BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kita tentu sudah tidak asing lagi dengan beberapa tanda publik yang bertuliskan “TERIMA KASIH UNTUK TIDAK MEROKOK” atau “KAWASAN BEBAS ASAP ROKOK” atau dengan yang sesingkat dan sejelas “DILARANG MEROKOK!” Tanda-tanda tersebut umum ditemukan di berbagai ruang publik fisik seperti ruang tunggu kantor, stasiun dan berbagai bangunan fasilitas umum lainnya, gedung-gedung lembaga kesehatan dan edukasi, hingga rumah makan. Tanda-tanda publik tersebut merupakan representasi dari sebuah wacana global mengenai bahaya konsumsi tembakau, baik bagi diri sendiri (first-hand smoker) maupun bagi individu lain di sekitarnya (second-hand dan third-hand smoker), yang mulai bergaung di Indonesia.1 Wacana ini, sebenarnya bukan hal baru bagi masyarakat global, penelitian ilmiah pertama mengenai bahaya tembakau dapat dilacak mundur hingga sejauh tahun 1761; sebuah penelitian mengenai risiko kanker hidung bagi pengguna tembakau (dengan cara dihirup langsung atau snuff) yang dilakukan oleh seorang ahli kesehatan Inggris bernama John Hill (ASH. Action on Smoking and Health). Sumber yang sama menyebutkan bahwa pergerakan dunia melawan tembakau terlembagakan pertama kali pada tahun
1
Perokok tangan pertama dan tangan kedua (first-hand dan second-hand smoker) sudah menjadi terminologi yang cukup dikenal dan sering dipergunakan dalam keseharian. Perokok tangan ketiga (third-hand smoker) adalah terminologi yang belum begitu dikenal yang merujuk pada individu yang terekspos deposit racun rokok yang terkumpul pada baju, karpet, lantai dan tempat-tempat lain bahkan setelah rokok dimatikan (Winickoff, et al. 2009, 74).
2
1830-an, bersamaan dengan gerakan anti-alkohol yang mulai gencar saat itu. Wacana global ini telah dilembagakan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan yang bentuk implementasinya dapat ditemui dalam berbagai regulasi terkait cara promosi hingga kemasan rokok serta dalam penerapan cukai sebagai mekanisme pembatasan peredaran.2 Wacana tersebut tidak hanya menjadi milik lembaga-lembaga publik namun juga telah mulai bergerak dalam pemikiran kelas menengah Indonesia secara umum, bergabung dengan berbagai wacana kelas menengah lain seperti hidup sehat, kepedulian dan empati sosial serta wacana-wacana lainnya. Seorang teman saya pernah mengungkapkan secara eksplisit dalam sebuah forum diskusi grup daring (melalui Grup aplikasi percakapan What‟s App) mengenai posisinya terhadap tembakau (dalam hal ini rokok). Begini kira-kira apa yang diungkapkannya tersebut: “Saya perokok, saya tahu bahaya merokok bagi kesehatan saya dan orang di sekitar saya. Karena berhenti merokok bukan hal yang mudah, setidaknya saya mengurangi dampak merokok bagi orang di sekitar saya dengan cara merokok di tempat yang telah disediakan, tidak di tempat umum apalagi yang jelas melarang aktivitas merokok.” Ini adalah sebuah contoh yang menunjukkan pergerakan wacana bahaya tembakau dalam pemikiran kelas menengah Indonesia. Beberapa dan mungkin banyak dari kita (saya sendiri dalam
2
Sayangnya kelembagaan pengaturan tembakau ini justru menjadi alasan untuk tidak menandatangani kesepakatan pengendalian tembakau dunia atau FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) seperti yang diberitakan tahun 2013 lalu (Khamdi 2013).
3
hal ini) pernah ditegur oleh orang lain ketika merokok di dekat seorang ibu hamil -atau ibu yang sedang bersama seorang anaknya dalam pengalaman pribadi saya; bukti lain bagaimana wacana ini ada dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini dibaca dan ditanggapi dengan cukup cerdik oleh beberapa pelaku industri yang kemudian mulai memproduksi apa yang dikenal dengan sebutan rokok elektrik atau personal vaporizer.3 Komoditas baru ini diklaim dapat menggantikan sensasi merokok dan membantu proses berhenti dari kebiasaan merokok tembakau. Tentu saja banyak pro dan kontra yang berkembang menganai komoditas baru yang segera menjadi tren global ini, salah satunya berkaitan dengan pemanfaatannya sebagai alat pengasupan nikotin yang merupakan salah satu kandungan berbahaya rokok tembakau konvensional. Arguman yang memberatkan vaporizer mengenai kehadiran nikotin tersebut menyebut vaporizer sebagai „alat introduksi pada rokok tembakau konvensional bagi remaja‟ atau gateway pada aktivitas merokok yang telah diamini bahayanya dalam argumen tersebut (Primack, et al. 2015). Namun tentu saja peningkatan penjualannya di seluruh dunia menjadi bukti resepsi publik global yang cukup baik atas komoditas baru ini; seperti yang diekspresikan Dewo, seorang vaper Yogyakarta: “Ini teknologi baru kok, gak bisa dihentikan nek memang benar-benar baik. Nek arep diregulasi, monggo, malah aman.”4
3
Kini, untuk menjauhkan posisi ideologis komoditas ini dari stigma negatif yang menempel pada kata „rokok‟, istilah personal vaporizer -atau vaporizer saja- lebih sering digunakan. 4 Pendapat Dewo (bukan nama sebenarnya) ini terjadi dalam percakapan saya dengannya mengenai isu atau rencana pembatasan peredaran rokok elektrik di Indonesia oleh Kementrian Perdagangan atas rekomendasi Kementrian Kesehatan sekitar awal tahun 2015 lalu. Isu ini memudar ketika mentri perdagangan saat itu (Rahmat Gobel) kemudian diganti. Pendapatnya ini juga menunjukkan keyakinannya akan manfaat baik vaporizer, peling tidak untuk dirinya sendiri.
4
Berbagai sumber daring mengenai sejarah vaporizer mengapresiasi seorang ahli farmasi Cina bernama Hon Lik sebagai pencipta gawai ini yang mematenkannya untuk pertama kali pada tahun 2003. Walaupun sebuah artikel daring lain menunjukkan bahwa keberadaan paten pertama untuk gawai yang sangat mirip dengan vaporizer sekarang dapat dilacak hingga tahun 1927 (Wake and Vape 2015), vaporizer baru benar-benar menjadi populer dan dikonsumsi oleh sangat banyak penduduk dunia setelah Hon Lik mulai memproduksi dan memasarkan produknya.5 Alasan utama Hon Lik menciptakan gawai ini adalah agar dapat berhenti merokok setelah ayahnya meninggal dunia akibat kanker paruparu (CASAA 2012). Gawai ini bekerja dengan memanaskan cairan berasa dan beraroma yang disebut likuid (beberapa dapat mengandung nikotin) hingga menguap. Uap yang diproduksi tersebut lalu dihirup oleh penggunanya layaknya menghisap sebatang rokok. Resepsi atas vaporizer di Indonesia dapat dibilang cukup baik. Jika Yogyakarta dapat mewakili, sejak tahun 2012 ketika vaporizer mulai menjadi hot item di perdagangan daring Indonesia, telah hadir lebih dari 15 gerai vaporizer. Gerai-gerai tersebut menjual berbagai keperluan yang terkait dengan penggunaan vaporizer seperti, gawai dan likuid, bahan elemen pemanas, kapas resapan, dan lain-lain. Para penggunanya pun –yang sering menyebut diri vaper- mulai lebih berani menggunakan gawai mereka di tempat-tempat umum seperti rumah makan dan gerai-gerai kopi serta berbagai tempat nongkrong lainnya. Komunitas para
5
Data dari situs Statisticbrain.com menunjukkan peningkatan penjualan vaporizer yang sangat signifikan di Amerika. Pada tahun 2008 sebesar 20 juta USD dan meningkat hingga 1,7 milyar USD di tahun 2014 (Statistic Brain Research Institute 2015).
5
pengguna vaporizer di Yogyakarta pun terbentuk dengan gerai-gerai vaporizer menjadi tempat utama pertemuan informal mereka. Wacana bahaya tembakau juga bergerak dalam komunitas ini sebagai fragmen dari kelas menengah Indonesia. Semua pengguna vaporizer yang saya temui dalam pengamatan awal saya mengaku ingin berhenti –atau beralih dari- merokok dengan menggunakan gawai tersebut. Para pramuniaga gerai-gerai vaporizer Yogyakarta pun memanfaatkan wacana yang sama dalam menawarkan vaporizer kepada pembeli baru, begitu juga ketika seorang vaper mempersuasi temannya untuk mulai vaping. Pertanyaan yang muncul kemudian: Jika vaporizer membantu proses berhenti merokok tembakau konvensional, apakah para pengguna vaporizer memang ingin berhenti merokok atau justru ingin tetap merokok dengan cara yang berbeda, baik dalam aspek kesehatan dan atau kebaruan cara konsumsinya? Karena ketika kondisi berhenti merokok tembakau konvensional telah tercapai, seharusnya alat bantu untuk mencapai kondisi tersebut menjadi tak bermakna lagi, setidaknya dalam logika berpikir saya. Jika yang disebut terdahulu menjadi jawabannya, seharusnya ada waktunya di mana para pengguna vaporizer yang telah berhasil berhenti merokok, berhenti pula menggunakan vaporizer. Setidaknya sejauh pengamatan awal saya dalam komunitas vaporizer Yogyakarta, bukan hal ini yang terjadi, beberapa pengguna vaporizer yang saya jumpai telah berhenti merokok cukup lama dan mengaku masih ingin menikmati vaping. Terlepas dari berbagai wacana yang melatari dan terreproduksi fenomena ini, dinamika sosial dalam komunitas para pengguna vaporizer ini sendiri menjadi hal yang menarik terutama jika dikaitkan dengan berbagai praktik konsumsi yang
6
terlibat di dalamnya. Pengamatan awal saya terhadap fenomena vaporizer memperlihatkan dua sisi yang menarik untuk diperhatikan. Di satu sisi dan sesuai dengan namanya, penggunaan personal vaporizer sangat bersifat personal. Pilihan gawai dan rasa likuid mewakili sifat ini. Di sisi lain, kompleksitas teknis gawai vaporizer –yang mensyaratkan pengetahuan dan kemampuan tertentu- serta pendekatan pemasaran gerai-gerai vaporizer yang saya amati di Yogyakarta memperlihatkan sifat komunal dari fenomena ini. Tentu saja hal ini dapat dibandingkan secara langsung dengan rokok tembakau konvensional yang juga bersifat personal karena selera penggunanya yang saling berbeda, tetapi juga sering disebut sebagai social lubricant. Perbedaan antara keduanya hadir dalam bagaimana kedua sifat tersebut (individual dan komunal) hadir dengan sangat mencolok dalam fenomena vaporizer. Selera menjadi sangat spesifik sekaligus bervariasi karena pilihan yang begitu luas atas gawai dan likuid serta faktor swakarya yang terlibat dalam ritual konsumsi vaporizer.6 Sementara itu, komunalitas dalam konsumsi vaporizer sangat tinggi sampai pada tahap hadirnya komunitas pengguna vaporizer di Yogyakarta yang menjadi objek material penelitian ini. Jika rokok konvensional menjadi perekat antar individu dalam interaksi sosial yang berada dalam konteks lain dari rokok konvensional itu sendiri, vaporizer memiliki konteksnya sendiri. Pengetahuan dan keterampilan dalam ranah yang benar-benar baru merupakan konteks tersendiri yang
6
Faktor swakarya yang dimaksud di sini meliputi bagaimana gawai vaporizer dapat diatur sedemikian rupa (dalam berbagai aspek teknisnya) sesuai keinginan dan selera penggunanya. Halhal tersebut meliputi pengaturan elemen pemanas (bentuk, posisi, bahan, nilai tahanan dan suhu yang hendak dicapai) serta kapas resapan yang sering disebut setting. Aspek swakarya ini juga ditemukan dalam pembuatan likuid yang dapat dilakukan sendiri dengan sumber informasi yang telah sangat melimpah mengenai hal ini.
7
menyatukan para pengguna vaporizer tidak hanya dalam komunitas regional seperti yang saya amati sementara ini di Yogyakarta, namun juga dalam komunitas daring nasional bahkan internasional. Representasi komunitas vaporizer Yogyakarta dapat dilihat dalam sebuah grup media sosial Facebook bernama “Jogja Vaper Corner” yang tercatat memiliki lebih dari 1600 anggota di pertengahan tahun 2015 (Jogja Vaper Corner 2013). Sampai titik ini, dua hal dapat diasumsikan mengenai fenomena ini, pertama, terkait dengan motivasi „berkenti merokok‟, konsumsi vaporizer sama sekali tidak berkaitan dengan konsumsi rokok konvensional dan merupakan bentuk konsumsi simbolis karena praktik konsumsinya telah melampaui fungsionalitasnya; kedua, kerena telah berada dalam wilayah simbolis, segala bentuk praktik konsumsi, baik individu maupun kelompok, yang berkaitan dengannya (termasuk di dalamnya adalah ritual-ritualnya, pengetahuan dasarnya, komunalitasnya) dapat dikategorikan sebagai sebuah praktik kultural dan karenanya bersifat politis dan problematis. Hal ini segera mengingatkan saya pada salah satu perspektif budaya konsumen yang ditawarkan Mike Featherstone yang cukup dekat menggambarkan kondisi „etalase gerai vaporizer‟: (…) consumer culture is premised upon the expansion of capitalist commodity production which has given rise to a vast accumulation of material culture in the form of consumer goods and sites for purchase and consumption. (…) although greeted as leading to greater egalitarianism and individual freedom by some, is regarded by others as increasing the capacity for ideological manipulation and ‘seductive’ containment of the population from some alternative set of ‘better’ social relations (Featherstone 2007, 13).
8
(…) budaya konsumen mendasarkan argumennya pada ekspansi produksi komoditas kapitalis yang telah sangat meningkatkan akumulasi objek kultural dalam bentuk barang konsumsi serta situs-situs pembelian dan konsumsi. (…) walaupun disambut oleh sebagian orang sebagai awal baik menuju egalitarianisme dan kebebasan individu, namun juga dinilai sebagai peningkatan kapasitas manipulasi ideologis dan „daya tarik‟ yang menjauhkan masyarakat dari alternatif relasi sosial yang „lebih baik‟. Featherstone (2007, 15) sendiri menyatakan keterbatasan perspektif ini dalam merujuk pengalaman dan praktik-praktik konsumsi aktual. Karenanya, perspektif berikut yang ditawarkannya mencoba melihat budaya konsumen dalam konteks relasi individu dan sistem sosial di mana ia berada. (…) the satisfaction derived from goods relates to their socially structured access in a zero-sum game in which satisfaction and status depend upon displaying and sustaining differences within conditions of inflation. The focus here is upon the different ways in which people use goods in order to create social bonds or distinctions (Featherstone 2007, 13). (…) kepuasan yang diperoleh dari barang-barang berkaitan dengan akses sosial yang terstruktur -atas barang tersebutdalam permainan tanpa untung/rugi di mana kepuasan dan status tergantung pada cara-cara menampilkan dan mempertahankan perbedaan dalam kondisi berkelimpahan barang. Fokusnya ada pada cara-cara yang berbeda dalam penggunaan barang dalam rangka menciptakan ikatan sosial atau distingsi. Dua perspektif tersebut mencoba mempermasalahkan kembali budaya konsumsi sekaligus secara kritis menolak pandangan yang menganggap praktik konsumsi sebagai sekedar turunan kausal dari aktivitas produksi di tengah banjir objek simbolis dalam masyarakat kontemporer (Featherstone 2007, 13). Perspektif kedua (yang ditampilkan dalam kutipan terakhir) akan dapat lebih banyak memproblematisasi fenomena vaporizer ini. Perspektif ini mencoba melihat relasi antara struktur sosial dan praktik konsumsi individu. Jika dikembalikan pada
9
fenomena yang hendak diangkat dalam penelitian ini, perspektif ini melihat konteks baru yang diciptakan oleh kehadiran vaporizer sebagai sebuah struktur sosial mikro di mana individu-individu berusaha memapankan atau merebut posisi-posisi tertentu yang diinginkan melalui berbagai praktik konsumsi baik terhadap barang-barang vaporizer maupun terhadap aspek-aspek lain (bukan barang) dalam konteks vaporizer seperti pengetahuan, kemampuan dan komunalitas. Fenomena vaporizer dalam komunitas vaporizer Yogyakarta diposisikan tidak sekedar sebagai turunan kausal dari motif dan motivasi berhenti merokok –apalagi dari aktivitas produksi gawai vaporizer semata- melainkan sebagai sebuah arena sosial yang politis dan problematis.
B. Rumusan Masalah Penelitian ini mencoba memproblematisasi dinamika sosial yang ditemukan dalam praktik konsumsi vaporizer, khususnya mengenai relasi antara praktik konsumsi dalam komunitas vaporizer Yogyakarta dan struktur sosial yang melatari –sekaligus terus-menerus dicipta ulang- oleh berbagai praktik konsumsi tersebut. Permasalahan utama ini dapat diuraikan menjadi tiga pertanyaan penelitian berikut: 1. Seperti apa struktur sosial dalam arena komunitas vaporizer Yogyakarta? 2. Bagaimana strategi dijalankan agen-agen untuk melakukan mobilisasi sosial di dalam arena komunitas vaporizer Yogyakarta?
10
3. Bagaimana dan seperti apa relasi antara arena komunitas vaporizer Yogyakarta dan struktur sosial yang lebih luas di luar arena itu sendiri?
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan karakter atau ciri dinamika sosial yang ditemukan dalam praktik konsumsi komunitas vaporizer Yogyakarta. Secara khusus, penelitian ini mencoba: 1. Mendeskripsikan struktur sosial dalam arena komunitas vaporizer Yogyakarta. 2. Memperlihatkan bagaimana strategi dijalankan agen-agen dalam rangka mobilisasi sosial mereka di dalam arena komunitas vaporizer Yogyakarta. 3. Mendeskripsikan relasi antara struktur sosial arena komunitas vaporizer Yogyakarta dengan struktur sosial yang lebih luas.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara akademik maupun praktis. Secara akademik penelitian ini dapat menjadi bagian dari diskursus budaya konsumen dan diharapkan dapat menawarkan temuan-temuan baru yang dapat memperkaya dialektika dalam diskursus tersebut. Secara lebih spesifik,
11
khususnya terkait dengan asek teoretis, penelitian ini akan mencoba menguji fleksibilitas teoretik dari pemikiran Bourdieu mengenai habitus, arena dan kapital dalam konteks budaya yang berbeda. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan bagaimana dan seperti apa struktur sosial dalam sebuah ranah konsumsi yang sekilas terlihat biasa saja dan tanpa permasalahan berarti. Penelitian ini diharapkan membawa cara pandang baru dalam melihat aksi dan interaksi individu-individu sebagai konsumen sekaligus agen sosial dalam dan dengan struktur sosial di mana mereka menjadi bagiannya.
E. Tinjauan Pustaka Penelitian ini membahas mengenai relasi antara praktik konsumsi dan struktur sosial spesifik di mana berbagai praktik konsumsi tersebut terjadi. Topik ini bukanlah hal baru dalam dunia akademik, karena itu, sangat penting untuk memposisikan penelitian ini dalam diskursus besar yang menaruh perhatian pada topik yang sama demi menunjukkan signifikansi penelitian ini. Tentu saja salah satu aspek yang secara kontras menjadi pembeda penelitian ini dengan kajiankajian lain dalam topik yang sama adalah perihal kebaruan locus budaya yang hendak diamati. Fenomena yang diangkat dalam penelitian ini terbilang sangat baru dan terlepas dari ciri-ciri eksplisit yang memposisikannya sebagai bagian dari gejala kapitalisme kontemporer, fenomena ini memiliki keunikannya sendiri karena seakan-akan membonceng pada –sekaligus memberontak terhadap-
12
fenomena lain yang telah lebih dulu hadir yaitu industri rokok konvensional. Produk-produk vaporizer yang kini sedang hangat berkembang dan membanjiri pasar dunia menawarkan cara lain merokok (selain rokok konvensional) sementara pasar rokok konvensional yang telah lama mendominasi mulai terlihat goyah (seperti yang dapat diamati di Amerika) karena kehadiran objek hasrat baru ini. Beberapa tulisan yang akan dibahas secara singkat di bawah ini diharapkan dapat lebih lanjut memposisikan penelitian ini. Tesis karya Bunga Irfani berjudul “Eating Out Sebagai Gaya Hidup dan Konsumerisme di Nanamia Pizzaria dan Il Mundo Yogyakarta” (2014) menunjukkan bagaimana gaya hidup dalam interaksi di lingkungan sosial menjadi konstruksi identitas individu melalui konsumsi atas makanan dan berbagai aspek eksternal lain yang terkait dengan makanan tersebut. Tesis ini melihat fenomena di mana konsumsi dilakukan untuk memposisikan diri secara simbolik, serupa dengan perspektif mode konsumsi yang menjadi asumsi awal penelitian ini. Penelitian ini tidak hanya akan menaruh perhatian pada individu pelaku konsumsi seperti dalam tesis Irfani, melainkan lebih terhadap struktur sosial di mana individu-individu pelaku konsumsi mencoba memposisikan diri mereka. Hampir serupa dengan tesis Irfani, tesis Ade Irma Sukma Wati (2012) melihat konsumsi atas barang bermerek (branded) yang dikatakan menjadi instrumen penanda kelas dan kelompok sosial. Tesis yang berjudul “Lifestyling dalam Late Night Sale sebagai Usaha Produksi Identitas Pramuniaga Perempuan Centro Department Store” ini pada akhirnya menyimpulkan bahwa usaha produksi identitas dengan konsumsi atas barang bermerek yang menjadi objek
13
utamanya merupakan proses lifestyling karena tidak dibarengi dengan kekuatan ekonomi yang dibutuhkan. Tesis ini sangat menyinggung relasi konsumsi dan struktur sosial namun tanpa menaruh perhatian yang cukup pada struktur sosial itu sendiri. Penelitian yang akan saya lakukan, mencoba melihat lebih dalam kepada struktur sosial yang menjadi objeknya, dan kemudian pada bagaimana konsumsi individu-individu di dalamnya turut membentuk –dan atau terbentuk olehstruktur tersebut. Artikel berjudul “Veblen, Bourdieu, and Conspicuous Consumption” yang ditulis oleh Andrew B. Trigg (2001) sebenarnya merupakan pembelaan atas relevansi teori konsumsi Thorstein Veblen, sekaligus mempromosikan pemikiran Bourdieu yang menurutnya menjadi contoh bagaimana pemikiran Veblen masih dapat dikembangkan dan dimanfaatkan di era kontemporer ini. Artikel tersebut dengan jelas menunjukkan bagaimana konsumsi mempengaruhi posisi seseorang dalam struktur sosial. Asumsi penelitian ini serupa dengan sedikit perbedaan. Penelitian ini mengasumsikan adanya relasi saling mempengaruhi antara konsumsi seseorang dan posisinya dalam struktur sosial. Struktur sosial yang akan dibahas dalam penelitian ini bukanlah struktur sosial secara umum seperti dalam esay Trigg, melainkan struktur sosial yang spesifik seperti konsepsi Bourdieu mengenai arena. Konsumsi yang direlasikan dengan struktur sosial dalam penelitian ini tidak hanya meliputi konsumsi atas barang dan jasa seperti dalam teori Veblen yang dibela Trigg, namun lebih dekat dengan yang disampaikan Alan Warde dalam sebuah artikel lain yang akan dibahas di bawah ini.
14
Warde dalam “Consumption and Theories of Practice” melihat konsumsi sebagai aktivitas apropriasi dan apresiasi yang tidak hanya terbatas pada barang dan jasa yang dibeli dengan uang, namun juga pada penampilan, informasi dan suasana baik berbayar maupun tidak (Warde 2005, 137). Konsep konsumsi Warde ini serupa dengan yang saya pahami dan gunakan dalam menyusun penelitian ini. Warde secara khusus membahas manganai bagaimana teori praktik dimanfaatkan untuk melihat praktik konsumsi atas kendaraan bermotor sehingga serupa dengan apa yang hendak saya lakukan melalui penelitian ini walaupun dengan tujuan yang berbeda. Warde dalam artikel tersebut hendak mengemukakan teori praktik sebagai pendekatan –alternatif- yang berbeda untuk melihat praktik konsumsi secara sosiologis sementara saya menggunakan teori ini untuk melihat bagaimana praktik konsumsi berelasi dengan struktur sosial locus konsumsi tersebut. Artikel
berikutnya
berjudul
“Social
Stratification
and
Cultural
Consumption: Music in England” dan ditulis oleh Tak Wing Chan dan John H. Goldthorpe (2007). Artikel ini menguji tiga argumentasi mengenai relasi antara konsumsi individu dan struktur sosial. Pengujian tersebut dilakukan melalui penelitian empiris terhadap ribuan penikmat musik di Inggris. Salah satu argumen yang diuji, termasuk dalam argumentasi ini adalah temuan Bourdieu dalam Distinction (1984), menyatakan bahwa strata kultural (high/low culture) berhomologi dengan strata sosial (kelas/struktur sosial) sehingga konsumsi individu atas objek kultural tertentu dapat dilihat sebagai representasi kelas sosialnya. Artikel penelitian ini pada akhirnya menyimpulkan bahwa argumentasi
15
homologi tersebut tidak lagi relevan dan menjadi kritik atas pemikiran Bourdieu. Artikel ini melihat relasi antara pilihan objek konsumsi (jenis musik) dan struktur sosial, dan menyimpulkan bahwa dominasi sosial (dalam struktur sosial) tidak terjadi karena pembedaan objek konsumsi atau distingsi. Penelitian yang akan saya lakukan mencoba melihat relasi yang sama (konsumsi-struktur sosial) tanpa terbatasi oleh argumen manapun yang diuji dalam penelitian Chan dan Goldthorpe, walaupun tetap mempertimbangakan keberadaan ketiga argumen tersebut dalam diskursus budaya konsumen kontemporer.
F. Landasan Teori Titik berangkat penelitian ini mempertemukan fenomena vaporizer dalam komunitas vaporizer Yogyakarta sebagai objek material dengan budaya konsumen dalam perspektif mode konsumsi sebagai objek formalnya. Karena itu, bagian berikutnya akan memberikan gambaran umum mengenai objek formal penelitian ini. Pada bagian selanjutnya, hasil kerja Pierre Bourdieu yaitu teori praktik (Theory of Practice) akan disampaikan. Pemikiran Bourdieu ini, khususnya mengenai habitus, arena dan kapital, akan menjadi alat utama yang dipergunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian ini. Tentu saja uraian landasan teori yang akan disampaikan ini belum –kalau bukan tidak akan- cukup mengelaborasikan keseluruhan teori yang akan dipergunakan dalam penelitian ini, baik mengenai budaya konsumen maupun mengenai alat berpikir Bourdieu: habitus, arena dan kapital. Uraian ini hanya
16
dimaksudkan untuk membingkai penelitian ini secara teoretis untuk memudahkan pelaksanaan dan pembacaannya ketika telah selesai dilaksanakan. Penelitian ini saya harapkan menjadi sebuah kajian yang bersifat eksploratif dan walau terbingkai secara teoretis, tetap terbuka dalam pelaksanaannya. Karena itu, kemungkinan untuk mengelaborasikan teori maupun konsep lain yang saya jelajahi kemudian - di luar yang akan diuraikan berikut ini- tetap terbuka lebar.
1. Mode Konsumsi Seperti yang telah disinggung sebelumnya, perspektif budaya konsumen yang ditawarkan Featherstone (2007, 13) mencoba menempatkan konsumsi dalam ranah kultural, tidak semata sebagai turunan dari produksi, dan perlu diproblematisasi. Pada bagian yang sama dalam bukunya, ia menandai era ini dengan kondisi dimana barang-barang simbolik membanjiri pasar serta kecenderungan akan kebingungan budaya dan de-klasifikasi. Kondisi tersebut menuntut untuk mempertanyakan kembali mengenai kebudayaan dan berimplikasi terhadap konsep-konsep relasi antara budaya, ekonomi dan masyarakat. Secara sederhana, perspektif mode konsumsi melihat bagaimana barang-barang konsumsi dipergunakan sebagai penanda perbedaan sosial dan berperan sebagai komunikator, “the ways goods are used to mark social differences and act as communicators” (Featherstone 2007, 17). Kondisi pasar yang terus-menerus dibanjiri berbagai suplai barang menimbulkan kesan akses tak terbatas pada barang-barang konsumsi. Hal ini menyebabkan selera, penilaian yang diskriminatif, pengetahuan tentang
17
barang, yang memperbolehkan kelompok tertentu atau ketegori masyarakat tertentu untuk mengerti dan mengklasifikasi barang-barang baru beserta caracara memakai/mempergunakannya, menjadi penting (Featherstone 2007, 17). (…) the mastery of the cultural person entails a seemingly ‘natural’ mastery not only of information (the autodidact ‘memory man’) but also of how to use and consume appropriately and with natural ease in every situation (Featherstone 2007, 17). (…) kepiawaian individu budaya meliputi penguasaan yang tampak „alami‟ tidak hanya atas informasi („penghafal autodidak‟) tetapi juga atas cara memakai dan mengkonsumsi yang baik dan terlihat mudah dan alami dalam setiap kesempatan. Pentingnya penguasaan-penguasaan tersebut berimplikasi pada pemanfaatan waktu yang lebih untuk berinvestasi pada kompetensi serta untuk kegiatan konsumsi itu sendiri; investasi atas waktu ini adalah kriteria penting dari kelas sosial. Karena itu, Featherstone menyarankan penelitian mendetail atas pemanfaatan waktu dan uang seperti yang disampaikannya dalam kutipan di bawah ini. The phasing, duration and intensity of time invested in acquiring competences for handling information, goods and services as well as the day-today practice, conservation and maintenance of these competences, is (…) a useful criterion of social class. Our use of time in consumption practices conforms to our class habitus and therefore conveys an accurate idea of our class status. This points us towards the need for detailed time-budget research (Featherstone 2007, 18).
18
2. Habitus, Arena dan Kapital Melalui teori praktik, Pierre Bourdieu (dalam Grenfell 2008, 43) mencoba merekonsiliasi dua pendekatan ilmu pengetahuan: objektivisme strukturalis dan subjektifisme eksistensialis. Melalui pendekatannya ini ia menempatkan struktur sosial dan individu (atau kelompok atau institusi) dalam hubungan relasional. Ia melihat struktur sosial sebagai sebuah jaringan relasi saling membentuk, “both structured and structuring” (Grenfell 2008, 45). Jika dipergunakan untuk melihat relasi antara struktur sosial dan individu di dalamnya, teori praktik mempertanyakan bagaimana keduanya (struktur sosial dan agensi individu) dapat didamaikan serta bagaimana keduanya saling membentuk (Maton 2008, 50). Habitus, arena dan kapital adalah tiga konsep utama yang dipergunakan Pierre Bourdieu untuk merumuskan teori praktiknya. Ketiga konsep ini tidak bisa dilepaskan satu dari yang lainnya, tidak bisa pula dipergunakan secara individual karena Bourdieu sangat menekankan aspek relasional dari pendekatan sosiologisnya ini (Grenfell 2008, 47; Maton 2008, 55). a. Habitus Habitus adalah konsep Bourdieu yang paling mencirikan pendekatan distingtifnya atas fenomena sosiologi. Dari berbagai pendekatan sosiologis lainnya, habitus menjadi unik karena –jika dimanfaatkan dengan benar- dapat mengatasi
permasalahan
dikotomi
dalam
berpikir
(objektif/subjektif,
struktur/agen, lalu/kini, sosial/individu, dan lain sebagainya) dan melihat permasalahan sosial. Secara formal, habitus adalah bagian dari agen sosial,
19
baik itu individu, kelompok atau institusi (Maton 2008, 50-51). Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai: (…) systems of durable, transposable dispositions, structured structures predisposed to function as structuring structures, that is, as principles which generate and organize practices and representations that can be objectively adapted to their outcomes without presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery of the operations necessary in order to attain them (Bourdieu 1990, 53). Habitus adalah sistem disposisi yang ada dan bertahan serta dapat “menjadi aktif dalam rentang ranah sosial yang beragam” (Maton 2008, 51); “system of durable, transposable dispositions.” Habitus berkembang sesuai dengan kondisi keberadaan -“structured structure”- serta menciptakan praktik, kepercayaan, persepsi, perasaan, dan lain sebagainya -“structuring structure”- (Maton 2008, 51).7 Habitus sangat efektif sebagai basis persepsi dan aksi, bahkan tanpa perlu kesadaran akan orientasi akhir karena telah ditempa dari sekian banyak pengulangan aksi –dan reaksi-, percobaan dan kegagalan (Calhoun 2002, 6, 15); “can be objectively adapted to their outcomes without presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery of the operations necessary in order to attain them.”8 Bahkan ketika gagal dalam –variasi baru dari- sebuah kondisi tertentu, habitus telah berhasil meregenerasi sistemnya untuk kondisi serupa di masa depan, Bourdieu juga menekankan peran generatif habitus seperti yang disampaikan Calhoun 7
Anak seorang seniman misalnya, cenderung berjiwa seni sesuai lingkungan di mana ia dibesarkan, ketika dewasa ia akan sangat mungkin menempuh jalur pendidikan seni dan atau menjadi praktisi seni seperti orang tuanya. 8 Bahkan ketika seorang anak seniman tidak ingin menjadi seperti orang tuanya, apresiasinya terhadap seni cenderung lebih baik ketimbang anak seorang pengusaha misalnya.
20
(2002, 14): “the ways in which embodied knowledge transmutes past experience into dispositions for particular sorts of action.” Bentuk nyata dari habitus adalah endapan skema persepsi, pemikiran dan tindakan, yang merupakan produk sejarah dan pada gilirannya akan memproduksi tindakan-tindakan individu dan kolektif -sejarah berikutnyayang cenderung menjamin proporsionalitas tindakan-tindakan tersebut serta konsistensinya secara lebih meyakinkan dari pada semua peraturan resmi dan norma-norma eksplisit (Bourdieu 1990, 54); terciptalah keteraturan sosial, keberaturan, struktur sosial. Melalui habitus, struktur –dari mana habitus itu berasal- mengendalikan praktik, tidak dalam cara determinisme mekanik, namun dalam kendali dan batas yang telah ditentukan di awal terbentuknya habitus tersebut; habitus adalah kapasitas tak terhingga untuk menciptakan – pemikiran, persepsi, ekspresi dan tindakan- yang batasannya ditentukan oleh kondisi historis dan sosial di mana ia diciptakan, kebebasan kondisional terkondisi yang diberikannya jauh dari penciptaan kebaruan yang tak terduga, tidak juga sesederhana reproduksi mekanik dari kondisi di mana ia diciptakan (Bourdieu 1990, 55). b. Arena Sebagai mantan pemain rugby dan pembaca Wittgenstein (language game), pemahaman Bourdieu (dalam Calhoun 2002, 4) mengenai kehidupan sosial
sering
terlihat
melalui
metafora
„permainan‟.
Tidak
dalam
pengertiannya sebagai sebuah bentuk hiburan, namun dalam perspektif serius seorang atlit dengan hasratnya akan permainan tersebut. Kompetisi dan
21
persaingan yang ketat serta komitmen akan tujuan masing-masing. Perjuangan melawan peserta permainan lain dan melawan batasan-batasan pribadi. Arena adalah di mana „permainan-permainan sosial‟ berlangsung dalam metafora tersebut. Arena dapat digambarkan secara mental sebagai sebuah wilayah di mana sebuah permainan dilakukan, lapangan sepak bola misalnya, di dalam keempat garis batasnya agen-agen sosial mengambil posisinya. Permainan yang dimainkan memiliki aturan-aturan yang harus diketahui para pesertanya, harus dipelajari oleh peserta baru permainan tersebut. Kondisi lapangan (basah/kering, rumput tebal/rumput tipis) juga menjadi hal yang harus dipahami untuk dapat diatasi dalam permainan. Karenanya, permainan dalam sebuah arena dibatasi oleh minimal tiga hal: batas arena itu sendiri, peraturanperaturan dari permainan yang dimainkan, serta kondisi arena tersebut (Thomson 2008, 68-69). Masih dalam analogi arena sebagai sebuah lapangan, batas luar dari lapangan tersebut dimaksudkan untuk memisahkan apa yang terjadi di dalamnya dari wilayah yang lebih luas di luarnya. Hal ini diperlukan karena ada kebiasaan-kebiasaan dan pola-pola permainan terprediksi yang selalu dimainkan di dalamnya dan belum tentu dapat diterapkan di luar batas lapangan tersebut; batas luar tersebut berfungsi untuk menjaga agar para peserta permainan tidak melewatinya (Thomson 2008, 69-70).9 Kebiasaan-
9
Tentu saja dalam permainan sepak bola, seorang Eric Cantona misalnya, pernah „keluar‟ dengan sengaja dari garis lapangan untuk menendang seorang pendukung timnya; permainan kemudian berhenti karena terjadi kekacauan dalam lapangan dan bahkan di luar garis batas lapangan tempat
22
kebiasaan dan pola-pola permainan tersebut, tidak hanya lahir dari peraturan resmi permainan tersebut namun juga dari gaya bermain para pesertanya.10 Maka dalam arena, ditemukan aturan-aturan yang tidak perlu dieksplisitkan untuk dapat dipatuhi agen-agen yang terlibat (Thomson 2008, 70). Menurut Bourdieu dalam penjelasan Thomson (2008, 70-73), kumpulan individu menempati beberapa arena sosial secara simultan, mereka/kita dapat dikatakan menempati sebuah ruang sosial bersama (field of power dalam terminologi Bourdieu) yang terdiri dari arena-arena (multiple social fields) seperti: arena pendidikan, arena ekonomi, arena seni, arena politik dan birokrasi, dan seterusnya. Bourdieu juga menunjukkan adanya kesamaan „kebiasaan-kebiasaan dan pola-pola permainan‟ antara arena satu dengan yang lain dalam sebuah ruang sosial, juga bahwa arena-arena tersebut berelasi secara saling tergantung (inter-dependent) melalui agen-agen yang menempati arena-arena tersebut. Relasi yang sama juga ditemukan antara field of power dan suatu arena tertentu, “what happens in the field of power shapes what can happen in a social field, at the same time as what happens in a social field shapes the field of power and also may influence other social fields.” Dikaitkan dengan habitus, arena adalah structuring structure yang secara berkesinambungan membentuk habitus, sementara habitus akan menciptakan praktik sosial yang pada gilirannya akan menentukan apa yang terjadi dalam arena(-arena) di mana habitus itu berada. para pendukung berada. Metafora ini memperlihatkan relasi arena satu dengan arena lain di luarnya. 10 Ketika Lionel Messi mendapatkan bola di kakinya, dapat diduga akan ada dua sampai empat pemain belakang lawan yang membayangi dan menutup ruang tembaknya. Artinya, Messi sebagai seorang agen dapat mempengaruhi bagaimana permainan dalam lapangan dimainkan.
23
c. Kapital Hanya dengan habitus dan arena saja, nampaknya belum cukup untuk menjelaskan praktik sosial. Seakan-akan agen sosial bertindak tanpa tujuan dalam arenanya; lalu apa yang hendak dicapai oleh praktik sosial tersebut? Kapital. Agen-agen sosial berpraktik secara sosial dalam rangka mengakumulasi bentuk-bentuk kapital (Thomson 2008, 69). Kapital juga menentukan habitus agen, habitus juga terbentuk dari dan oleh komposisi kepemilikan kapital tertentu (Swartz 2002, 5). Sementara itu, posisi seorang agen dalam arena tertentu sangat ditentukan oleh kepemilikan kapital dan habitusnya (Maton 2008, 51). Posisi agen dalam arenanya pada akhirnya menentukan praktik seperti apa yang dilakukannya dalam arena tersebut untuk mengakumulasi kapital yang pada gilirannya -bersama agen-agen lain dengan habitus, perolehan kapitalnya serta praktik-praktik sosial merekaakan ikut menetukan wujud dari struktur sosial arena tersebut dan arena lain: field of power.11 Bourdieu mengelaborasikan posisi penting kapital melalui sebuah tulisannya yang saya kutip berikut ini: The social world can be conceived as a multi-dimensional space that can be constructed empirically by discovering the main factors of differentiation which account for the differences observed in a given social universe, or, in other words, by discovering the powers or forms of capital which 11
Memanfaatkan contoh yang sama, seorang anak seniman menjadi lebih baik dalam mengapresiasi seni karena dalam keluarganya kapital kultural (kompetensi dan kecakapan seni termasuk di dalamnya) telah mendominasi, pembentukan habitusnya sangat kuat dipengaruhi oleh kapital kultural. Kelak, misalnya, ketika ia memutuskan untuk berkuliah di jurusan seni (memasuki arena pendidikan seni), habitusnya akan membantunya meraih posisi yang lebih unggul dari temannya yang seorang anak pengusaha.
24
are or can become efficient, like aces in a game of cards, in this particular universe, that is, in the struggle (or competition) for the appropriation of scarce goods of which this universe is the site. It follows that the structure of this space is given by the distribution of the various forms of capital, that is, by the distribution of the properties which are active within the universe under study--those properties capable of conferring strength, power and consequently profit on their holder. (…) these fundamental social powers are, according to my empirical investigations, firstly economic capital, in its various kinds; secondly cultural capital or better, informational capital, again in its different kinds; and thirdly two forms of capital that are very strongly correlated, social capital, which consists of resources based on connections and group membership, and symbolic capital, which is the form the different types of capital take once they are perceived and recognized as legitimate (Bourdieu 1987, 3-4). Dunia sosial dapat dipahami debagai sebuah wilayah miltidimensi yang dapat dikonstruksi secara empiris dengan menemukan faktor-faktor pembeda utama yang menjelaskan perbedaan-perbedaan yang teramati dalam latar sosial tertentu, atau, dengan kata lain, dengan menemukan kuasa atau bentuk-bentuk kapital yang efisien, atau dapat menjadi efisien, seperti kartu as dalam permainan kartu, di dalam latar sosial tersebut, yaitu, di dalam perjuangan (atau kompetisi) untuk memperoleh barangbarang berharga di mana latar sosial tersebut menjadi situsnya. Hal ini berarti struktur dari wilayah sosial ditentukan oleh distribusi ragam bentuk kapital, yaitu, oleh distribusi properti-properti yang aktif dalam latar sosial yang tengah dipelajari –properti-properti tersebut mampu menjadi kekuatan, kuasa dan secara konsekuen: keuntungan bagi pemegangnya. (…) kuasa-kuasa sosial mendasar ini, sesuai dengan penyelidikan empirisku, yang pertama, kapital ekonomi dalam ragam jenisnya; kedua, kapital kultural, atau lebih tepatnya kapital informasional, sekali lagi, dalam berbagai bentuknya; dan ketiga, dua bentuk kapital yang sangat berhubungan erat, kapital sosial, yang termasuk berbagai sumber daya yang terkait dengan koneksi sosial dan keanggotaan dalam kelompok-kelompok tertentu, dan kapital simbolik, yaitu bentuk lain yang diambil oleh kapital-kapital ketika telah diterima dan diakui legitimasinya.
25
Kutipan di atas memuat paling tidak tiga poin penting untuk melengkapi pemahaman awa mengenai kapital. Pertama, sebuah arena tertentu dapat diidentifikasi dari arena lainnya melalui kapital-kapital apa saja yang dominan persebarannya serta efisien –atau berpotensi menjadi efisiendi dalamnya. Kedua, kepemilikan kapital menjadi cara untuk membedakan diri atau kelompok sosial tertentu dengan yang lainnya dalam sebuah arena dan menjadi apa yang diperjuangkan oleh agen-agen sosial dalam arena tersebut. Ketiga, selain sebagai pembeda sosial, kekuasaan adalah konsekuensi lain kepemilikan kapital dalam konteks arena yang sama.
G. Metode Penelitian Seperti yang telah disampaikan dalam perumusan masalah, penelitian ini mencoba memproblematisasi dinamika sosial yang ditemukan dalam praktik konsumsi
komunitas
vaporizer
Yogyakarta.
Fenomena
yang
akan
dipermasalahkan telah dibingkai sebagai fenomena konsumsi dalam sebuah arena di mana para anggota komunitas vaporizer Yogyakarta menjadi agen-agennya. Patricia Thomson (2008, 75) dalam penjelasannya mengenai arena memaparkan saran Bourdieu mengenai tiga langkah melakukan investigasi terhadap suatu arena yang meliputi: 1. Menganalisa posisi arena tersebut dalam relasinya dengan field of power.
26
2. Memetakan struktur objektif dari relasi antara posisi-posisi yang ditempati
oleh
agen-agen
atau
institusi-institusi
yang
saling
berkompetisi untuk mendapatkan bentuk otoritas tertentu yang diakui dalam arena tersebut. 3. Menganalisa habitus dari agen-agen sosial, sistem disposisi yang berbeda-beda yang telah mereka peroleh dari proses internalisasi atas kondisi sosial dan ekonomi determinan, serta bagaimana habitushabitus tersebut menjadi lebih diunggulkan -atau lebih dikalahkandalam arena tersebut. Langkah meneliti arena yang disampaikan di atas mengasumsikan data mengenai fenomena yang dipermasalahkan telah terkumpul. Maka langkah awal yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data. Pengumpulan data akan dilakukan melalui penelitian lapangan. Karena saya sebagai peneliti juga adalah pemakai vaporizer, penelitian lapangan yang akan dilakukan bersifat partisipatoris. Metode pengumpulan data utama yang akan dipergunakan dalam penelitian lapangan tersebut adalah observasi dan wawancara mendalam. Data yang akan terkumpul dari observasi dan wawancara mendalam tersebut akan menjadi data primer bagi penelitian ini. Data-data sekunder mengenai objek material penelitian ini akan diperoleh dari sumber-sumber lain seperti situs-situs daring dan jejaring sosial yang terkait. Setelah tahap pengumpulan data selesai, data-data terkumpul akan mulai dimanfaatkan sesuai dengan langkah meneliti arena yang disarankan Bourdieu di
27
atas. Pada tahap ini, beberapa hal akan dilakukan secara simultan, pertama, proses seleksi data; kedua, proses analisis yaitu mencari dan mencoba menjelaskan hubungan antara data-data yang diperoleh (deskriptif-interpretatif); ketiga, proses mengelaborasikan bingkai teori yang telah disusun terhadap data temuan dan hasil analisisnya. Mengenai proses elaborasi teori, walaupun penelitian ini telah dibingkai secara formal dalam landasan teori, akan sangat dimungkinkan untuk memperlebar bingkai tersebut jika memang dibutuhkan dan dirasa relevan dengan permasalahan yang disasar.
H. Sistematika Penulisan Tesis Tesis ini akan disajikan dalam empat bab. Bab pertama –yang akan diakhiri dengan sub bab ini- telah memaparkan latar belakang permasalahan penelitian ini; pertanyaan penelitian serta tujuan dan manfaatnya; tinjauan pustaka untuk menempatkan penelitian ini dalam diskursus budaya konsumen; landasan teori yang dipergunakan dalam melaksanakan penelitian ini; serta metode penelitian yang dipergunakan. Bab selanjutnya (bab dua) akan memaparkan objek formal penelitian ini yaitu mengenai komunitas vaporizer Yogyakarta. Pada sub-bab pertamanya, sedikit uraian mengenai personal vaporizer sebagai obyek hasrat utama komunitas tersebut diharapkan dapat membantu dalam pembacaan bagian-bagian selanjutnya dalam tesis ini. Sub-bab keduanya akan mendeskripsikan hasil pengamatan lapangan yang telah dilakukan dalam komunitas ini. Deskripsi yang
28
akan disajikan dalam sub-bab kedua tersebut telah melalui proses seleksi sebelumnya; hanya data-data yang berada dalam wilayah permasalahan yang diteliti yang akan disampaikan. Bab ketiga tesis ini akan memanfaatkan alat berpikir Bourdieu -seperti yang telah diuraikan dalam bagian landasan teori bab ini- untuk melihat komunitas vaporizer Yogyakarta dalam rangka menjawab ketiga pertanyaan penelitian (dalam sub-bab kedua bab ini) secara spesifik. Sub-bab pertama bab ketiga akan menjawab pertanyaan mengenai struktur arena komunitas ini dan akan memberikan gambaran objektif atasnya. Sub-bab kedua akan melihat strategistrategi yang dimainkan para agen dalam arena ini dan akan memberikan gambaran subjektif arena ini sebagai jawaban pertanyaan penelitian kedua. Subbab ketiga akan mencoba melihat relasi antara arena ini dengan lingkup sosial yang lebih luas sebagai usaha menjawab pertanyaan penelitian ketiga. Bagian terakhir tesisi ini, bab keempat, akan berisi dua sub-bab. Sub-bab pertama akan menyimpulkan temuan-temuan penelitian ini, sementara sub-bab kedua akan berisi beberapa rekomendasi bagi penelitian lain yang dapat dikembangkan dari penelitian ini.