1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dinyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut memiliki makna bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan pada kekuasaan belaka (machtstaat). Salah satu asas negara hukum adalah adanya kepastian hukum sebagaimana yang dinyatakan pada Pasal 3 angka (1) UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yaitu mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara1. Indonesia secara geografis adalah negara kepulauan terbesar di dunia2. Hal tersebut dikarenakan Indonesia memiliki letak strategis, yang berada di garis khatulistiwa dan di antara benua Asia dan Australia serta diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang Terdiri dari 13.466 pulau dan memiliki total panjang garis pantai sejauh 99.093 kilometer3.
1
Damang, ”Asas-asas umum Pemerintahan yang Baik”, http://www.negarahukum.com/hukum/asas-asas-umum-pemerintahan-yang-baik.html, diakses tanggal 2 Januari 2015. 2 Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, “Geografi Indonesia”, http://indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/geografi-indonesia, diakses tanggal 18 Febuari 2015. 3 Gloria Samantha, “Terbaru: Panjang Garis Pantai Indonesia Capai 99.000 Kilometer”, http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/10/terbaru-panjang-garis-pantai-indonesia-capai 99000-kilometer, diakses tanggal 18 Febuari 2015.
2
Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting setidaknya sejak abad ke-7, yaitu ketika Kerajaan Sriwijaya yang menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India. Kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha telah tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang membawa agama Islam, serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudera.4 Hal ini menunjukkan bahwa sebagai negara kepulauan, kegiatan transportasi lintas pulau dan/ atau benua dengan menggunakan angkutan di perairan, telah menjadi kepribadian bagi bangsa Indonesia. Bab I Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
dijelaskan
bahwa
transportasi
adalah
sarana
memperlancar
perekonomian, memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, demi terlaksananya perwujudan wawasan nusantara, meningkatkan pertahanan dan keamanan negara, serta memperkuat hubungan antar bangsa. Karakteristik pengangkutan yang dimiliki angkutan laut yang dilaksanakan secara nasional dan menjangkau seluruh wilayah melalui perairan dibutuhkan peningkatan potensi dan peningkatan peranannya sebagai sarana penghubung antar wilayah nasional maupun internasional termasuk juga lintas batas. Hal tersebut dikarenakan angkutan laut digunakan sebagai sarana penunjang, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4
Ibid.
3
Angkutan di perairan merupakan salah satu kegiatan transportasi untuk mengangkut dan / atau memindahkan penumpang dan / atau barang dengan menggunakan kapal sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 3 UndangUndang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, hal tersebut memberikan makna bahwa kapal menjadi suatu pilihan moda transportasi bagi masyarakat guna mengangkut barang dan / atau penumpang yang dapat diandalkan. Perusahaan Angkutan Laut Nasional sebagaimana yang dinyatakan pada Pasal 68 ayat (1) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 93 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut merupakan perusahaan berbadan hukum Indonesia yang berbentuk berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau Koperasi. Perusahaan Angkutan Laut Nasional menggunakan moda transportasi kapal berbendera Indonesia untuk melakukan kegiatan angkutan di perairan yaitu angkutan laut dalam negeri dan/atau kegiatan angkutan laut luar negeri. Pasal 69 ayat (3) dan (7) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 93 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut dinyatakan bahwa kapal yang digunakan oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional dalam melakukan kegiatannya, merupakan kapal milik perusahaan tersebut atau kapal yang proses kepemilikannya dilakukan melalui leasing (sewa guna usaha). Pasal 155 dan 158 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran serta Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan menjelaskan bahwa kapal berbendera Indonesia
4
merupakan kapal yang telah memiliki surat ukur kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7 (tujuh Gross Tonnage) yang telah didaftarkan dalam daftar kapal Indonesia oleh pemilik kapal yang merupakan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan pada hukum Indonesia serta berkedudukan di Indonesia atau kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia kepada pejabat pemerintah pendaftar dan pencatat balik nama kapal. Perusahaan Angkutan Laut Nasional dalam menggunakan kapal berbendera Indonesia memerlukan Awak Kapal yakni Pelaut yang bekerja di atas kapal guna melakukan kegiatan angkutan di perairan. Pasal 224 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dinyatakan bahwa agar setiap orang dapat bekerja di kapal dalam jabatan apa pun harus memiliki kompetensi, Dokumen Pelaut, dan disijil oleh Syahbandar. Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan dijelaskan secara terperinci bahwa setiap pelaut yang hanya bekerja di kapal dengan ukuran kurang dari GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonnage) untuk kapal jenis tertentu dalam hal ini adalah kapal yang digunakan untuk membantu menambatkan tali dan/atau pekerjaan-pekerjaan yang menunjang eksplorasi lepas pantai (mooring boat), ukuran GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonnage) atau lebih untuk kapal dengan tenaga penggerak mesin, dan ukuran GT 105 (seratus lima Gross Tonnage) atau lebih untuk kapal tanpa penggerak mesin yang harus disijil oleh pejabat Pemerintah yaitu Syahbandar. Adapun proses sijil oleh Syahbandar
5
kepada Pelaut didasari dengan telah ditandatanganinya Perjanjian Kerja Laut oleh Pelaut dan Perusahaan Angkutan Laut yang diketahui oleh Syahbandar. Perjanjian Kerja Laut yang dilakukan Pelaut yang bekerja pada kapal berbendera Indonesia adalah berisi hak bagi Pelaut untuk mendapatkan upah serta fasilitas atas kewajibannya melakukan pekerjaan pada kapal milik Perusahaan Angkutan Laut Nasional, dan berisi kewajiban bagi Perusahaan Angkutan Laut Nasional untuk memberikan upah serta fasilitas sebagai pemenuhan hak atas pekerjaan yang dilakukan oleh Pelaut pada Perusahaan Angkutan Laut tersebut berdasarkan kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki oleh Pelaut. Syahbandar merupakan pejabat pemerintah yang melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana yang dinyatakan Pasal 207 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Salah satu unsur guna terpenuhinya keselamatan dan keamanan pelayaran yang merupakan salah satu peranan Syahbandar dalam melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran adalah terpenuhinya unsur kelaiklautan pada kapal sebagaimana yang dinyatakan pada Pasal 117 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Unsur terpenuhinya pengawakan kapal merupakan salah satu unsur pembentuk kelaiklautan kapal, yang mencakup terpenuhinya unsur kualifikasi dan kompetensi pada Awak Kapal, yang salah satunya diwujudkan dengan telah disahkannya buku sijil oleh Syahbandar yang memuat nama dan jabatan Pelaut pada suatu kapal yang akan berlayar. Adapun salah satu persyaratan Syahbandar dalam mengesahkan buku sijil tersebut adalah telah ditandatanganinya Perjanjian
6
Kerja Laut antara Pelaut dengan Perusahaan Angkutan Laut Nasional yang diketahui oleh Syahbandar. Pasal 219 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran dan penjelasannya dinyatakan bahwa setiap kapal yang berlayar wajib memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar, setelah dipenuhinya persyaratan kelaiklautan kapal dan lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa Perjanjian Kerja Laut merupakan salah satu pondasi awal dalam terpenuhinya peryaratan untuk memiliki Surat Persetujuan Berlayar bagi kapal yang akan melakukan pelayaran serta salah satu faktor pendukung terciptanya keselamatan dan keamanan pelayaran yakni dengan terwujudnya salah satu unsur kelaiklautan kapal yaitu dalam hal terpenuhinya unsur pemenuhan pengawakan kapal. Perusahaan Angkutan Laut Nasional yang melakukan kegiatan usaha angkutan laut di Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) Pelabuhan Kantor Kesyahbandaran Utama Tanjung Priok, melakukan pengurusan dokumen-dokumen dan operasional
terhadap kapal
berbendera Indonesia miliknya yang bersandar dan akan bertolak dari Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) Pelabuhan Kantor Kesyahbandaran Utama Tanjung Priok menuju pelabuhan tujuan, namun ada juga sebagian perusahaan angkutan laut nasional tersebut mendelegasikan pengurusan dokumen-dokumen serta pengurusan operasional kapal berbendera Indonesia tersebut pada Perusahaan Nasional Keagenan Kapal.
7
Pengurusan dokumen-dokumen dan pengurusan operasional kapal berbendera Indonesia, baik yang dilakukan oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional itu sendiri maupun yang didelegasikan pengurusannya kepada Perusahaan Nasional Keagenan Kapal, salah satunya adalah pengurusan Perjanjian Kerja Laut yang dilakukan dengan penandatanganan oleh Pelaut yaitu calon Awak Kapal yang akan bekerja pada kapal berbendera Indonesia yang dimiliki oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional dengan pimpinan Perusahaan Angkutan Laut Nasional tersebut atau pihak yang telah diberikan kewenangan oleh pimpinan Perusahaan Angkutan Laut Nasional yang kemudian Perjanjian Kerja Laut yang telah ditandatangani diketahui dan disahkan oleh Pejabat yang berwenang pada Kantor Kesyahbandaran Utama Tanjung Priok. Kapal berbendera Indonesia yang bersandar dan akan bertolak dari Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) Pelabuhan Kantor Kesyahbandaran Utama Tanjung Priok, pada waktu tertentu memerlukan Awak Kapal bagi kapal yang baru memulai untuk beroperasi ataupun merupakan pengganti Awak Kapal yang lama bagi kapal yang telah lama beroperasi yang dikarenakan telah berakhirnya hubungan kerja Awak Kapal tersebut, sebagaimana yang telah diperjanjikan pada Perjanjian Kerja Laut dengan Perusahaan Angkutan Laut Nasional. Persayaratan penerimaan Pelaut untuk dijadikan sebagai Awak Kapal pada Perusahaan Angkutan Laut diantaranya adalah telah dibuatkannya dan ditandatanganinya Perjanjian Kerja Laut, yang kemudian dilakukan pengesahan buku sijil oleh Syahbandar, yang memuat nama dan jabatan Awak Kapal pada
8
suatu kapal yang akan berlayar sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi Awak Kapal tersebut. Persyaratan suatu keabsahan Perjanjian Kerja Laut harus diketahui oleh Syahbandar, sehingga menimbulkan peranan yang penting bagi Syahbandar guna mewujudkan terpenuhinya keabsahan suatu Perjanjian Kerja Laut yang dibuat oleh para pihak yang melakukannya dan menjadi suatu konsekuensi terhadap Perjanjian Kerja Laut, apabila tidak diketahui oleh Syahbandar maka adanya pembatalan terhadap Perjanjian Kerja Laut yang dibuat oleh para pihak, dan menimbulkan peranan bagi Syahbandar dalam melakukan pengawasan mengenai terlaksana atau tidaknya hal-hal yang diperjanjikan pada Perjanjian Kerja Laut yang telah dibuat dan diketahui oleh Syahbandar. Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk membuat penelitian dengan judul “Peranan Syahbandar Utama Tanjung Priok Dalam Perjanjian Kerja Laut Pada Kapal Berbendera Indonesia”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan dari alasan pemilihan judul tersebut di atas maka penulis membuat permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana peranan Syahbandar Utama Tanjung Priok di dalam penyusunan Dokumen Perjanjian Kerja Laut antara Perusahaan Angkutan Laut Nasional dengan Pelaut untuk Kapal Berbendera Indonesia?
9
2. Bagaimana peranan Syahbandar Utama Tanjung Priok dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja Laut antara Perusahaan Angkutan Laut Nasional dengan Awak Kapal Berbendera Indonesia?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui wewenang dan kewajiban Syahbandar Utama Tanjung Priok di dalam penyusunan Dokumen Perjanjian Kerja Laut antara Perusahaan Angkutan Laut Nasional dan Awak Kapal Berbendera Indonesia di Pelabuhan Tanjung Priok dalam rangka mengakomodir hak dan kewajiban para pihak di dalam Perjanjian Kerja Laut tersebut sebagai salah satu faktor pendukung terciptanya keselamatan dan keamanan pelayaran. 2. Untuk mengetahui wewenang dan kewajiban Syahbandar Utama Tanjung Priok terhadap Perusahaan Angkutan Laut Nasional, dan Awak Kapal Berbendera Indonesia di Pelabuhan Tanjung Priok dalam penerapan hak dan kewajiban para pihak di dalam Perjanjian Kerja Laut yang telah ditandatangani,
sebagai
salah
satu
faktor
pendukung
terciptanya
keselamatan dan keamanan pelayaran.
D. Manfaat Penelitian Dari penelitian dengan judul Peranan Syahbandar Utama Tanjung Priok dalam Perjanjian Kerja Laut pada Kapal Berbendera Indonesia, penulis berharap dapat memberikan manfaat :
10
1. Bagi Instansi Pemerintahan Kementerian Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut khususnya Kantor Kesyahbandaran Utama Tanjung Priok, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan di dalam melaksanakan wewenang serta tanggung jawabnya dalam pelaksanaan penyusunan dokumen Perjanjian Kerja Laut dan penerapan Perjanjian Kerja Laut yang telah ditandatangani oleh para pihak yang melakukan perjanjian di waktu yang akan datang sebagai sebagai salah satu faktor pendukung Syahbandar dalam melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran. 2. Bagi Praktisi Hukum, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan Perjanjian Kerja Laut di waktu yang akan datang. 3. Bagi kalangan Akademisi dan Perguruan Tinggi, hasil penelitian ini diharapkan
dapat
berguna
sebagai
bahan
referensi
di
dalam
penelitiannya. 4. Bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan di bidang Hukum dan khususnya yang berkaitan dengan Perjanjian Kerja Laut, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan kontribusi.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan penulis melalui penelusuran di kepustakaan hukum Universitas Gadjah Mada dan Internet, tidak menemukan penelitian yang mengkaji khusus mengenai “Peranan Syahbandar Utama Tanjung Priok Dalam
11
Perjanjian Kerja Laut Pada Kapal Berbendera Indonesia”, namun ada beberapa penelitian yang dilakukan mengenai Perjanjian Kerja Laut dengan judul penelitian dan substansi penelitian yang berbeda. Beberapa penelitian yang memiliki keterkaitan terhadap penulisan tesis ini adalah : 1. Tesis yang berjudul “Perjanjian Kerja Laut Antara Perusahaan Nasional Dengan Anak Buah Kapal (Studi Perjanjian Kerja Laut PT. Wahidins Maligai dengan ABK)” yang diteliti oleh Wahyuddin Syech, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 2002. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah menganalisa sejauh mana Perusahaan Pelayaran dapat terikat untuk melaksanakan Perjanjian Kerja Laut yang telah ditandatanganinya dengan anak buah kapal (ABK) yang bekerja pada kapal keagenannya; Kepada siapa yang harus menanggung beban akibat pemutusan hubungan kerja, apabila terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ABK yang bersangkutan yang dilakukan oleh nakhoda atau pemilik kapal serta dapatkah ABK menuntut kepada perusahaan pelayaran yang menandatangani Perjanjian Kerja Laut; proses penyelesaian sengketa antara ABK, Nakhoda, pemilik kapal dan Perusahaan Pelayaran yang mengageni. Lokasi dan subyek penelitian dilakukan di Kantor Administrator Pelabuhan Samarinda, Kantor Dinas Tenaga Kerja Samarinda, Kantor Perusahaan Pelayaran Nasional PT. Wahidins Maligai dan Kantor Pengacara Wahyuddin Syech dan Rekan di Samarinda.
12
2. Tesis yang berjudul “Perlindungan Hak-Hak Bagi Awak Kapal Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kerja Laut” yang diteliti oleh Ivone Putri Andyana, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 2008. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah menganalisa apakah hak-hak Awak Kapal yang diperjanjikan terlaksana dengan baik sesuai Perjanjian Kerja Laut; menganalisa keefektifan Syahbandar dalam melakukan pengawasan untuk melindungi hak-hak Awak Kapal. Lokasi penelitian sama-sama berada pada pelabuhan Tanjung Priok, namun penelitian yang dilakukan menitikberatkan pada penjelasan hak-hak Awak Kapal berbendera Indonesia dan asing serta pelaksanaan pengawasan Syahbandar terhadap hak-hak Awak Kapal berbendera Indonesia dan asing, serta organisasi dan tata kerja Syahbandar pada Pelabuhan Tanjung Priok
yang
masih
berpedoman
terhadap
nomenklator
Kantor
Administrator Pelabuhan yang mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 62 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Administrator Pelabuhan yang saat ini telah diubah oleh Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 34 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesyahbandaran Utama. 3. Tesis yang berjudul “Tinjauan Tentang Penyelesaian PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) Antara Perusahaan Penangkap Ikan – PT. Nusantara Fishery Dengan ABK (Anak Buah Kapal) Di Kota Ambon - Maluku” yang diteliti oleh Andress Deny Bakarbessy, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 2008. Permasalahan yang dikaji dalam
13
penelitian ini adalah menganalisa pihak manakah yang berwenang dalam menyelesaikan persoalan PHK antara perusahaan penangkap ikan dengan ABK di Kota Ambon; Bagaimana proses penyelesaian PHK antara peusahaan penangkap ikan PT. Nusantara Fishery dengan ABK di Kota Ambon; Hambatan-hambatan yang dihadapi para pihak dalam proses penyelesaian PHK. Lokasi dan subyek penelitian yaitu pada Kantor Administrator Pelabuhan Maluku, PT. Nusantara Fishery dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Ambon. 4. Tesis yang berjudul “Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerja Laut Antara Anak Buah Kapal Dengan PT. Dharma Lautan Utama Cabang Banjarmasin” yang diteliti oleh Moh Muniri, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 2012. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah menganalisa apakah Perjanjian Kerja Laut dapat menjamin hak dan kewajiban para pihak khususnya Anak Buah Kapal; Bagaimana Konsekuensi yuridis tidak dibuatnya Perjanjian Kerja Laut yang dikarenakan Anak Buah Kapal dan pengusaha telah ada perjanjian kerja yang didaftarkan pada dinas tenaga kerja setempat. Lokasi dan subyek penelitian yaitu Anak Buah Kapal, PT. Dharma Lautan Utama, Pihak Syahbandar, dan Pengawas Ketenagakerjaan di Dinas Tenaga Kerja, lokasi subyek penelitian di Banjarmasin. Apabila dilihat dari judul penelitian, substansi, dan permasalahan pada penelitian yang diuraikan di atas, dibandingkan dengan judul penelitian, substansi, dan permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini tidaklah sama. Maka dengan
14
demikian penulis berpandangan bahwa penelitian yang akan dilakukan memenuhi prinsip keaslian, namun apabila terdapat ada penelitian yang sama terlebih dahulu dilakukan oleh pihak lain, penulis berharap penelitian ini dapat sebagai pelengkap dan saling mengisi satu sama lain.