BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka memenuhi amanat Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), maka pemerintah bersama DPR telah memenuhi tanggung jawabnya secara konstitusional dengan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam hal wajib belajar pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 34 ayat 2 dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Selanjutnya pada ayat 3 dinyatakan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Sedangkan dalam hal pendanaan pendidikan, pada pasal 46 ayat 1 dinyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pada ayat 2 juga dinyatakan bahwa pemerintah, pemerintah daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya pada pasal 49 ayat 1 dinyatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 1
2 Untuk melaksanakan amanat sebagaimana termaktub dalam undangundang di atas, maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang wajib belajar dan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan. Pada PP Nomor 47 Tahun 2008 Bab VI pasal 9 ayat
2 ditegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Selanjutnya dalam hal pendanaan pendidikan diatur dalam PP 48 Tahun 2008 di mana pendanaan biaya pendidikan untuk penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah
atau
pemerintah
daerah
menjadi
tanggung
jawab
pemerintah/pemerintah daerah, sedangkan pendanaan biaya pendidikan untuk penyelenggaraan
program
wajib
belajar
pada
satuan
pendidikan
yang
diselenggarakan oleh masyarakat menjadi tanggung jawab masyarakat. Namun demikian pemerintah/pemerintah daerah tetap berkewajiban untuk memenuhi pendanaan biaya non personalia pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Di sisi lain, menurut Mulyono (2010), bahwa biaya pendidikan merupakan komponen masukan instrumental (instrument input) yang sangat penting dalam menyiapkan sumber daya manusia melalui penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Hal ini sejalan dengan pendapat Tilaar (1998), bahwa pendidikan yang bermutu merupakan suatu investasi yang mahal. Masyarakat industri modern menyadari hal itu dan akan menanamkan investasi yang besar untuk industri pendidikan itu. Bahkan Mantja (1998) mengatakan bahwa mutu pendidikan sebagai salah satu pilar pengembangan sumber daya manusia yang sangat penting maknanya bagi pembangunan nasional.
3 Kesadaran masyarakat untuk menanggung biaya pendidikan (cost sharing) pada hakekatnya akan memberikan suatu kekuatan pada masyarakat (empowering the society) untuk bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Namun hal ini sangat berlainan dengan keadaan di negara berkembang di mana ada keengganan masyarakat untuk ikut membagi beban pendidikan, yang tampak dalam rendahnya “social rate of return” dan relatif tingginya “private rate of return” investasi dalam bidang pendidikan. Keengganan masyarakat pembiayaan pendidikan tersebut
dalam
dapat dikatakan sebagai masyarakat egois.
Keegoisan tersebut bisa dilihat dari fenomena yaitu banyak masyarakat atau orang tua yang kaya enggan memberikan subsidi silang terhadap keluarga yang kurang mampu dalam pembiayaan pendidikan dengan dalih adanya BOS atau adanya iklan pendidikan gratis, bahkan orang tua yang kaya saat mendaftarkan anaknya ke sekolah memperlihatkan perilaku sebagai orang miskin. Pendidikan yang berkualitas merupakan salah satu faktor utama yang menentukan pertumbuhan
ekonomi dengan melalui peningkatan produktifitas
tenaga kerja terdidik, sehingga diperlukan upaya perluasan dan keadilan untuk memperoleh kesempatan pendidikan yang bermutu. Fattah (2004) menyatakan bahwa untuk meningkatkan mutu perluasan pendidikan diperlukan 3 faktor utama: 1)
Kecukupan
sumber-sumber
pendidikan
dalam
arti
kualitas
tenaga
kependidikan, biaya, dan sarana belajar. 2) mutu proses belajar mengajar yang dapat mendorong siswa belajar efektif. 3) Mutu keluaran (lulusan) dalam bentuk pengetahuan, sikap, ketrampilan dan nilai-nilai. Kenyataan di atas menggambarkan bahwa sekolah/madrasah terutama sekolah/madrasah swasta berada pada posisi yang dilematis. Di satu sisi, sebagai lembaga pendidikan yang memberikan layanan pendidikan kepada publik dituntut
4 untuk menyelenggarakan layanan pendidikan yang berkualitas, namun di sisi lain sumber daya yang dimiliki sangat terbatas. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada sekolah/madrasah swasta yang maju bahkan lebih maju dari sekolah/madrasah negeri, namun demikian jumlahnya amat sangat sedikit. Meskipun dalam
kondisi
yang sedemikian rupa
dengan
segala
keterbatasannya, lembaga pendidikan swasta khususnya madrasah ibtidaiyah harus dikelola secara professional sesuai dengan ketentuan dan perundangan yang berlaku.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008, tentang
Wajib Belajar, Madrasah Ibtidaiyah yang selanjutnya disebut MI adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar, di dalam pembinaan Menteri Agama. Atas dasar PP tersebut maka MI tidak lagi menjadi sekolah agama atau keagamaan, melainkan beralih menjadi sekolah umum dengan tetap mempertahankan kekhasan agama Islam. Oleh karena itu segala ketentuan yang berlaku pada sekolah dasar berlaku pula pada madrasah ibtidaiyah, kecuali kekhasan dalam agama Islam. Hal ini lebih ditegaskan lagi dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan. Dengan terbitnya Permendiknas tersebut, maka pengelolaan pendidikan yang oleh para pakar disebut dengan manajemen pendidikan baik pada sekolah maupun pada madrasah tidak lagi dibedakan. Namun demikian faktanya manajemen pendidikan pada sebagian besar madrasah swasta masih banyak memiliki kelemahan. Pertama, dari sisi manajerial madrasah swasta umumnya memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah dan ketua yayasan (atau pengurus). Meskipun telah ada garis kewenangan yang memisahkan kedua top manager tersebut, yakni kepala madrasah memegang
5 kendali akademik sedangkan ketua yayasan (pengurus) membidangi penyediaan sarana dan prasarana, sering di dalam praktik terjadi overlapping, yakni pengurus yayasan ikut campur dalam mengurus masalah akademik. Masalah ini biasanya lebih buruk jika di antara pengurus yayasan tersebut ada yang menjadi staf pengajar. Di samping ada kesan mematai-matai kepemimpinan kepala madrasah, juga ketika staf pengajar tersebut melakukan tindakan indisipliner, kepala madrasah merasa tidak berdaya menegurnya. Kedua, pola kepemimpinan sebagai bagian dari manjemen pengelolaan madrasah, pada sebagian besar madrasah swasta masih bersifat sentralistik, dimana kebanyakan kepala madrasah masih dominan dalam penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan. Hal ini, sangat mengambat pengembangan madrasah untuk mampu bersaing dengan sekolah formal lainnya atau paling tidak menjadi pilihan bagi masyarakat untuk mempercayakan pendidikan anaknya kepada madrasah Ketiga, sebagian besar madrasah, peran serta pengelola madrasah tidak optimal dalam menjalankan prinsip-prinsip manajemen dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, pengambilan keputusan, pelaksanaan kurikulum dan mengelola pembiayaan. Prinsip manajemen seperti bagaimana penerapan planning, organizing, controlling dan evaluating belum dijalankan sepenuhnya. Keempat, praktek manajemen di madrasah sering pula menunjukkan model manajemen tradisional, yakni model manajemen paternalistik atau feodalistik. Dominasi senioritas lebih menonjol sehingga terkadang mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Munculnya kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini mengarah pada ujung ekstrem
6 negatif, hingga muncul kesan bahwa melakukan evaluasi, meluruskan langkah, atau mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su'ul adab. Bertitik tolak dari uraian dan pemikiran di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti manajemen pembiayaan pendidikan pada madrasah ibtidaiyah swasta. Adapun madrasah yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah MI Nurul Huda Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang. Ada beberapa pertimbangan mengapa peneliti memilih lembaga tersebut, yaitu : 1. MI Nurul Huda Mulyorejo memiliki jumlah siswa yang cukup besar diantara lembaga-lembaga MI swasta yang berada di Kecamatan Sukun Kota Malang. Jumlah siswa pada lembaga-lembaga MI Swasta di Kecamatan Sukun Kota Malang berkisar antara 50 sampai dengan 402 siswa, dan di antara kisaran jumlah tersebut yang terbanyak adalah MI Nurul Huda Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang, yakni 402 siswa. 2. Terkait dengan jumlah siswa yang besar tersebut menunjukkan bahwa lembaga tersebut mendapat kepercayaan dari masyarakat yang cukup besar, mengingat lokasi lembaga tersebut juga diapit oleh dua lembaga SD Negeri. Dengan kepercayaan masyarakat yang cukup besar tersebut, menunjukkan bahwa lembaga tersebut dikelola dengan manajemen yang baik. 3. Adanya keterlibatan masyarakat untuk ikut serta berperan aktif dalam pembiayaan pendidikan, di mana hal tersebut menunjukkan adanya transparansi dalam pengelolaan biaya pendidikan melalui pelaporan keuangan kepada para pemangku kepentingan (stake
holder)
sehingga dapat
meingkatkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan biaya pendidikan pada lembaga tersebut.
7 4. Partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang relatif cukup, baik melalui SPP maupun melalui sumbangan pembiayaan awal tahun pelajaran. 5. Lembaga tersebut memiliki multi sumber pembiayaan yaitu dari pemerintah, pemerintah daerah, usaha madrasah, dan dari masyarakat yang relatif cukup. Sumber-sumber pembiayaan yang berasal dari masyarakat digali dan disosialisasikan oleh komite madrasah. B. Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka fokus penelitian ini adalah bagaimana manajemen pembiayaan pendidikan pada MI Nurul Huda Kecamatan Sukun Kota Malang. Fokus penelitian tersebut meliputi empat fungsi manajemen yang dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana perencanaan pembiayaan pendidikan yang dilakasanakan pada MI Nurul Huda Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang. 2. Bagaimana pengorganisasian pembiayaan pendidikan yang dilaksanakan pada MI Nurul Huda Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang. 3. Bagaimamana pelaksanaan pembiayaan pendidikan yang dilaksanakan pada MI Nurul Huda Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang. 4. Bagaimamana pengawasan pembiayaan pendidikan yang dilaksanakan pada MI Nurul Huda Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang. C. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan manajemen pembiayaan pendidikan pada MI Nurul Huda Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang, Sedangkan tujuan secara khusus adalah:
8 1. Mendeskripsikan
perencanaan pembiayaan pendidikan yang dilaksanakan
pada MI Nurul Huda Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang. 2. Mendeskripsikan
pengorganisasian
pembiayaan
pendidikan
yang
dilaksanakan pada MI Nurul Huda Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang. 3. Mendeskripsikan pelaksanaan pembiayaan pendidikan yang dilaksanakan pada MI Nurul Huda Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang. 4. Mendeskripsikan
pengawasan
pembiayaan pendidikan yang dilaksanakan
pada MI Nurul Huda Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang. Agar dapat mendeskripsikan keempat fungsi manajemen pembiayaan pendidikan tersebut di atas, maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada manajemen pembiayaan pendidikan tahun pelajaran 2010/2011, yang meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Perencanaan pembiayaan pendidikan yang meliputi : a) pedoman dalam penyusunan perencanaan pembiayaan pendidikan, b) out put/hasil dari perencanaan pembiayaan pendidikan, c) unsur-unsur yang terlibat dalam penyusunan pembiayaan pendidikan, d) sosialisasi perencanaan pembiayaan terhadap stakeholder dan masyarakat, e) fleksibilitas penyusunan pembiayaan pendidikan. 2. Pengorganisasian pembiayaan pendidikan yang meliputi : a) strukturisasi organisasi pembiayaan pendidikan, b) pembagian tugas, c) pendelegasian wewenang dan tanggungjawab, d) penugasan/penempatan personel, e) pembinaan terhadap personel, f) identifikasi sumber-sumber pembiayaan pendidikan.
9 3. Pelaksanaan pembiayaan pendidikan meliputi : a) kegiatan penerimaan sumber-sumber pembiayaan pendidikan, b) kegiatan pengeluaran/penggunaan anggaran pembiayaan, c) pengendalian dan pelaporan pembiayaan pendidikan. 4. Pengawasan pembiayaan pendidikan yang meliputi : a) proses pengawasan dari unsur internal dan b) proses pengawasan dari unsur eksternal. D. Manfaat Penelitian Pendidikan dan pelatihan, penataran, workshop dan sejenisnya mengenai manajemen sekolah dan/atau manajemen kepala sekolah/madrasah telah banyak dilakukan baik tingkat nasional mapupun daerah termasuk di dalamnya manajemen keuangan atau pembiayaan dalam pendidikan. Namun demikian sampai saat ini pengelola pendidikan belum bisa memenuhi harapan-harapan yang diharapkan yaitu memiliki pendidikan yang bermutu, khususnya pada madrasah ibtidaiyah secara umum. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis Sebagai sumbangan penting dalam memperluas wawasan untuk mengkaji kebijakan pembiayaan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan secara luas, sehingga dapat dijadikan rujukan untuk pengembangan penelitian kebijakan pendidikan yang lebih menitikberatkan pada kebijakan pembiayaan pendidikan. Disamping itu juga dapat dijadikan sebagai model/pola penelitian berikutnya serta bermanfaat untuk penggalian informasi sebagai dasar pijakan untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
10 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi : a. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama sebagai penangungjawab penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia
dalam
menentukan
kebijakan-kebijakan
pembiayaan
pendidikan secara nasional b. Pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan dalam menentukan alokasi pembiayaan pendidikan di daerah. c. Kepala sekolah atau kepala madrasah selaku manajer di sekolah/madrasah dalam melaksanakan kebebasan menentukan kebijakan di sekolah/madrasah dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah (school base management). d. Komite sekolah/madrasah sebagai perwakilan dari orang tua siswa dan masyarakat untuk meningkatkan peran serta dalam pengambilan keputusan dan pembiayaan pendidikan. e. Yayasan
atau
lembaga
sejenisnya
selaku
penanggungjawab
penyelenggaraan bagi sekolah/madrasah yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk dapat memahami tanggungjawabnya dalam pembiayaan pendidikan. f. Masyarakat selaku pengguna jasa pendidikan
agar memahami tentang
pembiayaan pendidikan secara umum, khususnya pembiayaan pendidikan pada lembaga yang diselenggarakan oleh masyarakat / lembaga swasta. E. Penegasan Istilah Untuk menyamakan persepsi dan menghindari adanya perbedaan pemahaman terhadap istilah yang ada pada judul penelitian ini, perlu adanya penegasan istilah sebagai berikut :
11 1. Manajemen berarti mengoptimalkan sumber-sumber yang ada melalui fungsifungsi manajemen yaitu: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi yang dilakukan oleh manajer. Yang dimaksud manager di sini adalah orang yang diberi kewenangan untuk mengelola satuan pendidikan. 2. Pembiayaan pendidikan adalah sejumlah nilai uang yang diperoleh dan dibelanjakan untuk memberikan layanan pendidikan pada siswa atau pembiayaan langsung yang sifatnya budgeter terhadap proses belajar mengajar atau biaya yang diperoleh dan dibelanjakan oleh lembaga. Sedang biaya yang tidak bersifat budgeter seperti uang saku siswa untuk kepentingan sendiri tidak termasuk pengertian dalam penelitian ini. 3. MI Nurul Huda adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar di dalam pembinaan Menteri Agama dan di bawah naungan Yayasan Taman Pendidikan Islam Nurul Huda. 4. Perencanaan pembiayaan adalah proses penyusunan rankaian pembiayaan yang sistematis, analisis yang rasional mengenai kegiatan yang akan dilakukan, bagaimana dan siapa pelaksananya serta kapan dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan yang lebih efektif dan efesien. 6. Pengorganisasian pembiayaan adalah proses pengelompokkan orang, alat , tugas, tanggungjawab dan wewenang dalam manajemen pembiayaan sehingga tercipta organisasi yang dapat digerakkan sebagai kesatuan dalam mencapai tujuan. 7. Pelaksanaan
pembiayaan
adalah
proses
penerimaan
dan
pembiayaan sebagaimana yang telah ditetapkan dan pelaporannya.
pengunaan
12 8. Pengawasan pembiayaan adalah proses pengamatan dari pelaksanaan pembiayaan agar semua kegiatan sesuai dengan perencanaan yang telah ditentukan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. 9. Manajemen pembiayaan pendidikan adalah optimalisasi sumber daya pembiayaan melalui fungsi-fungsi manajemen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan pembiayaan yang dilakukan oleh kepala sekolah/madrasah untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.