BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Secara umum derajat laki-laki dan wanita itu sama dihadapan Allah swt. yang membedakan mereka adalah ketakwaan. Sebab, wanita dalam Islam mendapatkan porsi yang terhormat.1 Hal itu terekam dalam hadits-hadits Nabi saw. yang mengangkat derajat wanita, yang sebelumnya mengalami ketertindasan fisik dan psikis. Al-Qur‟an juga memposisikan wanita sama dengan laki-laki secara sosial, walaupun al-Qur‟an mengakui adanya kelebihan diantara keduanya secara fisiologis. Sebagaimana disinggung dalam firman Allah swt. QS. an-Nisa ayat 34, sebagai berikut:
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah swt. telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita 1
Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta: LSSPA, 2000), h. 35.
yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”. (QS. an-Nisa ayat 34).2 Bahwa Allah swt. telah memberikan kelebihan atas laki-laki di atas wanita, sehingga wanita tidak layak menempati posisi-posisi strategis di ranah publik. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, perbedaan secara kodrati (nature) yang bersifat mutlak dan berkaitan dengan hal yang bersifat biologis. Wanita memiliki rahim, payudara, ovorium,3 sel telur, mengalami haid (menstruasi), dan melahirkan, sedangkan laki-laki memiliki penis dan sperma. Kedua, perbedaan secara sosial (nature) yang sifatnya relatif, dapat berubah dalam daerah tertentu dan pada masa tertentu.4 Laki-laki tidak haid (menstruasi), karena laki-laki tidak memiliki rahim serta hormon-hormon yang mendukung terjadinya haid (menstruasi).5 Wanita bisa haid sedangkan laki-laki tidak, karena dulu ibu hawa ikut membantu Iblis merayu Adam untuk makan buah khuldi yaitu dengan cara ia memakan duluan. Oleh sebab itu ia diberi cobaan mengalami haid setelah kejadian tersebut sampai keturunannya dari kaum hawa kemudian Jibril menggandeng tangan Nabi Adam yang dalam keadaan telanjang dan terbuka kepalanya atau tidak pakai tutup kepala dan menurunkan adam kebumi saat terbenamnya matahari dihari jum‟at, adam diturunkan digunung dari salah satu gunung dinegara Hindia yang bernama gunung rohun. Adapun Hawa telah hilang cantiknya dan dicoba dengan mengalami haid dan putusnya nasab. Maka dikatakanlah anak cucu adam bukan anak cucu hawa karena dia membujuk Adam
2
Yayasan Penyelenggara Penterjamah Pentafsir Al Quran, Al Quran dan Terjemahnya, (Departemen Agama, 2004), h. 122. 3
Ovorium adalah alat kelamin dalam yang membentuk sel telur pada wanita. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 805. 4
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Qur’an, (Yogyakarta: Lkis, 1999), h. 21-24. 5
Ajen Dianawati, Pendidikan Seks Untuk Remaja, (Jakarta: PT. Kawan Pustaka, 2003), h. 18.
bersama Iblis yaitu dengan cara ia makan biji duluan.6 Dan pada waktu jamannya Adam dan Hawa, wanita yang bernama Hawa setelah dibujuk syetan lalu memperdayai Adam untuk ikut berdosa dengan makan buah larangan, akibatnya Allah swt. menghukum Hawa bahwa dalam hidupnya akan menemui banyak kesusahan yaitu saat datang bulan (haid), saat bersetubuh, dan saat melahirkan. Sedangkan Adam mendapatkan hukuman, bahwa ia akan membanting tulang/bekerja keras hanya untuk sesuap nasi dan mengolah tanah/ladang supaya punya penghasilan.7 Islam adalah agama yang selalu memberikan solusi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya mengenai hukum-hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang sering dialami seorang wanita. Hukum Islam yang bersumber dari al-Quran dan al-Hadits di yakini senantiasa cocok untuk segala zaman. Namun dalam tataran praktis atau implementasinya seringkali dilakukan penyesuaian sesuai dengan kondisi dan situasi zaman tanpa meninggalkan prinsip universal yang mendasarinya. Salah satu permasalahan yang dialami seorang wanita adalah haid, karena setiap wanita akan mengalami haid yang merupakan fitrah (kodrat) wanita yang tidak bisa dihindari dan sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Secara bahasa haid (menstruasi) berarti mengalir, dan menurut istilah syara‟ adalah darah yang keluar dari pangkal rahim wanita sewaktu sehat, bukan disebabkan melahirkan ataupun karena sakit.8 Haid (menstruasi) bisa disebut sebagai proses
6
Mwc Nu jekulo, “Wanita bisa haid”, (https://www.facebook.com/permalink.php%3Fid%3D145681548811029%26story_fbid%3D55419007129), Minggu, 27/09/2015, Jam 23:47 Wita. 7
Pundikoe, “Mengapa kodrat wanita yang harus hamil dan melahirkan, kenapa bukan pria”,(https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090310214432AALpGE6), Senin, 28/09/2015, Jam 01:30 Wita. 8
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1993), Cet. 12, Jilid 1, h. 177.
pelepasan endometrium atau dinding rahim yang biasanya disertai dengan pendarahan dan terjadinya secara berkala.9 Apabila darah itu keluar sebelum baligh atau disebabkan penyakit ataupun disebabkan melahirkan, maka tidak disebut dengan darah haid.10 Firman Allah swt. dalam QS. al-Baqarah ayat 222, sebagai berikut:
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah swt. kepadamu. Sesungguhnya Allah swt. menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. al-Baqarah ayat 222).11 Haid ini dijalani oleh seorang wanita pada masa-masa tertentu, menurut Imam Malik, tidak ada batasan minimal masa haid. Menurutnya ketika kelamin wanita mengeluarkan darah maka darah itu disebut darah haid. Menurut Imam Syafi‟i, batas minimal masa haid adalah satu hari satu malam, sedangkan Imam Abu Hanifah, minimal tiga hari. Sedangkan untuk batas maksimal masa haid Imam Malik dan Imam Syafi‟i sepakat bahwa batas maksimal masa haid adalah 15 (lima belas) hari. Imam Abu Hanifah berbeda pendapat yakni batas maksimal masa haid selama 10 (sepuluh) hari.12 Sedangkan untuk batas maksimal masa haid adalah 17 hari, dan ini merupakan pendapat Daud az-Zahiri.13
10
Wiwi Alawiyah, Buku Pintar Haid, Nifas, dan Istihadah, (Yogyakarta: PT. Sabil, 2013), Cet. 1, h.
11
Yayasan Penyelenggara Penterjamah Pentafsir Al Quran, Al Quran dan Terjemahnya, op. cit., h. 54.
12
Syekh Abd. Qadir M. Manshur, Panduan Shalat Khusus Wanita, (Jakarta: Almahira, 2009), h. 45-46.
12.
Para imam mujtahid berkaitan dengan haid sepakat bahwa wanita yang haid haram berdiam diri di mesjid.14 Tetapi ada kalangan mazhab yang memperbolehkan wanita haid berdiam diri di mesjid. Maka terjadilah perbedaan pendapat tentang hukum wanita haid berdiam di dalam mesjid pada mazhab Syafi‟i dengan Mazhab Zahiri. Menurut Mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa wanita haid berdiam diri di mesjid hukumnya haram kecuali sekedar lewat, sebab mengotori mesjid dengan najis diharamkan. Jika wanita haid tersebut yakin tidak akan mengotori mesjid maka Imam Syafi‟i memandang makruh melewati mesjid. Sedangkan menurut Mazhab Zahiri berpendapat bahwa wanita haid berdiam diri di mesjid dibolehkan. Beberapa hal ada perbedaan pendapat dalam kedua mazhab tersebut yang termasuk dalam beberapa kitab-kitab dan buku-buku yang ada di Perpustakaan IAIN Antasari Banjarmasin mengenai hukum wanita haid berdiam diri di mesjid. Maka, penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut dengan mengangkat judul “Hukum Wanita Haid Berdiam Diri Di Mesjid (Studi Perbandingan Mazhab Syafi’i dan Mazhab Zahiri)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah: 1. Bagaimana hukum wanita haid berdiam diri di mesjid menurut pendapat Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Zahiri? 2. Bagaimana dasar hukum wanita haid berdiam diri di mesjid menurut pendapat Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Zahiri?
13
Ammi Nur Baits, “Batas Maksimal Masa Haid”, (http://www.konsultasisyariah.com/batas-maksimal-masa-haid/), Senin, 28/09/2015, Jam 01:13 Wita. 14
Abi Mawahib Abdul Wahab As-sya‟rani, Al-Mizanul Kubra (perbandingan mazhab dalam pertimbangan hukum islam), (Surabaya: PT. Dunia Ilmu, 1997), h. 536.
C. Definisi Operasional Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam menginterprestasikan judul yang akan diteliti dan kekeliruan dalam memahami tujuan penelitian ini, maka perlu adanya definisi operasional agar lebih terarahnya penelitian ini: 1.
Hukum adalah adalah merujuk pada peraturan Islam, berasal dan dipahami dari sumber-sumber hukum agama. Sebuah undang-undang, nilai, peraturan atau keputusan dari syariat (hukum Islam). Yang didalamnya ada wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.15
2.
Haid adalah darah yang keluar mengalir dari alat vital atau kemaluan wanita dalam keadaan yang sehat dan tidak karena melahirkan, keguguran ataupun pecahnya selaput darah.16
3.
Berdiam diri adalah menetap disuatu tempat dan berdiam diri tanpa meninggalkan tempat itu, baik untuk melakukan amal kebaikan maupun kejahatan.17
4.
Mesjid adalah rumah ibadah umat muslim.18
5.
Mazhab ialah pendirian yang merupakan pendapat atau hasil ijtihad seorang Imam tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbathnya.19 Dalam mazhab yang dimaksud adalah Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Zahiri.
15
Wikipedia, “Ahkam-ahkam”, (https://id.wikipedia.org/wiki/Ahkam), Minggu, 28/06/2015, Jam
09:00 Wita. 16
Labib Mz, Aneka Problema Wanita Moderen, (Surabaya: PT. Bintang Usaha Jaya, 2006), h. 42. Pasukannnnn Lebaran, “Pengertian I‟tikaf dan Manfaatnya”, (http://www.lebaran.com/component/k2/item/521-i%E2%80%99tikaf-pengertian-dan-manfaatnya.html), Sabtu, 11/04/2015, Jam 16:00 Wita. 17
18
Bambang Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini, (Surabaya: PT. Terbit Terang, 1999), h. 239. 19
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 86.
D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui hukum wanita haid berdiam diri di mesjid menurut pendapat Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Zahiri. 2. Untuk mengetahui dasar hukum wanita haid berdiam diri di mesjid menurut pendapat Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Zahiri.
E. Signifikansi Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu: 1. Sebagai penguat teori yang ada mengenai hukum wanita haid berdiam diri di mesjid menurut pendapat Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Zahiri. 2. Sebagai khazanah perpustakaan IAIN Antasari Banjarmasin pada umumnya dan khususnya untuk Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan penelitian ini.
F. Kajian Pustaka Berdasarkan penelaahan terhadap penelitian terdahulu yang penulis lakukan berkaitan dengan masalah wanita, maka telah ditemukan beberapa penelitian sebelumnya yang juga mengkaji tentang persoalan seperti itu namun demikian, ditemukan subtansi yang berbeda dengan persoalan yang penulis angkat. Penelitian yang dimaksud adalah:
Penelitian pertama yang dilakukan oleh Husin Naparin (0101124356) Mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Banjarmasin yang berjudul Studi Komparatif Terhadap Pemikiran Mazhab Syafi’i dan Mazhab Zahiri dalam Melakukan Istinbath Hukum Islam.20 Penelitian kedua yang dilakukan oleh Mohd. Husaini (9801122374) Mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Banjarmasin yang berjudul Qada Salat Menurut Mazhab Syafi’i dan Mazhab Zahiri.21 Penelitian ketiga yang dilakukan oleh Muhammad Thaha (0501126770) Mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Banjarmasin yang berjudul Studi Komparatif Antara Pendapat Mazhab Syafi’i dan Mazhab Zahiri Tentang Babi.22 Penelitian diatas adalah penelitian yang membahas berbagai macam subtansi yang berbeda dengan mengambil komparatif dari Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Zahiri. Penelitian keempat yang dilakukan oleh Ningsih Sri Rahayu (74211005) Mahasiswi Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang yang berjudul Studi Kritis Hadits Larangan dan Kebolehan Perempuan Haid Memasuki Masjid. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hadits tentang larangan dan kebolehan perempuan haid memasuki mesjid. Pokok masalah dalam penelitian ini bagaimana kualitas hadits larangan dan pembolehan perempuan haid memasuki 20
Husin Naparin, “Studi Komparatif Terhadap Pemikiran Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Zahiri dalam Melakukan Istinbath Hukum Islam”, Skripsi, (Banjarmasin: Perpustakaan Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari, 2006), t.d. 21 Mohd. Husaini, ” Qadha Shalat Menurut Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Zahiri”, Skripsi, (Banjarmasin: Perpustakaan Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari, 2004), t.d. 22
Muhammad Thaha, “Studi Komparatif Antara Pendapat Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Zahiri Tentang Babi”, Skripsi, (Banjarmasin: Perpustakaan Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari, 2011), t.d.
mesjid serta penyelesaian matan hadits yang tampak bertentangan antara larangan dan pembolehan perempuan haid memasuki mesjid.23 Melihat beberapa kajian pustaka diatas, penulis berkesimpulan bahwa belum ada kajian yang membahas hukum wanita haid berdiam diri di mesjid (studi perbandingan mazhab Syafi‟i dan Mazhab Zahiri).
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu dengan mengkaji dan menelaah bahan literatur yang dijadikan subyek atau bahan hukum yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti yaitu hukum wanita haid berdiam diri di mesjid menurut Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Zahiri. 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitis yang berupa studi komparatif, yaitu penelitian yang menggambarkan, menjelaskan dan menganalisis sejumlah literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti,24
yaitu:
pendapat
Mazhab
Syafi‟i
dan
Mazhab
Zahiri
serta
membandingkan keduanya. 3. Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. a.
Bahan Hukum Primer
23
Ningsih Sri Rahayu, “Studi Kritis Hadits Larangan dan Kebolehan Perempuan Haid Memasuki Masjid”, Skripsi, (http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=21738, 2012), 28/11/2015, jam 16:00 wita. 24
Bahrudin Ash-Shafa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), Cet. 2, h. 52.
Bahan hukum primer yang dipergunakan mengenai hukum wanita haid berdiam diri di mesjid (studi perbandingan Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Zahiri) adalah kitab-kitab yang menjadi bahan utama dalam penelitian ini. Bahan hukum primer adalah kitab-kitab yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepustakaan yang meliputi: 1) Al-Umm Jilid I, karangan Imam Syafi‟i, kitab Mazhab Syafi‟i. 2) Al-Muhadzab fi fiqh Mazhab Imam Syafi’i, Juz 1, karangan Abi Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf al-Faruz abadi Syairazi, Kitab Mazhab Syafi‟i. 3) Mughni Al-Muhtaj, Jilid 2, karangan Samsudin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syirbini, kitab Mazhab Syafi‟i. 4) Al-Muhalla, Jilid I, karangan Ibnu Hazm, kitab Mazhab Zahiri.
b.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepustakaan yang meliputi: 1) Abi
Mawahib
Abdul
Wahab
As-sya‟rani,
Al-Mizanul
Kubra
(perbandingan mazhab dalam pertimbangan hukum islam). 2) Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim. 3) Abū Al Fida Ismail Ibnu Katsir, Tafsir al Quran al-Adzim. 4) Aisyah Nur Handryant, Masjid Sebagai Pusat Pengembangan Masyarakat Intregrasi Konsep Habluminallah, habbluminannas, dan habluminal’alam.
5) Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih AlBukhari. 6) Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab. 7) Ali Engineer, Asghar, Hak-Hak Perempuan dalam Islam. 8) Dedi Supriayadi, Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru. 9) Imam Muhammad Asy Syaukani, Nailul Authar Jilid 1. 10) Imam Syafi‟i, Ar-Risalah. 11) M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih. 12) Muhammad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab: Jafari, Hanafi, Maliki, Syafi’i. 13) Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur’an, AsSunnah, dan Pendapat Para Ulama. 14) M. Manshur, Syekh Abd. Qadir, Panduan Shalat Khusus Wanita. 15) Muhammad Ali Ash-Shabuni, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir. 16) Labib Mz, Aneka Problema Wanita Moderen. 17) Seri Fiqih Kehidupan (1): Pengantar Ilmu Fiqih, (Ahmad Sarwat). 18) Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi Lengkap. 19) Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan‟ani, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram. 20) Muhammad Nashiruddin Al-bani, Shahih Sunan Abu Daud. 21) Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-lu’lu wal Marjan Shahih BukhariMuslim. 22) Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 1. 23) Syaikh Ahmad bin Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi’i Surah AnNisa-Surah Ibrahim.
24) Syekh Abd. Qadir M. Mansyur, Panduan Shalat Khusus Wanita. 25) Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu. 26) Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Jilid 1. 27) Zaenul Mahmudi, Sosiologi Fikih Perempuan Formulasi Dialektis Fikih Perempuan dengan Kondisi dalam Pandangan Imam Syafi’i. 28) Makalah, Skripsi, dan bahan-bahan bacaan lainnya yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam penelitian ini. c.
Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum yang berupa: 1) Kamus-kamus a) Kamus Besar Bahasa Indonesia. b) Kamus Istilah Fiqih. c) Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini. 2) Internet a) Bahan hukum yang berkaitan dengan Mazhab Syafi‟i. b) Bahan hukum yang berkaitan dengan Mazhab Zahiri. Bahan hukum tersebut yang dapat menjelaskan pengertian yang terdapat di dalam penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini dihimpun melalui studi kepustakaan, terutama yang berkaitan dengan Hukum Wanita Haid Berdiam Diri di Mesjid (Studi Perbandingan Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Zahiri).
Bahan hukum primer yang dikumpulkan dengan cara melakukan inventarisasi25 terhadap kitab-kitab para ulama Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Zahiri serta buku-buku yang berkaitan dengan hukum wanita haid berdiam diri di mesjid (studi perbandingan Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Zahiri), kemudian dianalisis secara sistematis. Adapun bahan hukum sekunder juga dikumpulkan melalui studi kepustakaan dengan menggunakan system kartu (card system). Kartu-kartu disusun berdasarkan nama pengarang, kemudian dalam pembahasan disusun berdasarkan pokok permasalahan dalam penelitian ini serta penambahan bahan hukum tersier dari berbagai sumber, yaitu kamus-kamus dan internet.
5. Analisis Bahan Hukum Bahan-bahan yang telah terkumpul disajikan dalam bentuk uraian-uraian secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif komparatif, yaitu dengan cara mengkaji untuk memperbandingkan antara konsep hukum yang berbeda,26 yaitu yang pada akhirnya dapat memberikan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.
H. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah memahami penelitian ini agar sesuai dengan yang di inginkan, maka penulis akan memberikan sistematika penulisan sebagai berikut:
25
Inventarisasi adalah pencatatan atau pengumpulan data hasil yang dicapai. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, edisi kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), cet. 10, h. 386. 26
h. 42.
Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. 13,
Pada Bab I penulis melakukan tahap pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, definisi operasional, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Pada Bab II berisikan ketentuan tentang wanita haid yang terdiri dari pengertian haid, hukum wanita haid, larangan-larangan bagi wanita haid, pengertian mesjid, dan batasan mesjid. Pada Bab III Hukum wanita haid berdiam diri di mesjid menurut Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Zahiri. Pada Bab IV, Analisis tentang hukum wanita haid berdiam diri di mesjid. Kemudian Bab V, merupakan bab penutup yang berisikan tentang jawaban terhadap permasalahan/intisari dari isi skripsi secara keseluruhan yang akan dimuat dalam simpulan dan dilengkapi dengan saran-saran.