BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara tropis mempunyai suhu dan kelembaban yang cocok bagi pertumbuhan jamur, sehingga infeksi jamur seperti pada kulit mudah terjadi. Pengobatan penyakit dengan antifungi sudah lama dilakukan dengan obatobat sintetik. Selain dengan obat sintetik, pengobatan infeksi yang disebabkan oleh jamur juga telah dilakukan berdasarkan pengalaman dengan menggunakan bahan alam, sehingga pengobatan alternatif dengan obat tradisonal semakin kembang. Mengkudu merupakan salah satu tanaman yang mengandung banyak khasiat dan dapat digunakan sebagai bahan obat tradisional. Buah tersebut mengandung senyawa aktif yang berkhasiat sehingga dapat dimanfaatkan sebagai obat herbal. Hasil penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa ekstrak etanol buah mengkudu
mentah
mempunyai
aktivitas
terhadap
jamur
Trichophyton
mentagrophytes dan Candida albicans. Ekstrak etanol buah mengkudu mentah mengandung senyawa saponin dan flavonoid (Utami, 2007). Bukti ilmiah lain menyebutkan pula bahwa ekstrak etanol buah mengkudu mentah dalam sediaan losion dengan emulgator PGA 20% secara in vitro dapat menghambat pertumbuhan jamur Trichophyton mentagrophytes (Nawarini, 2014). Trichophyton mentagrophytes adalah kapang dermatofit yang dapat menginfeksi manusia maupun hewan, yaitu pada kulit, kuku, dan rambut atau bulu
1
2
karena bagian ini mengandung keratin yang digunakan kapang tersebut untuk tumbuh. Penyakit yang ditimbulkannya disebut dermatofitosis atau disebut tinea pada manusia dan ringworm pada hewan. Gejala klinis dermatofitosis yang dapat diamati berupa kulit yang kemerahan, bersisik, di bagian tepi berbentuk cincin. Antijamur yang efektif terhadap Trichophyton adalah golongan griseofulvin dan golongan azol seperti ketokonazol (Kuswadji, 2001). Salah satu bentuk sediaan yang dapat digunakan sebagai anti jamur topikal adalah losion, karena mudah dan nyaman digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk sediaan losion yang cair memungkinkan pemakaian yang merata dan cepat diserap pada permukaan kulit yang luas. Penelitian Nawarini (2014) telah membuktikan bahwa losion ekstrak etanol buah mengkudu dengan emulgator PGA 20% pada konsentrasi ekstrak 12 mg/mL menunjukkan adanya aktivitas antijamur secara in vitro. Uji tersebut perlu dilanjutkan dengan uji in vivo untuk membuktikan khasiat antijamur pada hewan uji yang terinfeksi jamur Trichophyton mentagrophytes. Pada uji in vitro losion langsung bersentuhan dengan jamur sehingga efek dapat lebih cepat terlihat, sedangkan pada uji in vivo losion harus melalui media kulit kelinci yang mengalami infeksi jamur. Infeksi yang terjadi tidak hanya di permukaan kulit saja tapi sampai masuk dalam kulit (intrakutan) sehingga untuk melihat adanya efek antijamur membutuhkan waktu lebih lama. Berdasarkan perbedaan karakteristik tersebut, hasil uji in vitro dari peneliti terdahulu perlu dilanjutkan dengan uji in vivo untuk memastikan adanya aktivitas antijamur losion ekstrak etanol buah mengkudu mentah dengan emulgator PGA 20%.
3
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah losion ekstrak etanol buah mengkudu mentah dengan emulgator PGA 20% memiliki aktivitas antijamur secara in vivo pada kelinci yang diinfeksi Trichophyton mentagrophytes? 2. Apakah pemberian losion ekstrak etanol buah mengkudu mentah dengan emulgator PGA 20% selama 16 hari pada variasi konsentrasi ekstrak yang berbeda dapat menurunkan skor luka infeksi pada punggung kelinci?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Membuktikan aktivitas antijamur losion ekstrak etanol buah mengkudu mentah dengan emulgator PGA 20% pada variasi konsentrasi yang berbeda secara in vivo terhadap kelinci yang diinfeksi jamur Trichophyton mentagrophytes. 2. Mengamati penurunan skor luka infeksi pada punggung kelinci setelah pemberian perlakuan dengan losion ekstrak etanol buah mengkudu mentah dengan emulgator PGA 20% selama 16 hari.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai acuan pengembangan suatu sediaan topikal dari ekstrak etanol buah mengkudu mentah
4
yang efektif digunakan untuk mengobati penyakit dermatofitosis yang disebabkan oleh jamur Trichophyton mentagrophytes.
E. Tinjauan Pustaka 1. Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Mengkudu tumbuh liar satu-dua pohon di pedesaan, tepi sungai atau pekarangan rumah. Biasanya tanaman tidak sengaja tumbuh sendiri atau sengaja dibudidayakan. Buah mengkudu berbongkol, permukaan tidak teratur, berdaging, panjang 5-10 cm, buah muda berwarna hijau, semakin tua menjadi kekuningan hingga putih transparan, daging buah berbau tidak sedap akibat bau agak busuk dari caproic acid dan capric acid, juga akibat penguraian protein oleh bakteri pembusuk menjadi senyawa aldehid atau keton (Sjabana dan Bahalwan, 2002). Klasifikasi tanaman mengkudu sebagai berikut (Sjabana dan Bahalwan, 2002). Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledone
Anak kelas
: Sympetalae
Bangsa
: Rubiales
Suku
: Rubiaceae
Marga/ genus : Morinda Jenis/ spesies
: Morinda citrifolia L.
Mengkudu tumbuh baik pada dataran rendah sampai ketinggian 500 m dari permu kaan laut. Tanaman ini banyak dijumpai di pantai, hutan, daerah sepanjang
5
aliran sungai, sekitar perkampungan dan kadang-kadang ditanam di halaman rumah sebagai sayuran atau tanaman obat keluarga. Gambar Buah Mengkudu dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Buah mengkudu
Riset tentang mengkudu terus berkembang, baik dilakukan oleh para dokter maupun ahli botani dan ahli biokimia. Penelitian difokuskan pada komponenkomponen/ susunan kimia yang dikandung mengkudu dan efek terapetiknya terhadap berbagai macam penyakit. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa sari buah mengkudu dapat merangsang sistem kekebalan tubuh, mengatur fungsi sel dan regenerasi sel-sel jaringan tubuh yang rusak. Fakta yang menunjukkan bahwa mengkudu dapat mengatur sel-sel pada tingkat dasar dan kritis itu mungkin dapat menjelaskan mengapa mengkudu dapat digunakan untuk berbagai macam kondisi kesehatan (Solomon, 1994). Komponen utama yang telah diidentifikasi dari buah mengkudu antara lain morindon, morindin, morindanigrin, antraquinon, chlororubin, monometil eter, damnacanthol, asperulosida, saranjidiol, sterol, resin, glikosida, zat kapur, protein, zat besi, karoten, asam glutamat, asam askorbat, tiosin, thiamin, asam ursalat, proxeronin, scopoletin, asam benzoat, glukosa, eugenol, hexanal, asam oleat, dan asam palmitat (Bangun dan Sarwono, 2002).
6
Ekstrak buah mengkudu mentah mengandung senyawa saponin serta flavonoid yang terbukti mempunyai aktivitas sebagai antijamur terhadap richophyton mentagrophytes dan Candida albicans. Ekstrak buah mengkudu matang mengandung senyawa saponin dengan aktivitas antijamur terhadap Trichophyton mentagrophytes (Utami, 2007) 2.
Trichophyton mentagrophytes. Trichophyton mentagrophytes adalah kapang dermatofit yang menginfeksi
kulit dan menyebabkan penyakit dermatofitosis (Tinea corporis, Tinea manus et Pedis, Tinea unguium, Tinea capitis) pada manusia dan ring worm pada hewan (Harahap, 2000). Penggunaan istilah ring worm karena pada mulanya diduga penyebabnya adalah cacing (worm) dan gejalanya pada kulit berbentuk lingkaran (ring). Reaksi peradangan terjadi pada bagian dermis dan stratum malphigi epidermis, namun jamurnya sendiri dijumpai hanya di dalam stratum corneum, di sekitar batang rambut dan di dalam rambut. Klasifikasi Trichophyton mentagrophytes adalah sebagai berikut (Ferdehen et al., 2003): Kingdom
: Fungi
Phylum
: Ascomycota
Class
: Euascomycetes
Order
: Onygenales
Family
: Arthrodermataceae
Genus
: Trichophyton
Spesies
: Trichophyton mentagrophytes
7
Trichophyton mentagrophytes menyerang kulit dengan menggunakan keratin sebagai nutrisinya. Keratin adalah protein utama dalam kulit, rambut dan kuku (Dwijoseputro, 1994). Infeksi jamur tersebut dapat dilihat dengan gejala klinis kemerahan, bersisik, di bagian tepi berbentuk cincin. Gambar Trichophyton mentagrophytes dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Trichophyton mentagropytes (Gandahusada dan Ilahude, 2004)
3.
Antijamur Antijamur atau antimikotik adalah obat-obat yang berdaya menghentikan
pertumbuhan atau mematikan jamur yang menghinggapi manusia (Ganiswara, 1995). Obat-obat yang sering digunakan untuk mengobati infeksi jamur antara lain golongan antibiotik, derivat imidazol, derivat triazol, dan asam-asam organis. Obat golongan antibiotik yang bekerja sebagai antimikotik salah satunya adalah ketokonazol. Ketokonazol adalah suatu derivat imidazole-dioxolan sintetis dengan aktivitas antimikotik yang poten terhadap dermatofit, ragi, misalnya Trichophyton sp., Epidermophyton floccosum, Pityrosporum sp., Candida sp., sehingga ketokonazol dapat digunakan untuk mengobati infeksi pada kulit, rambut dan kuku (kecuali kuku kaki) yang disebabkan oleh dermatofit dan/atau ragi. Ketokonazol bekerja dengan menghambat sitokrom P450, dengan mengganggu
8
sintesis ergosterol yang merupakan komponen penting dari membran sel jamur (Kuswadji, 2001). 4. Ekstraksi Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia dari suatu tumbuhan obat (simplisia) yang larut dalam pelarut sehingga terpisah dari bahan yang tak dapat larut. Metode ekstraksi ada beberapa macam diantaranya adalah ekstraksi dengan cara dingin yaitu maserasi dan perkolasi, cara panas yaitu refluks, soxhlet, digesti, infuse dan dekok. Hasil ekstraksi dinamakan ekstrak. Ekstrak merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua pelarut atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Simanjuntak, 2008). 5. Cairan Penyari Cairan penyari yang digunakan dalam ekstraksi dipilih berdasarkan kapasitasnya dalam melarutkan jumlah maksimum bahan aktif yang diinginkan dan jumlah minimum bahan aktif yang tidak diinginkan (Ansel, 1989). Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Selain itu cairan penyari harus selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki, tidak mempengaruhi zat berkhasiat dan diperbolehkan oleh peraturan (Depkes RI, 1986). Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat, diperbolehkan oleh
9
peraturan (Depkes RI, 1995). Air, alkohol dan gliserin adalah cairan penyari yang biasa digunakan dalam ekstrasi, asam asetat dan pelarut organik dapat digunakan untuk tujuan khusus (Ansel, 1989). Etanol dapat dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih selektif, tidak beracun, netral dan absorpsinya baik. Etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan, panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit. Kapang dan kuman sulit tumbuh dalam alkohol 20% ke atas. Selain itu, zat pengganggu yang larut dalam alkohol hanya terbatas (Depkes RI, 1995). 6. Perkolasi Perkolasi adalah metode ekstraksi cara dingin, merupakan proses penyarian yang dinamis karena pelarut dialirkan secara kontinyu. Cara dingin dilakukan untuk senyawa yang memiliki sifat termolabil yaitu senyawa yang tidak tahan terhadap panas agar senyawa tersebut tidak menguap. Perkolasi merupakan proses dimana obat yang sudah halus, kemudian diekstraksi dalam pelarut yang cocok dengan cara melewatkan perlahan-lahan dalam satu kolom. Obat dimampatkan dalam alat ekstraksi khusus yang disebut perkolator, dan hasil penyarian yang telah dikumpulkan disebut perkolat (Ansel, 1989). . Hasil perkolasi lebih stabil karena larutan penyari yang digunakan dingin dan selalu baru. Metode ini dapat menyari senyawa berkhasiat dalam simplisia mencapai 75%, namun kerugian cara ini adalah memerlukan waktu yang lama dan membutuhkan cairan penyari yang banyak (Handa dkk., 2008). Alat perkolator dapat dilihat pada gambar 3.
10
Gambar 3. Perkolator.
7. Losion Losion dapat didefinisikan sebagai krim encer. Losion juga merupakan emulsi tetapi kandungan lilin dan minyaknya lebih rendah dibandingkan krim. Hal ini yang mengakibatkan losion lebih encer dan kurang berminyak (Anief, 2005). Losion dimaksudkan untuk digunakan pada kulit sebagai pelindung atau untuk obat karena sifat bahan-bahannya. Bentuk sediaan yang cair memungkinkan pemakaian yang merata dan cepat diserap pada permukaan kulit yang luas. Losion dimaksudkan segera kering pada kulit setelah pemakaian dan meninggalkan lapisan tipis dari komponen obat pada permukaan kulit (Ansel, 1989). Komponen yang digunakan dalam pembuatan lotion meliputi : surfaktan, humektan, emollient agent, pengawet, dan pewangi (Mitsui, 1997). Keuntungan penggunaan lotion adalah mudah terpenetrasi pada kulit dan mudah dicuci oleh air (Lachmann et al., 2008). Komponen losion dapat dijabarkan sebagai berikut (Mitsui, 1997) :
11
a. Paraffin Liquidum Paraffin liquidum atau biasa disebut sebagai paraffin cair adalah campuran hidrokarbon cair yang diperoleh dari minyak mineral, boleh mengandung tidak lebih dari 10 bagian per sejuta tokoferol atau butyl hidroksi toluene sebagai stabilisator. Pemerian paraffin liquidum adalah cairan kental, transparan, tidak berfluoresensi, tidak berwarna, hampir tidak berbau, hampir tidak berasa (Depkes RI, 1972). Menurut Mitsui (1997), paraffin liquidum termasuk dalam golongan minyak dan lemak, serta dalam penggunaan sebagai kosmetik perawatan kulit seperti krim dan losion dapat digunakan untuk mengontrol kelembaban kulit dan memberikan perasaan nyaman saat digunakan. b. Cera Alba Cera alba adalah malam putih hasil dari pemurnian dan pengelantangan cera flava yang diperoleh dari sarang lebah madu Apis mellifera L. dan memenuhi syarat uji kekeruhan penyabunan (Depkes RI, 1995). Cera alba digunakan sebagai zat tambahan dalam sediaan losion karena termasuk dalam minyak lemak. c. Nipagin Nipagin disebut juga metil paraben. Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet atau antimikroba dalam kosmetik, makanan dan sediaan farmasi (Mitsui, 1997). Pengawet harus ditambahkan pada suhu yang tepat saat proses pembuatan, yaitu antara 35-45oC agar tidak merusak bahan aktif yang terdapat dalam pengawet tersebut. Pengawet yang biasanya digunakan dalam kosmetika yaitu metil paraben dan propil paraben. Pemakaian metil paraben sebagai preparat topikal sebesar 0,02-0,3% (Rowe et al., 2006).
12
d. Gliserin Gliserin ialah suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas 3 atom karbon. Gliserin merupakan humektan yang mampu mengikat udara. Humektan adalah zat yang ditambahkan untuk mencegah penguapan air dari sel kulit karena mampu mengikat air dari udara dan dalam kulit (Wasitaatmadja, 1997). Pemakaian gliserin sebagai humektan kurang dari 30% (Rowe et al., 2006). e. PGA PGA yang disebut dengan gom arab ini adalah eksudat, yang mengeras di udara seperti gom, yang mengalir secara alami atau dengan penorehan batang dan cabang tanaman Acacia senegal L. willdenow (Familia Leguminosae) dan spesies lain Acacia yang berasal dari Afrika (Depkes RI, 1995). PGA digunakan sebagai emulgator dengan sifat M/A dan aksi kerjanya membentuk film multimolekuler yang kuat dan mencegah terjadinya koalesen serta dapat menaikkan viskositas media dispers (Anief, 2005). Selain sebagai emulgator PGA juga dapat digunakan sebagai suspending agent dalam suspensi, basis pastilles dalam sediaan pastilles dan lozenges serta pengisi pada pembuatan tablet (Rowe et al., 2006). Konsentrasi PGA yang digunakan sebagai emulgator adalah 10-20% (Rowe et al., 2006). Dalam pengerjaannya pemakaian emulgator PGA dapat dikerjakan dengan 2 cara yaitu metode gom basah dan metode gom kering (Anief, 2005). Metode gom basah dilakukan dengan membuat mucilago kental dengan air lalu ditambahkan minyak sedikit demi sedikit sambil diaduk cepat. Metode gom kering dilakukan dengan mencampurkan gom dengan minyak terlebih dahulu baru diencerkan dengan air sedikit demi sedikit.
13
f. Parfum Parfum biasa ditambahkan untuk meningkatkan nilai produk sebagai pewangi pada sediaan kosmetik termasuk losion. Parfum yang sensitif terhadap panas, ditambahkan ketika suhu rendah. Jumlah parfum yang ditambahkan harus serendah mungkin, untuk penggunaan losion diberikan dosis berkisar 0,0010,05%, parfum dicampurkan pada suhu 35oC agar tidak merusak emulsi yang sudah terbentuk. Parfum yang digunakan contohnya linalool oil, geraniol oil, citronellol oil dan eugenol oil (Mitsui, 1997). 8. Metode Pengujian Aktivitas Antijamur secara In vivo Pengujian aktivitas antijamur sediaan topikal secara in vivo pada kelinci dapat dilakukan pada kulit kelinci utuh maupun yang dilukai, namun pembentukan luka infeksi lebih cepat terjadit pada kulit yang dilukai (Restuni, 1995). Bulu-bulu pada punggung kelinci bagian kanan dan kiri dicukur terlebih dahulu sebelum dilukai dengan pisau bedah steril. Punggung kelinci
dilukai
sepanjang 2 cm dengan kedalaman 2 mm. Suspensi jamur disuntikkan secara intrakutan di sekitar luka. Luka ditutup dengan kain kasa dan plester. Metode lainnya, pada punggung kelinci yang telah dicukur bulu punggungnya suspensi jamur diteteskan pada kulit punggung kelinci utuh/yang tidak dilukai. Pengamatan terhadap adanya infeksi jamur dilakukan setelah 24 jam (Sukandar dkk., 2006).
F. LandasanTeori Penelitian Jayaraman, dkk. (2008) menyebutkan bahwa ekstrak metanol buah
mengkudu
mempunyai
aktivitas
antijamur
dengan
menghambat
14
pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes. Ekstrak etanol buah mengkudu mentah
lebih
efektif
menghambat
pertumbuhan
jamur
Trichophyton
mentagrophytes dibandingkan dengan ekstrak etanol buah mengkudu matang (Utami, 2007). Penelitian lainnya membuktikan bahwa secara in vitro losion ekstrak etanol buah mengkudu mentah dengan emulgator PGA 20% pada konsentrasi ekstrak 12 mg/mL memiliki persentase inhibisi sebesar 100% (Nawarini, 2014).
G. Hipotesis Losion ekstrak etanol buah mengkudu mentah dengan emulgator PGA 20% mempunyai aktivitas antijamur secara in vivo dan pemberian losion selama 16 hari dapat menurunkan skor luka infeksi pada kelinci yang diinfeksi jamur Trichophyton mentagrophytes.