1
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam eskalasi politik domestik Turki kontemporer telah terjadi perubahan aliran politik yang dominan drastis. Pergantian rezim pemerintahan telah membawa pergeseran yang signifikan dalam politik luar negeri Turki. Berkuasanya Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkinme Partisi – AKP) memberikan corak baru dalam pemerintahan Turki. Partai ini beraliran konservatif dengan pembangunan dan peningkatan ekonomi serta penegakan demokrasi sebagai agenda utama. AKP dibentuk oleh Recep Teyyib Erdogan pada tahun 2001 dan langsung mendapat sambutan baik dari rakyat Turki. AKP berhasil membawa Erdogan pada puncak kekuasaan setelah memenangkan 46,58% suara pada pemilihan umum tanggal 22 Juli 2007.1 Berkuasanya Erdogan menjadikan Turki sebagai topik hangat dalam perpolitikan internasional. Banyak kebijakan Erdogan dianggap mengalami pergeseran dari pemerintahan sebelumnya. Kebijakan luar negeri Erdogan dianggap lebih islami oleh dunia Internasional.
AKP menjalankan
politik luar negeri berbasis soft-power yang populer dengan sebutan zero problems with neighbors, yang pada kenyataannya menempatkan fokus pada 1 Ramin Ahmadov, “Counter Transformation in the Center and Periphery o Turkish Society and the Rise of Justice and Development Party,” Alternatives Journal, Vol. 7. No. 2 & 3.Summer & Fall 2008, hal. 15.
2
negara-negara selatan dan timur.2 Selama era AKP hubungan Turki dengan Timur Tengah dan dunia Arab telah meningkat secara dramatis yang menegaskan bahwa Timur Tengah telah menjadi focal point dalam politik luar negeri multilateral Turki. Para pemimpin Arab dan masyarakat Arab secara luas juga telah lebih menerima kehadiran Turki dalam regional tersebut.3 Pada awal tahun 2011, Turki dengan kebijakan luar negeri yang memfokuskan pada pendekatan pada negara Timur Tengah mendapat tantangan besar ketika sejumlah negara Arab mengalami pergolakan politik yang pada akhirnya berakhir dengan pelengseran rezim pemerintahan. Bergulirnya krisis politik di sejumlah negara Arab telah menjadi bahasan utama dalam forum-forum global. Tidak hanya negara-negara besar seperti AS, Prancis, ataupun Inggris, aliansi militer dan lembaga-lembaga internasional seperti NATO, PBB, Uni Afrika dan Liga Arab juga memberikan pengaruh yang signifikan. Kejahatan kemanusiaan, rezim otoriter dan intervensi militer merupakan beberapa isu yang menjadi sorotan selama beberapa tahun terakhir di negara-negara Arab. Berawal dari aksi protes terhadap rezim pemerintahan, intervensi militer oleh NATO kemudian dilakukan terhadap beberapa negara yang dianggap telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap rakyatnya. Hal ini mengundang pro dan kontra dari sejumlah negara. Ada yang menolak intervensi tersebut namun di lain pihak negara-negara tergabung sebagai motor penggerak meluasnya invasi militer.
2
“Libya: Turkey's FM Ahmet Davutoglu Outlines Policy,” diakses melalui http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-12897878 pada 15 Januari 2013. 3 Ziya Onis, “Turkey and the Arab Spring : Between Ethics and Self-Interest,” Insight Turkey, Vol. 14 / No. 3 / 2012. Hal 45-63.
3
Turki yang diperhadapkan pada situasi tersebut mengalami dilema. Intervensi NATO ke Libya telah menyediakan pilihan sulit bagi keberpihakan Turki. Apakah Turki akan melanjutkan membangun hubungan dengan negaranegara Arab atau mempertahakan hubungannya dengan NATO dan negara Barat. Turki telah menjadi anggota NATO sejak 1952. Turki menjadi anggota aliansi yang setia dengan ikut terlibat dalam perang Korea, intervensi NATO ke Afganistan serta menjaga perbatasan dengan Timur selama Perang Dingin. NATO telah menjadi payung keamanan bagi Turki selama lebih dari enam dekade. NATO juga menjadi salah satu bentuk pengakuan atas diterimanya Turki sebagai salah satu negara Barat. Tentunya menjadi taruhan yang besar bagi Turki jika mengambil kebijakan yang kontra dengan Amerika Serikat dan sekutunya. Di sisi lain politik luar negeri Turki di bawah pemerintahan Erdogan telah menyusun serangkaian strategi untuk lebih bersahabat dengan negara-negara Timur Tengah. Dukungan terhadap intervensi militer NATO tentunya akan menjadi hambatan terhadap jalannya proses tersebut. Di samping itu, dalam menganalisis pergolakan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara tentunya tidak hanya dengan melihat NATO secara parsial sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Turki. Pada kenyataannya intervensi yang dilakukan NATO di Libya merupakan mandat dari resolusi Dewan Keamanan PBB dengan berlandaskan pada norma kemanusiaan yang dikenal dengan Responsibility to Protect (RtoP). Konsep ini menekankan bahwa masyarakat dan hukum internasional mempunyai kewenangan untuk
4
mengintervensi negara atau rezim pemerintahan yang dianggap melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap rakyatnya. Secara teknis yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan resolusi dan memberi mandat adalah Dewan Keamanan PBB. Untuk itu, ketika mengidentifikasi aktor yang terlibat dalam intervensi militer ke Libya, tentunya harus melihat NATO dan RtoP sebagai dua variabel struktur yang mempengaruhi pengambilan kebijakan. Adapun fokus kajian dalam penelitian ini yaitu kebijakan Turki terkait intervensi militer NATO ke Libya. Libya menjadi negara objek Resolusi Dewan Keamanan PBB yang memberikan kewenangan bagi NATO untuk melancarkan intervensi militer. Melalui resolusi 1973, Dewan Keamanan PBB telah memberikan mandat kepada NATO untuk memberlakukan zona larangan terbang dan segala upaya untuk melindungi populasi di Libya. Intervensi internasional ini dianggap membawa kesuksesan besar yang memberikan kemenangan bagi pihak oposisi dengan dibantu pasukan NATO dan jatuhnya rezim Moammar Qaddafi. Runtuhnya rezim otoriter yang telah berkuasa selama empat dekade ini tentunya secara langsung telah mengubah iklim politik di Libya secara drastis yang terlihat jelas dari adanya pergantian rezim dan perombakan struktur pemerintahan serta proses demokratisasi yang dikomando oleh negara-negara Barat. Kebijakan NATO untuk ikut secara langsung melakukan intervensi militer di Libya pada dasarnya mendapat banyak dukungan dan kecaman dari berbagai pihak. Di satu sisi misi kemanusiaan yang dibawa tentunya merupakan wujud implementasi tanggung jawab dari PBB dan NATO itu sendiri dalam menjaga
5
perdamaian dunia. Akan tetapi di sisi lain, dominasi kekuatan besar, terutama Amerika Serikat, Prancis dan Inggris menjadi titik kritis dan kontroversial dalam keputusan strategis ini. Sebagai respon atas situasi Libya dan reaksi masyarakat internasional, Turki kemudian menolak segala bentuk intervensi NATO ke Libya. Sejak pertama kali bergulirnya isu NATO akan mengambil alih secara kolektif dalam intervensi Libya, Turki telah menunjukkan reaksi negatif. Terkait intervensi NATO ke Libya, Turki telah menggambarkan bahwa penggunaan zona larangan terbang “unhelpful and fraught with risk.” Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan, menyatakan bahwa intervensi militer oleh NATO di Libya atau negaranegara lainnya secara total akan sangat counter-productive.4 Erdogan juga menjelaskan bahwa intervensi ke Libya tersebut tidak lepas dari kepentingan negara-negara barat akan minyak. “The Middle East and Africa have been viewed by the west as sources of oil and used as pawns in oil wars for decades. Any type of sanctions or intervention that would punish the Libyan people is unacceptable and would cause massive problems.”5 Erdogan meragukan motivasi Perancis dalam memimpin intervensi dengan mengatakan: “I advise our western friends, when they look at this region, to see the hungry children, the suffering mothers, the poverty. I wish they would not only
4
“Turkey’s Position on the Libyan Revolution,” Arab Center for Research and Policy Studies, Doha, March 2011, tersedia di http://english.dohainstitute.org/release/b748c9b2-b311-4ae4-aa2d9576874037e5 5 “Alarm over plans for Libya no-fly zone,” diakses melalui http://www.ft.com/cms/s/0/2719808443fe-11e0-8f20-00144feab49a.html#axzz2Eb9oCRXr pada 15 Januari 2013.
6
see oil, gold mines or underground wealth.”6 Dari beberapa pernyataan Erdogan tersebut dapat kita lihat bahwa Turki telah menentukan garis politiknya dengan menolak intervensi NATO ke Libya dan menyatakan bahwa hal tersebut sebenarnya semata-mata dilandasi kepentingan politik dan ekonomi negara-negara superpower. Turki pada dasarnya mendukung upaya Dewan Keamanan PBB untuk menegakkan keamanaan di Libya, akan tetapi menolak intervensi militer. Turki menyatakan bahwa masih ada peluang negosiasi damai. Tidak seperti negaranegara NATO lainnya, Turki telah mempertahankan kontak resmi dan bahkan informal dengan rezim Libya selama pemberontakan. Perdana Menteri Erdogan mengungkapkan dia telah menemui Qaddafi secara pribadi untuk membahas krisis dan mendesak penguasa Libya untuk menunjuk seorang tokoh politik dengan dukungan rakyat untuk mencari solusi.7 Para pejabat Turki mengatakan bahwa Erdogan telah bertemu Qaddafi dan putranya Saif al-Islam beberapa kali untuk mengeksplorasi sebuah negosiasi damai. Para pemimpin oposisi Libya juga telah diterbangkan ke Ankara untuk melakukan pembicaraan. Rencana Turki adalah membujuk Qaddafi untuk mundur dan menyelenggarakan pemilu baru dalam
6
“Turkey attacks France on Libya ‘crusade.” Diakses melalui http://www.ft.com/intl/cms/s/0/fe514f9c-5631-11e0-8de9-00144feab49a.html#axzz2Eb9oCRXr pada 15 Januari 2013. 7 “Turkey's Opposition to Military Intervention in Libya,” diakses melalui http://www.unhcr.org/refworld/country,,THE_JF,,TUR,4562d8b62,4d8846552,0.html pada 15 Januari 2013.
7
waktu singkat. Turki mengatakan hal itu menunjukkan kemajuan akan tetapi terhenti sejak serangan udara Perancis pada pasukan darat Libya.8 Dikutip dari Journal of the Turkish Weekly, edisi 12 Maret 2011, Turki pada kenyataannya tidak membekukan aset Libya atau membuat perubahan dalam representasi diplomatik. Selanjutnya, dikutip dari Hurriyet dan Gulf News edisi 13 Maret 2011, Turki bergabung dengan Uni Emirat Arab untuk menyediakan pengiriman pertolongan pertama kemanusiaan ke Libya sejak krisis dimulai. Turki mengirimkan sebuah kapal angkatan laut untuk menemani dua kapal yang mengangkut 388 ton makanan, 32 ton obat-obatan, air, tempat penampungan portabel, dan tim bantuan Turkish Red Crescent.9 Penolakan dan kritik Turki terhadap intervensi militer tentunya telah menjadi batu sandungan bagi NATO. Dimana dalam mengambil kebijakan harus dilakukan melalui konsensus dengan persetujuan dari ke-28 negara anggota. Implikasinya kemudian adalah negara-negara anggota NATO, terutama Amerika Serikat dan Inggris melalukan negosiasi langsung dengan Turki, sehingga penolakan Turki terhadap zona larangan terbang dan intervensi secara keseluruhan di Libya tidak berlangsung lama. Beberapa saat setelah mengadakan perundingan dengan negara-negara anggota NATO, parlemen Turki secara resmi memberi kewenangan untuk berpartisipasi dalam operasi militer di Libya, termasuk menegakkan zona larangan terbang. Perdana menteri dan kabinet Turki telah
8
“Libya: Turkey's troubles with Nato and no-fly zone,” http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-12864742 pada 15 Januari 2013. 9 “Turkey's Opposition to Military Intervention in Libya,” http://www.refworld.org/docid/4d8846552.html pada 15 Januari 2013.
diakses
melalui
diakses
melalui
8
memberikan lampu hijau untuk berpartisipasi dalam operasi zona larangan terbang di Libya.10 Pada Akhir Maret 2011, North Atlantic Council mengegaskan bahwa NATO telah mencapai konsensus dan akan mengambil alih intervensi militer di Libya. Operasi militer kolektif tersebut bernama Operation Unified Protector, yang mencakup embargo senjata, penegakan zona larangan terbang dan segala tindakan untuk melindungi penduduk dan kawasan pemukiman penduduk. Dalam operasi ini, pasukan NATO yang berasal dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Turki sepakat untuk menempatkan tiga cabang ofensif mencakup zona larangan terbang, embargo senjata, dan serangan udara di bawah payung komando NATO.11 Lima kapal angkatan laut Turki dan kapal selam telah dikirim untuk membantu menegakkan embargo senjata terhadap Libya. Parlemen Turki telah menyetujui pengiriman pasukan lebih banyak, termasuk tentara, jika diperlukan.12 Mengamati pergeseran politik luar negeri Turki, kajian ini kemudian menjadi menarik dan penting untuk menjadi suatu objek telaah analisis dengan menitikberatkan mengenai bagaimana struktur internasional (norma dan organisasi internasional) dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan suatu negara. Konteks internasional pada dasarnya telah mendorong negara untuk mendifinisikan kembali identitas mereka yang kemudian menjadi landasan 10 “Parliament OKs Turkey’s involvement in Libya,” diakses melalui http://www.theoaklandpress.com/articles/2011/03/24/news/nation_and_world/doc4d8b80ea4437f1 64011195.txt pada 15 Januari 2013. 11 “Libya: NATO to control no-fly zone after France gives way to Turkey,” diakses melalui http://www.guardian.co.uk/world/2011/mar/24/france-turkey-NATO-libya pada 15 Januari 2013. 12 “ Libya: Turkey's troubles with NATO and no-fly zone,” diakses melalui http://www.bbc.co.uk/news/mobile/world-africa-12864742 pada 15 Januari 2013.
9
kepentingan nasional. Adanya perubahan kebijakan Turki dalam intervensi NATO ke Libya akan menjadi objek analisis dalam melihat bagaimana pergeseran identitas dapat menjadi faktor utama dalam menentukan kebijakan luar negeri suatu negara. Berdasar dari hal inilah, penulis mencoba menganalisis dan mengangkatnya ke dalam sebuah judul: “Kebijakan Luar Negeri Turki dalam Intervensi NATO ke Libya” B. Pertanyaan Penelitian Mengapa terjadi perubahan sikap dalam politik luar negeri Turki yang pada awalnya mengecam, kemudian beralih mendukung intervensi di Libya? C. Telaah Pustaka Terdapat beberapa variabel penting yang harus diperhatikan dalam penelitian ini yaitu kebijakan luar negeri Turki, intervensi kemanusiaan NATO ke Libya, serta RtoP sebagai norma internsional. Dengan memperhatikan hal tersebut maka kajian literatur penelitian ini akan memfokuskan pada ketiga variabel tersebut dan hubungan diantaranya. Salah satu tulisan yang membahas secara jelas mengenai hubungan Turki dan NATO dibahas oleh dibahas oleh Ahmed Davotoglu dalam Transformation of NATO and Turkey’s Position. Tulisan ini menguraikan mengenai adanya transformasi dalam NATO dan posisi Turki di dalamnya. Perubahan struktur politik internasional pada kenyatannya telah mengubah paradigma NATO sebagai suatu aliansi militer yang tidak lagi dibayangi oleh Perang Dingin. Selanjutnya,
10
pasca serangan 11 September di Amerika Serikat, konteks keamanan internasional telah bergeser dan mengubah pandangan NATO mengenai apa yang mereka sebut sebagai ancaman. Hal ini menjadi cikal bakal munculnya isu-isu baru terutama kaitannya dengan terorisme. Terkait hal tersebut NATO lebih banyak terlibat dalam upaya-upaya pencapaian perdamaian dunia. Konsep keamanan pada kenyataannya telah mengalami persegeran ke arah multi-dimensional, termasuk di dalamnya aspek ekonomi, sosial, kemanusian dan lingkungan. Hal ini juga sebagaimana tertuang dalam pembukaan the North Atlantic Treaty bahwa tujuan utama aliansi adalah “to safeguard the freedom, common heritage and civilization of their peoples, founded on the principles of democracy, individual liberty and rule of law.”13 Politik luar negeri multidimensional yang dijalankan Turki saat ini memberikan prioritas pada penguatan hubungan dengan negara-negara tetangga, memperkuat pengaruh dalam regional terdekat dan pembangunan hubungan dengan beberapa area terutama Afrika, Asia dan Amerika Latin. Politik luar negeri yang baru juga berupaya meningkatkan keaktifan Turki dalam organisasi internasional. Evolusi NATO setelah Perang Dingin sesuai dengan pendekatan Turki dalam transformasi dan tantangan keamanan saat ini. NATO memiliki kekuatan militer serta menjadi satu-satunya institusi keamanan yang dapat menghalau tantangan-tantangan baru.14
13 Ahmed Davotoglu, “Transformation of NATO and Turkey’s Position,” Perceptions, Volume XVII Number 1, Spring 2012, hal 7-17. 14 Ibid.
11
Perubahan pandangan Turki terhadap NATO lebih lanjut dijelaskan oleh Tarik Oguzlu dalam Turkey’s Eroding Commitment to NATO: From Indentity to Interest. Oguzlu menjelaskan bahwa terjadi perubahan signifikan dalam pandangan politik luar negeri Turki saat ini. Hal utama yang dilihat sebagai penyebab adalah berkuasanya AKP yang secara drastis merubah arah perpolitikan Turki. Selama Perang Dingin komitmen Turki dalam NATO merupakan implementasi keinginan Turki untuk mendorong penerimaan atas identitas mereka sebagai salah satu negara Barat/Eropa.15 Motivasi dan pola hubungan Turki dan NATO kemudian mengalami perubahan seiring dengan pergantian rezim pemerintahan. Para pemimpin Turki saat ini telah menekankan bahwa kepentingan nasional Turki harus menjadi determinan dalam pengambilan kebijakan aliansi. Hubungan Turki dengan NATO tidak lagi dilandaskan oleh pengakuan identitas melainkan berdasarkan kontribusi nyata yang dapat diberikan NATO dalam pemenuhan kepentingan nasional Turki. Disamping melihat hubungan antara Turki dan NATO, variabel lain yang juga penting diperhatikan dalam penelitian ini adalah terkait intervensi NATO di Libya itu sendiri. Secara lebih spesifik penelitian mengenai Arab Spring dan kebijakan luar negeri Turki dijelaskan dalam Mediterranean Paper Series 2011, Turkey and The Arab Spring, Implications for Tuskish Foreign Policy from Transatlantic Perspective. Salah satu tulisan dalam paper series ini ditulis oleh Omer Taspinar yang menjelaskan mengenai dampak pergolakan politik di Timur
15
Tarik Oguzlu, “Turkey’s Eroding Commitment to NATO: From Indentity to Interest,” The Washington Quarterly, Center for Strategic and International Studies, Summer 2012. hal 153-164.
12
Tengah terhadap politik luar negeri Turki. Perubahan yang di bawa oleh AKP dengan lebih mendekatkan diri ke Timur Tengah pada kenyataannya mendapat tantangan yang sangat besar dengan terjadinya Arab Spring. Arab Spring terjadi pada saat hubungan Turki dengan Amerika Serikat, Israel dan negara-negara Uni Eropa berada pada kondisi yang tidak stabil. Cita-cita Turki untuk menghidupkan kembali semangat Ottoman melalui politik luar negerinya mendapat tantangan signifikan sejak Arab Spring. Terkait hal tersebut, tulisan ini juga menjelaskan politik luar negeri AKP yang saat ini yang lebih didefinisikan sebagai “the neo-Ottomanism”. Konsep dari neoOttomanism tidak hanya menjelaskan politik luar negeri akan tetapi juga trend domestik dalam the New Turkey. Neo-Ottomanism mempunyai tiga pilar utama, yaitu pertama, keinginan untuk kembali mendekatkan masyarakat Turki dengan budaya islam, dalam pengertian versi sekularisme yang lebih moderat. Dalam hal ini dikaitkan pula salah satu masalah utama Turki, yaitu etnis Kurdi. NeoOttomanism mencanangkan politik yang lebih terbuka bagi etnis minoritas dan masyarakat yang lebih multikultural. Kedua, karekter yang ingin dikembangkan neo-Ottomanism adalah Turki yang lebih percaya diri dalam menjalankan perannya di dunia internasional. Neo-Ottomanism memproyeksikan Turki sebagai superpower regional. Turki tidak harus terpaku oleh Barat dalam menjalankan politik luar negerinya dan terbuka untuk segala bentuk kerjasama yang ada. Ketiga, tujuan dari neo-Ottomanism adalah semakin mempererat hubungaannya dengan Barat sebagaimana kembali mendekatkan diri dengan dunia Islam. Keanggotaan dalam Uni Eropa masih merupakan cita-cita besar bagi Turki
13
dengan tidak menyampingkan kerjasama dengan negara-negara Muslim di Timur Tengah.16 Selanjutnya tulisan Henri J. Barkey menjelaskan mengenai peran Turki dalam membentuk dunia arab yang baru pasca revolusi. Sebagaimana yang dieketahui bahwa krisis politik yang terjadi diakibatkan keinginan untuk demokrasi dan penolakan rezim otoriter. Tulisan ini menunjukkan bahwa Turki dapat menjadi model yang sangat relevan bagi negara Timur Tengah dalam menyusun kembali infrastruktur negara yang baru. Turki, dengan kemajuan ekonomi yang signifikan, dapat memainkan peran penting dalam regional ini, terutama kaitannya dengan pembangunan kembali negara pasca revolusi. Jatuhnya rezim-rezim besar di Mesir dan Libya menjadi tantangan sekaligus menciptakan peluang bagi Turki untuk menjadi dominator di kawasan.17 Untuk mengaitkan dengan isu intervensi kemanusiaan, salah satu literarur yang menjadi sumber referensi dalam penelitian ini adalah tulisan Jennifer M. Welsh yang berjudul Taking Consequences Seriously: Objection to Humanitarian Intervention dalam buku Humanitarian Intervention and International Relations. Welsh menjelaskan mengenai eksistensi dari norma intervensi kemanusiaan dan posisinya dalam hubungan internasional. Welsh juga menjelaskan mengenai adanya perdebatan terkait dengan intervensi kemanusian baik secara normatif maupun implementasinya. Di satu sisi menganggap bahwa negara masih
16
Nathalie Tocci, dkk. “Turkey and The Arab Spring, Implications for Tuskish Foreign Policy from Transatlantic Perpective,” Mediterranean Paper Series 2011, The German Marshall Fund of The United States – Instituto Affari Internazionali, October 2012. 17 Ibid.
14
merupakan agen terbaik untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, sementara di sisi lain kaum pluralis mengumukakan peran sentral masyarakat internasional dalam membentuk norma internasional terutama mengenai
hak
asasi
manusia.
Perdebatan
mengenai
peran
masyarakat
internasional dalam intervensi kemanusian terutama terkait dengan kedaulatan negara. Lebih lanjut Jennifer Welsh menjelaskan bahwa “More specifically, the emerging norm of humanitarian intervention is alleged to derive from a fundamental shift in the understanding of sovereignty in international relations, a move from ‘sovereignty as authority’ to ‘sovereignty as responsibility’.”18 Otoritas Dewan Keamaman PBB dalam mengeluarkan resolusi terkait legitimasi internasional atas intervensi militer di Libya juga menjadi fokus penting dalam penelitian ini. Adapun literatur yang coba diangkat terkait dengan hal ini adalah tulisan Simon Adams, Libya and the Responsibility to Protect. Simon Adams menjelaskan bahwa resolusi 1970 dan 1973 adalah tindakan yang tepat yang dapat dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB dengan berlandaskan pada responsibility to protect. Qaddafi dianggap tidak mampu melindungi warga negaranya sehingga memberikan otoritas kepada masyarakat internasional melalui PBB untuk melakukan intervensi. Selanjutnya Simon Adams menjelaskan keterlibatan NATO dalam intervensi militer ke Libya dengan memperhatikan situasi bahwa NATO saat ini lebih sering diinterpretasikan sebagai “UN armed
18
Jennifer Welsh (Eds), Humanitarian Intervention and International Relations, New York: Oxford University Press, 2004, hal 54.
15
wing”, yang tentunya mempunyai misi kemanusiaan yang sama dengan PBB untuk melindungi penduduk sipil di Libya.19 Penelitian ini akan lebih memfokuskan pada kebijakan luar negeri Turki pada masa Erdogan ketika NATO melakukan intervensi ke Libya. Penulis akan mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri Turki dengan menekankan pada peran agen / aktor dan struktur internasional pada saat itu. Dalam hal ini, penulis akan mencoba menganalisis lebih jauh faktor-faktor ideasional yang mempengaruhi pergeseran kebijakan luar negeri Turki. Untuk itu penting untuk mengidentifikasi aktor dan ide yang menggerakkan politik Turki saat dilakukannya intervensi militer. Di samping itu penulis juga akan mencoba mengaitkan proses pengambilan kebijakan Turki dengan proses interaksi Turki dalam NATO kontemporer. Tentunya tidak dapat disampingkan pula keterkaitan antara identitas yang membentuk kepentingan Turki dengan norma RtoP. Pada akhirnya kedua variabel ini menjadi indikator penting dalam pengambilan kebijakan luar negeri Turki. D. Kerangka Konseptual Teori Politik Luar Negeri Konstruktivis Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau
19
Simon Adams, “Libya and the Responsibility to Protect,” Global Centre for the Responsibility to Protect, Report, October 2012, tersedia di http://www.responsibilitytoprotect.org/index.php/component/content/article/35-r2pcs-topics/4482simon-adams-global-centre-for-r2p-report-libya-and-the-responsibility-to-protect
16
unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional.20 Pada dasarnya perumusan kebijakan luar negeri memerlukan analisis yang kompleks karena tidak hanya melibatkan aspek-aspek internal namun juga memperhatikan kondisi eksternal suatu negara. Lebih lanjut menurut Rosenau, apabila kita mengkaji kebijakan luar negeri maka kita akan memasuki fenomena yang luas dan kompleks, meliputi kehidupan internal (internal live) dan kebutuhan eksternal (external needs) termasuk didalamnya adalah kehidupan internal dan eksternal seperti aspirasi, atribut nasional, kebudayaan, konflik, kapabilitas, institusi, dan aktivitas rutin yang ditunjukkan untuk mencapai dan memelihara identitas sosial, hukum dan geografi suatu negara sebagai negara-bangsa.21 Politik domestik dan lingkungan eksternal merupakan faktor esensial dimana perilaku dan interaksi negara pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari kondisi internasional yang menyertainya. Dalam membangun hubungannya negara lain, setiap negara tentunya harus terlibat dalam sistem yang dibangun, baik itu dalam kerangka norma dan aturan ataupun organisasi internasional. Pendapat ini berkembang untuk menanggapi pemikiran mengenai struktur internasional yang anarki yang kemudian melahirkan pendekatan neo-realis. Akan tetapi pendekatan neo-realis juga kemudian mendapat sejumlah kritik yang dianggap sangat materil dan menyampingkan unsur nilai dan ide yang dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijakan luar negeri. Pendekatan ini selanjutnya 20
Jack C. Plano dan Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional. Bandung : Abardin, 1999, hal. 5. James N. Rosenau, Gavin Boyd, dan Kenneth W. Thompson, World Politics : An Introduction, New York : The Free Press, 1976, hal. 15. 21
17
dikenal
dengan
pendekatan
konstruktivis.
Penekanan
utama
pemikiran
konstruktivis dijelaskan oleh Alexander Wendt dalam dua hal yaitu : 1) that the structures of human associations are determined primarily by shared ideas rather than material forces, and 2) that the identities and interests of purposive actors are constructed by this shared ideas rather than given by nature.22 Konstruktivis pada dasarnya lebih menekankan pada hubungan dan realitas sosial yang menjadi landasan dalam menentukan perilaku negara. Berbeda dengan neo-realis yang menganggap struktur internasional mempunyai pengaruh langsung terhadap perilaku negara. Struktur internasional, yang bagi kaum konstruktivis disebut struktur ideasional, memiliki pengaruh yang membentuk (constitutive) dan mengatur (regulative), bukan pengaruh langsung yang bersifat kausalitas terhadap aktor-aktor. Struktur ini juga mengarahkan aktor untuk mendefinisikan kembali kepentingan dan identitas mereka dalam proses (sewaktu proses) interaksi (dan para aktor menjadi tersosialisasi oleh proses). Struktur ideasional ini membentuk cara aktor mendefinisikan dirinya-siapa mereka, tujuan mereka, dan peran yang mereka yakini harus mereka lakukan.23 Struktur ideasional dan aktor-aktor atau agen-agen saling membentuk dan menentukan satu sama lain. Struktur membentuk kepentingan dan identitas aktor tetapi struktur juga diproduksi, direproduksi dan diubah melalui praktik terusmenerus dari para agen. Jadi berbeda dengan neorealis yang melihat bahwa aktor tidak dapat melakukan sesuatu dalam struktur kecuali merespon, konstruktivis 22
Alexander Wendt, Social Theory of International Politics, Cambridge: Cambridge University Press, 1999, hal 1. 23 Abubakar Eby Hara, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri dari Realisme Sampai Konstruktivisme, Bandung: Penerbit Nuansa, 2011, hal. 120.
18
mengatakan bahwa struktur eksis melalui interaksi timbal balik para aktor. Ini berarti agen melalui tindakan sosial dapat merubah struktur. Mereka karenanya dapat beremansipasi untuk dapat menggantikan praktik konfliktual yang dilakukan negara-negara kepada praktik-praktik yang lebih bersahabat.24 Karena sistem internsional itu bersifat relatif dan hasil bentukan bersama maka ia juga dapat diubah bila pengambil kebijakan mulai memikirkan cara baru dan mendukung norma-norma baru yang berbeda dari norma yang lama. Selanjutnya, analisis politik luar negeri melalui sudut pandang konstruktivis melihat, power, apakah itu militer, ekonomi maupun kemampuan diplomat adalah penting, tetapi ia harus diletakkan pada konteks sosial yang memberinya makna. Konstruktivis melihat dunia selalu dalam proses perubahan dan bahwa anarki, seperti yang dikatakan bergantung pada negara-negara. Constructed atau terkonstruksi bermakna para konstruktivis memahami bagaimana dunia yang terkonstruksi melalui proses interaksi antara agen-agen (individual, NGO dan negara) dengan struktur lingkungannya yang lebih luas.25 Inilah yang disebut oleh Alexander Wendt struktur intersubjektif, bukan struktur material dalam sistem internasional. Struktur intersubjektif ini dilandasi makna-makna kolektif yang juga merupakan sumber bagi aktor untuk membentuk identitas. Indentitas memberikan landasan bagi kepentingan-kepentingan yang didefinisikan dalam proses memahami situasi.26
24
Ibid., hal. 121. Ibid., hal. 122. 26 Ibid., hal 125. 25
19
Selanjutnya,
konstruktivis
memperkenalkan
pemahaman
tentang
rasionalitas yang berbeda dalam pembuatan keputusan politik luar negeri yang disebut, meminjam istilah Habermas, communicative rationality. Para pendukung rasionalitas ini mengatakan bahwa agen-agen rasional sebenarnya tidak banyak mempertimbangkan
masalah
untung
rugi
atau
mencari
rujukan
dari
lingkungannya. Mereka lebih banyak menggunakan argumen dan mencoba mempengaruhi dan meyakinkan satu sama lain. Dengan demikian setiap kepentingan dan preferensi mereka terbuka didefinisi ulang. Pembuatan keputsan tidaklah hanya bargaining adu kuat, tetapi juga berkaitan dengan puzzle, proses belajar, argumentasi dan persuasi.27 Norma merupakan variabel penting dan independent dalam pengambilan kebijakan luar negeri. Dalam pandangan konstruktivis perilaku aktor sangat dipengaruhi oleh norma dan norma itu sendiri lebih didefinisikan sebagai sebuah logic of appropriateness.28 Lebih lanjut konstruktivis menjelaskan norma internasional sebagai berikut : Constructivists view norms of appropriate behavior as socially constructed international structures that constrain states’ foreign policies. Norms represent shared expectations about appropriate behavior that derive from a combination of beliefs, standards of behavior, international conventions, and decision-making procedures. Norms are characterized as both regulative and constitutive in that they shape national interests and identity.29
27
Ibid., hal. 141-142. Henning Boekle, Volker Rittberger, Wolfgang Wagner, “Norms and Foreign Policy: Constructivist Foreign Policy Theory.” Center for International Relations/Peace and Conflict Studies, Institute for Political Science, University of Tübingen, Tübingen 1999. 29 Juliet Kaarbo, Jeffrey S. Lantis, Ryan K. Beasley, “The Analysis of Foreign Policy in Comparative Perspective,” dalam Ryan K. Beasley, Juliet Kaarbo, Jeffrey S. Lantis, and Michael 28
20
Martha Finnemore adalah seorang konstruktivis yang mengamati bagaimana norma-norma mempengaruhi identitas-identitas dan kepentingankepentingan. Menurutrnya kenyataan bahwa kita hidup dalam suatu masyarakat internasional bermakna bahwa apa yang kita inginkan dan siapa kita, dalam halhal tertentu, dibentuk oleh norma-norma, aturan-aturan, pemahanan dan hubungan sosial yang kita miliki dengan orang lain. Realitas sosial sosial ini adalah sama pengaruhnya dengan realitas material dalam menentukan perilaku. Bahkan realitas sosial itu memberi makna dan tujuan bagi realitas material. Dalam istilah politik, adalah realitas sosial yang memberi kita tujuan untuk apa kekuasaan dan kesejahteraan digunakan.30 Selanjutnya, variabel yang juga penting dalam pengambilan kebijakan internasional adalah keterlibatan negara atau aktor dalam organisasi/institusi internasional. Kerangka normatif internasional telah terinstitusionalisasi secara drastis dalam organisasi internasional formal, khususnya Perserikatan BangsaBangsa.31
Martha
Finnemore
berpendapat
bahwa
norma-norma
yang
dipromosikan oleh organisasi-organisasi internasional dapat secara meyakinkan mempengaruhi kebijakan nasional dengan mendorong negara untuk mengadopsi norma-norma ini dalam kebijakan nasional mereka.32 Organisasi internasional lebih dilihat sebagai institusi formal dimana negara berkumpul untuk merumuskan
T. Snarr (eds), Foreign Policy in Comparative Perspective : Domestic and International Influences on State Behavior, Washington D.C: Congressional Quarterly Inc. 2002. Hal 12. 30 Martha Finnemore dalam Abubakar Eby Hara, Op.Cit., hal 129. 31 Martha Finnemore, Constructing Norms of Humanitarian Intervention, dalam Peter J. Katzenstein, The Culture of National Security: Norms and Identity in World Politics, New York: Columbia University Press, 1996, hal 147. 32 Abubakar Eby Hara, Op.Cit., hal 129.
21
tujuan bersama menyangkut isu tertentu yang kemudian diimplementasikan dalam collective action. Pola hubungan antara organisasi internasional sebagai bagian dari sistem internasional juga bersifat kausalitas, dimana organisasi dapat secara signifikan mempengaruhi kepentingan dan kebijakan suatu negara. Sejalan dengan perumusan politik luar negeri, kepentingan nasional menjadi parameter utama dalam merumuskan kebijakan luar negeri itu sendiri. Untuk itu, menjadi tugas penting dari negara untuk mendefinisikan kepentingan nasionalnya
dimana
kepentingan
nasional
secara
ideal
harus
mampu
merepresentasikan kepentingan warga negara. Kompleksnya tujuan negara dalam rangka mensejahterahkan masyarakat tentunya menjadi analisis penting dalam kajian kebijakan politik luar negeri. Akan tetapi berbeda dengan konsep realis yang menganggap kepentingan nasional hanya sebagai sesuatu untuk ditemukan, konstruktivis menganggap bahwa kepentingan nasional adalah konstruksi sosial yang diciptakan sebagai objek yang bermakna melalui makna-makna yang secara intersubjektif dan budaya sudah mapan dalam mana dunia, khususnya sistem internasional dan tempat negara didalamnya, bisa dipahami. Lebih khusus lagi kepentingan nasional muncul dari representasi atau melalui deskripsi situasi dan definisi masalah di mana pejabat-pejabat negara memahami dunia di sekitar mereka.33 Kepentingan nasional dan identitas dibentuk dengan mendefinisikan dunia disekitar mereka.
33
Ibid., hal 146.
22
Dari kerangka berpikir ini, kepentingan nasional akan digunakan dalam menganalisis relevansi dan operasionalisasi dari kebijakan luar negeri Turki saat dalam konteks yang telah dijelaskan di atas. Konsep ini akan menghubungkan antara variabel politik luar negeri dengan sistem internasional yang ada. Penulis akan mencoba untuk menjelaskan substansi politik luar negeri Turki dalam kaitannya dengan melihat hubungan antara Turki, NATO dan norma kemanusiaan internasional (RtoP) dalam intervensi ke Libya.
E. Argumen Utama Argumen utama yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah adanya ketidak-konsistenan dalam pengambilan kebijakan Turki terkait intervensi NATO ke Libya. Ketidak-konsistenan ini akan dilihat sebagai produk dari pertarungan nilai-nilai dan identitas Turki dalam struktur internasional. Tulisan ini berangkat dengan asumsi bahwa kondisi politik domestik, pertentangan dan pergeseran nilai dan kepentingan diantara negara anggota NATO, serta pengaruh dari norma dalam sistem internasional membentuk lingkungan internal dan eksternal yang secara repsiprokal menentukan identitas dan keberpihakan Turki. Lebih jauh, tulisan ini akan menunjukkan dan membuktikan adanya pergeseran ideasional yang menjadi latar belakang pengambilan kebijakan luar negeri Turki dalam menanggapi intervensi militer ke Libya. Perubahan kontelasi dalam politik domestik yang ditandai dengan berkuasanya AKP telah membentuk ide dan aktor baru yang menggerakkan politik luar negeri Turki. Hal ini
23
berimplikasi sangat besar dalam kebijakan luar negeri Turki dalam menolak dan kemudian mendukung intervensi militer. Selanjutnya asumsi awal yang juga diangkat dalam penelitian ini adalah bahwa keikutsertaan Turki dalam intervensi militer NATO secara mendasar lahir dari perubahan citra dan identitas NATO yang dilihat Turki sebagai sebuah rekonstruksi struktural yang lebih menekankan pada upaya-upaya penciptaan perdamaian. Turki menanggapi perubahan tersebut secara positif dengan meningkatkan kadar keterlibatan dan revitalisasi perannya dalam institusi komunitas keamanan tersebut. Sebagai konsekuensinya, maka secara moral Turki berkewajiban untuk menjaga hubungan baik dengan negara-negara dalam aliansi NATO. Penelitian ini menunjukan bahwa pergesaran politik luar negeri islamis yang dibawa Erdogan tidak serta merta menjadikan Turki meninggalkan negaranegara Barat yang telah sejak lama menjadi mitra pentinganya, terutama dalam menjaga stabilitas keamanan regional. Perilaku Turki untuk menolak dan kemudian menyetujui intervensi militer juga akan dipahami dengan menelusuri signifikansi norma internasional dalam pengambilan kebijakan luar negeri. Turki sebagai bagian dari struktur internasional tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dan intervensi norma yang berlaku dalam sistem internasional. Secara khusus, penelitian ini melihat norma RtoP sebagai landasan moral, legitimasi, dan legal yang sangat berpengaruh pada pengambilan kebijakan luar negeri Turki terkait keterlibatannya dalam intervensi militer ke Libya.
24
F. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode ini mencoba menganalisis dengan menjelaskan, menguraikan informasi yang diperoleh secara nonmatematis mengenai kebijakan luar negeri Turki dalam menanggapi intervensi NATO ke Libya. 2. Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Data sekunder diperoleh dengan penelitian kepustakaan (Library Research) antara lain melalui buku-buku, dokumen, surat kabar dan situs internet. Data-data ini menjadi sumber acuan penulis dalam menganalisis terkait dengan kebijakan luar negeri Turki terhadap NATO dan norma internasional. Adapun secara garis besar data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penjelasan singkat mengenai Arab Spring dan intervensi NATO dengan mengkhususkan pada Libya, kerangka kebijakan luar negeri Turki, gambaran umum mengenai NATO dan norma RtoP itu sendiri dan tentunya yang paling penting adalah bagaimana kebijakan Turki tersebut diambil dan kemudian diimplementasikan. 3. Teknik Analisis Data Data yang telah terkumpul akan dikelompokkan menjadi tema-tema kecil. Selanjutnya tema-tema tersebut dipetakan yang kemudian akan menjadi kerangka acuan untuk melihat relasi antara variabel-variabel utama yang
25
diangkat dalam tulisan ini. Dengan menggunakan teknik ini maka hasil dari penelaahan data tersebut nantinya akan membawa pada pencapaian suatu kesimpulan. 4. Sistematika Penulisan Tulisan ini disusun dalam lima bab yang sistematis. Adapun pembahasan dalam setiap bab akan mencakup : Bab I
: Membahas mengenai latar belakang diangkatnya isu kebijakan luar negeri Turki dalam intervensi militer NATO ke Libya sebagai tema kajian yang penting dan menarik. Selain itu dibahas pula mengenai metode penelitian yang akan digunakan naantinya.
Bab II
: Penjelasan singkat mengenai Arab Spring dan intervensi NATO dengan mengkhususkan pada Libya beserta reaksi global terhadapnya. Selanjutnya akan dijelaskan pula gambaran umum mengenai NATO dan RtoP yang merupakan variabel tetap dalam penelitian ini.
Bab III
: Menjelaskan pergeseran identitas Turki dalam kaitannya dengan pengambilan kebijakan luar negeri Turki menolak intervensi militer NATO ke Libya.
26
Bab IV
:
Menjelaskan
tentang
faktor-faktor
ideasional
yang
mempengaruhi proses pergeseran pengambilan kebijakan Turki yang pada akhirnya mendukung intervensi NATO ke Libya. Bab V
: Kesimpulan hasil penelitian.