BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Dalam publikasi United Nations Development Programme (UNDP) melalui Human Development Report tahun 1996 tentang Konsep Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pembangunan manusia didefinisikan sebagai “a process of enlarging people’s choices” atau suatu proses yang meningkatkan aspek kehidupan masyarakat. Secara spesifik, UNDP menetapkan empat elemen utama dalam pembangunan manusia, yaitu produktivitas (productivity), pemerataan (equity), kesinambungan (sustainability) dan pemberdayaan (empowerment).IPM terdiri dari 3 indikator utama, yaitu indikator kesehatan, tingkat pendidikan dan indikator ekonomi.Pengukuran ini menggunakan tiga dimensi dasar, yaitu lamanya hidup, pengetahuan, dan standar hidup yang layak.Ketiga unsur tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.Selain juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti ketersediaan kesempatan kerja, yang pada gilirannya ditentukan oleh banyak faktor, terutama pertumbuhan ekonomi, infrastruktur dan kebijakan pemerintah (Vegirawati, 2012). Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan bahwa IPM merupakan sebuah indeks komposit (gabungan) dari indeks pendidikan, kesehatan dan daya beli yang diharapkan dapat mengukur tingkat keberhasilan pembangunan manusia yang tercermin dengan penduduk yang berpendidikan, sehat dan berumur panjang, berketerampilan serta mempunyai pendapatan untuk layak hidup.Menurut catatan Badan Pusat Statistik Provinsi Bali Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi Bali cenderung mengalami kenaikan.Data yang berkaitan dengan
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali dari tahun 2008-2013 disajikan pada Tabel 1.1 berikut ini. Tabel1.1 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali tahun 2008-2013 Kabupaten Buleleng Jembrana Tabanan Badung Gianyar Bangli Klungkung Karangasem Denpasar
2008 69.67 72.02 73.73 74.12 72.00 69.72 69.66 65.46 77.18
Indeks Pembangunan Manusia 2009 2010 2011 2012 70.26 70.69 71.12 71.93 72.45 72.69 73.18 73.62 74.26 74.57 75.24 75.55 74.49 72.02 75.35 75.69 72.43 72.73 73.43 74.49 70.21 70.71 71.42 71.80 70.19 70.54 71.02 71.76 66.06 66.42 67.07 67.83 77.56 77.94 78.31 78.80
Rata-rata IPM Prov.Bali
71.51 71.99 72.03 Sumber : BPS Provinsi Bali, 2015
72.90
73.50
2013 72.54 74.29 76.19 76.37 75.02 72.28 72.25 68.47 79.41
Rata-rata Kab/Kota
71.04 73.04 74.92 74.67 73.35 71.02 70.90 66.89 78.20
74.09
Berdasarkan Tabel 1.1 IPM di Kabupaten Badung dari tahun 2009 ke 2010 mengalami penurunan paling besar yaitu minus 2,47 dari 74,49 menjadi 72,02. WalaupunIPM Kabupaten/Kota di Provinsi Bali rata-rata mengalami kenaikan setiap tahunnya, akan tetapi belum ada satupun perolehan IPM Kabupaten/Kota lebih dari 80. Apabila indeks komposit IPM yang diperoleh suatu daerah lebih dari 80 maka dapat dikatakan IPM suatu daerah berkategori tinggi.Secara keseluruhan IPM Provinsi Bali berkategori menengah atas (66 < IPM < 80).Apabila diteliti lebih seksama peningkatan IPM Kabupaten/Kota Provinsi Bali mengalami penurunan
peningkatan,
meskipun
rata-rata
IPM
yang
diperoleh
meningkat
setiap
tahunnya.Penurunan peningkatan IPM terjadi karena beberapa faktor, seperti tidak tersedianya kesempatan kerja, pembangunan infrastruktur yang tersendat serta bantuan untuk bidang kesehatan dan pendidikan belum tepat sasaran.Data Peningkatan IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Bali disajikan pada Tabel 1.2 berikut.
Tabel 1.2 Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia 2009 2010 2011 2012 2013 Buleleng 0.59 0.43 0.43 0.81 0.61 Jembrana 0.43 0.24 0.49 0.44 0.67 Tabanan 0.53 0.31 0.67 0.31 0.64 Badung 0.37 -2.47 3.33 0.34 0.68 Gianyar 0.43 0.30 0.70 1.06 0.53 Bangli 0.49 0.50 0.71 0.38 0.48 Klungkung 0.53 0.35 0.48 0.74 0.49 Karangasem 0.60 0.36 0.65 0.76 0.64 Denpasar 0.38 0.38 0.37 0.49 0.61 Sumber : BPS Provinsi Bali, 2015 Kabupaten
Ratarata 0.57 0.45 0.49 0.45 0.60 0.51 0.53 0.60 0.45
Berdasarkan Tabel 1.2 Rata-rata tertinggi peningkatan IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Bali adalah Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Karangasemdengan rata-rata peningkatan yang sama besar, yaitu 0,60sedangkan peningkatan IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Bali yang terendah adalah Kabupaten Jembrana, Badung dan Kota Denpasar sebesar 0,45. IPM dapat digunakan sebagai alat ukur keberhasilan pembangunan di suatu daerah dan salah satu petunjuk untuk melihat apakah pembangunan yang telah dilakukan sesuai dengan yang ditetapkan. Sumber dana yang dibutuhkan untuk pembangunan daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah. Semakin mandiri suatu daerah berarti Pendapatan Asli Daerah mampu membiayai pembangunan daerahnya.Data berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali disajikan pada Tabel 1.3 berikut. Tabel 1.3 Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Kabupaten
Pendapatan Asli Daerah (dalamMiliar Rupiah) 2009
2010
2011
2012
2013
Buleleng
63,458
86,962
109,167
129,003
160,384
Jembrana
23,324
34,340
41,330
46,470
68,485
Tabanan
93,444
116,860
141,046
183,295
255,418
Badung
850,170
979,194
1.466,298
1.872,346
2.279,113
Gianyar
112,540
153,559
209,598
261,222
319,612
Bangli
16,301
16,252
22,963
40,751
56,661
Klungkung
29,566
31,331
40,735
48,561
67,401
Karangasem
47,842
62,696
129,556
144,019
168,652
215,156
260,482
424,959
551,326
658,974
Denpasar
Sumber : Biro Keuangan Setda Provinsi Bali, 2015 Berdasarkan Tabel 1.3 PAD terendah secara keseluruhan di Provinsi Bali diperoleh Kabupaten Bangli yaitu Rp 16.301.547.341,74, sedangkan PAD tertinggi adalah Kabupaten Badung dengan perolehan Rp 2.279.110.000.000,00 pada tahun 2013 dan posisi kedua PAD tertinggi adalah Kota Denpasar yaitu sebesar Rp 658.974.707.435,78. Apabila dibandingkan dengan rata-rata Peningkatan IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, justru Kabupaten Badung dan Kota Denpasar berada pada peringkat terbawah. Hal ini mengindikasikan bahwa PAD yang diperoleh Kabupaten Badung dan Kota Denpasar diduga tidak sepenuhnya digunakan untuk menaikkan sektor-sektor yang dapat meningkatkan perolehan IPM.PAD seluruh daerah Bali yang terus meningkat setiap tahunnya semestinya dibarengi dengan peningkatan IPM karena daerah mengalokasikan belanja daerahnya untuk menaikan sektor-sektor yang mendorong peningkatan IPM. Strategi alokasi belanja daerah memainkan peranan yang tidak kalah penting guna meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia. Belanja Daerah menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) terdiri dari Belanja Modal dan Belanja Rutin.Belanja Modal yang dilakukan oleh pemerintah daerah terdiri atas Belanja Aset Tetap dan Belanja Aset Lainnya,seperti pembangunan dan perbaikan sektor pendidikan, kesehatan, transportasi, sehingga masyarakat juga menikmati manfaat dari pembangunan daerah. Anggaran Belanja Modal didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik
untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, pemerintah daerah seharusnya mengubah komposisi belanjanya.Data berkaitan dengan Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Bali disajikan pada Tabel 1.4 berikut. Tabel 1.4Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Bali
Kabupaten Buleleng Jembrana Tabanan Badung Gianyar Bangli Klungkung Karangasem Denpasar
Belanja Modal (dalam Miliar Rupiah) 2009 2010 2011 2012 102,442 47,207 121,895 79,433 92,897 58,163 67,493 134,613 77,334 74,637 70,442 138,723 445,014 176,302 199,704 627,705 158,563 109,959 104,130 120,627 48,263 68,608 114,687 82,340 82,507 42,555 49,010 81,223 141,782 77,507 118,836 171,630 88,378 65,756 88,771 206,143
2013 185,896 142,563 128,186 766,712 185,323 62,762 93,418 180,737 254,008
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi Bali, 2015 Berdasarkan Tabel 1.4 menunjukkan Belanja Modal tertinggi adalah Kabupaten Badung, sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Bangli. Pengalokasian Belanja Modal ini sesuai dengan Pendapatan Asli Daerah yang diperoleh masing-masing daerah dimana PAD tertinggi yaitu Kabupaten Badung, terendah juga masih dari kabupaten yang sama yaitu Kabupaten Bangli.Pengalokasian belanja modal ini dianggarkan sesuai dengan kebutuhan di daerah. Sesuai dengan
Permendagri
No
13
Tahun
2006
tentangpedoman
pengelolaan
keuangan
daerahmenyatakan alokasi belanja modal sebaiknya 30 persen dari total belanja daerah. Diantara seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Bali hanya Kabupaten Badung yang telah mencapai presentase alokasi IPM sebesar 31,13 persen pada tahun 2009. Hal ini menandakan pemerintah
daerah Bali belum mampu mengalokasikan danauntuk belanja modal sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Upaya
peningkatan
IPM tidak terlepas dari
peran pemerintah daerah
dalam
mengalokasikan sumber-sumber pendapatan daerah pada belanja daerah untuk sektor-sektor yang dapat menaikkan IPM seperti bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan. Otonomi daerah memungkinkan percepatan pembangunan, karena daerah diberi kewenangan dalam menyelesaikan permasalahan daerah. Pemerintah daerah diharapkan dapat mengelola sumber daya yang dimilikinya dan melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik sehingga akan berdampak pada pelayanan yang diberikan kepada masyarakat (Handra dan Maryati, 2009). Provinsi Bali sebagai salah satu daerah otonom di Indonesia turut merasakan dampak dari diberlakukannya otonomi daerah khususnya dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).APBD tersusun atas komponen penerimaan daerah dan belanja daerah.Sumber-sumber pendapatan daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sedangkan pengeluaran dilakukan oleh daerah dalam bentuk belanja daerah (Vegirawati, 2012).APBD disusun oleh pemerintah suatu daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakatnya karena dengan adanya APBD, suatu daerah dapat memaksimalkan sumber-sumber pendapatan daerah, membelanjakan dana tersebut sesuai program dan kegiatan yang telah direncanakan dan ditetapkan dalam peraturan daerah setempat, namun proses penyusunan APBD tidak selamanya berjalan dengan baik.Penyusunan APBD seringkali berbenturan dengan kepentingan politis dan birokrasi
pemerintahan.Teori Pilihan Rasional menyatakan bahwa teori ini mencoba menjembatani antara ekonomi mikro dan politik dengan melihat pada tindakan warga, politisi, dan pelayan publik serta melihat bagaimana pilihan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan publik seperti penyusunan APBD.Pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misalnya untuk melakukan aktivitas pembangunan melalui belanja modal dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah manfaat dan meningkatkan kapasitas serta kualitas aset (Andaiyani, 2012). Syahril (2011) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara”.Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia.Secara parsial, Pendapatan Asli Daerah juga berpengaruh secara signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia, sedangkan Belanja Modal tidak berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Menurut penelitian tersebut,Provinsi Sumatra Utara
dikategorikan
cukup berhasil dalam menggali potensi-potensi Pendapatan Asli Daerahuntuk meningkatkan IPM. Selanjutnya, Mirza (2012) meneliti “Pengaruh Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, Dan Belanja Modal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Di Jawa Tengah Tahun 2006-2009” menunjukkan Belanja Modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM.Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya (Christy dan Adi, 2009) yang mengungkapkan bahwa belanja modal yang merupakan bagian dari belanja langsung mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap IPM.Hasil penelitian ini berbedadengan penelitian yang dilakukan Vegirawati (2013) dengan judul “Pengaruh Alokasi Belanja Langsung Terhadap Kualitas Pembangunan Manusia (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Kota di Sumatera Selatan)” menunjukkan bahwa belanja langsung tidak dapat memprediksi Indeks Pembangunan Manusia.Menurut Sasana (2012), Belanja langsung diperuntukkan guna meningkatkan kualitas sarana dan prasarana umum atau program-program langsung yang dapat merangsang peningkatan produktivitas masyarakat serta pelaku usaha di daerah. Penelitian sebelumnya menunjukkan masih adanya perbedaan hasil penelitian tentang hubunganPendapatan
Asli
Daerah
dan
Belanja
Daerah
pada
Indeks
Pembangunan
Manusia.Berdasarkan uraian tersebut peneliti merasa perlu untuk meneliti kembalipengaruh PAD dan Belanja Modal pada Peningkatan IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.Perbedaan penelitian ini dengan riset-riset sebelumnya adalah menggunakan seluruh komponen belanja modal yang terdiri atasBelanja Aset Tetap dan Belanja Aset Lainnya serta PAD dari tahun 2009-2013 agar lebih menggambarkan pengaruh alokasi belanja modal dan PAD secara keseluruhan pada peningkatan IPM. Penelitian ini dilakukan pada pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, sedangkan pada penelitian Syahril (2011) meneliti pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara, Mirza (2012), Christy dan Adi (2009)sama-samameneliti pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah,sertaVegirawati (2013)meneliti pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan. Badrudin (2011) mengatakan tingkat IPM yang tinggi belum tentu merupakan kontribusi penuh dari alokasi belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah.Tidak semua daerah dengan PAD dan jumlah belanja daerah yang tinggi memiliki IPM yang tinggi pula.Pencapaian tingkat kesejahteraan tersebut dapat dilakukan secara mandiri oleh masyarakat dan sangat dipengaruhi
oleh kondisi dan kekuatan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat itu sendiri.Namun, apabila sumber PAD dan pengalokasian belanja modal dilakukan secara tepat akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia. Berdasarkan fenomena tersebut peneliti ingin mengetahui“Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal pada Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (Studi Kasus pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali)”.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan atas latar belakang yang telah disampaikan, maka dapat dirumuskan rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut: 1) Apakah Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positifdan signifikan pada Penigkatan Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kotadi Provinsi Bali? 2) ApakahBelanja
Modalberpengaruh
positif
dan
signifikanpada
Peningkatan
Indeks
Pembangunan ManusiaKabupaten/Kotadi Provinsi Bali? 1.3 Tujuan Penelitian 1) Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah pada Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia. 2) Untuk mengetahui pengaruh Belanja Modal pada Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia.
1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis untuk berbagai pihak yang berhubungan dengan penelitian ini. Adapun kegunaan penelitian ini yaitu:
1) Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal pada PeningkatanIndeks Pembangunan Manusia.Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian berikutnya yang sejenis. 2) Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada Pemerintah Daerah sekaligus sebagai referensi untuk menentukan strategi yang tepat guna menggali pendapatan daerah dengan sumber daya yang dimiliki agar dapat meningkatkan Belanja Daerah demi peningkatan Indeks Pembangunan Manusia.
1.5 Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari 5 bab yang saling berhubungan antara bab yang satu dengan yang lain dan disusun secara terperinci serta sistematis. Gambaran umum mengenai isi dari masingmasing bab adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, serta sistematika dalam penulisan skripsi.
BAB II
: KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS Bab ini mengkaji landasan teori, konsep-konsep yang digunakan dan hasil penelitian sebelumnya yang diperlukan dalam menjawab masalah penelitian yang akan dibahas dalam skripsi.
BAB III
: METODE PENELITIAN
Bab ini menjelaskan mengenai desain penelitian, lokasi dan obyek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi, sampel dan metode penentuan sampel, metode pengumpulan data dan teknik analisis data. BAB IV
: PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Pada bab ini diuraikan mengenai data amatan, hasil uji asumsi klasik, deskripsi statistik, dan hasil analisis regresi linear berganda.
BAB V
: SIMPULAN DAN SARAN Bab ini menguraikan simpulan dari keseluruhan hasil penelitian dan disertakan pula saran-saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.