perimbangan, yang terdiri atas: dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) dan bagi hasil (pajak). 3. Pinjaman Daerah. Isyarat bahwa pendapatan asli daerah harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar bagi pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan bahwa pendapatan asli
daerah merupakan tolak ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah, sehingga pendapatan asli daerah mencerminkan kemandirian suatu daerah. Pendapatan asli daerah merupakan sumber penerimaan yang murni dari daerah, merupakan modal bagi daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Tanpa sumber pembiayaan yang cukup pemerintah daerah hampir dapat dipastikan tidak akan dapat melaksanakan kewajiban pelayanan terhadap kepentingan warga daerahnya. Ketiadaan biaya yang cukup memadai dapat menyebabkan hilangnya ciri pokok dan mendasar dari suatu daerah otonomi. 5 Menurut Humes IV pada prinsipnya sumber keuangan daerah itu ada tiga, yakni locally raised revenue (pendapatan asli daerah), transferred or assigned income (dana transfer dari pemerintah atasan), loans (pinjaman).6 Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan yang ditentukan dan dikumpulkan secara lokal. Jenis pendapatan ini seharusnya merupakan sumber penghasilan utama bagi daerah. Terdapat tiga kategori yang masuk dalam jenis pendapatan ini yang meliputi: pajak daerah, denda dan pungutan dan penghasilan perusahaan daerah. Pajak daerah oleh banyak pihak dipandang sebagai jenis penghasilan utama yang diperoleh daerah, dalam hal ini umumnya pemerintah pusat menentukan pajak mana yang dapat dipungut oleh daerah. Lagislasi juga menentukan
5
Josef Riwu Kaho, 1987, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, Hal. 125. 6 Khairul Muluk, 2009, Peta Konsep Desentralisasi Dan Pemerintahan Daerah, ITSPress, Surabaya, Hal. 142, 143, 146, dan 147.
batasan bagi pungutan tersebut serta memberikan kekuasaan kepada pemerintah pusat untuk memeriksa dan mengesahkannya. Pungutan biaya, denda dan lisensi merupakan sumber pendapatan yang terikat dengan kemauan seseorang untuk membayar pelayanan tertentu yang dinikmatinya. Pemerintah daerah memungut biaya atas beragam pelayanan dan lisensi yang disediakan. Perusahaan daerah memperolah penghasilan melalui pembebanan biaya atas pelayanan yang diberikannya. Pembebanan biaya ini memainkan peran fiscal dan regulasi berupa pengumpulan pendapatan dan mengatur permintaan jasa dengan mengekang pelanggaran yang sering terjadi dalam pelayanan publik yang bebas biaya. Fungsi regulasi sangat penting melalui pembebanan biaya ini sebagai salah satu langkah untuk menghindari malapetaka bersama dari penggunaan tanpa batas barang publik. Perusahaan daerah ada yang bergerak dalam memberikan keperluan umum seperti penyediaan air, listrik, gas, transportasi umum, pemeliharaan jalan, dan pengelolaan limbah cair dan sampah. Ada beberapa yg beroperasi untuk memperoleh pendapatan, seperti perumahan, pelabuhan laut dan udara, stasiun dan terminal, parker, jalan tol, pabrik pemanas, pasar dan lain sebagainya. Bahkan ada yang masuk dalam pasar kompetitif guna menghasilkan laba seperti koperasi. Selain pajak daerah dan retribusi daerah, bagian laba perusahaan milik daerah merupakan salah satu sumber yang cukup potensial untuk dikembangkan, sehingga
apabila dikembangkan dengan baik maka akan membantu pendanaan dari daerah itu sendiri. Otonomi daerah telah memberikan nuansa baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, antara lain : Pertama, berusaha menarik investor untuk menanamkan investasinya. Kedua, menyusun Peraturan Daerah sebagai dasar legitimasi untuk menarik berbagai iuran sehingga pendapatan asli daerah meningkat. Ketiga, membentuk perusahaan daerah. Semangat otonomi daerah merangsang gairah pemerintah daerah terutama daerah-daerah kaya untuk mendirikan perusahaan daerah, dengan kata lain otonomi daerah memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk berbisnis. Sumber keuangan ketiga bagi pemerintah adalah pinjaman daerah. Pinjaman daerah adalah suatu transaksi yang mengakibatkan pemerintah daerah atau perusahaan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang, sehingga pada akhirnya pemerintah daerah atau perusahaan daerah berkewajiban melakukan pembayaran atas pinjaman tersebut. Sesungguhnya pinjaman pemerintah daerah dibedakan dengan pinjaman perusahaan daerah. Pinjaman daerah itu adalah untuk kepentingan dan atas beban APBD, sementara pinjaman perusahaan daerah dipergunakan untuk kepentingan dan atas beban perusahaan daerah sekalipun perusahaan daerah itu milik daerah.
Adapun elemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah meliputi: 7 1. Akuntabilitas Akuntabilitas keuangan daerah adalah kewajiban pemerintah daerah untuk memberikan pertanggung jawaban, menyajikan dan melaporkan (to report) serta mengungkapkan (to disclose) sebagai kegiatan yang terkait dengan penerimaaan dan penggunaan uang publik (public money) kepada pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut, yaitu DPRD dan masyarakat luas. 2. Value For Money Pengelolaan keuangan daerah harus mendasarkan pada konsep value for money, yaitu ekonomis, efisiensi dan efektivitas. Pengelolaan keuangan daerah secara ekonomis berarti bahwa keuangan daerah harus digunakan secara hemat dan tepat guna. 3. Kejujuran dalam pengelolaan keuangan publik (probity) Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan. 4. Transparansi Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakankebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. 5. Pengendalian Penerimaan dan pengeluaran daerah harus sering dimonitor yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang telah dicapai. Untuk itu perlu dilakukan analisa selisih terhadap penerimaan dan pengeluaran derah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya selisih serta tindakan antisipasi ke depan.
Otonomi daerah telah memberikan nuansa baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah yaitu, berusaha menarik investor untuk menanamkan investasinya, menyusun peraturan daerah sebagai dasar legitimasi untuk menarik berbagai iuran sehingga pendapatan asli daerah meningkat dan membentuk perusahaan daerah. 7
Budi S. Purnomo, 2009, Obligasi Daerah, Alfabeta, Bandung, Hal. 2.
Sehubungan dengan itu, sesungguhnya usaha dan kegiatan ekonomi daerah yang bersumber dari hasil perusahaan daerah telah berjalan sejak lama, secara yuridis perusahaan daerah dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan daerah, namun kemudian tujuh (7) tahun sejak pengesahannya, dengan alasan pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah menyatakan tidak berlaku Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 Tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Pada masa itu pemerintah melakukan peninjauan kembali beberapa produkproduk legislatif yang berbentuk Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, sebagaimana yang ditentukan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXXIX/MPRS/1968 tertanggal 27 Maret 1968, sebagaimana yang terdapat dalam Konsideran Undang-undnag Nomor 6 Tahun 1969 Tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Dari hasil peninjauan tersebut direkomendasikan pencabutan peraturan perUndang-Undangan, termasuk diantaranya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 Tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang, menyatakan bahwa “Pernyataan tidak berlakunya Undang-Undang yang
tercantum dalam lampiran III Undang-Undang ini ditetapkan pada saat UndangUndang yang menggantikannya mulai berlaku. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah masih berlaku sampai dengan disahkannya Undang-Undang penggantinya, namun sampai saat ini belum ada Undang-Undang penggantinya, sedangkan dari sudut materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah memiliki semangat berbeda dengan situasi dan kondisi saat ini. Semangat demokratisasi ekonomi belum menjadi paradigma pembangunan ekonominya, sehingga dalam implementasinya Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai dan kurang mampu mengakomodasikan penyelenggaraan Perusahaan Daerah serta tidak dapat menjawab dinamika manajemen perusahaan yang menyangkut berbagai aspek antara lain personil kelembagaan, tata kerja yang tidak dapat mengemban fungsi dan perannya dalam mendukung fungsi perusahaan sebagai kontributor pendapatan asli daerah, sehingga dalam hal ini terjadi konflik norma antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat
melalui
peningkatan
pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di dalam Pemerintah daerah terdapat institusi-institusi yang berperan serta dalam penyelenggaraan otonomi daerah, Perusahaan Daerah Air Minum sebagai salah satu institusi di Pemerintah Daerah merupakan asset Pemerintah Daerah yang memiliki bidang usaha dalam pelayanan air
minum dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan air minum. Dalam hal ini Perusahaan Daerah Air Minum memiliki dua fungsi yaitu fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Pada fungsi sosial, Perusahaan Daerah Air Minum bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan air minum bagi masyarakat guna mendukung program pemerintah melalui Pemerintah Daerah dalam meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat demi tercapainya kualitas hidup masyarakat yang optimal. Sedangkan pada fungsi ekonomi, Perusahaan Daerah Air Minum berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah serta dituntut untuk mengembangkan cakupan pelayanan, meningkatkan kualitas pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan pegawai secara mandiri. Pendirian Perusahaan Daerah Air minum berdasarkan pada peraturan perUndang-Undangan, dimana dasar hukum dari Perusahaan Daerah Air Minum ini ada yang bertentangan yaitu, antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah. Sehubungan dengan hal tersebut maka sangat menarik untuk dibahas mengenai pengaturan dari Perusahaan Daerah pada masa otonomi daerah saat ini.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang diperoleh adalah:
1. Apa dasar hukum pengaturan Perusahaan Daerah? 2. Bagaimanakah pengaturan Perusahaan Daerah Air Minum di daerah?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari pembahasan yang simpang siur dan keluar dari permasalahan yang dibahas, maka perlu dibatasi ruang lingkup penulisannya, sehingga sesuai dengan pokok masalah yang dibahas. Pembahasan yang pertama adalah mengenai pengaturan perusahaan daerah yang diatur berdasarkan Undang-Undang No 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah. Pembahasan kedua akan membahas mengenai pengaturan Perusahaan Daerah Air Minum di daerah.
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum (het doel van het onderzoek) berupa upaya peneliti untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini, ilmu tidak akan pernah mandek (final) dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang obyeknya masing-masing. Tujuan khusus (het doel in het
onderzoek) mendalami permasalahan hukum secara khusus yang tersirat dalam rumusan permasalahan penelitian8.
1.4.1. Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum, terutama konsentrasi Hukum Pemerintahan dalam hal mengetahui pengaturan perusahaan daerah.
1.4.2. Tujuan Khusus Penelitian ini juga diharapkan dapat mencapai tujuan yang lebih khusus, sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan memahami secara lebih mendalam mengenai pengaturan perusahaan daerah. 2. Untuk mengetahui dan memahami secara lebih mendalam mengenai Pengaturan Perusahaan Daerah Air Minum di daerah.
1.5. Orisinalitas Penelitian Perusahaan daerah merupakan topik yang sangat menarik untuk dijadikan obyek penelitian karena didalamnya sarat akan permasalahan hukum. 8
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 10
Pertama, penulis menemukan penelitian untuk tesis pada Universitas Sumatera Utara atas nama Rinto Purwana Harahap dengan judul “Analisis Terhadap Kepemilikan Saham Pemerintah Daerah Pada BUMD: Studi Pada PT Perkebunan Sumatera Utara, dengan rumusan masalah yaitu:9 1. Mengapa terjadi perubahan bentuk badan hukum BUMD? 2. Bagaimanakah akibat perubahan tersebut terhadap saham Pemda ditinjau dari aspek hak, kewajiban dan tanggung jawab pemda? 3. Apakah perubahan bentuk badan hukum yang terjadi pada PT. Perkebunan Sumatera Utara merupakan privatisasi BUMD?
Penelitian ini pada dasarnya menekankan pada tidak relevannya UndangUndang No. 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah mengakibatkan Pemerintah Daerah melakukan langkah perubahan bentuk badan hukum perusahaan daerah yang dimilikinya khususnya pada perusahaan yang berorientasi pada keuntungan. Perubahan bentuk dari perusahaan daerah menjadi Perseroan Terbatas secara langsung akan berpengaruh pada aspek kepemilikan yang berkenaan dengan permodalan dan saham. Pada mulanya saham atas perusahan tersebut terpusat pada satu kepemilikan, namun ketika kebijakan merubah bentuk badan hukum perusahaan daerah diambil oleh Pemerintah daerah, maka akan berdampak pada kepemilikan perusahaan daerah. Kepemilikan perusahaan daerah tercermin dalam komposisi 9
Rinto Purwana Harahap, Analisis Terhadap Kepemilikan Saham Pemerintah Daerah Pada BUMD: Studi Pada PT Perkebunan Sumatera Utara, diakses dari http//repository.usu.ac.id/bitstream/pdf, pada tanggal 12 Juni 2012.
modal dasarnya dipastikan akan mempengaruhi hak, kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah daerah selaku pemegang saham. Kedua, peneliti juga menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Diponegoro atas nama Nurul Prasetyani, yang berjudul “Analisis Kinerja Pelayanan Publik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Demak” dengan rumusan masalah sebagai berikut:10 1. Bagaimana Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) terhadap kinerja pelayanan publik pada PDAM Kabupaten Demak ? 2. Bagaimana tingkat kinerja pelayanan dan tingkat kepentingan bagi pelanggan terhadap pelayanan yang telah dilakukan oleh PDAM Kabupaten Demak ? 3. Sejauh mana kesesuaian antara tingkat kinerja dan tingkat kepentingan unsur-unsur pelayanan menurut pelanggan ? 4. Dimensi apa saja yang mendesak untuk diperbaiki guna meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh PDAM Kabupaten Demak ? Penelitian ini menekankan pada Kinerja penyelenggaraan pelayanan yang diberikan oleh PDAM Kabupaten Demak kepada pelanggan, dirasa perlu ditingkatkan, hal ini dikarenakan adanya rasa ketidakpuasan pelanggan terhadap pelayanan yang telah diberikan, kemudian adanya sistem prosedur pendaftaran 10
Nurul Prasetyani, Analisis Kinerja Pelayanan Publik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Demak, diakses dari http//eprints.undip.ac.id/18637/1/nurul_prasetyani.pdf, pada tanggal 12 Juni 2011.
sebagai pelanggan baru dan juga sistem pengaduan keluhan yang berbelit-belit dan memakan waktu yang relatif lama, adanya ketidakadilan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan, masih rendahnya kualitas, kuantitas dan kontinuitas air bersih yang diberikan PDAM Kabupaten Demak kepada masyarakat, hal ini berhubungan dengan kewajaran biaya pelayanan. Ketiga, peneliti juga menemukan penelitian untuk tesis pada Universitas Diponegoro, atas nama Novi Hesti Lestari, yang berjudul ”Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)”. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:11 1. Bagaimanakah hubungan hukum antara Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan konsumennya? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen dalam perjanjian pengadaan air oleh PDAM? Penelitian ini menekankan pada persoalan perlindungan hukum bagi konsumen Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) selain menyangkut perangkat hukum yang digunakan, juga secara mendasar berkaitan dengan persoalan tentang hubungan hukum antara Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan konsumen itu sendiri. Keempat, peneliti juga menemukan penelitian untuk tesis pada Universitas Indonesia atas nama Hasan Lutfi yang berjudul “Tunggakan Pinjaman Perusahaan
11
Novi Hesti Lestari, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), diakses dari http//eprints.undip.ac.id/13398/-24k- pada tanggal 13 Juni 2011.
Daerah Air Minum Terhadap Pemerintah Pusat”. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:12 1. Bagaimanakah Perusahaan Daerah Air Minum melakukan tunggakan pinjaman sehingga mengakibatkan timbulnya piutang pemerintah pusat terhadap Perusahaan daerah Air Minum? 2. Bagaimanakah pengaturan piutang terhadap pinjaman yang dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum? 3. Bagaimanakah penerapan sanksi hukum terhadap Perusahaan Daerah Air Minum yang tidak dapat melakukan pembayaran pinjaman kepada pemerintah pusat? Penelitian ini lebih menekankan pada penyebab Perusahaan daerah Air Minum melakukan tunggakan pinjaman sehingga menyebabkan timbulnya piutang pemerintah pusat kepada Perusahaan daerah Air Minum, serta menekankan pada sanksi hukum yang diperoleh Perusahaan Daerah Air Minum yang tidak dapat melakukan pembayaran pinjamannya. Dibandingkan dengan penelitian yang penulis lakukan tampaklah perbedaanperbedan yang spesifik, penekanan pada penelitian yang penulis lakukan adalah mengenai pengaturan dari perusahaan daerah yang sudah tidak sesuai dengan otonomi daerah saat ini, dan mengenai penelitian ini belum ada yang mengangkat dalam bentuk tesis.
12
Hasan Lutfi, Tunggakan Pinjaman Perusahaan Daerah Air Minum Terhadap Pemerintah Pusat, diakses dari8 http//lontar.ui.ac.id., pada tanggal 13 Juni 2011.
1.6. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan melalui penelitian terhadap kedua permasalahan yang dibahas dalam penulisan paper ini terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1. Manfaat Teoritis, yaitu bermanfaat bagi pengembangan wawasan keilmuan peneliti, masukan bagi pengembangan Ilmu Hukum dan Pengembangan bacaan bagi pendidikan hukum terutama konsentrasi Hukum Pemerintahan. 2. Manfaat Praktis, secara praktis ada beberapa pihak diharap memperoleh manfaat dari penelitian ini. Pihak-pihak bersangkutan : a. Bagi kepentingan pemerintah, hasil penelitian ini akan dapat memberikan kejelasan kepada pemerintah mengenai pengaturan perusahaan daerah. b. Bagi kepentingan masyarakat, hasil penelitian ini akan dapat memberikan manfaat berupa pengetahuan terkait dengan peran dan keberadaan perusahaan daerah.
1.7. Landasan Teoritis Landasan Teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Sebagai landasan
dimaksud untuk diwujudkan kebenaran ilmu hukum yang bersifat konsensus yang diperoleh dari rangkaian upaya penelusuran (controller baar)13. Menurut pendapat Abdulkadir Muhamad, bahwa landasan teoritis merupakan pijakan untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang diperoleh dari rangkaian penelusuran terhadap teori hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, dan lainlain yang digunakan untuk membahas permasalahan penelitian. Pada umumnya, teori bersumber dari Undang-Undang, buku atau karya tulis suatu bidang ilmu, dan laporan penelitian14.
Penelitian ini mempergunakan landasan teoritis sebagai alat untuk menganalisa yang meliputi konsep,
teori, asas-asas, dan pandangan-pandangan
sarjana sebagai pembenaran teoritis. Dalam pengkajian masalah ini, digunakan beberapa konsep atau teori antara lain :
1.7.1. Teori Negara Hukum Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini terdapat pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh penguasan dan masyarakat harus berdasarkan pada hukum bukan berdasarkan pada kekuasaan. Bagaimanakah suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum, untuk menjawab hal ini maka dapat dilakukan penelusuran melalui dua cara. Pertama, melalui konstitusi dari negara yang bersangkutan, artinya apakah konstitusi yang
13
14
Ibid, Hal.8.
Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 73
dimaksud memuat ketentuan tentang negara hukum. Menurut pendapat K.C Wheare menyatakan bahwa isi minimum suatu konstitusi adalah tentang Negara hukum. Dalam konteks itu, K.C Wheare mengajukan pertanyaan “what should a constitution contain?” dan dijawab kembali oleh K.C Wheare : The very minimum, and that minimum to be “Rule of Law”. 15 Kedua, berdasarkan pandangan ilmiah dari para ahli, yang dalam konteks ini berusaha memberikan unsur-unsur atau ciri-ciri dari suatu Negara hukum. Negara atau state dalam Black’s Law Dictionary didefinisikan sebagai The Political system of a body of people who are politically organized; the system of rules by which jurisdiction and authorithy are exercised over such a body of people (separation of church and state).16 Konsep negara hukum menurut Freidrich Julius Stahl yang dikutip oleh Ridwan HR, adalah: 17 a. Perlindungan hak-hak asasi manusia b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perUndang-Undangan d. Peradilan administrasi dalam perselisihan
15
K.C Wheare, 1975, Modern Constitution, Oxford University Press, London, New York, DSK, Hal. 33-34 16 Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary,West Group, St. Paul Minn, hal. 1415 17 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 3.
C.F. Strong merumuskan arti konstitusi yaitu a frame of political society, organized through and by law, that is to say, one in which law has established permanent institutions with recognized functions and definite rights. 18 (kerangka masyarakat politik, diselenggarakan melalui dan oleh hukum, artinya, di mana hukum telah membentuk lembaga permanen dengan fungsi diakui dan hak-hak yang pasti Negara Indonesia adalah “Negara hukum (rechtstaat) berdasarkan Pancasila19. Negara tidak hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat, akan tetapi dituntut untuk turut aktif (proaktif) dalam semua aspek kehidupan dan pengidupan rakyat. Kewajiban ini merupakan amanat para pendiri Negara (the founding father) Indonesia, seperti dikemukakan pada alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahkan secara tegas diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu Negara Indonesia adalah Negara hukum. Sebagai negara yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum. Jika dikaitkan dengan permasalahan pada proposal ini maka ciri-ciri dari negara hukum yang tepat digunakan adalah pemerintahan berdasarkan peraturan
18
C.F. Strong, 1952, Modern Political Constitutions An Introduction To The Comparative Study of Their and Existing Form, Sidgwik&Jackson Limited, London, hal. 9. 19 Sjahran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Cet. Ke-3. Alumni, Bandung, hal. 11
perUndang-Undangan, jadi setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan Undang-Undang.
1.7.2. Teori PerUndang-Undangan Undang-Undang (gezets) adalah dasar dan batas bagi kegiatan pemerintahan, yang menjamin tuntutan-tuntutan negara berdasar atas hukum, yang menghendaki dapat diperkirakannya akibat suatu aturan hukum, dan adanya kepastian dalam hukum. 20 Pembentukan peraturan perUndang-Undangan pada hakikatnya ialah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum dalam arti yang luas. Menurut Bagir Manan seperti yang dikutip oleh Yuliandri bahwa peraturan perUndang-Undangan adalah keputusan tertulis negara atau pemerintah yang berisi petunjuk atau pola tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum. 21 Menurut L. Sumartini seperti yang dikutip oleh Soehino bahwa dalam membentuk suatu Undang-Undang harus memperhatikan dan berpedoman pada Program Legislasi Nasional, yaitu suatu program perencanaan di bidang pembentukan peraturan perUndang-Undangan nasional secara terencana, terpadu, dan
20
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan Yang Baik, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 25. 21 Ibid.
terkoordinasi, yang diharapkan dapat langsung menunjang tercapainya kondisikondisi yang diinginkan pada saat tinggal landas dalam Pembangunan Lima Tahun. 22 Pembangunan materi hukum harus diselenggarakan secara terpadu dan meliputi semua bidang pembangunan agar produk hukum yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam segala aspekny. Oleh karena itu pembangunan hukum harus diselenggarakan melalui proses secara terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta menghasilkan produk hukum hingga tingkat peraturan pelaksanaannya melalui Program Legislasi Nasional. Menurut pendapat S.J.Fockema Andreae yang dikutip Maria Farida Indrati Soeprapto istilah perUndang-Undangan (legislation, wetgeving, atau Gesetzgebung) mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu: 1. perUndang-Undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah. 2. PerUndang-Undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.23
Ilmu pengetahuan perUndang-Undangan adalah suatu cabang ilmu baru yang mula-mula berkembang di Eropa Barat, terutama di negara-negara yang berbahasa Jerman. 22
Soehino, 2006, Hukum Tata Negara Teknik PerUndang-Undangan (Setelah Dilakukan Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, BPFE, Yogyakarta, hal. 17. 23 Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu PerUndang-Undangan dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, hal. 3.
Ilmu pengetahuan perUndang-Undangan merupakan ilmu yang interdisipliner yang berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu: 1. Teori perUndang-Undangan, yang berorientasi pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian, dan bersifat kognitif. 2. Ilmu perUndang-Undangan, yang berorientasi pada melakukan perbuatan dalam hal pembentukan peraturan perUndang-Undangan, dan bersifat normatif. 24 Jika dikaitkan dengan permasalahan pada proposal ini maka dengan adanya teori perUndang-Undangan akan ditemukan kejelasan dan kejernihan pengaturan perusahaan daerah yang berdasarkan Undang-Undang Perusahaan Daerah pada era kebijakan otonomi daerah saat ini. 1.7.3. Konsep Otonomi Daerah Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi
luas
kepada
daerah
diarahkan
untuk
mempercepat
terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Otonomi daerah adalah pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pada Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 32 tahun 2004 diberikan definisi mengenai otonomi daerah sebagai berikut. 24
Ibid, hal. 2.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan rumusan tersebut dalam daerah otonom terdapat unsur-unsur sebagai berikut: 1. Unsur batas wilayah Sebagai kesatuan masyarakat hukum, batas suatu wilayah adalah sangat menentukan untuk kepastian hukum bagi pemerintah dan kepentingan masyarakat dalam melakukan interaksi hukum. 2. Unsur pemerintahan Eksistensi pemerintahan di daerah, didasarkan atas legitimasi Undang-Undang yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah, untuk menjalankan urusan pemerintahan yang berwenang mengatur berdasarkan kreativitasnya sendiri. 3. Unsur masyarakat Masyarakat sebagai elemen pemerintah daerah merupakan kesatuan masyarakat hukum, baik gemeinschaft maupun gesselschaft jelas mempunyai tradisi, kebiasaan, dan adat istiadat yang turut mewarnai sistem pemerintahan daerah, mulai dari bentuk cara berpikir, bertindak, dan kebiasaan tertentu dalam kehidupan masyarakat.
Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah antara lain adalah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani daerah. Dengan demikian pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat umum dan mendasar) nasional
yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan otonomi daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang optimal. Kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah akan terpacu, sehingga kemampuannya dalam mengatasi berbagai masalah yang terjadi di daerah akan semakin kuat. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkadung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu: 1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah. 2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat. 3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan. Desentralisasi timbul untuk memberikan pelayanan umum yang lebih baik kepada masyarakat, karena pemerintah pusat tidak mungkin menyelenggarakan pemerintahan dengan baik tanpa bantuan pemerintah daerah. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Philipus M. Hadjon, desentralisasi mengandung makna wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh Pemerintah Pusat, melainkan juga oleh satuan-satuan pemerintah yang lebih
rendah, baik dalam bentuk territorial maupun fungsional. Satuan-satuan pemerintah yang lebih rendah diserahi dan dibiarkan mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintah.25 Pelaksanaan desentralisasi dilakukan karena luas wilayah Indonesia, jumlah penduduk yang banyak serta heterogenitas yang kompleks sehingga diperlukan bantuan pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahan dalam rangka mewujudkan pembangunan berkualitas. Dalam sistem desentralisasi dikenal ada tiga ajaran yang menentukan pembagian penyelenggaraan pemerintahan negara, yaitu:26 1. Ajaran rumah tangga materiil Menurut ajaran rumah tangga materiil, untuk mengetahui manakah urusan yang termasuk rumah tangga daerah atau pusat, seseorang harus melihat kepada materi yang ditentukan akan diurus oleh pemerintah pusat atau daerah itu masing-masing. Jadi pemerintah pusat dinilai tidak akan mampu menyelenggarakan urusan dengan baik yang menjadi urusan daerah, begitu juga sebaliknya daerah dinilai tidak akan mampu menyelenggarakan urusan dengan baik yang menjadi urusan pusat. Dalam praktik, ajaran rumah tangga materiil dapat dipertahankan sepanjang sifat pemerintahan daerah masih sederhana. 2. Ajaran rumah tangga formil Berhubung dengan kelemahan dan kekurangan ajaran rumah tangga materiil tersebut maka berkembang pula ajaran rumah tangga formil. Jika sesuatu hal yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah akan mendatangkan manfaat yang lebih besar, maka terhadap hal itu dipandang lebih baik ditentukan sebagai urusan rumah tangga daerah. Penyerahan dilakukan secara formil dengan peraturan perUndangUndangan, sehingga hal-hal yang menjadi urusan rumah tangga daerah dipertegas rinciannya dalam Undang-Undang. Dengan demikian orang 25
Philipus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 112 26 Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta, hal. 424.
dapat melihat bahwa suatu urusan merupakan urusan rumah tangga pemerintah daerah karena oleh pusat telah dilakukan penyerahannya dengan undnag-undang. Ajaran rumah tangga ini disebut sebagai ajaran rumah tangga formil. 3. Ajaran rumah tangga riil Merupakan urusan rumah tangga yang didasarkan kepada kebutuhan riil atau keadaan yang nyata. Keadaan tertentu berdasarkan pertimbangan untuk mencapai manfaatnya yang sebesar-besarnya, suatu urusan yang merupakan wewenang pemerintah daerah dikurangi, karena urusan itu menurut keadaan riil sekarang berdasarkan kebutuhan yang bersifat nasional dinilai perlu diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Akan tetapi sebaliknya suatu urusan dapat pula dilimpahkan kepada daerah untuk menjadi suatu urusan rumah tangga daerah, mengingat manfaat dan hasil yang akan dicapai jika urusan itu tetap diselenggarakan oleh pusat akan menjadi berkurang. Tentu saja segala penambahan atau pengurangan suatu wewenang harus diatur dengan Undang-Undang atau peraturan-peratuiran lainnya. Pemberian otonomi kepada daerah ditujukan supaya daerah mampu bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sebagai konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah, maka masing-masing daerah otonomi dituntut untuk berupaya meningkatkan sumber Pendapatan Asli Daerah agar mampu membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat di daerah. Kewenangan yang begitu luas tentu akan membawa konsekuensi tertentu bagi daerah. Salah satu konsekuensinya adalah daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang menjadi kewenangannya. Laba badan usaha milik daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah yang diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan asli daerah, badan usaha milik daerah ini diwujudkan dalam bentuk perusahaan daerah.
Keberadaan dari perusahaan daerah tidak dapat dipisahkan dengan UndangUndang No. 32 Tahun 2004 karena perusahaan daerah didirikan oleh daerah sehingga pengaturan dari perusahaan daerah harus jelas dan sesuai dengan kebijakan otonomi daerah saat ini sehingga tidak terjadi tumpang tindih.
1.7.4. Konsep Batas Pengaturan Perusahaan Daerah Pengaturan perusahaan daerah sampai saat ini masih menggunakan UndangUndang No. 5 Tahun 1962, dimana materi yang dikandung pada Undang-Undang ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan saat ini yang berdasarkan pada otonomi daerah. Untuk melindungi perusahaan daerah dan menciptakan kepastian hukum maka harus senantiasa memperhatikan batas-batas dari pengaturan perusahaan daerah. Konsep batas pengaturan perusahaan daerah ini digunakan pada tesis ini adalah untuk mengetahui seberapa besar batas pengaturan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang digunakan pada Peraturan Daerah tentang Perusahaan Daerah Air Minum. Selain batas pengaturan dari Undang-Undang Perusahaan Daerah, batas pengaturan perusahaan daerah ini juga untuk mengetahui batas pengaturan dari Peraturan Menteri Dalam Negeri yang digunakan pada Peraturan Daerah tentang
Perusahaan Daerah Air Minum. Sehingga dapat diketahui dengan jelas mengenai pengaturan perusahaan daerah pada masa otonomi daerah. 1.7.5. Teori Kewenangan Kata “wewenang” berasal dari kata “wenang” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “wenang” (“wewenang”) diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak. Sedangkan “kewenangan” berarti hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.27 Menurut pendapat Indroharto atribusi merupakan pemeberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perUndang-Undangan. Jadi di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara: 28
a. Yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undnag-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan pemda yang melahirkan Peraturan Daerah. b. Yang bertindak sebagai delegated legislator; seperti presiden yang berdasar pada suatu ketentuan Undang-Undang mengeluarkan peraturan pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan
27
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 1128. 28
Ridwan HR, Op.Cit, hal. 104.
secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. 29 Menurut SF. Marbun, kewenangan (authority) adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap golongan orang tertentu maupun kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu secara bulat yang berasal dari kekuasaan legislatif maupun kekuasaan pemerintah. Sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bidang tertentu saja sehingga kewenangan merupakan kumpulan dari wewenang. 30 Setiap perbuatan pemerintah harus diisyaratkan harus bertumpu pada kewenangan yang sah. Tanpa adanya kewenangan yang sah seorang pejabat ataupun badan tata usaha negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintah. 31 Pembentukan wewenang pemerintah didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perUndang-Undangan. Hal ini penting karena dengan mengetahui sumber kewenangan tersebut akan memudahkan pembagian tugas, kondisi, dan pengawasan. Dengan demikian teori kewenangan ini digunakan untuk mengkaji kewenangan pemerintah daerah terhadap perusahaan daerah.
29
Ridwan HR, Loc.Cit
30
SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 74 31
Lutfi Effendi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 77
1.7.6. Asas Preferensi Keberadaan suatu produk hukum itu sangat penting sebagai dasar bagi Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan maupun melayani kepentingan masyarakatnya. teori penjenjangan norma ini akan digunakan untuk mengkaji eksistensi dari Undang-Undang Perusahaan Daerah pada era kebijakan otonomi daerah dan mengkaji pengaturan Perusahaan Daerah Air Minum. Adapun asas preferensi, yaitu: 1. Asas lex superior derogat legi inferiori Menurut asas ini, apabila terjadi pertentangan antara peraturan perUndangUndangan yang secara hierarkhis lebih rendah dengan yang lebih tinggi, peraturan perUndang-Undangan yang hierarkinya lebih rendah tersebut harus disisihkan. 2. Asas lex specialis derogate legi generali Asas ini merujuk kepada dua peraturan perUndang-Undangan yang secara hierarkis mempunyai kedudukan yang sama. Akan tetapi ruang lingkup materi muatan antara kedua peraturan perUndang-Undangan itu tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan khusus dari yang lain. 3. Asas lex superior derogate legi inferiori Dua peraturan perUndang-Undangan yang dibuat oleh sebuah lembaga yang sama, karena yang satu diperintahkan oleh undnag-undang sedangkan yang lainnya diperintahkan oleh peraturan pemerintah. 4. Asas lex posterior derogate legi priori Peraturan perUndang-Undangan yang terkemudian menyisihkan peraturan perUndang-Undangan yang terdahulu. 32
Terhadap permasalahan pada proposal ini maka asas preferensi yang tepat adalah asas lex posterior derogate legi priori, karena peraturan mengenai perusahaan daerah yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1962 sudah tidak sesuai dengan otonomi daerah yang berkembang saat ini.
32
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, hal. 99.
1.8. Metode Penelitian Menurut Morris L.Cohen, Legal Research is an essential component of legal practice. It is the process of finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that law.33 Menurut Soerjono Soekanto, metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.34 Metodologi Penelitian merupakan suatu pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metodologi penelitian. Inti Metodologi dalam penelitian hukum adalah menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu penelitian hukum harus dilakukan. Dengan demikian penelitian yang dilakukan adalah untuk memperoleh data yang teruji kebenaran secara ilmiah.
1.8.1. Jenis Penelitian Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-
33
Morris L.Cohen & Kent C. Olson, 2000, Legal Research In A Nutshell, Seven Edition, West Group, St.Paul Minn, Hal. 1 34
Soerjono Soekanto, 1994, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, Hal. 13
doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter perspektif ilmu hukum. 35 Penelitian terhadap pengaturan perusahaan daerah air minum dikualifikasikan dalam penelitian normatif yang bertolak dari adanya konflik norma. Penelitian hukum normatif menurut Jhonny Ibrahim adalah mencoba untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 36 Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, sehingga disebut juga sebagai penelitian non human resources yakni penelitian yang menggunakan bahan-bahan yang bukan dari hasil observasi atau wawancara, melainkan pada sumber yang bukan manusia yakni dokumen. 37 Penelitian hukum ini termasuk dalam penelitian teoritik (Theoretical Research). Theoretical Research is research which fosters a more complete understanding of the conceptual bases of legal principles and of the combined effects of a range of rules and procedures that touch on a particular area of activity.38(Penelitian teoritis adalah penelitian yang menumbuhkan pengertian yang lebih lengkap dari konsep dasar prinsip-prinsip hukum dan akibat-akibat gabungan dari berbagai aturan dan prosedur yang menyentuh pada area aktivitas tertentu).
35
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hal. 5
36
Jhonny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, hal.57 37
Nasution, 1988, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung, Hal. 85 Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, School of Law, Queensland University of Technology, hal. 9 38
1.8.2. Jenis Pendekatan Pendekatan yang digunakan untuk membahas permasalahan pada tesis ini adalah dengan menggunakan pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan historis (historical approach) dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi. 39 Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji adanya kesenjangan norma antara peraturan perUndang-Undangan yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian hukum ini. Pendekatan konseptual (conceptual approach) berasal dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin didalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsepkonsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. 40 1.8.3. Sumber Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder.
39
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hal. 94
40
Ibid, hal. 95
1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum yang terdiri dari norma dasar atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perUndang-Undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurispredensi, traktat, dan bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. 41 Pada penelitian tesis ini digunakan bahan hukum primer berupa norma dasar dan peraturan perUndang-Undangan. 2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,42 seperti buku-buku literature, artikel-artikel di media cetak dan media elektronik. 1.8.4. Teknik Pengumpulan Sumber Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara menginventarisir, mempelajari, dan mendalami bahan-bahan hukum primer dan sekunder yang terkait dengan penelitian ini. Bahan hukum yang diperoleh, dikumpulkan dengan menggunakan kartu (card system). Metode sistem kartu (card system) maksudnya yaitu setelah mendapat semua bahan yang diperlukan kemudian dibuat catatan mengenai hal-hal yang dianggap penting dan berguna bagi penelitian. 43 Sistem kartu
41
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13 42
Ibid
43
Ibid, hal. 52
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kartu kutipan untuk mencatat atau mengutip sumber bahan hukum yang digunakan yang berisi nama pengarang/penulis, judul buku, halaman, dan mengutip hal-hal yang dianggap penting agar bisa menjawab permasalahan dalam penelitian ini. 1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum Bahan hukum maupun informasi penunjang yang diperoleh terkait dengan kedua pokok permasalahan yang dibahas selanjutnya dianalisis melalui langkahlangkah
deskripsi,
interpretasi,
evaluasi,
argumentasi,
dan
sistematisasi. 44
Pendeskripsian atau penggambaran dilakukan untuk menentukan isu atau makna dari suatu bahan hukum disesuaikan dengan pokok permasalahan yang ada. Pada tahapan ini dilakukan pemaparan serta penentuan terhadap makna dari aturan-aturan hukum yang terdapat didalam peraturan perUndang-Undangan di bidang Perusahaan Daerah baik
berupa
Undang-Undang,
Peraturan
Pemerintah,
beserta
peraturan
pelaksanaannya di tingkat daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, dan Kabupaten Buleleng, maupun pemaparan terhadap berbagai pendapat sarjana terkait. Tahap interpretasi dilakukan untuk mencari dan menetapkan pengertian dari dalil-dalil yang tercantum dalam Undang-Undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat Undang-Undang. Setelah bahan-bahan hukum
44
13-15
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Op.Cit, hal.
dapat diidentifikasi secara jelas, maka dilanjutkan melakukan sistematisasi. Pada tahapan sistematisasi akan dilakukan pemaparan berbagai pendapat hukum dan hubungan hierarkis antara aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan isu hukum dalam penelitan ini. Pada tahapan ini juga dilakukan kohenrensi antara berbagai aturan hukum dengan pendapat hukum dari para sarjana yang berhubungan agar dapat dipahami dengan baik. Bahan hukum yang tersistematisasi, baik berupa pendapat hukum maupun aturan-aturan hukum selanjutnya dilakukan evaluasi dan diberikan pendapat atau argumentasi disesuaikan dengan koherensinya terhadap permasalahan yang dibahas.