BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam beberapa bulan terakhir pasar modal Amerika telah mengalami krisis kepercayaan yang sangat dalam, sehubungan dengan adanya beberapa kecurangan akuntansi yang dilakukan oleh perusahaan Amerika. Dimulai oleh kasus yang menimpa Enron, Tyco International, Xerox hingga WorldCom telah membuat para investor bertanya tanya mengenai moral hazard corporate America yang selama ini terkenal dengan penerapan good corporate governance. Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga Gallop Poll, tingkat kepercayaan investor atas validitas laporan keuangan perusahaan Amerika telah merosot hingga ke level 20% pada tahun 2002 ini. Padahal pada tahun 1999 tingkat kepercayaan ini masih berada pada level 30%, dan setelah terjadinya serangan 11 September 2001 tingkat kepercayaan investor masih berada di level 28%. Akibat turunnya tingkat kepercayaan investor ini, Dow Jones Industrial Index merosot hingga ke level 7.702,34 pada penutupan hari Selasa tanggal 23 July 2002 lalu, atau merupakan level terendah sejak bulan Oktober 1998. Dan tidak itu saja, indeks Nasdaq juga merosot ke level 1.229,05, FTSE ke level 3.858,00, Hang Seng ke level 10.313,89 dan Nikkei ke level 10.215,63.
1
2
Bahkan, turunnya indeks Dow Jones ini telah menembus penurunan indeks setelah serangan 11 September tahun lalu. Berikut grafik pergerakan DJIA dalam lima tahun terakhir :
Gambar 1.1 Dow Jones Industrial Index 1997-2002
Selain Enron, Tyco International, Xerox dan WorldCom, ternyata masih ada beberapa perusahaan lainnya yang hingga saat ini berada dalam penyelidikan pihak berwenang di Amerika, menyangkut tuduhan accounting fraud yang dilakukan. Berikut beberapa perusahaan tersebut berikut tuduhan yang diajukan : 1. Enron : perusahaan ini dituduh telah melakukan pelanggaran akuntansi dalam skala luas, terutama mengenai praktek penggelembungan laba. 2. Tyco International : dicurigai telah melakukan penggelapan pajak senilai lebih dari US$ 1 juta atas penjualan sebesar US$ 13,2 juta. 3. Xerox : menggelembungkan pendapatannya selama lima tahun hingga sebesar US$ 6 miliar. 4. Global Crossing : FBI dan SEC sedang menyelidiki penukaran kapasitas jaringan serat optik perusahaan, yang dicurigai telah mengurangi pendapatan perusahaan
3
secara menyesatkan. Hal serupa juga diperkirakan dilakukan oleh Qwest Communication dan Dynegy. 5. Computer Associates : perusahaan diduga telah melakukan pembengkakkan pendapatan pada tahun 1998 sehingga mendongkrak harga sahamnya secara tidak wajar. 6. WorldCom : diduga telah melakukan penggelapan pembukuan hingga senilai US$ 3,8 miliar. 7. Arthur Andersen : telah melakukan pemusnahan dokumen yang berkaitan dengan auditnya atas Enron serta tuduhan penyelewengan audit atas Global Crossing, Qwest dan WorldCom. 8. Merck & Co : perusahaan obat tersebut diduga memanipulasi pendapatan senilai US$ 12,4 miliar. 9. Johnson & Johnson Co. : dicurigai terdapat kecurangan pada pabriknya di Puerto Rico serta indikasi mal function sejumlah obatnya di pasar Eropa.
Di Indonesia memang hingga saat ini belum terdengar kasus seperti yang terjadi di Amerika, dimana perusahaan yang telah mencatatkan sahamnya di PT Bursa Efek Jakarta dituduh telah melakukan penyelewengan akuntansi. Namun demikian, hal ini bukan berarti kasus tersebut tidak terjadi. Menurut Direktur Fund Management PT Nikko Securitas Indonesia, Dr. Adler Haymans Manurung, M.Com. ME, saat ini banyak emiten yang bertendensi melakukan penyelewengan akuntansi atau double book keeping, namun memang hingga saat ini kasusnya belum muncul ke permukaan.
4
Namun, meskipun belum ada kasus penyelewengan akuntansi yang mencuat di Indonesia, ternyata kinerja Bursa Efek Jakarta juga terkena imbas bursa saham global, dimana para investor ternyata juga kehilangan tingkat kepercayaannya. Jika di Amerika saja yang tingkat good corporate governance tinggi bisa terjadi penyelewengan akuntansi, bagaimana pula di Indonesia yang tingkat transparansi dan good corporate governance nya sangat rendah. Akibatnya, Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Jakarta yang sempat menguat hingga ke level 724,56 pada bulan Juni 1999, anjlok kembali hingga ke level 477,08 pada penutupan tanggal 23 Juli 2002 kemarin. Berikut grafik pergerakkan IHSG dalam 7 tahun terakhir :
Gambar 1.2 Indeks Harga Saham Gabungan PT Bursa Efek Jakarta 1995-2002
5
Terlihat bahwa kenaikkan indeks dari level 392,48 pada bulan September 2001 ke level 530,79 pada bulan Mei 2002, turun kembali ke level 477,08. Namun demikian, penurunan ini memang belum separah pada bulan September 1998 yang sempat menyentuh level 276,15 atau yang terendah dalam 4 tahun terakhir.
1.2 Identifikasi Masalah Indeks harga saham gabungan merupakan ringkasan dari pergerakkan harga saham perusahaan yang tercatat di bursa secara keseluruhan. Atau dengan kata lain, penurunan Indeks Harga Saham Gabungan di PT Bursa Efek Jakarta secara tidak langsung menggambarkan penurunan harga saham emiten yang tercatat di PT Bursa Efek Jakarta. Dengan penurunan harga saham di pasar modal, dapat dikatakan nilai sebuah perusahaan mengalami penurunan. Dengan kata lain, Scott et al. (1999) berpendapat bahwa tingkat harga saham sebuah perusahaan di pasar modal mencerminkan nilai dari perusahaan tersebut. Padahal, menurut Brigham and Houston (2001) tujuan dari beroperasinya sebuah perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan tersebut bagi para pemegang saham. Dengan demikian, praktek yang berlaku saat ini dengan adanya beberapa kecurangan akuntansi yang mengakibatkan penurunan harga saham perusahaan di pasar modal, telah bertentangan dengan tujuan awal pembentukkan perusahaan. Dari pada meningkatkan nilai perusahaan, justru yang terjadi saat ini adalah penurunan nilai perusahaan.
6
Menurut Branch Manager PT Niaga Securitas cabang Kelapa Gading, David Ferdinandus, saat ini para investor global telah mengalihkan portofolio investasinya dari pasar modal ke pasar obligasi dan emas, akibat merosotnya kepercayaan mereka atas laporan keuangan perusahaan. Oleh sebab itu, sangatlah perlu untuk mengembalikan tingkat kepercayaan para investor atas laporan keuangan yang dibuat perusahaan. Sehingga, dengan dilakukannya perbaikkan laporan keuangan ini diharapkan kepercayaan investor dapat pulih kembali, dan pasar modal dapat kembali bergairah. Dalam publikasi berkalanya yang diberi nama Evaluation, lembaga manajemen Stern Stewart & Co. menilai, akar permasalahan terjadinya praktek kecurangan akuntansi adalah penggunaan model earning per share (EPS) sebagai instrumen penilaian kinerja perusahaan. Dengan model earning per share ini, maka pihak manajemen akan melakukan segala cara, termasuk penggelembungan pendapatan serta penyembunyian biaya, untuk meningkatkan laba bersih perusahaan, yang pada akhirnya akan meningkatkan earning per share perusahaan. Untuk itu, lembaga manajeman Stern Stewart & Co. saat ini telah mengembangkan suatu model penilaian kinerja keuangan perusahaan yang dinamakan Economic Value Added atau EVA. Pada dasarnya, Young and O’Byrne (2001) berpendapat bahwa metode ini melakukan penilaian kinerja perusahaan berdasarkan pengembalian yang diberikan kepada pemegang saham, setelah mempertimbangkan seluruh biaya modal, yang mencangkup biaya bunga atas utang
7
dan biaya ekuitas. Sehingga, dengan metode ini diharapkan perusahaan benar benar meningkatkan value perusahaan, serta meningkatkan kekayaan pemegang saham. Dengan berbagai kesimpang siuran laporan keuangan yang dilakukan sejumlah perusahaan global saat ini, diharapkan penggunaan metode Economic Value Added ini dapat benar benar menggambarkan kondisi keuangan perusahaan, sehingga dapat mengembalikan tingkat kepercayaan investor.
1.3 Rumusan Permasalahan Dalam tesis ini, hendak dilihat apakah dengan penggunaan model penilaian kinerja manajemen dengan metode Economic Value Added (EVA) per lembar saham yang digabungkan dengan metode Earning Per Share (EPS) dapat meningkatkan kepercayaan investor, yang tercermin dari peningkatan harga saham perusahaan.
1.4 Ruang Lingkup Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mengambil sampel berupa 5 emiten yang mencatatkan sahamnya di PT Bursa Efek Jakarta. Adapun kelima emiten tersebut adalah : 1. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (TLKM) 2. PT Indosat Tbk. (ISAT) 3. PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) 4. PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) 5. PT Astra Internasional Indonesia Tbk. (ASII)
8
Adapun data yang digunakan untuk melakukan penelitian adalah meliputi laporan keuangan perusahaan yang dibatasi mulai dari tahun 1998 hingga tahun 2001, serta level penutupan akhir tahun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) PT Bursa Efek Jakarta pada periode yang sama.
1.5 Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penulisan tesis ini adalah untuk melihat apakah penggunaan metode penilaian Economic Value Added dapat meningkatkan ketepatan analisa laporan keuangan perusahaan, sehingga para investor mendapatkan gambaran yang sebenarnya tentang kinerja perusahaan tempat mereka menanamkan portofolio investasinya. Dengan demikian, kepercayaan investor akan pulih kembali dan mereka akan kembali menanamkan investasinya di pasar modal. Sehingga diharapkan, pasar modal sebagai salah satu instrumen investasi akan kembali bergairah, serta harga pasar saham perusahaan akan kembali mengalami penguatan. Dan secara spesifik, tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk membuat model matematika yang menggambarkan hubungan antara value perusahaan yang diwakili oleh harga pasar per lembar sahamnya dengan model EVA per lembar saham dan EPS serta melihat hubungan antara penggunaan model EPS dan EVA per lembar saham dengan value perusahaan yang diwakili oleh harga pasar per lembar sahamnya. 2. Untuk melihat hubungan antara penggunaan model EVA per lembar saham dengan value perusahaan yang diwakili oleh harga pasar per lembar sahamnya.
9
3.
Untuk melihat hubungan antara penggunaan model EPS dengan value perusahaan yang diwakili oleh harga pasar per lembar sahamnya.
Adapun beberapa manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Bagi kalangan akademik : a. Merupakan suatu kajian metode baru dalam melakukan analisa atas kinerja manajemen yang selama ini menggunakan model earning per share. Dengan adanya penelitian ini, dalam beberapa waktu ke depan, metode economic value added dapat menjadi bahan pembahasan selanjutnya. b. Merupakan sumbangan bagi literature manajemen keuangan di masa mendatang, dimana topik economic value added dapat menjadi suatu masukkan baru dalam melakukan proses penilaian kinerja perusahaan. 2. Bagi kalangan investor : a. Dengan penggunaan metode economic value added ini, diharapkan para investor dapat meningkatkan tingkat kepercayaan atas laporan keuangan perusahaan, sehingga tidak ragu ragu dalam melakukan portofolio investasinya di pasar modal. b. Penggunaan metode economic value added diharapkan laporan keuangan perusahaan dapat menggambarkan kondisi sebenarnya dari perusahaan, sehingga investor memperoleh informasi yang lebih riil atas kondisi sebuah perusahaan.
10
3. Bagi pasar modal : a. Dengan meningkatkan kepercayaan para investor, diharapkan pasar modal dapat bergairah kembali, sebagai salah satu industri penopang pertumbuhan ekonomi. b. Nilai kapitalisasi pasar yang tercermin dalam sebuah pasar modal, dapat pulih kembali. 4. Bagi para analis pasar modal : a. Analis dapat menggunakan sebuah metode baru dalam menilai kondisi keuangan, dengan menggunakan model EVA ini, dimana diharapkan analisa mereka dapat menggambarkan keadaan sesungguhnya dari kondisi keuangan sebuah perusahaan. b. Dengan demikian, maka diharapkan para investor dapat kembali mempercayai rekomendasi para analis, sehingga keberadaan para analis dapat terus bertahan. 5. Bagi perusahaan yang tercatat di pasar modal : a. Pihak manajemen perusahaan yang saat ini sedang terpuruk, diharapkan dapat dipulihkan kembali kepercayaannya, dimana laporan keuangan mereka yang dinilai dengan menggunakan metode economic value added dapat memperoleh kepercayaan investor. b. Diharapkan nilai pasar harga saham perusahaan dapat meningkat sehubungan dengan pulihnya kepercayaan investor.