1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Allah SWT. menciptakan langit, bumi dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya hanyalah untuk kemakmuran manusia. Kesemuanya ini dengan harapan agar manusia sebagai khalifah di bumi ini dapat memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Hal ini telah disebutkan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah, ayat 29 : ִ
֠ ! ☺ִ# ִ☺,, * + : 9 6 7 8ִ☺ִ) ִ4 5ִ) D4 &E ? (@⌧B Artinya : “Dia yang menciptakan untukmu apa-apa yang di bumi semuanya; kemudian disengaja-Nya menjadikan langit, lalu diperbuat-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu”1. &'() -./01$ 2, 3 ;<= >
$
%
Secara konstitusional Undang Undang Dasar 1945 dalam pasal 33 ayat 3 telah memberikan landasan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat2. Sedangkan pasal 1 ayat 2 Undang Undang Pokok Agraria (disingkat UUPA) menyebutkan seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang 1
H. Mahmud Junus, Tarjamah Qur’an, Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1983, Cet. Ke-8, h. 6. A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang Undang Pokok Agraria, Bandung : Mandar Maju, 1993, h. 37. 2
2
angkasa bangsa
Indonesia dan
merupakan
kekayaan
nasional3.
Ini
menunjukkan bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai hak dari Tuhan dan bangsa Indonesia diberi-Nya karunia dan ini merupakan suatu penjelmaan dari sila pertama dari Pancasila4. Islam mengatakan bahwa segala sesuatu adalah semata-mata milik Allah SWT. Ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Yunus ayat 55 : 7 B UG
8ִ☺,,
&
ִKLM : R
J
I + FG:H
I + FG:H
ST:H
-.Q 8
: : &I /☺
NOִP L
&V
Artinya : “Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah apa-apa yang di langit dan di bumi. Ingatlah sesungguhnya janji Allah sebenarnya, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui5”. Tanah yang merupakan permukaan bumi merupakan tempat manusia hidup dan berkembang, tanah menjadi sumber bagi segala kepentingan hidup manusia. Demikian pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, karenanya tidak mengherankan setiap manusia ingin memanfaatkan, memiliki atau menguasai tanah itu, sehingga berakibat timbulnya masalah-masalah tanah. Dalam pasal 2 ayat 1 UUPA berbunyi : Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara,
3
Ibid, h. 34 Ibid, h. 35 5 Mahmud Junus, op.cit, h. 195. 4
3
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat6. Perkataan ‘dikuasai’ dalam pasal ini, menurut Penjelasan Umum UUPA, bukanlah berarti ‘memiliki’, akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia7 sebelumnya disebut sebagai Badan Penguasa pada tingkatan tertinggi untuk : 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut8. 2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu9. 3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (Segala sesuatu itu tentunya termasuk juga kekayaan alam yang terkandung di dalamnya). Penegasan mengenai arti perkataan ‘dikuasai’ dinyatakan dalam pasal 2 ayat 210. Tanah negara ialah tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Langsung dikuasai, artinya tidak ada pihak lain di atas tanah itu. Tanah itu disebut juga tanah negara bebas. Dan sebaliknya kalau di atas tanah itu ada hak pihak tertentu, maka tanah itu disebut tanah hak11. Tanah hak itu juga dikuasai oleh negara, tetapi penguasaannya tidak langsung, sebab ada hak pihak tertentu di
6
Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990, Cet. Ke-6, h. 13. Ibid. 8 Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, Bandung : PT. Alumni, 1999, Cet. Ke1, h. 10-11. 9 Wantjik Saleh, loc.cit. 10 Eddy Ruchiyat, loc.cit. 11 Effendi Perangin, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, Jakarta : Rajawali Pers, 1991, Cet. Ke2, h. 3. 7
4
atasnya. Bila hak pihak tertentu itu kemudian hapus maka tanah itu menjadi tanah yang langsung dikuasai negara.12 Jadi dengan ‘kekuasaan’ seperti diuraikan di atas, negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut keperluan dan peruntukannya misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan lainnya13. Dengan adanya wewenang negara menguasai tanah seperti disebutkan di atas, dimaksudkan supaya tanah dapat digunakan untuk mencapai kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Berangkat dari hal tersebut di atas ada sebuah kasus yang terjadi di Desa Sambongsari Kecamatan Weleri Kabupaten kabupaten, yaitu adanya tanah negara yang berada di pinggir tanggul luar Sungai Kuto di Desa Sambomgsari Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal yang diambil manfaatnya oleh sebagian kecil oleh warga Desa Sambongsari untuk mendirikan rumah-rumah. Kasus yang terjadi di Kelurahan Sambongsari adalah terdapat beberapa tanah Negara di sekitar bantaran sungai yang belum dikelola. Adapun letak tanah tersebut di dekat tanggul yang sebenarnya digunakan sebagai tempat pengihijauan yang dimaksudkan agar menjadi tempat resapan air sehingga dapat menjadi penahan banjir dan juga menjaga agar tanah tidak longsor. Apabila tanah tersebut dialih fungsikan menjadi pemukiman, maka akan dipastikan fungsi bantaran sungai teersebut tidak akan berfungsi. Sehingga apabila banjir melanda rumah – rumah di bantaran sungai tersebut dan juga pemukiman lainnya yang dekat dengan sungai. Dan warga yang mendirikan rumah di 12 13
Ibid h. 4 Wantjik Saleh, loc.cit.
5
bantaran sungai tersebut juga membuang limbah rumah tangga ke sungai. Hal ini menyebabkan pencemaran sungai. Dan juga dalam pemanfaatan tanah Negara yang berada di bantaran sungai kuto tersebut beberapa orang penduduk Sambongsari mendirikan bangunan rumah hunian ( temapat tinggal ). Rumah-rumah tersebut didirikan oleh penduduk dengan pengertian bahwa rumah tersebut didirikan tanpa memiliki sertifikat tanah yang resmi. Padahal sertifikat itu sangat penting sekali dan di dalam Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 ayat (20) disebutkan : Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 ayat (20) di atas maka masyarakat yang mendirikan bangunan rumah tersebut tidak mempunyai bukti kepemilikan hak atas tanah yang kuat dan dilindungi oleh hukum. Dalam kasus di atas maka pendirian bangunan rumah ini secara yuridis tidak dapat dibenarkan bahkan boleh dikatakan penduduk Sambongsari yang menempati dan mendirikan bangunan di bantaran sungai tersebut telah melanggar peraturan keagrariaan. Dan juga pendirian pemukiman di bantaran sungai telah diatur dalam perda kabupaten Kendal No. 20 Tahun 2011 Tentang Recana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kendal, Pasal 23 ayat (9) disebutkan: Sempadan sungai di luar permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan paling sedikit 100 (seratus) meter di kiri-kanan sungai meliputi: a. sepanjang Sungai Bodri.
6
b. c. d. e. f. g.
sepanjang Sungai Waridin. sepanjang Sungai Kuto. sepanjang Sungai Damar. sepanjang Sungai Bulanan. sepanjang Sungai Blukar. sepanjang Sungai Blorong Yang dimaksud sempadan sungai pada Pasal 23 ayat (9) yang diatas ini
tercantum pada ayat (1) yaitu : Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b meliputi: a. sempadan sungai di dalam kawasan perkotaan, terdiri atas: 1. sungai bertanggul, dan 2. sungai tidak bertanggul, meliputi: a) sungai dengan kedalaman kurang dari 3 (tiga) meter, b) sungai dengan kedalaman 3 (tiga) meter sampai dengan 20 (dua puluh) meter, dan c) sungai dengan kedalaman lebih dari 20 (dua puluh) meter. b. sempadan sungai di luar kawasan perkotaan, terdiri atas: 1. sungai bertanggul, dan 2. sungai tidak bertanggul, meliputi: a) sungai besar, dan b) sungai kecil. c. sempadan sungai di luar permukiman, dan d. sempadan sungai di dalam permukiman, Karena melanggar peraturan, maka pemerintah seharusnya memberi sanksi dengan menindak sesuai dengan hukum atau aturan yang berlaku di Indonesia atau dialokasikan ke tempat yang lebih layak dan lebih aman. Tetapi yang terjadi sebaliknya yaitu pemerintah Kota Kendal tidak menindak atau memberi sanksi tetapi membiarkan bahkan pada akhirnya memberikan memberikan izin untuk memakai tanah bantaran tersebut dengan tiap tahun dimintai/ditarik retribusi hak atas tanah. Tidak cuma mendirikan rumah saja oleh beberapa penduduk tanah tersebut ditanami dengan tanaman rumput
7
gajah untuk pakan ternak dan beberapa pohon pisang serta tanaman lainnya, mereka merawat tanaman tersebut dan mengambil hasilnya. Fenomena ini menarik perhatian penulis untuk meneliti dari dekat proses pemberian izin atas pemanfaatan tanah dengan mendirikan rumah di sekitar bantaran sungai kuto yang terjadi di Desa Sambongsari Kecematan Weleri Kabupaten Kendal, dengan judul penelitian: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pendirian Rumah Di Bantaran Sungai Kuto ( Studi Kasus Di Desa Sambongsari Kecematan Weleri Kabupaten Kendal ).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang mengenai proses pemberian izin atas hak tanah di sekitar bantaran Sungai Kuto di Desa Sambongsari Kecematan Weleri Kabupaten Kendal, maka ada permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana proses perizinan pendirian rumah di bantaran Sungai Kuto ? 2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap proses perizinan pendirian rumah di bantaran Sungai Kuto terhadap tanah milik Negara di Desa Sambongsari Kecematan Weleri Kabupaten Kendal ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Tujuan formal
8
Untuk melengkapi dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam dari Fakultas Syari’ah Dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. b. Tujuan material 1) Untuk mengetahui bagaimana proses perizinan warga Desa Sambongsari mendirikan rumah di bantaran sungai Kuto Desa Sambongsari Kecamataan Weleri Kabupaten Kendal. Apabila dikaitkan terhadap konsep kepemilikan dalam Islam. 2) Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap proses perizinan pendirian rumah di Bantaran sungai Kuto Desa Sambongsari Kecamataan Weleri Kabupaten Kendal yang status tanahnya atas milik Negara. 2. Kegunaan Penelitian Memberikan pemikiran yang konstruktif tentang praktek-praktek muamalah yang sesuai dengan syari’at Islam.
D. Telaah Pustaka Berdasarkan penelitian di perpustakaan Fakultas Syari’ah ditemukan beberapa kajian khusus berupa skripsi yang judulnya hampir sama yaitu disusun oleh Ahadiah Shofiana (2199139) berjudul: Studi Analisis Terhadap Ihya’ AlMawat Dalam Fiqh Madzhab Al-Maliki. Dalam Penulis skripsi tersebut dalam temuannya menyatakan bahwa: Madzhab Maliki menyatakan tanah yang telah
9
berubah menjadi tanah kosong karena ditinggalkan penggarapnya sehingga tidak terurus boleh digarap orang lain. Untuk menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat) madzhab Maliki harus ada izin dari pemerintah, jika tanah itu dekat dengan pemukiman. Sebaliknya bila jauh dari pemukiman maka tidak perlu izin dari pemerintah. Alasanya: jika dekat dengan pemukiman barangkali mengganggu penduduk yang ada di sekitar pemukiman itu, maka jika pemerintah mengizinkan itu berarti pemerintah telah lebih dahulu mengadakan observasi ke tanah itu. Jika pemerintah menganggap tidak akan mengganggu penduduk yang ada di pemukiman itu barulah pemerintah mengizinkan. Skripsi yang disusun oleh Warsun (285067) berjudul: Ihyaul Mawat Sebagai Satu Sebab Pemilikan Harta Menurut Imam Syafi'i (Studi Analisis). Penulis skripsi tersebut dalam temuannya menyatakan bahwa: menurut pendapat Imam Syafi’i di dalam Syariat ihya’ al-mawat dapat dijadikan sebagai salah satu sebab pemilikan, dan hal itu tidak perlu mendapatkan izin imam terlebih dahulu, sebab hadits nabi telah shareh, di samping tanah itu dapat diqiyaskan dengan air yang masih menjadi milik semua manusia. Pendapat Imam Syafi’i seperti tersebut adalah tidak dapat diterima, sebab walaupun didasarkan pada hadits yang sharih, namun apabila hal itu diterapkan belum dapat mewujudkan kemaslahatan sebagaiman dikehendaki dalam tujuan ihya’ al-mawat itu sendiri. Skripsi yang disusun oleh Amran Abbas (NIM 2193046). Berjudul “Hak membuka tanah dan kepemilikannya dalam perspektif hukum agrarian
10
nasional dan hukum Islam {sebuah studi komparasi}” Penulis skripsi tersebut dalam temuannya menyatakan bahwa: Secara esensial konsepsi hukum agraria nasional dan hukum Islam tentang hak membuka tanah tidak memiliki perbedaan, hanya saja pada dataran praktis terlihat beberapa perbedaannya. Hukum agraria nasional mengatur secara jelas batas luas minimum dan maksimum pemilikan dan penguasaan tanah oleh satu keluarga yakni antara 2 (dua) hinga 20 (dua puluh) hektar, sedangkan hukum Islam tidak mengatur sedetail itu. Adapun dalam hal pembukaan tanah, hukum Islam menegaskan bahwa si pembnuka tanah secara otomatis memiliki tanah tersebut, sebaliknya hukum agraria nasional tidak demikian halnya tentang penetapan jangka waktu tanah yang diterlantarkan untuk kemudian hapus hak pemilikannya, hukum Islam menetapkan masanya selama tiga tahun sedangkan hukum agraria nasional tidak menetapkannya secara tegas Berdasarkan uraian di atas bahwa penelitian terdahulu berbeda dengan penelitian saat ini. Perbedaannya, penelitian terdahulu hanya membahas Ihya al-mawat dari sudut pandangan Madzhab Maliki, sedangkan penelitian yang disusun saat ini mengkaji Ihya al-mawat dalam hubungannya dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan demikian tidak mungkin ada upaya pengulangan apalagi penjiplakan. Adapun beberapa buku sebagai kajian umum yang membahas tanah sudah ada, tapi tidak bersifat komparasi antara perspektif Islam dan UUPA. Karya ilmiah yang dimaksud sebagai berikut: Kalimat atau kata ihya’ al-mawat terdiri dari dua kata yakni ihya’ yang berarti
11
menghidupkan dan al-mawat yang berarti sesuatu yang mati. Yang di maksudkan dengan kata al-mawat itu adalah bumi/tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya. Sedangkan pengertian almawat menurut al-Rafi’i ialah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya seorangpun. Ada beberapa definisi yang dikemukakan ulama tentang ihya’ almawat. Menurut madzhab Syafi’i ihya al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum pernah digarap dan belum ada penggarapnya. Yang dijadikan rujukan (sumber hukum) oleh para ulama mengenai ihya’ al-mawat adalah al-Hadits seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary yang artinya : Dari Urwah dari Aisyah ra bahwasannya Nabi SAW bersabda barang siapa yang membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang, maka dialah yang berhak atas tanah itu. Urwah berkata: Umar waktu menjadi khalifah memberi hukum demikian. (HR Bukhary) Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Samura ibn Jundab yang artinya : Dari Samurah bin Jundub ra dia berkata Rasulullah SAW bersabda: barang siapa membatasi tanah, ia menjadi miliknya. (HR Abu Daud, Hadits Sahih menurut Ibnu Jarud) Dengan adanya hadits-hadits tersebut di atas, para ulama berbeda pendapat mengenai hukum asal ihya’ al-mawat, sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah ja’iz (boleh) dan sebagian ulama lagi berpendapat sunnat. Selain itu kedua hadits di atas menunjukkan juga bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang belum dimiliki orang lain, maka dengan mengolah, mengairi, menanam tumbuh-tumbuhan di atasnya dan
12
memagarinya, tanah tersebut menjadi miliknya. Dengan bertitik tolak pada uraian di atas, masalah yang muncul: apakah setiap tanah kosong dianggap sebagai ihya’ al-mawat? Dan kemudian apakah untuk menggarap tanah yang kosong diperlukan izin dari pemerintah? Dalam skripsi oleh Abdul Kholiq Jurusan Muamalah Jinayah Tahun 1999 yang berjudul Studi Komparatif antara Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Hak Milik Atas Tanah Mati. Penulis skripsi tersebut dalam temuannya menyatakan bahwa: Persamaan dan perbedaan antara hukum positif dalam hak milik atas tanah yakni: a) Sama-sama membuka lahan atau tanah untuk di manfaatkan, sedang perbedaannya terdapat pada pemerintahan yang berkuasa pada saat itu. b) Terdapat peraturan-peraturan yang berlaku pada pembukuan lahan atau tanah baru, sedang perbedaaanya melihat pada situasi zaman pada saat itu yang menghendaki perubahan peraturan atau hukum yang berlaku. c) Sama-sama diatur oleh pemerintah yang berkuasa. Dalam skripsi ini lebih menekankan pada perbandingan antara hukum Islam dan positif yaitu persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif tentang hak milik atas tanah, yaitu dengan memakai Undang-Undang No.5 Tahun 1960. Dapat disimpulkan bahwa menurut Imam Syafi'i cara memiliki tanah mati bias diperoleh melalui Ihya' al-mawat yaitu menghidupkan tanah yang mati yang tidak dimiliki seseorang sebelumnya.Hal ini di dasarkan pada hadits nabi yang menyatakan bahwa barang siapa yang membuka tanah mati yang tidak ada pemiliknnya, maka tanah tersebut
13
menjadi miliknya.Ide dasar UUPA cara memiliki tanah dan pemanfaatan lahan kosong yang tidak yang tidak di miliki seseorang. Perbedaan yang ada hanya pada izin dari pemerintah. Dalam UUPA Pemerintah dominan dalam menentukan hak milik atas tanah dan tidak membedakan siapa saja yang menjadi pemilik hak atas tanah, yang terpenting adalah Warga Negara Indonesia. Sedangkan menurut Imam Syafi'i tidak perlu adanya izin dari Pemerintah dan mengkhususkan hanya orang Islam yang berhak atas pembukaan tanah. Dalam skripsi oleh Syamsul Arifin Jurusan Muamalah Tahun 2004 yang berjudul Studi Analisis Terhadap Cara Kepemilikan Tanah Menurut UndangUndang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 ditinjau dari Perspektif Imam Syafi’i. Dalam skripsi ini, penulis lebih menekankan pada sejarah intelektual Imam Syafi’i dan pendapatnya tentang Ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati) serta analisis terhadap Pasal-pasal dalam UUPA yang berkaitan dengan kepemilikan tanah ditinjau dari perspektif Imam Syafi’i. Dalam skripsi ini lebih menekankan pada perbandingan antara hukum Islam dan positif yaitu persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif tentang hak milik atas tanah, yaitu dengan memakai Undang-Undang No.5 Tahun 1960. Dapat disimpulkan bahwa menurut Imam Syafi'i cara memiliki tanah mati bisa diperoleh melalui Ihya' al-mawat yaitu menghidupkan tanah yang mati yang tidak dimiliki seseorang sebelumnya.Hal ini di dasarkan pada hadits nabi yang menyatakan bahwa barang siapa yang membuka tanah mati yang tidak ada pemiliknnya, maka tanah tersebut menjadi miliknya.Ide dasar UUPA cara
14
memiliki tanah dan pemanfaatan lahan kosong yang tidak yang tidak di miliki seseorang. Perbedaan yang ada hanya pada izin dari pemerintah. Dalam UUPA Pemerintah dominan dalam menentukan hak milik atas tanah dan tidak membedakan siapa saja yang menjadi pemilik hak atas tanah, yang terpenting adalah Warga Negara Indonesia. Sedangkan menurut Imam Syafi'i tidak perlu adanya izin dari Pemerintah dan mengkhususkan hanya orang Islam yang berhak atas pembukaan tanah.
E. Metode Penelitian Skripsi Untuk memperoleh data dan penjelasan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian yang disebut metodologi penelitian. Metodologi penelitian adalah suatu cara atau jalan untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap segala permasalahan.14 Dalam melakukan penelitian, membutuhkan data-data yang dapat memberikan kebenaran dari suatu ilmu pengetahuan. Dimana peneliti itu sendiri
mempunyai
pengertian:
”Suatu
usaha
untuk
menemukan,
mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan metode-metode ilmiah”.15 Metode-metode tersebut sangatlah penting untuk menunjang hasil yang nantinya diperoleh dari penelitian yang dilakukan, sehingga mendapatkan data dengan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang diteliti. Pemilihan 14
P. Joko Subagyo, Metode Penelitian (Dalam Teori dan Praktek), Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet Ke-1, 1991, h. 2. 15 Sutrisno Hadi, ,Metodologi Research I, Yogyakarta: Andi Offset, 1989, h. 4.
15
metode juga menjadi salah satu penentuan dari kesempurnaan suatu penelitian ini, metode-metode yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut: Skripsi ini merupakan suatu penelitian kualitatif. Kata “kualitas” menunjuk pada segi alamiah.16Sehingga bisa diartikan sebagai penelitian yang mengungkap keadaan yang bersifat alamiah. Dalam pengertian lain, penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran).17 1. Jenis Penelitian Dilihat dari segi tempatnya, penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (field research), di mana data-data yang dipakai adalah tiap katakata dan tindakan informan yang diperoleh dari lapangan. Berikut adalah data-data dan metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini18. 2. Sumber Data Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Dalam menyusun skripsi membutuhkan data-data yang akurat, baik data primer maupun data sekunder. Adapun data-data tersebut dapat diperoleh melalui suatu penelitian.Sumber data dalam penelitian ini adalah19: a.
16
Data Primer
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, cet. XVII, 2002, h. 2. 17 Anselm Strauss, Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1997, h. 11. 18 Lexy J. Moleong, op.cit, h. 65 19 Ibid. h. 157
16
Sumber data primer adalah kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai yang merupakan sumber data utama. Sumber utama ini dicatat melalui catatan tertulis atau rekaman video/ audio tapes, pengambilan foto, atau film. Pencatatan sumber data utama melalui wawancara atau pengamatan merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya. sumber data utama biasanya diperoleh melalui observasi yang bersifat langsung sehingga akurasinya lebih tinggi akan tetapi seringkali tidak efisien karena untuk memperolehnya diperlukan sumber daya yang lebih besar20. Selain itu sumber data primer juga dapat berupa informasi dari pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan atau objek penelitian mengenai bagaimana proses perizinan pendirian rumah di bantaran Sungai Kuto. Informasi tersebut diperoleh melalui: Informan adalah sumber informasi untuk pengumpulan data Informan yang dimaksud di sini adalah pihak-pihak yang dapat memberikan informasi21 yang terkait dengan permasalahan atau objek penelitian yaitu mengenai bagaimana proses perizinan pendirian rumah di bantaran Sungai Kuto Desa Sambongsari Kecematan Weleri Kabupaten Kendal, melalui proses illegal atau legal.
b. 20 21
Data Sekunder
Ash Shofa. Metodelogi Penelitian Hukum. PT. Rineka Cipta. Cet. Ke-3. 2001,h. 19 Ibid,h. 22
17
Dalam penelitian ini adalah berupa dokumen. Dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala bentuk catatan tentang berbagai macam peristiwa atau keadaan di masa lalu yang memiliki nilai atau arti penting dan dapat berfungsi sebagai data penunjang dalam penelitian ini. Dokumen yang dimaksud berupa hasil wawancara, undang-undang, serta peraturan peraturan menyangkut pelaksanaan pendirian rumah di bantaran sungai22. 3. Alat Dan Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah: 3.1 Wawancara “Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (Interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu”23 . Untuk mempermudah dalam pengumpulan data peneliti menggunakan teknik wawancara terbuka. “Wawancara terbuka adalah wawancara yang biasanya para subyeknya tahu bahwa mereka sedang
22 23
Ibid, h.103 Moleong.op.cit, h. 189
18
diwawancarai dan mengetahui pula maksud dari wawancara itu dilakukan”24. Adapun alasannya menggunakan teknik wawancara terbuka adalah : 1) Agar lebih mudah mendapatkan informasi sehingga jelas apa yang hendak menjadi tujuan wawancara. 2) Dalam penyusunan laporan hasil wawancara segera dapat dilakukan evaluasi. 3) Untuk
menghilangkan kesan yang kurang baik karena sudah
diketahui maksud dan tujuan 25. Dalam tahap ini wawancara dilakukan dengan informan mengenai Pelaksanaan Perizinan Pendirian Rumah di Bantaran Sungai Kuto Desa Sambongsari Kecematan Weleri Kabupaten Kendal. 3.2 Dokumentasi Metode dokumentasi adalah cara pengumpulan data dengan melalui benda-benda tertulis seperti buku, majalah, peraturan, gambar, notulen rapat serta catatan harian. Metode dokumentasi dilakukan dengan cara atau metode di mana peneliti melakukan kegiatan pencatatan terhadap data-data yang ada di masyarakat untuk memperkuat apa yang terdapat di lapangan pada saat wawancara26. 4. Metode Analisis Data 24
ibid ibid 26 Ibid, h. 190 25
19
Analisa yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisa penelitian
deskriptif
yaitu
suatu
metode
yang
bertujuan
untuk
mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan menginterprestasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada, agar diperoleh informasi yang lengkap dan jelas27. Dengan pendekatan yuridis dalam hal ini penulis mencoba menganalisa tentang praktek perizinan pendirian rumah di bantaran sungai yang terjadi di Desa Sambongsari Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal dengan teori yang berhubungan dengan kepemilikan konsep Islam. F. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang arah dan tujuan penulisan skripsi ini, maka secara garis besar dapat digunakan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab satu memuat tentang latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab dua memuat ketentuan umum tentang konsep kepemilikan
tanah dalam Islam. Yang berisi, tentang pengertian, filosofif
kepemilikan, pemabagian milik, dan cara memperoleh kepemilikan dalam Islam. Bab tiga memuat pemanfaatan tanah berdasarkan UUPA. Antara lain, pengertian pemanfaatan tanah milik Negara dalam pendirian bangunan, 27
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta : Bumi Aksara, 2004, Cet. Ke7, h.26
20
penjabaran tentang monografi dan demografi desa, latar belakang perizinan pendirian rumah,dan proses perizinan pendirian rumah. Bab empat merupakan pokok dari pembahasan penulisan skripsi ini yakni meliputi: A. Analisis Terhadap Proses Peizinan Pendirian Rumah Di Bantaran Sungai Kuto. B. Analisis Terhadap Tinjauan Hukum Islam Tentang Proses Perizinan Pendirian Rumah Di Bantaran Sungai Kuto Terhadap Status Tanah Milik Negara Di Desa Sambongsari Kecematan Weleri Kabupaten Kendal. Bab lima yaitu penutup
hasil akhir dari penelitian ini sekaligus
merupakan akhir dari rangkaian penulisan skripsi yang akan berisi kesimpulan dan saran dan penutup.