BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ibadah shalat adalah salah satu media komunikasi antara manusia dengan Allah SWT. Disamping itu, rukun Islam yang kedua ini juga merupakan amaliah ibadah seorang hamba kepada Khaliknya sebagai media untuk mendekatkan diri. Dalam agama Islam, shalat menempati kedudukan tertinggi dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang lain, bahkan kedudukan shalat dalam Islam sangat besar sekali hingga tak ada ibadah lain yang mampu menandinginya.1 Shalat juga merupakan tiang agama, sehingga seseorang yang mendirikan shalat berarti telah membangun pondasi agama. Sebaliknya, seseorang yang meninggalkan shalat berarti meruntuhkan dasar-dasar bangunan agama, agama tidak akan tegak melainkan dengannya.2 Hal ini sekaligus memberikan pengertian kepada umat Islam bahwa yang meruntuhkan dan menegakkan agama itu bukan umat lain, melainkan umat Islam sendiri. 3 Dan apabila shalat dilakukan secara berjamaah, maka shalat dapat dijadikan sebagai sarana untuk menghilangkan perpecahan masyarakat, dan ta’ashub yang dilandasi unsur etnis dan suku. Sehingga akan terwujud kasih 1
Shalih bin Ghanim bin Abdullah as-Sadlani, Shalat Al Jama’ah Hikamuha wa Ahkamuha wat Tanbih ‘ala ma Yaqa’u fiiha min Bid’ain wa Akhtain, terj. M. Nur Abrari, Shalat Berjama’ah Panduan Hukum, Adab, Hikmah, Sunnah, dan Peringatan Penting tentang Pelaksanaan Shalat Berjamaah,(Solo : Pustaka Arafah, 2002), hlm. 21. 2 Ibid. 3 Sentot Haryanto, Psikologi Shalat, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 156.
1
2 sayang dan kekeluargaan, saling mengenal dan persaudaraan diantara sesama muslim.4 Bahkan Allah SWT. akan melipatgandakan balasannya menjadi 27 kali atau akan menambahkannya lagi manakala seseorang melaksanakan shalat dihadapan Allah bersama yang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi :
ﺃﺧﱪﻧﺎ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺃﻥ: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻳﻮﺳﻒ ﻗﺎﻝ ﺻﻼﺓ ﺍﳉﻤﺎﻋﺔ ﺗﻔﻀﻞ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺬ ﺑﺴﺒﻊ: ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ 5 ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺩﺭﺟﺔ Artinya : “Meriwayatkan kepada kita Abdullah bin Yusuf berkata : Mengabarkan Kepada kita Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “Shalat jama’ah melebihi shalat sendiri dengan 27 derajat”. Berdasarkan hadits tersebut, shalat berjamaah bukanlah sebuah kewajiban tetapi keutamaan yang pahalanya lebih besar dari shalat sendirian atau yang dalam hadits disebut fadzdzi atau wahdah dan dalam fiqih disebut munfarid.6 Shalat berjamaah untuk pertama kalinya dilakukan oleh Nabi SAW di Makkah dimana beliau bertindak sebagai imam dan Ali dan Hudzaifah ra sebagai makmumnya. Walaupun di Madinah shalat berjamaah disyariatkan (dilakukan secara terbuka), akan tetapi dalam praktek yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW beserta Ali bin Abi Thalib dan Siti Khadijah ra, yaitu ketika mulai dikerjakannya shalat lima waktu, belum terbuka untuk umum, hal ini dapat dilihat 4
as-Sadlani, op.cit., hlm. 28-29. Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Maghiroh Ibn Barzabatin alBukhori al-Ja’fiyy, Shohih Bukhori, (Bairut - Libanon : Daarul Kitab Al-Ilmiyyah, 1992), Juz I, hlm. 198. 6 Asjmuni Abdurrahman, Shalat Berjamaah, (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2003), hlm. 4. 5
3 dari apa yang dilakukan para sahabat Nabi SAW yang mengerjakan shalat masih secara sembunyi-sembunyi.7 Maksud shalat berjamaah di sini adalah shalat yang dilakukan secara bersama-sama, salah seorang diantaranya menjadi imam dan yang lain menjadi makmum. Adapun dasar dari hukum melakukan shalat berjamaah ialah antara lain terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 43 :
(43 : ﲔ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﺍ ِﻛ ِﻌﻊ ﺍﻟﺮ ﻣ ﻮﹾﺍﺭ ﹶﻛﻌ ﺍﺰﻛﹶﺎ ﹶﺓ ﻭ ﻮﹾﺍ ﺍﻟﺁﺗﻼ ﹶﺓ ﻭ ﺼﹶ ﻮﹾﺍ ﺍﻟﻭﹶﺃﻗِﻴﻤ Artinya : “Dan tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’”. (QS. Al-Baqarah : 43). Dan diantara dalil yang menunjukkan shalat berjamaah adalah ketika Nabi SAW memerintahkan para sahabatnya mengerjakannya. Imam Bukhari meriwayatkan dari Malik bin Huwairits ra. :
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻭﻫﻴﺐ ﻋﻦ ﺃﻳﻮﺏ ﻋﻦ ﺃﰉ ﻗﻼﺑﺔ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻌﻠﻰ ﺑﻦ ﺃﺳﺪ ﻗﺎﻝ ﻓﺄﻗﻤﻨﺎ ﻋﻨﺪﻩ ﻋﺸﺮﻳﻦ، ﺃﺗﻴﺖ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﻧﻔﺮ ﻣﻦ ﻗﻮﻣﻰ: ﺍﳊﻮﻳﺮﺙ ﺍﺭﺟﻌﻮﺍ ﻓﻜﻮﻧﻮﺍ ﻓﻴﻬﻢ: ﻓﻠﻤﺎ ﺭﺃﻯ ﺷﻮﻗﻨﺎ ﺇﱃ ﺃﻫﺎﻟﻴﻨﺎ ﻗﺎﻝ. ﻭﻛﺎﻥ ﺭﺣﻴﻤﺎ ﺭﻓﻴﻘﺎ،ﻟﻴﻠﺔ 8 ﻭﻟﻴﺆﻣﻜﻢ ﺃﻛﱪﻛﻢ، ﻓﺈﺫﺍ ﺣﻀﺮﺕ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻠﻴﺆﺫﻥ ﻟﻜﻢ ﺃﺣﺪﻛﻢ،ﻭﻋﻠﻤﻮ ﻫﻢ ﻭﺻﻠﻮﺍ Artinya : “Meriwayatkan kepada kita Mu’ala bin Asad berkata : Meriwayatkan kepada kita Wuhaib dari Ayub dari Abi Qilabah dari Malik bin Huwairis : Saya mendapati Nabi berada bersama suatu kaum, Aku tinggal bersama Nabi SAW selama dua puluh hari, dan beliau sangatlah kasih sayang dan bersahabat. Ketika beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, beliau bersabda : “Kembalilah 7
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary, Fatkh al-Mu’in bi Syarhi Qurat al-‘Aini, (Surabaya : Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhân wa Awlâdâdah), hlm. 34. 8 Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Maghiroh Ibn Barzabatin alBukhori al-Ja’fiyy, op.cit., hlm. 193.
4 dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka, dan shalatlah,. apabila telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang diantara kalian adzan dan yang paling tua mengimani kalian”. Pada waktu itu Nabi memerintahkan adzan dan menjadi imam ketika datang waktu shalat atau melaksanakan shalat berjamaah. Perintah Nabi SAW. melaksanakan shalat berjamaah bukan terbatas jika jumlah orang tersebut banyak, namun Nabi SAW. juga memerintahkan shalat berjamaah meskipun jumlah mereka hanya tiga orang saja.9 Tetapi dalam shalat berjamaah yang dilakukan dengan jumlah jama’ah yang banyak, lebih utama dari pada shalat berjamaah yang sedikit, karena ada hadits shahih yang menyatakan bahwa perkara yang lebih banyak, lebih dicintai Allah SWT.10 Nabi Muhammad SAW. juga menganjurkan dengan sangat keras seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori :
ﺃﺧﱪﻧﺎ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﺃﰊ ﺍﻟﺰﻧﺎﺩ ﻋﻦ ﺍﻷﻋﺮﺝ ﻋﻦ ﺃﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻳﻮﺳﻒ ﻗﺎﻝ ﻟﻘﺪ ﳘﻤﺖ ﺃﻥ ﺁﻣﺮ، ﻭﺍﻟﺬﻯ ﻧﻔﺴﻰ ﺑﻴﺪﻩ: ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﰒ ﺃﺧﺎﻟﻒ ﺇﱃ، ﰒ ﺁﻣﺮ ﺭﺟﻼ ﻓﻴﺆﻡ ﺍﻟﻨﺎﺱ، ﰒ ﺁﻣﺮ ﺑﺎﻟﺼﻼﺓ ﻓﻴﺆﺫﻥ ﳍﺎ،ﲝﻄﺐ ﻓﻴﺤﻄﺐ ﻟﻮ ﻳﻌﻠﻢ ﺍﺣﺪﻫﻢ ﺃﻧﻪ ﳚﺪ ﻋﺮﻗﺎ ﲰﻴﻨﺎ ﺍﻭ، ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ.ﻢﺭﺟﺎﻝ ﻓﺄﺣﺮﻕ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺑﻴﻮ .ﻣﺮﻣﺎﺗﲔ ﺣﺴﻨﺘﲔ ﻟﺸﻬﺪ ﺍﻟﻌﺸﺎﺀ 11
Artinya : “Meriwayatkan kepada kita Abdullah bin Yusuf berkata : Mengabarkan kepada kita Malik dari Abi Zinad dari A’raj dari Abi Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :“Demi Dzat yang jiwaku 9
Fadlal Ilahi, Menggugat Kesunnatan Shalat Berjamaah, (Yogyakarta : Pustaka Fahima, 2004), hlm. 69 10 Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, op.cit., hlm. 362. 11 Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Maghiroh Ibn Barzabatin alBukhori al-Ja’fiyy, op.cit., hlm. 197.
5 berada dalam genggaman-Nya, sungguh aku telah bermaksud untuk memerintahkan mengumpulkan kayu bakar dan memerintahkan untuk sholat lalu diadzani, lalu saya menyuruh seseorang untuk mengimami manusia dan aku menuju orang-orang lalu kubakar rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya seseorang tahu bahwa dia mendapat tulang yang gemuk (banyak dagingnya) atau dua baginya kebaikan niscaya ia menyaksikan (ikut berjama’ah) Isya’.” Dalam al-Qur’an Allah SWT. tidak menjelaskan secara jelas mengenai tata cara shalat, akan tetapi Allah memberikan petunjuk melalui kekasih-Nya (Muhammad SAW) untuk memberikan tuntunan dan ajaran mengenai tata cara shalat melalui perkataan maupun perbuatan yang beliau lakukan (al-Sunnah atau al-Hadist). Perbedaan ruang dan waktu antara masa hidup Rasulullah SAW. dengan masa sekarang, membuat para mujtahid harus berhati-hati dalam merumuskan fiqh. Imbasnya kerap kali terjadi perselisihan diantara mereka mengenai hal-hal yang tidak secara jelas tersirat dalam al-Qur'an maupun al-Sunnah. Hal tersebut juga terjadi dalam persoalan shalat. Salah satunya adalah mengenai kebolehan makmum keluar dari jama’ah (berniat mufâraqah). Dalam literatur fiqh disebutkan bahwa kewajiban makmum adalah mengikuti imam dalam setiap gerakan shalatnya, mulai dari takbiratul ihram sampai salam. Adapun makmum harus berniat untuk menjadi makmum.12 Sementara apabila ada
12
Musthofa Ribu Albagho, al-Tadzhib fi Adilah Matn al-Ghoyah wa Taqrib, (Surabaya : Toko Kitab Al-Hidayah, t.th.), hlm. 69.
6 makmum mendahului imamnya dalam gerakan-gerakan sholat, maka ulama bersepakat bahwa hal tersebut adalah haram.13 Dijelaskan pula apabila makmum menyamai dan menyertai gerakan imam, maka shalatnya batal.14 Selanjutnya apabila makmum terlambat atau tertinggal hingga satu atau dua raka’at, maka ulama sepakat bahwa orang tersebut hendaklah berniat jamaah dan meneruskan shalat bersama imam.15 Dan apabila makmum mendapati imam sedang sujud, maka makmum dianjurkan untuk ikut sujud, tapi tidak dimasukkan dalam hitungan raka’at. Sedangkan apabila makmum mendapatkan ruku’nya imam, maka ia berarti mendapatkan satu raka’at.16 Selain makmum, imam juga merupakan komponen penting dalam sholat berjamaah. Adapun syarat-syarat untuk menjadi imam dalam shalat menurut Imam Maliki adalah; mengetahui hukum shalat, ilmu hadits, taat beribadah, lebih dahulu masuk Islam, mulia nasibnya, akhlaknya.17 Beberapa syarat menjadi imam akan terkait erat dengan pembahasan mengenai mufâraqah. Menurut Imam Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, boleh makmum mufâraqah. tanpa udzur namun hukumnya makruh. Oleh karena itu, lepaslah fadhilah berjamaah darinya. Adapun mufâraqah karena udzur, misalnya karena
13
as-Sadlani, op.cit., hlm. 187. Ibid., hlm. 190. 15 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, edisi Indonesia Fiqh Lima Mazhab, penerjemah Masykur A. B. dkk, (Jakarta : Lentera Basritama, 2002), Cet. II, hlm. 139. 16 M. Tholib, Fiqih Nabawi, (Surabaya : PT. Al-Ikhlas, 1991), hlm. 91-93. 17 Ibid., hlm. 140. 14
7 ada yang memperbolehkan meninggalkan berjamaah (karena sakit, takut pada yang zhalim yang akan menyakiti dirinya atau hartanya, dan sebagainya) atau imamnya meninggalkan sunat yang dimaksud misalnya meninggalkan tasyahud awal atau imam memanjangkan bacaannya sedangkan makmum orang yang lemah atau sedang sibuk bekerja, maka tidak hilang fadhilah berjamaahnya. Dan ia tetap mendapatkan pahala jamaahnya.18 Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merasa tertarik untuk membahas pendapat Imam Zainuddin bin Abdul Aziz
al-Malibari tentang
mufâraqah dalam shalat berjamaah dengan judul “ANALISIS PENDAPAT IMAM ZAINUDDIN BIN ABDUL AZIZ AL-MALIBARI TENTANG MUFÂRAQAH DALAM SHALAT BERJAMAAH”.
B. Rumusan Masalah Dengan mengacu kepada latar belakang di atas ada dua pokok permasalahan yang akan penulis bahas dalam skripsi ini, 1. Bagaimana pendapat Imam Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari tentang mufâraqah dalam shalat berjamaah ? 2. Bagaimana istinbath hukum Imam Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari terhadap makmum yang melakukan mufâraqah dalam shalat berjamaah ?
18
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, op.cit., hlm. 366.
8 C. Tujuan Penulisan Skripsi Berpangkal dari pokok permasalahan di atas, maka penulisan skripsi ini, yaitu: 1. Untuk mengetahui pendapat Imam Zainudin bin Abdul Aziz al-Malibari tentang mufâraqah dalam shalat berjamaah. 2. Untuk mengetahui metode istinbath hukum Imam Zainudin bin Abdul Aziz al-Malibari terhadap makmum yang melakukan mufâraqah dalam shalat berjamaah.
D. Telaah Pustaka Tentang kajian dan pembahasan dalam shalat berjamaah sebenarnya sudah banyak dibahas dalam kajian-kajian sebelumnya oleh para ulama ataupun intelektual dalam bentuk buku maupun kitab-kitab fiqih. Akan tetapi dalam pembahasan penulisan skripsi ini sebagai referensi yang pokok atau referensi utama yang penulis gunakan adalah Kitab Fatkhul Mu’in karangan Syaikh Imam Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari. Sedangkan untuk mendukung dan mengkomparasikan pembahasan dalam skripsi ini, penulis menggunakan berbagai kitab karangan ulama terdahulu, antara lain: Dalam kitab al-Umm, Imam Syafi’i menyatakan seseorang yang melakukan shalat jama’ah ma’mum, tidak diwajibkan untuk mufâraqah apabila imam melakukan kesalahan dalam shalat.
9 Dalam kitab al-Muhalla, karangan Ibnu Hazm : Berpendapat bahwa tidak sah shalat fardlunya orang laki-laki yang mufarrid apabila ia mendengar adzan segera melakukan shalat fardlu sendirian. Sedangkan menurut Sayyid Sabiq di dalam kitabnya Fiqih Sunnah mengatakan : Seorang ma’mum diperbolehkan mufâraqah, tetapi hukumnya makruh dan otomatis kehilangan pahala jamaahnya. Adapun dari hasil penelitian atau penulisan yang membahas tentang pendapat Imam Zainuddin bin bin Abdul Aziz al-Malibari adalah skripsi Imam Bukhori, NIM. 2101089 yang berjudul “Studi Analisis Terhadap Syarat Perpindahan Madzhab Menurut Zainuddin Al-Malibari Dalam Kitab Fathul Mu’in.” Dalam skripsi tersebut menjelaskan bahwa madzhab yang boleh diikuti terfokus hanya empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali). Sedangkan persyaratan perpindahan madzhab tidak boleh dalam satu masalah. Dan dari hasil penelusuran yang penulis lakukan terhadap literaturliteratur yang ada, penulis tidak menemukan literatur yang membahas tentang pendapat Imam Zainuddin bin bin Abdul Aziz al-Malibari mengenai mufâraqah dalam shalat berjamaah. Maka penulis berkesimpulan bahwa judul yang penulis angkat adalah baru dan belum ada yang membahas.
E. Metode Penelitian Dalam penulisan ini penulis akan mengusahakan untuk menggunakan berbagai metode yang dianggap relevan sebagai permasalahan guna mendapatkan
10 data yang benar, sehingga isi skripsi ini merupakan hasil penulisan yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Maka dari itu dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan beberapa metode, antara lain : 1. Metode Pengumpulan Data Karena penulisannya hanya membatasi pada bahan-bahan koleksi pustaka saja tanpa memerlukan riset lapangan, maka kajian ini termasuk jenis penelitian pustaka (Library Research), yaitu metode untuk mengumpulkan data-data yang bersumber dari kepustakaan, baik itu dari buku-buku, kitabkitab, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain,19 dengan cara menelaah, dan menganalisis hal-hal yang berkenaan dengan masalah mufâraqah dalam shalat berjamaah. Adapun data yang digunakan oleh penulis ini adalah untuk menilai bagaimana pendapat Imam Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari mengenai Mufâraqah. dalam shalat berjamaah. 2. Sumber Data Sumber data berupa literatur yang meliputi bacaan tentang teori-teori penelitian dan berbagai jenis dokumen dalam penelitian ini, yaitu : a. Sumber Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat
19
32.
Kartini Kartono, Pengantar Metode Research Sosial, (Bandung : Mandar Maju, 1990), hlm.
11 pengambilan dari langsung pada subyek sebagai informasi yang dicari.20 Data langsung diperoleh dari kitab Kitab Fatkhul Muin karangan pendapat Imam Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari tentang mufâraqah dalam shalat berjamaah. b. Sumber Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber pendukung untuk memperjelas sumber data primer berupa data kepustakaan yang berkorelasi kerap dengan pembahasan obyek penelitian,21 Data tersebut berasal dari karya tulis, kitab atau buku-buku karangan para ulama yang berkaitan dengan mufâraqah dalam shalat berjamaah. Kemudian diperkuat dengan dalil-dalil dari al-Qur’an dan al-Hadits. 3. Metode Analisis Data Setelah mengumpulkan data yang diperlukan, kemudian penulis menganalisis data dengan menggunakan metode sebagai berikut : a. Metode Deskriptif Analisis Yaitu data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisis.22 Metode ini bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subyek penelitian berdasarkan data yang diperoleh. Yaitu
20
Saefuddin Azwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 91.
21
Lexy j. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Rosda Karya, 1998), hlm.
114. 22
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode dan Teknik, Edisi Ke-7, (Bandung : Tarsito, 1994), hlm. 140
12 dengan cara menguraikan masalah yang sedang dibahas secara teratur mengenai seluruh konsepsi pemikiran pendapat Imam Zainudin bin Abdul Aziz al-Malibari tentang mufâraqah dalam shalat berjamaah. b. Metode Analisis Komparatif Yaitu metode analisis pemikiran atau pendapat tokoh yang dikaji dibandingkan dengan pemikiran tokoh lainnya, sehingga dengan metode komparatif ini diharapkan dapat ditemukan keragaman dan selanjutnya bukan mustahil menghasilkan modifikasi teori.23
F. Sistematika Penulisan Skripsi Sistematika dalam penulisan skripsi terbagi atas lima bab, dan tiap-tiap bab terdiri pula atas beberapa sub bab, dengan tujuan agar penulisan skripsi ini bisa lebih terarah. Untuk lebih jelasnya pembahasan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : Bab I
: Pendahuluan Pendahuluan ini terdiri atas enam sub bab yang meliputi : Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan Skripsi, Telaah Pustaka, Metode Penulisan Skripsi, dan Sistematika Penulisan Skripsi.
23
88.
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 1998), hlm.
13 Bab II
: Tinjauan Umum Tentang Shalat Berjamaah dan Mufâraqah Dalam bab II (dua) ini terdiri atas Penjelasan Tentang Pengertian Shalat Jama’ah, Syarat-Syarat Shalat Jama’ah, Pengertian dan Pendapat Ulama’ tentang Mufâraqah dalam Shalat Berjamaah.
Bab III : Metode Istinbath Hukum Imam Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary tentang Mufâraqah dalam Shalat Berjamaah Pada bab ini berisi tentang Gambaran Umum Kitab Fathul Mu’in, Pendapat Imam Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary, dan Metode Istinbath Hukum Imam Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary Tentang Mufâraqah dalam Shalat Berjama’ah. Bab IV : Analisis Pendapat Imam Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari Tentang Mufâraqah dalam Shalat Berjamaah Dalam bab empat ini terdiri dari dua sub bab yang meliputi : Analisis Pendapat Imam Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary Tentang Mufâraqah dalam Shalat Berjamaah, dan Analisis Istinbath Hukum Imam Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary Tentang Mufâraqah Dalam Shalat Berjamaah. BAB V : Penutup Bab ini merupakan bab terakhir yang terdiri dari : Kesimpulan, Saransaran, Penutup.
14 DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Asjmuni, Shalat Berjamaah, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2003. Albagho, Musthofa Ribu, Attadzhib fi Adilah Matan Alghoyah wa Taqrib, Surabaya : Toko Kitab Al-Hidayah, t.th.. Al-Ja’fiyy, Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Maghiroh Ibn Barzabatin Al-Bukhori, Shohih Bukhori, Bairut - Libanon : Daarul Kitab al-Ilmiyyah, 1992. Al-Malibari, Zainuddin bin Abdul Aziz, Terjemahan Fatkhul Mu’in, Juz I, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, t.th. As-Sadlani, Shalih bin Ghanim bin Abdullah, Shalat Al Jama’ah Hukmuha aw Ahkamuha wat Tanbih ‘ala ma Yaqa’u fiiha min Bid’ain wa Akhtain, terj. M. Nur Abrari, Shalat Berjama’ah Panduan Hukum, Adab, Hikmah, Sunnah, dan Peringatan Penting tentang Pelaksanaan Shalat Berjamaah, Solo : Pustaka Arafah, 2002. Azwar, Saefuddin, Metodologi Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001. Haryanto, Sentot, Psikologi Shalat, Jakarta : Pustaka Pelajar, 2003. Ilahi, Fadlal, Menggugat Kesunnatan Shalat Berjamaah, Yogyakarta : Pustaka Fahima, 2004. Kartono, Kartini, Pengantar Metode Research Sosial, Bandung : Mandar Maju, 1990. Moeloeng, Lexy. J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Rosda Karya, 1998. Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, edisi Indonesia Fiqh Lima Mazhab, penerjemah Masykur A. B. dkk, Jakarta : Lentera Basritama, 2002.
15 Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasin, 1998. Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode dan Teknik, Edisi Ke-7, Bandung : Tarsito, 1994 Tholib, M., Fiqih Nabawi, Surabaya : PT. Al-Ikhlas, 1991.