BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama telah diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas sayuran ini termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai bumbu penyedap makanan serta obat tradisonal. Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah (Balitbang Pertanian, 2005). Bawang merah dihasilkan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Provinsi penghasil utama bawang merah yang ditandai dengan dengan luas areal panen di atas seribu hektar per tahun adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan. Delapan provinsi ini menyumbang 96,8 persen dari produksi total bawang merah di Indonesia pada tahun 2013. Sementara itu lima provinsi di Pulau Jawa yang terdiri dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten memberikan kontribusi sebesar 78,1 persen dari produksi total bawang merah nasional. Konsumsi rata-rata bawang merah per kapita untuk tahun 2011-2012 berkisar antara 2,36 kg/tahun dan 2,74 kg/tahun (Bank Indonesia, 2013). Tabel 1.1 menunjukkan perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas bawang merah tahun 2007-2013.
1
Tabel 1.1. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Bawang Merah di Indonesia Tahun 2007-2013 Tahun
Luas Panen (Ha)
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata Sumber : BPS (2014)
Produksi (Ton)
93.694 91.339 104.009 109.634 93.667 99.519 98.937 98.686
802.810 853.615 965.164 1.048.934 893.124 964.221 1.010.773 934.092
Produktivitas (Ton/Ha) 8,57 9,35 9,28 9,57 9,54 9,69 10,22 9,46
Setiap tahun hampir selalu terjadi peningkatan produksi bawang merah, akan tetapi hal tersebut belum mampu mengimbangi peningkatan permintaan bawang merah secara nasional seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri olahan. Berdasarkan data dari Kementrian Pertanian, pada tahun 2007 misalnya, permintaan bawang merah sebesar 901.102 ton dengan produksi 802.810 ton, tahun 2008 permintaan meningkat menjadi 969.316 dengan produksi 853.615. Pada tahun 2009, permintaan bawang merah di Indonesia mencapai 1.019.735 ton dengan produksi 965.164 ton dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 1.116.275 ton dengan produksi 1.048.934 ton. Gambar 1.1 menunjukkan perkembangan produksi dan permintaan bawang merah tahun 20072010.
2
Gambar 1.1. Perkembangan Produksi dan Permintaan Bawang Merah di Indonesia Tahun 2007-2010 1,200,000 1,000,000 800,000 Ton
600,000 Produksi 400,000
Permintaan
200,000 0 2007
2008
2009
2010
Tahun
Sumber : Kementrian Pertanian (2011) dan BPS (2014) Umbi bawang merah, khususnya yang memiliki karakteristik kualitas seperti bawang impor (super), yaitu umbi besar (diameter 2,5-3 cm), bentuk bulat dan warna merah, mempunyai prospek pasar yang sangat baik di pasar domestik maupun ekspor. Permintaan pasar dalam negeri terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015, kebutuhan bawang merah diproyeksikan mencapai 1.195.235 ton. Jika produktivitas bawang merah diproyeksikan mencapai 10,22 ton/ha, maka dibutuhkan sekitar 116.950 ha areal panen. Mengacu pada areal panen tahun 2012, yaitu sebesar 99.519 ha, maka pemenuhan kebutuhan bawang merah tahun 2015 memerlukan perluasan areal panen sekitar 17.432 ha atau sekitar 6.000 ha per tahun. Sasaran produksi sebesar 1.195.235 ton tersebut pada tahun 2015 termasuk untuk benih bawang merah sekitar 102.900 ton (Bank Indonesia, 2013). Proyeksi kebutuhan bawang merah sampai dengan tahun 2015 tertera pada Tabel 1.2.
3
Tabel 1.2. Proyeksi Kebutuhan Bawang Merah Tahun 2015-2025 Tahun
Konsumsi
Kebutuhan (Ton) Benih Industri Ekspor
Total
2015 952.335 102.900 40.000 100.000 1.195.235 2016 976.683 103.900 40.000 100.000 1.220.583 2017 994.378 104.900 40.000 105.000 1.244.278 2018 1.022.751 105.900 45.000 105.000 1.278.651 2019 1.038.092 106.900 45.000 110.000 1.299.992 2020 1.067.527 107.900 50.000 110.000 1.335.427 2021 1.083.540 108.900 50.000 110.000 1.352.440 2022 1.114.077 109.900 55.000 120.000 1.398.977 2023 1.130.788 110.900 75.000 125.000 1.441.688 2024 1.177.179 111.900 75.000 125.000 1.489.079 2025 1.194.837 116.900 80.000 150.000 1.541.737 Sumber : Ditjen Bina Produksi Hortikultura, Kementrian Pertanian (2005) Produksi bawang merah di Indonesia masih bersifat musiman seperti hasil pertanian pada umumnya. Hal ini menyebabkan kebutuhan bawang merah masyarakat Indonesia di luar musim panen tidak dapat dipenuhi sehingga untuk memenuhinya perlu dilakukan tindakan impor. Pemerintah melakukan impor bawang merah untuk menjaga ketersediaan bawang merah dalam negeri serta kestabilan harga pasar. Tindakan impor ini menjadikan Indonesia menjadi net importir bawang merah, seperti ditunjukkan pada Tabel 1.3. Setiap tahun Indonesia melakukan kegiatan ekspor dan impor bawang merah, tetapi jumlah ekspor tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah impor bawang merah ke Indonesia. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2011-2013) terdapat indikasi kuat bahwa daya saing bawang merah nasional terus menurun dibandingkan bawang merah impor. Kondisi ini diperparah dengan semakin tingginya selisih harga satuan bawang merah ekspor dan impor terkait gejolak nilai rupiah terhadap dollar 4
Amerika Serikat (Bank Indonesia, 2013). Jika kondisi perbedaan harga ini semakin tajam, maka diperkirakan pada tahun-tahun mendatang pun impor bawang merah akan terus menekan produksi dan harga bawang merah nasional. Pada akhirnya, hal ini dapat menurunkan motivasi petani untuk menanam bawang merah dan produksi bawang merah sehingga akan meningkatkan ketergantungan terhadap bawang impor.
Tabel 1.3. Perkembangan Ekspor dan Impor Bawang Merah Tahun 20072012 Tahun
Volume (Ton) Ekspor
2007 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber : Dirjen Hortikultura (2013)
Impor 9.357 12.314 12.822 3.234 13.792 12.647
107.649 128.015 67.330 73.270 160.467 119.505
Peningkatan produksi yang lambat sementara konsumsi terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan menjadikan ketersediaan bawang merah untuk keperluan rumah tangga dan industri makanan seringkali kurang dari kebutuhan dan hal ini mendorong naiknya harga komoditas tersebut. Sebagai tanaman musiman, puncak produksi bawang merah terjadi pada bulan-bulan tertentu, sementara konsumsi bawang merah hampir digunakan setiap hari dan bahkan pada hari-hari besar keagamaan permintaannya cenderung melonjak. Adanya perbedaan pola produksi dan permintaan menyebabkan terjadinya gejolak harga pada waktu tertentu, berupa lonjakan kenaikan harga
5
pada saat permintaan lebih tinggi dari pasokan, atau harga merosot pada saat pasokan lebih tinggi dari permintaan (Bappenas, 2014). Besarnya volume impor bawang merah, sebagaimana tertera pada Tabel 1.3, sejatinya menunjukkan bahwa masih ada peluang yang sangat besar untuk pasar dalam negeri. Usaha budidaya bawang merah memiliki prospek dan peluang usaha yang sangat baik di masa yang akan datang. Dari sisi produktivitas, dalam tujuh tahun terakhir (2007-2013) rata-rata produktivitas bawang merah nasional hanya sekitar 9,46 ton/ha, jauh di bawah potensi produksi yang berada di atas 20 ton/ha. Beberapa permasalahan rendahnya produktivitas tersebut antara lain : (a) ketersediaan benih bermutu, (b) prasarana dan sarana produksi terbatas, (c) belum diterapkannya SOP (Standard Operating Procedurs) spesifik lokasi secara benar sehingga belum dapat diatasinya permasalahan yang ada. Produksi bawang merah nasional sampai saat ini masih terpusat di beberapa kabupaten di Pulau Jawa seperti Kuningan, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Nganjuk, dan Probolinggo (Bank Indonesia, 2013). Lima provinsi di Pulau Jawa yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten memberi kontribusi sebesar 75 hingga 80 persen terhadap total produksi bawang merah nasional selama lima tahun terakhir, sebagaimana tertera pada Tabel 1.4.
6
Tabel 1.4. Kontribusi Pulau Jawa terhadap Produksi Bawang Merah Nasional Tahun 2009-2013 Provinsi
2009
Jawa Barat 123.587 Jawa Tengah 406.725 DI Yogyakarta 19.763 Jawa Timur 181.490 Banten 668 Pulau Jawa 732.233 Indonesia 965.164 Kontribusi (%) 75,87 Sumber : BPS (2014), diolah
Produksi (Ton) 2011 2012
2010
116.396 506.357 19.950 203.739 351 846.793 1.048.934 80,73
101.273 372.256 14.407 198.388 421 686.745 893.124 76,89
115.896 381.814 11.854 222.863 1.230 733.657 964.221 76,09
2013 115.585 419.472 9.541 243.087 1.836 789.521 1.010.773 78,11
Daerah sentra produksi bawang merah utama adalah di Provinsi Jawa Tengah yang memasok sekitar 40 persen kebutuhan bawang merah nasional. Kabupaten Brebes merupakan kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki total lahan terbesar yang diusahakan untuk komoditas bawang merah. Pada tahun 2012, Kabupaten Brebes memasok sekitar 67 persen dari total produksi bawang merah di Provinsi Jawa Tengah dan sekitar 26 persen dari total produksi bawang merah nasional. Pada tahun 2013, kontribusi Kabupaten Brebes terhadap produksi bawang merah nasional meningkat menjadi hampir 30 persen, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1.5.
7
Tabel 1.5. Kontribusi Kabupaten Brebes terhadap Produksi Bawang Merah Nasional Tahun 2009-2013 Uraian
2009
Produksi (Ton) 2010 2011 2012
Kabupaten Brebes 312.583 412.813 278.864 259.000 Jawa Tengah 406.725 506.357 372.256 381.814 Pulau Jawa 732.233 846.793 686.745 733.657 Indonesia 965.164 1.048.934 893.124 964.221 Kontribusi Kabupaten Brebes : Jawa Tengah (%) 76,85 81,53 74,91 67,83 Pulau Jawa (%) 42,69 48,75 40,61 35,30 Produksi Nasional (%) 32,39 39,36 31,22 26,86 Sumber : Dinas Pertanian Kab. Brebes (2014) dan BPS (2014), diolah
2013 300.955 419.472 789.521 1.010.773
71,75 38,12 29,77
Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark mengingat posisinya sebagai penghasil terbesar komoditi tersebut di tataran nasional serta memiliki brand image yang baik bagi konsumen bawang merah di Indonesia. Bawang merah Brebes terkenal dengan kualitas yang lebih baik dari bawang merah yang berasal dari daerah lain di Indonesia atau luar negeri seperti Thailand dan Tiongkok. Bawang merah asli Brebes memiliki cita rasa tinggi, yaitu lebih menyengat dan harum serta produk jadinya (bawang goreng) lebih enak dan gurih, Bawang merah merupakan salah satu produk andalan dan unggulan sektor industri Kabupaten Brebes. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 8 Tahun 1986 bahwa lambang daerah dalam bentuk bulat telur serta gambar bawang merah melambangkan bahwa telur asin dan bawang merah merupakan hasil spesifik daerah Brebes (Pemkab Brebes, 2008 dalam Rosyadi et al., 2010).
8
Berdasarkan syarat tumbuhnya, tanaman bawang merah sangat potensial dibudidayakan di Kabupaten Brebes terutama di wilayah bagian utara. Banyaknya petani yang telah membudidayakan bawang merah menjadikan komoditas ini sebagai komoditas unggulan di Kabupaten Brebes. Areal penanaman bawang merah di Kabupaten Brebes tersebar di sebelas kecamatan yaitu Kecamatan Brebes,
Wanasari,
Bulakamba,
Kersana,
Tanjung,
Losari,
Banjarharjo,
Katanggungan, Larangan, Songgom, dan Jatibarang. Daerah sentra produksi bawang merah nasional yang ke dua setelah Provinsi Jawa Tengah adalah Provinsi Jawa Timur. Provinsi di ujung timur Pulau Jawa ini memasok sekitar 20 persen kebutuhan bawang merah nasional. Kabupaten Nganjuk merupakan kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang berkontribusi paling besar terhadap total produksi bawang merah di Jawa Timur. Pada tahun 2012, Kabupaten Nganjuk memasok sekitar 55 persen dari total produksi bawang merah di Provinsi Jawa Timur dan sekitar 12 persen dari total produksi bawang merah nasional. Pada tahun 2013, kontribusi Kabupaten Nganjuk terhadap produksi bawang merah nasional adalah sebesar 11,84 persen, sebagaimana tertera pada Tabel 1.6.
9
Tabel 1.6. Kontribusi Kabupaten Nganjuk terhadap Produksi Bawang Merah Nasional Tahun 2010-2013 Uraian
2010
Produksi (Ton) 2011 2012
2013
Kabupaten Nganjuk 109.590 114.461 123.463 119.660 Jawa Timur 203.739 198.388 222.863 243.087 Pulau Jawa 846.793 686.745 733.657 789.521 Indonesia 1.048.934 893.124 964.221 1.010.773 Kontribusi Kabupaten Nganjuk : Jawa Timur (%) 53,79 57,70 55,40 49,23 Pulau Jawa (%) 12,94 16,67 16,83 15,16 Produksi Nasional (%) 10,45 12,82 12,80 11,84 Sumber : Dinas Pertanian Kab. Nganjuk (2014) dan BPS (2014), diolah Profil usahatani bawang merah dicirikan oleh 80 persen petani yang merupakan petani kecil dengan luas lahan kurang dari 1 ha. Berbagai varietas bawang merah yang diusahakan petani antara lain Bima Brebes, Kuning, Bangkok, Bima Sawo, Engkel, Bangkok, Bima Timor, Filipina, dan Thailand (Bank Indonesia, 2013). Usaha budidaya bawang merah ini umumnya merupakan usaha keluarga yang telah dilaksanakan secara turun-temurun. Sebagian besar petani bawang merah sudah melakukan budidaya bawang merah hingga 15-25 tahun. Motivasi pendirian usaha ini di antaranya adalah karena harga jual bawang merah yang cukup baik walaupun dengan pola perubahan yang cukup ekstrem, meneruskan usaha yang telah ada (usaha keluarga), sumber daya alam yang mendukung, dan adanya pengalaman dengan ketrampilan yang sederhana. Untuk mencapai produktivitas yang maksimal, sistem budidaya bawang merah harus dilakukan secara intensif sehingga perlu ketrampilan dan keuletan ekstra dari setiap individu petani. Mengkaji persoalan tentang produktivitas sebenarnya adalah mengkaji masalah efisiensi usahatani. Hal ini dikarenakan
10
ukuran produktivitas pada hakikatnya mempengaruhi tingkat efisiensi teknis budidaya yang dilakukan oleh petani yang menunjukkan pada seberapa besar output maksimum yang dapat dihasilkan dari tiap input yang tersedia. Tingkat efisiensi akan sangat dipengaruhi oleh kapabilitas manajerial petani dalam aplikasi teknologi budidaya dan pasca panen, serta kemampuan petani dalam mengakumulasikan dan mengolah informasi yang relevan dengan usaha budidayanya sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan tepat. Isu in-efisiensi pada dasarnya timbul dari asumsi bahwa petani dan usahatani
berperilaku
memaksimalkan
keuntungan.
In-efisiensi
dapat
diintepretasikan sebagai suatu titik atau tahapan di mana tujuan dari perilaku ekonomi belum secara penuh dimaksimalkan. Kemungkinan seorang pelaku tidak dapat mencapai tujuan maksimalnya adalah sesuatu yang umum. Dengan kata lain, in-efisiensi sebenarnya merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari kehidupan (Adiyoga, 1999). Dalam mengelola usahataninya, petani mungkin saja melakukan penyimpangan-penyimpangan
yang
menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi.
Dinamika sektor pertanian yang ditandai oleh adanya perubahan lingkungan teknis dan ekonomis secara terus-menerus akan menyulitkan petani dalam menyesuaikan keputusan-keputusan alokatifnya agar tetap respon terhadap perubahan lingkungan produksi serta tetap menjaga efisiensi alokasi penggunaan sumberdayanya. Pada kondisi seperti ini petani sebenarnya secara terus-menerus berada pada keadaan dis-ekuilibrium. Dinamika perubahan lingkungan strategis yang dihadapi petani juga mensyaratkan kriteria efisiensi yang lebih diarahkan pada keragaan sistem (termasuk di dalamnya petani dan sistem penunjang
11
usahatani), bukan semata-mata difokuskan secara sempit kepada rasionalitas petani (Adiyoga, 1999). Besarnya peluang untuk menjangkau pasar nasional maupun pasar internasional menjadikan bawang merah sebagai salah satu komoditi prioritas dalam pengembangan sayuran di Indonesia, yang cukup strategis dan ekonomis dipandang dari segi keuntungan (profit) usahatani. Semakin tinggi keuntungan usahatani yang dicapai oleh petani akan menunjukkan keberhasilan petani dalam menjalankan usahataninya secara ekonomi. Untuk itu, pengembangan usahatani bawang merah di Indonesia harus diarahkan untuk mewujudkan agribisnis dan agroindustri yang berdaya saing, berkelanjutan, dan mampu meningkatkan kesejahteraan petani.
1.2. Perumusan Masalah Seorang
petani
menjalankan
usahataninya
dengan
tujuan
untuk
mendapatkan hasil dari usahanya tersebut, baik berupa hasil panen untuk dikonsumsi sendiri atau uang hasil penjualan hasil panen untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Semakin tinggi keuntungan (profit) usahatani yang dicapai oleh petani akan menunjukkan keberhasilan petani dalam menjalankan usahataninya. Profitabilitas usahatani, atau kemampuan usahatani dalam menghasilkan keuntungan, umumnya menjadi daerah pertama yang menjadi fokus perhatian bagi petani. Profitabilitas usahatani yang tinggi selalu menjadi magnet bagi petani untuk memilih mengusahakan suatu komoditas tertentu. Hal ini sejalan dengan petani bawang merah di mana nilai ekonominya yang tinggi benar-benar menjadi
12
magnet penggerak bagi petani untuk menanam bawang merah. Dari sini dapat kita pahami bahwa profitabilitas usahatani yang tinggi merupakan tujuan penting bagi seorang petani dalam menjalankan usahataninya (Kay et al., 2008). Rendahnya profitabilitas usahatani sering kali disebabkan karena terjadinya in-efisiensi penggunaan sumberdaya oleh petani. Jika petani tidak mengalokasikan sumberdaya secara efisien maka terdapat potensi yang tidak atau belum tereksploitasi untuk meningkatkan produksi dan keuntungan usahatai. Ukuran efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi sudah seharusnya diteliti secara seksama. Efisiensi ekonomi yang rendah dapat disebabkan karena efisiensi teknis yang rendah, harga jual yang terlalu murah, atau tingginya biaya untuk input. Dalam hal ini, petani harus mampu me-manage usahataninya secara baik. Petani bawang merah di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Nganjuk, yang merupakan dua sentra produksi bawang merah terbesar dan menjadi tumpuan produksi bawang merah nasional, masing-masing memiliki karakteristik yang khas. Keduanya berhadapan dengan risiko dan kondisi lingkungan yang berbedabeda. Keadaan tersebut menjadikan sistem budidaya bawang merah yang dijalankan oleh petani di masing-masing wilayah tidak seragam. Hal ini tercermin dalam keragaman cara budidaya yang bercirikan spesifik agroekosistem tempat bawang merah diusahakan. Profitabilitas usahatani bawang merah di masing-masing wilayah menjadi sangat penting untuk diketahui sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan tentang penggunaan teknologi dengan tujuan untuk meningkatkan produksi sekaligus meningkatkan keuntungan petani. Setiap petani bawang merah tentu mengharapkan produksi yang tinggi dan sekaligus keuntungan yang
13
memadai. Dalam menghadapi kondisi lingkungan yang serba tidak menentu, seorang petani harus mampu mengalokasikan faktor-faktor produksi yang digunakan sedemikian rupa sehingga usahataninya dapat mencapai tingkat yang efisien dan memperoleh keuntungan yang cukup untuk menghidupi keluarganya dan sekaligus mengembangkan usahataninya. Berdasarkan uraian di atas maka pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah : 1. Berapakah profitabilitas usahatani bawang merah di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Nganjuk? 2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi bawang merah di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Nganjuk? 3. Apakah usahatani bawang merah di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Nganjuk sudah efisien secara teknis, alokatif, dan ekonomi?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka dapat disusun tujuan penelitian sebagai berikut : 1. Mengetahui profitabilias usahatani bawang merah di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Nganjuk. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi bawang merah di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Nganjuk. 3. Mengetahui tingkat efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi usahatani bawang merah di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Nganjuk.
14
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Penulis sebagai sarana pembelajaran dan penerapan ilmu. 2. Petani sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam pengelolaan usahatani bawang merah. 3. Pihak penyuluh pertanian sebagai bahan informasi dan evaluasi program penyuluhan. 4. Pemerintah sebagai informasi, masukan, dan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pengembangan usahatani bawang merah. 5. Peneliti lain sebagai bahan informasi untuk penelitian lanjutan.
15