BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Allah SWT. dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Kelebihan manusia adalah melengkapi kekurangan manusia lainnya. Salah satunya yaitu dalam hal pemenuhan kebutuhan lahiriah dan kebutuhan batiniah. Untuk memenuhi kedua kebutuhan manusia tersebut, maka Allah SWT. menciptakan manusia berpasang-pasangan. Dalam Al Qur’an, Allah SWT. berfirman :
Artinya : “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. As Syuura : 11)
Artinya : “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz Dzaariyaat : 49)
Artinya : “Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasangpasangan pria dan wanita.” (QS. An Najm : 45)
1
2
Berdasarkan firman Allah SWT. dalam ayat-ayat Al Qur’an tersebut di atas, dinyatakan secara tegas bahwa manusia hidup untuk memiliki pasangan sebagai pelengkap kebutuhan lahiriah dan batiniah. Perkawinan merupakan perwujudan pemenuhan kebutuhan lahiriah dan batiniah bagi manusia. Di Indonesia, ketentuan mengenai perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Buku I Kompilasi Hukum Islam bagi yang beragama Islam. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, tujuan perkawinan adalah untuk menciptakan sebuah keluarga yang bahagia dan kekal, tetapi kenyataannya masih banyak perkawinan yang tidak mampu mencapai tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga berakibat terjadinya perceraian.
3
Berdasarkan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan : a)
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b)
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c)
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d)
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e)
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
f)
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g)
Suami melanggar taklik talak;
h)
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Salah satu alasan terjadinya perceraian adalah apabila suami melanggar taklik talak. Taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang
4
digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam. Di Indonesia, pengucapan sighat taklik talak dilakukan oleh suami setelah akad nikah. Adapun sighat taklik talak yang tercantum dalam buku nikah Departemen Agama adalah sebagai berikut : Sesudah akad nikah, saya : ……… bin ……. berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya yang bernama : ……. binti ..….. dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran syari’at agama Islam. Selanjutnya saya mengucapkan sighat ta’lik atas istri saya itu sebagai berikut : Sewaktu-waktu saya : 1) Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut; 2) Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya; 3) Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu; 4) Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya. Kemudian istri saya tidak ridho dan mengadukan halnya kepada pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 10,000,(sepuluh ribu rupiah) sebagai ‘iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang ‘iwadh (pengganti) itu dan kemudian menyerahkannya kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Cq. Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah untuk keperluan ibadah sosial. Tangerang, …… Suami, (…………………..)
Pengucapan sighat taklik talak bukan merupakan suatu keharusan, melainkan dilakukan secara sukarela. Umumnya, hampir semua suami membacakan sighat taklik talak setelah melakukan akad nikah karena tujuan
5
pengucapan sighat taklik talak adalah untuk melindungi kepentingan istri agar suami tidak bertindak sewenang-wenang, sehingga melukai badan/jasmani istri. Dalam Al Qur’an, Allah SWT. berfirman :
Artinya : “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An Nisaa : 128) Namun, pengucapan sighat taklik talak tidak lagi diperlukan sejak keluarnya Fatwa MUI tentang Pengucapan Sighat Taklik Talak Pada Waktu Upacara Akad Nikah pada 23 Rabi'ul Akhir 1417 Hijriah tanggal 7 September 1996 yaitu : “Pengucapan sighat taklik talak, yang menurut sejarahnya untuk melindungi hak-hak wanita (istri) yang ketika itu belum ada peraturan perundangundangan tentang hal tersebut, sekarang ini pengucapan sighat taklik talak tidak diperlukan lagi. Untuk pembinaan ke arah pembentukan keluarga bahagia sudah dibentuk BP4 dari tingkat pusat sampai dengan tingkat kecamatan.” Berdasarkan Pasal 46 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali. Apabila sighat taklik talak dilanggar, maka diatur lebih lanjut dalam Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam bahwa pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada
6
istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. Bentuk-bentuk pelanggaran sighat taklik talak sebagaimana tercantum di dalam buku nikah Departemen Agama seperti yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1)
Meninggalkan istri dua tahun berturut-turut;
2)
Tidak memberi nafkah wajib kepada istri selama tiga bulan;
3)
Menyakiti badan/jasmani istri;
4)
Membiarkan (tidak memperdulikan) istri selama enam bulan.
Pelanggaran sighat taklik talak bersifat fakultatif dan/atau kumulatif. Bersifat fakultatif apabila salah satu saja di antara keempat ketentuan dari sighat taklik talak tersebut dilanggar oleh suami, maka istri sudah dapat menjadikannya sebagai alasan untuk menggugat cerai ke Pengadilan Agama. Selain itu, bersifat kumulatif apabila lebih dari satu atau bahkan semua ketentuan dari sighat taklik talak tersebut dilanggar oleh suami. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam bagi yang beragama Islam di depan sidang Pengadilan Agama. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, untuk melakukan perceraian tidak mudah bahkan dipersulit oleh peraturan
perundang-undangan,
yaitu
harus
diawali
dengan
pengajuan
permohonan atau gugatan perceraian ke pengadilan dan pengadilan juga berperan
7
penting untuk mendamaikan suami istri kembali terlebih dahulu serta harus disertai bukti-bukti dan saksi-saksi yang menguatkan dalam proses pembuktian di hadapan sidang pengadilan mengenai terbukti atau tidak adanya bentuk-bentuk pelanggaran sighat taklik talak sebelum disimpulkan ke dalam putusan perceraian oleh Majelis Hakim di pengadilan. Berikut hasil rekap perkara yang diputus di Pengadilan Agama Tangerang dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir1 : 1) 2) 3)
Perkara yang diputus selama tahun 2010 sebanyak 1610 perkara, dengan Perkara Cerai Gugat sebanyak 769 perkara; Perkara yang diputus selama tahun 2011 sebanyak 1960 perkara, dengan Perkara Cerai Gugat sebanyak 899 perkara; Perkara yang diputus selama tahun 2012 sebanyak 2282 perkara, dengan Perkara Cerai Gugat sebanyak 1166 perkara.
Berdasarkan hasil rekap perkara cerai gugat tersebut di atas, semua gugatan yang diajukan oleh istri sebagai Penggugat merupakan jenis perkara cerai gugat biasa. Namun, berdasarkan pra-penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, terlihat bahwa perkara cerai gugat tersebut bukan hanya merupakan perkara cerai gugat biasa, melainkan juga merupakan jenis perkara cerai gugat yang telah memenuhi ketentuan pelanggaran sighat taklik talak yaitu sebagai berikut2 : 1) 2) 3)
Perkara cerai gugat dengan alasan pelanggaran sighat taklik talak yang diputus selama tahun 2010 sebanyak 73 perkara; Perkara cerai gugat dengan alasan pelanggaran sighat taklik talak yang diputus selama tahun 2011 sebanyak 41 perkara; Perkara cerai gugat dengan alasan pelanggaran sighat taklik talak yang diputus selama tahun 2012 sebanyak 31 perkara;
Gugatan yang diajukan oleh istri sebagai Penggugat belum tentu dikabulkan seluruhnya oleh Majelis Hakim. Dalam hal ini, Majelis Hakim Pengadilan Agama 1
Pengadilan Agama Tangerang, “Rekap Jenis Perkara Diputus”, http://www.patangerangkota.go.id/index.php/informasi-perkara/data/rjpp, Diakses tanggal 4 Juli 2013. 2 Wawancara dengan Wakil Panitera Pengadilan Agama Tangerang, Tanggal 7 September 2013.
8
Tangerang berperan penting dalam proses pembuktiannya karena belum tentu alasan-alasan yang diajukan dalam gugatan Penggugat adalah benar-benar merupakan pelanggaran sighat taklik talak. Setelah itu, apabila proses pembuktian telah dilalui dan terbukti bahwa Tergugat benar melakukan pelanggaran sighat taklik talak, maka perkara cerai gugat tersebut diputus oleh Majelis Hakim. Diputusnya perkara cerai gugat dengan alasan pelanggaran sighat taklik talak tidak hanya berakibat hukum pada putusnya perkawinan saja, tetapi juga berakibat terhadap hak-hak istri setelah terjadinya perceraian. Dalam perkara cerai gugat, tidak ada ketentuan yang mengatur secara spesifik mengenai kewajiban suami atau hak-hak istri seperti yang diatur di dalam Pasal 149 dan Pasal 158 Kompilasi Hukum Islam sehingga dalam putusan Pengadilan Agama, masih dimungkinkan terdapat pengadilan yang tidak membebankan kewajiban suami yang menjadi hak istri yaitu mut’ah nafkah, maskan (tempat tinggal), dan kiswah (pakaian) selama dalam masa iddah. Kenyataannya yang terjadi, umumnya istri sebagai Penggugat tidak menyatakan di dalam gugatan yang diajukannya ke Pengadilan Agama Tangerang sehingga jarang sekali hak-hak istri turut dinyatakan di dalam putusan perkara cerai gugat dengan alasan pelanggaran sighat taklik talak di Pengadilan Agama Tangerang. Berdasarkan gambaran umum di atas, adanya pelanggaran sighat taklik talak yang dilakukan oleh suami sebagai Tergugat yang dijadikan alasan oleh istri untuk menggugat cerai ke Pengadilan Agama Tangerang, menarik minat penulis untuk mengetahui mengenai bentuk-bentuk pelanggaran sighat taklik talak sehingga dijadikan sebagai alasan untuk menggugat cerai di Pengadilan Agama Tangerang
9
dan proses pembuktian pelanggaran sighat taklik talak di Pengadilan Agama Tangerang. Selain itu, penulis juga tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai akibat hukum terhadap hak-hak istri dari putusan perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Tangerang dengan alasan pelanggaran sighat taklik talak.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran sighat taklik talak sebagai alasan untuk menggugat cerai di Pengadilan Agama Tangerang?
2.
Bagaimana proses pembuktian pelanggaran sighat taklik talak di Pengadilan Agama Tangerang?
3.
Bagaimana akibat hukum terhadap hak-hak istri dari putusan perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Tangerang dengan alasan pelanggaran sighat taklik talak?
10
C.
Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis, sudah banyak dilakukan penelitian yang
dilakukan sebelumnya oleh penulis lainnya terkait dengan taklik talak dan cerai gugat yaitu, diantaranya sebagai berikut : 1)
Unggul Sulistiawan, telah melakukan penelitian yang berjudul Janji Suami Dalam Sighat Taklik Dan Akibat Hukumnya Terhadap Suami/Istri, dengan rumusan masalah dan kesimpulan : (1) Apakah sighat taklik yang diucapkan suami setelah akad nikah dapat dikategorikan sebagai perjanjian? Kesimpulannya yaitu sighat taklik merupakan suatu perjanjian sepihak yang menimbulkan kewajiban pada suami sedangkan istri hanya mendapatkan hak, sighat taklik merupakan pernyataan kehendak suami di hadapan para saksi dan bukan pernyataan kehendak keduanya; (2) Bagaimana akibat hukum/konsekuensi hukum yang timbul dari sighat taklik baik terhadap suami maupun istri? Kesimpulannya yaitu konsekuensinya harus dipenuhi semua isi janji yang tertuang dalam sighat taklik pada saat setelah ijab qabul, jika dilanggar oleh suami maka dapat dijadikan dasar untuk menggugat cerai ke Pengadilan Agama (Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam3;
3
Unggul Sulistiawan, “Janji Suami Dalam Sighat Taklik Dan Akibat Hukumnya Terhadap Suami/Istri”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2011.
11
2)
Hilda Novel, telah melakukan penelitian yang berjudul Cerai Gugat dan Akibat Hukumnya Terhadap Anak Dan Harta Bersama, dengan rumusan masalah dan kesimpulan : (1) Apa alasan pengajuan cerai gugat dan bagaimana pelaksanaannya di Pengadilan Agama Kota Padang? Kesimpulannya yaitu terdapat 6 (enam) alasan dominan yang mendorong seorang istri mengajukan cerai gugat di Pengadilan Agama Kota Padang antara lain yaitu tidak ada tanggung jawab dari suami, ekonomi/penelantaran, kekerasan dalam rumah tangga, gangguan pihak ketiga, tidak ada keharmonisan serta krisis akhlak, dan Pengadilan Agama Kota Padang telah melaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (2) Bagaimana proses dan penanganan kasus cerai gugat di Pengadilan Agama Kota Padang? Kesimpulannya yaitu melalui 2 (dua) proses administrasi antara lain yaitu administrasi perkara yang dimulai sejak didaftarkan dan diterimanya permohonan pengajuan cerai gugat hingga pemanggilan para pihak yang berperkara, dan administrasi persidangan yaitu sejak dibukanya sidang oleh Majelis Hakim hingga pembacaan putusan; (3) Bagaimana akibat hukum terhadap anak dan harta bersama dalam kasus cerai gugat di Pengadilan Agama Kota Padang? Kesimpulannya yaitu hanya sedikit putusan cerai yang memuat tentang anak dan harta
12
bersama, akibatnya menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai status pengasuhan anak dan harta bersama setelah terjadi perceraian4; 3)
Jaal Haq A. Dhuha, telah melakukan penelitian yang berjudul Perkara Pelanggaran Taklik Talak Di Pengadilan Agama Salatiga (Studi Komparatif Putusan Pengadilan Agama No 428/Pdt.G/2007/Pa.Sal Dan Putusan Pengadilan Agama No. 0166/Pdt.G/2008/Pa.Sal), dengan rumusan masalah dan kesimpulan : (1) Bagaimana taklik talak dalam perspektif hukum Islam? Kesimpulannya yaitu taklik talak adalah talak yang jatuhnya digantungkan pada suatu perkara, para ulama berpendapat bahwa dasar hukum taklik talak, menurut Ibnu Hazm dua jenis taklik talak di atas (taklik qasami dan taklik syarthi) keduanya tidak sah dan ucapannya tidak mengandung akibat apa-apa, dengan alasan bahwa Allah telah mengatur secara jelas mengenai talak. Sedangkan taklik talak tidak ada tuntunannya dalam Al Qur’an maupun dalam As-Sunah. Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim berpendapat bahwa taklik talak yang berarti
janji
dipandang
tidak
berlaku
sedang
orang
yang
mengucapkannya wajib membayar kafarat dengan memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepada mereka dan jika tidak, maka ia wajib berpuasa selama tiga hari; (2) Bagaimana proses pembuktian perkara taklik talak di Pengadilan Agama di Pengadilan Agama Salatiga? Kesimpulannya yaitu bahwa 4
Hilda Novel, “Cerai Gugat dan Akibat Hukumnya Terhadap Anak Dan Harta Bersama”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2010.
13
dalam memutuskan perkara pada Nomor : 428 hakim memberikan putusan menerima gugatan penggugat dan memutuskan perceraian berdasarkan taklik talak dengan alasan telah memenuhi Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 116 huruf f dan g Kompilasi Hukum Islam; (3) Apa pertimbangan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam memutuskan perceraian berdasarkan pelanggaran taklik talak? Kesimpulannya yaitu bahwa dalam memutuskan perkara pada Nomor : 0166 Hakim menerima gugatan perceraian tidak berdasarkan taklik talak karena Hakim tidak menemukan fakta bahwa telah terjadi pelanggaran taklik talak, tetapi hakim menemukan fakta bahwa telah memenuhi Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam5; Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian lainnya seperti yang disebutkan di atas yaitu : 1)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Unggul Sulistiawan membahas mengenai sighat taklik sebagai perjanjian yang menimbulkan akibat hukum terhadap suami dan istri, sedangkan pada penelitian ini
5
Jaal Haq A. Dhuha, “Perkara Pelanggaran Taklik Talak Di Pengadilan Agama Salatiga (Studi Komparatif Putusan Pengadilan Agama No 428/Pdt.G/2007/Pa.Sal Dan Putusan Pengadilan Agama No. 0166/Pdt.G/2008/Pa.Sal)”, Skripsi, Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (Stain), Salatiga, 2008.
14
membahas mengenai pelanggaran dari sighat taklik talak yang dijadikan alasan mengajukan gugat cerai; 2)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hilda Novel objek penelitiannya yaitu putusan perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Kota Padang, sedangkan pada penelitian ini objek penelitiannya yaitu putusan perkara cerai gugat dengan alasan pelanggaran sighat taklik talak di Pengadilan Agama Tangerang;
3)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Jaal Haq A. Dhuha objek penelitiannya yaitu membandingkan 2 (dua) putusan perkara cerai gugat karena pelanggaran sighat taklik talak di Pengadilan Agama Salatiga, sedangkan pada penelitian ini objek penelitiannya yaitu putusan-putusan perkara cerai gugat dengan alasan pelanggaran sighat taklik talak di Pengadilan Agama Tangerang yang diputus dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir yaitu tahun 2010 sampai dengan tahun 2012.
Berdasarkan
perbedaan-perbedaan
penelitian
ini
dengan
penelitian-
penelitian tersebut di atas, maka penulis menyatakan bahwa penelitian ini asli. Apabila di luar sepengetahuan penulis, terdapat penelitian serupa sebelum penelitian ini, maka penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya.
15
D.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan oleh penulis agar dapat memberikan
kegunaan sebagai berikut : 1.
Kegunaan Akademis Penulis berharap hasil penelitian ini dapat menambah dan melengkapi
ilmu pengetahuan yang sudah ada, khususnya mengenai pelanggaran sighat taklik talak, proses pembuktian, dan akibat hukum dari putusan perkara cerai gugat di Pengadilan Agama terhadap hak-hak istri dengan alasan pelanggaran sighat taklik talak.
2.
Kegunaan Praktis Penulis berharap hasil penelitian ini dapat memberi pemahaman bagi
masyarakat pada umumnya, khususnya bagi pasangan suami istri mengenai nilai-nilai dan hakikat dalam perkawinan. Selain itu, dapat menjadi masukan bagi pemerintah, praktisi hukum, lembaga peradilan, masyarakat, dan pihakpihak lainnya sebagai bahan pengambilan kebijakan untuk menekan dan mengurangi tingkat perceraian.
16
E.
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai oleh penulis dibedakan menjadi 2 (dua) sebagai berikut : 1.
Tujuan Objektif Tujuan objektif yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu : a.
Mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran sighat taklik talak sebagai alasan untuk menggugat cerai di Pengadilan Agama Tangerang;
b.
Mengetahui proses pembuktian pelanggaran sighat taklik talak di Pengadilan Agama Tangerang;
c.
Mengetahui akibat hukum terhadap hak-hak istri dari putusan perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Tangerang dengan alasan pelanggaran sighat taklik talak.
2.
Tujuan Subjektif Tujuan subjektif penulis dari penelitian ini yaitu : a.
Menambah pengetahuan dan pemahaman penulis mengenai hukum keluarga dan perkawinan Islam serta akibat hukum yang terjadi dengan alasan pelanggaran sighat taklik talak sehingga diajukan gugat cerai ke Pengadilan Agama. Selain itu, juga untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis mengenai proses beracara di Pengadilan Agama terhadap perkara gugat cerai dengan alasan pelanggaran sighat taklik talak.
17
b.
Memenuhi tugas akhir tesis sebagai syarat kelulusan dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.).