BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1
Latar Belakang Masalah Merokok merupakan aktivitas menghirup atau menghisap asap rokok
menggunakan pipa atau rokok (Sitepoe, 2000). Jenis rokok di Indonesia dibedakan berdasarkan bahan pembungkus (klobot, kawang, sigaret dan cerutu); bahan baku/ isi (putih, kretek dan kalembak); proses pembuatan (sigaret kretek tangan dan sigaret kretek mesin); penggunaan filter (filter dan nonfilter) (Sitepoe, 2000). Menurut Sitepoe (2000) perokok dapat dikategorikan berdasarkan jumlah konsumsi rokok harian yaitu: (a) perokok ringan (1 – 10 batang/ hari); (b) perokok sedang (11 – 20 batang/hari); dan (c) perokok berat (> 20 batang/ hari). Perokok yang mengkonsumsi
rokok dalam
jumlah
yang lebih
kecil
memiliki
kecenderungan lebih besar untuk berhenti merokok (Kwon Myung & Gwan Seo, 2011). Individu lebih mudah mengalami ketergantungan nikotin dibandingkan alkohol, cocain dan heroin (Hahn & Payne, 2003). Hal ini dikarenakan saat merokok, nikotin meresap ke paru-paru kemudian masuk ke aliran darah lalu disirkulasi menuju otak dan bereaksi sangat cepat dengan sel-sel otak sehingga memberikan kenyamanan dan menyebabkan ketagihan. Hanya dibutuhkan 5 – 15 detik setelah hisapan pertama bagi nikotin untuk bereaksi dalam tubuh terutama otak. Selain itu, nikotin menuju aliran darah tidak hanya melalui paru-paru tetapi juga melalui membran sel yang terdapat di mulut, hidung dan bahkan melalui sel kulit (Hahn & Payne, 2003).
1 Universitas Sumatera Utara
Rokok berbahan dasar tembakau yang mengandung lebih dari 4.000 komponen ataupun zat beracun yang berbahaya bagi tubuh (Floyd, Mimms & Yelding, 2003). Nikotin adalah kandungan tembakau yang berfungsi sebagai stimulan yang menyebabkan peningkatan detak jantung dan tekanan darah sehingga perokok lebih semangat, lebih mampu berkonsentrasi dan berespon lebih cepat (Floyd, Mimms & Yelding, 2003). Komponen ataupun zat beracun di asap rokok menyebabkan berbagai penyakit, antara lain: kanker paru, stroke, penyakit jantung, gangguan pembuluh darah, penurunan kesuburan, gangguan imunitas bayi pada wanita hamil dan peningkatan kematian prenatal (Soewarta, 2008). Dampak negatif lainnya adalah tubuh kekurangan nutrisi, penurunan kemampuan penciuman, penuaan dini pada kulit, osteoporosis, nyeri tulang punggung, cidera otot dan proses pemulihan kesehatan yang lebih lama dibandingkan dengan individu yang tidak merokok (Hahn & Payne, 2003). Dampak negatif asap rokok tidak hanya dialami perokok aktif tetapi juga orang-orang di sekitar perokok yang diistilahkan dengan perokok pasif atau secondhand-smoke (Ogden, 2000). Perokok seringkali tidak mampu menahan keinginan merokok dan merokok di tempat umum sehingga individu di sekitar perokok (perokok pasif) merasa tidak nyaman dan terganggu. Pernyataan pemerintahan Australia dalam artikel yang berjudul ”The Dangers of Passive Smoking”, dijabarkan bahwa kandungan racun yang masuk ke dalam tubuh perokok aktif dan pasif adalah sama. Namun, partikel asap rokok yang melayang dari pembakaran rokok menjadi lebih halus dan terkonsentrasi di udara karena tanpa filter (penyaringan) sehingga udara yang terkontaminasi akan dihirup lebih dalam dan menetap lebih lama di tubuh perokok pasif (Koran Jakarta, 2012).
2 Universitas Sumatera Utara
Merokok tidak hanya berdampak negatif terhadap kesehatan tetapi juga lingkungan karena menyebabkan pencemaran udara, tanah dan air. Meskipun perokok mengetahui dampak negatif asap rokok, namun merokok telah menjadi fenomena gaya hidup dan cukup dapat diterima secara sosial. Hal ini dipengaruhi oleh sulitnya untuk berhenti merokok akibat efek psychoactive nikotin yang mempengaruhi kognisi, perasaan dan perilaku (Sarafino, 2006). Laporan penelitian di Amerika juga menyatakan bahwa berhenti merokok sangat sulit dilakukan dan memandang ketergantungan nikotin sebagai suatu penyakit kronis. Selain itu merokok tidak hanya sekedar kebiasaan buruk karena mengakibatkan ketergantungan yang kompleks pada biologis, psikologis, perilaku dan sosial (Woerpel, Wright & Wetter, 2007). Di Indonesia, beberapa usaha terus dilakukan pemerintah dan pihak swasta untuk melindungi masyarakat non-perokok dari paparan asap rokok, misalnya membuat pemisahan antara kawasan merokok dan bebas rokok. Selain itu, pemerintah juga turut berpartisipasi mengurangi dampak rokok dengan menaikkan cukai dan pajak rokok sejak Januari 2014. Kebijakan ini diberlakukan karena meningkatnya prevalensi merokok penduduk Indonesia berdasarkan data Kementerian Kesehatan sehingga kondisi kesehatan penduduk usia kerja terancam asap rokok (Kompas, 2012). Namun, usaha-usaha untuk melindungi masyarakat non-perokok dari paparan asap rokok tampaknya kurang berdampak karena tidak adanya sanksi dan ketegasan pemerintah. Perokok tentunya pernah berpikir berhenti atau mengurangi konsumsi rokoknya. Salah satu latar belakang munculnya pemikiran tersebut berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap salah seorang perokok adalah khawatir saat
3 Universitas Sumatera Utara
melihat teman atau orang terdekat yang mengalami gangguan kesehatan sehingga harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit akibat merokok. Ia beranggapan bahwa hal yang sama juga dapat dialaminya dikemudian hari jika tidak segera mengontrol perilaku merokoknya. Fawzani & Tritarnawati (2005) mengatakan bahwa mayoritas perokok mengurangi konsumsi rokok karena telah mengalami gangguan kesehatan akibat merokok. Hasil survei yang dilakukan LM3 (Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok) di Jawa, diperoleh data bahwa dari total 375 responden yang merupakan perokok dinyatakan 66,2% pernah mencoba berhenti merokok namun mengalami kegagalan. Faktor kegagalan, antara lain: 42,9% karena tidak tahu caranya; 25,7% karena merasa sulit berkonsentrasi jika tidak merokok dan 2,9% karena terikat oleh sponsor rokok. Sementara itu, ada yang berhasil berhenti merokok karena adanya kesadaran sendiri (76%); telah mengalami penyakit (16%) dan tuntutan profesi (8%) (Fawzani & Triratnawati, 2005). Kesulitan mengontrol keinginan merokok juga dapat dilihat dari hasil wawancara berikut: Pernah sih nggak merokok selama satu minggu, waktu itu terpaksa karena memang lagi tinggal di tempat sodara dan cewek semua yang tinggal disana. Lingkungannya memang bukan perokok. Tapi setelah pindah dari sana kembali merokok karena lingkungan yang baru mayoritas perokok semua. Susah menahan keinginan merokok kalo udah ngeliat orang di dekat kita merokok. Kebayang aja nikmatnya merokok (Komunikasi Personal, Dd 22 tahun).
Hmmm, dulu pernah nggak merokok selama sebulan karena memang ada niat nggak merokok… trus biar pengeluaran juga berkurang. Tapi gagal dan akhirnya merokok karena efeknya itu kayak orang yang bingung dan nggak tau mau ngapain, rasanya pengen kali merokok waktu itu. Udah nggak tertahankan lagi, pas lihat puntungan rokok ya diambil aja.. dihisap dan akhirnya merokok lagi sampai sekarang (Komunikasi Personal, Jr 22 tahun).
4 Universitas Sumatera Utara
Penghentian atau pengurangan suplai nikotin berdampak terhadap fisiologis dan psikologis (Barber, 2001). Efek fisiologis antara lain: sakit kepala, nyeri otot, keram, mual, dan gangguan penglihatan yang biasanya terjadi selama seminggu setelah penghentian atau pengurangan suplai nikotin; sedangkan efek psikologis antara lain: cemas, mudah tersinggung, mudah marah dan kurang bersemangat atau mudah ngantuk. Gejala psikologis merupakan hal yang paling sulit untuk diatasi, khususnya selama 3 hingga 4 bulan penghentian ataupun pengurangan suplai nikotin (Floyd, Mimms & Yelding, 2003). Pendapat tersebut diakui oleh SY dan SR dalam komunikasi personal, sebagai berikut:
Susah untuk berhenti merokok karena sudah candu. Merasa pusing, gak bisa tidur dan dunia ini kurang tenang kalau gak merokok (Komunikasi Personal, SY 20 tahun).
Biasanya kalo nggak merokok aja selama 1 atau 2 jam gitu, udah gelisah aja itu bawaannya. Nggak tenang dan kadang emosi, pengen marah aja (Komunikasi Personal, SR 21 tahun).
Proses penghentian nikotin pada perokok yang ketergantungan nikotin mengakibatkan munculnya simptom withdrawal setelah beberapa jam sejak pengurangan konsumsi rokok dan intensitasnya meningkat pada hari pertama hingga hari ke-4. Simptom kembali muncul pada minggu ke-3 hingga ke-4 disertai rasa lapar dan terjadi peningkatan berat badan mulai bulan ke-6 dan seterusnya (APA, 2004). Namun, ketidaknyamanan tersebut akan berakhir dalam beberapa hari, minggu atau beberapa bulan sehingga tubuh kembali berfungsi efektif (Hahn & Payne, 2003). Efek psikologis berbeda antara satu perokok dengan perokok lainnya sehingga berpengaruh terhadap jenis intervensi untuk mengatasinya (Barber, 2001). Salah satu kesimpulan yang dikemukakan dalam
5 Universitas Sumatera Utara
penelitian yang dilakukan oleh Woerpel, Wright & Wetter (2007) adalah pentingnya memberikan edukasi mengenai simptom withdrawal, high risk situation serta strategi untuk mengatasi pemicu keinginan merokok dan strategi koping terhadap simptom withdrawal. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa mengurangi konsumsi rokok atau berhenti merokok bukan hal yang mudah karena terbentuknya perilaku merokok dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pada penelitian ini, terbentuknya perilaku merokok ditinjau menggunakan teori social learning yang dikemukakan Bandura. Bandura (1997) mengatakan bahwa perilaku terbentuk karena ada hubungan timbal balik antara person dan environment. Konsep ini dikenal dengan istilah reciprocal determinism. Terbentuknya perilaku merokok jika ditinjau dari konsep reciprocal determinism adalah hasil hubungan timbal balik antara environment dan person. Bagan 1 Perilaku Merokok Berdasarkan Konsep Reciprocal Determinism Social influence
Achievement Outcome
(Environmental Variabel) - Model - Instruction - Feedback
(Behavior) - Motivation - Learning
Self Influence (Personal Variables) - Self Efficacy - Self Reinforcement - Outcome Expectations - Attributions
Berdasarkan bagan 1 di atas, dapat dilihat bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku merokok adalah lingkungan sosial. Ogden (2000) 6 Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa lingkungan sosial yang turut mempengaruhi perilaku merokok antara lain: memiliki orang tua perokok, adanya tekanan teman sebaya, menjadi pemimpin dalam kegiatan sosial dan tidak adanya kebijakan sekolah terhadap larangan merokok (Ogden, 2000). Selain itu, iklan rokok juga meningkatkan keinginan untuk merokok (Sarafino, 2006). Pernyataan yang dikemukakan perokok dalam komunikasi personal mengenai pengaruh lingkungan sosial dalam perilaku merokok adalah sebagai berikut: Merokok pertama kali waktu SMP kelas III, temen-temen di sekolah banyak yang merokok. Pas ngelihat teman merokok, kayaknya enak, ya dicoba dan ternyata nggak enak. Tapi karena teman di sekolah kebanyakan merokok jadi ikutan aja, dan keterusan sampe sekarang, ya karena lingkungan mayoritas perokok (Komunikasi Personal, EK 20 tahun).
Pertama kali merokok waktu SMA. Penasaran melihat kawan yang merokok, ya jadinya nyoba dan ikut-ikutan kawan aja. Padahal pening dan batuk-batuk waktu pertama merokok. Pokoknya rasanya nggak enaklah, tapi lama-lama ya terbiasa (Komunikasi Personal, JF 21 tahun).
Lingkungan sosial tidak hanya mempengaruhi pembentukan tetapi juga mempertahankan perilaku merokok karena merokok dipicu oleh situasi atau kondisi yang merupakan high risk situation yang bersumber dari lingkungan (eksternal) maupun dari diri individu (internal) (Woerpel, Wright & Wetter, 2007). High risk situation yang merupakan stimulus internal yaitu: bingung, sedih, marah, cemas, saat memikirkan masalah dan adanya dorongan merokok. Sedangkan high risk situation yang merupakan stimulus eksternal yaitu: sedang minum bersama teman-teman, sedang merayakan sesuatu, mengkonsumsi minuman beralkohol, bersama teman perokok, selesai makan dan saat minum kopi
7 Universitas Sumatera Utara
(Etter & Bergman, 2000). High risk situation tersebut memunculkan dorongan yang besar untuk merokok sehingga perlu dikenali dan diantisipasi. High risk situation yang digunakan peneliti adalah berdasarkan teori yang dikemukakan Fischer & Corcoran (1987), yaitu: saat merasa kecewa, mengalami kegagalan, perselisihan dengan orang terdekat, saat sedang santai, selesai makan, melihat teman-teman merokok, sedang bersama teman yang merupakan perokok berat, tiba di rumah setelah seharian mengalami hal yang tidak menyenangkan, duduk sendiri di rumah, menonton televisi, belajar, membaca novel atau majalah, menghadiri suatu acara olah raga/ hiburan, sedang minum kopi atau menikmati minuman nonalkohol lainnya, ngobrol dengan teman-teman, dan saat sedang bermain kartu. Responden dalam penelitian ini juga mengatakan bahwa merokok seringkali dipicu oleh situasi yang memunculkan keinginan yang besar untuk merokok, hal ini dapat dilihat dalam wawancara interpersonal sebagai berikut: Kondisi paling sulit untuk tidak merokok itu ya pas waktu ada masalah. Rasanya beratlah kalo nggak merokok, pikiran bisa kacau, bingung. (Komunikasi Personal, Dd 21 tahun). Merokok itu paling enak pas lagi santai, apalagi setelah selesai makan dan saat minum kopi. Nikmatlah rasanya. (Komunikasi Personal, NG 21 tahun). Kalau udah kumpul sama kawan-kawan yang perokok ya pasti merokok. Kadang kita nggak punya rokok tapi ditawarkan jugak sama kawan, kan nggak mungkinlah kita tolak apalagi dia tau kalau kita juga perokok. (Komunikasi Personal, SR 22 tahun).
Etter & Bergman (2000) mengatakan bahwa stimulus internal dan eksternal merupakan situasi yang menyebabkan perokok kesulitan untuk berhenti merokok. Sehingga perokok disarankan mempelajari strategi koping terhadap high risk situation untuk memudahkan usaha mengurangi atau berhenti merokok.
8 Universitas Sumatera Utara
Terbentuk dan menetapnya perilaku merokok tidak hanya dipengaruhi lingkungan tetapi juga dipengaruhi self seperti yang tertera pada bagan 1. Self merupakan serangkaian proses dan struktur kognitif yang berhubungan dengan pemikiran dan persepsi. Self terdiri dari 2 aspek penting yaitu self efficacy dan self reinforcement (Schultz & Schultz, 1994). Self efficacy adalah persepsi individu terhadap kemampuan atau kompetensinya melakukan tugas atau kegiatan serta mengatasi hambatan, sedangkan self reinforcement adalah pemberian hadiah atau hukuman pada diri sendiri atas keberhasilan atau kegagalan mencapai harapan. Self efficacy diistilahkan dengan perilaku perantara karena semua perilaku dipengaruhi oleh self efficacy dan dapat digunakan sebagai prediktor keberhasilan dalam
intervensi
perilaku
merokok
(Bandura,
1997).
Sedangkan
self
reinforcement dapat berwujud sesuatu yang nyata, misalnya makanan atau benda berharga dan dapat juga berbentuk perasaan misalnya bangga dan kepuasan yang diperoleh saat berhasil mencapai harapan. Dengan demikian, self efficacy dan self reinforcement merupakan faktor yang sangat penting untuk mengubah perilaku merokok (Schultz & Schultz, 1994). Semakin tinggi self efficacy maka individu semakin yakin terhadap kemampuannya dalam melakukan sesuatu hal sehingga ia mencurahkan usahanya untuk menyelesaikan tugas yang sulit, gigih, dan secara keseluruhan performanya lebih baik (Bandura, 1997). Demikian juga halnya dengan self efficacy berkaitan dengan perilaku merokok (smoking self efficacy), yaitu semakin tinggi smoking self efficacy maka semakin yakin seseorang akan kemampuannya untuk mengontrol keinginan merokok sehingga ia mencurahkan usahanya dan gigih dalam mencapai tujuan yaitu berhasil mengaplikasikan tindakan mengontrol
9 Universitas Sumatera Utara
keinginan merokok. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wismanto & Sarwo (2010) mengenai Konsistensi Niat dan Perilaku Berhenti Merokok pada Karyawan Sekretariat Daerah Kabupaten/ Kotamadya di Jawa Tengah, diperoleh kesimpulan bahwa keyakinan terhadap kemampuan mengontrol keinginan merokok (smoking self efficacy) merupakan sumber yang berpengaruh besar terhadap niat berhenti merokok. Ada 4 sumber pembentuk dan peningkatan self efficacy, antara lain: mastery experiences, vicarious experiences, social/verbal persuasion dan physiological and affective state (Bandura, 1997). Feist & Brannon (2007) mengatakan bahwa sumber terbesar yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan smoking self efficacy adalah mastery experience (pengalaman keberhasilan). Pengalaman keberhasilan dapat membangun keyakinan terhadap kemampuan diri (peningkatan self efficacy) sedangkan pengalaman kegagalan dapat menurunkan keyakinan terhadap kemampuan diri. Demikian halnya dengan pengalaman keberhasilan perokok untuk mengontrol keinginan merokoknya yang berdampak terhadap peningkatan smoking self efficacy sedangkan pengalaman kegagalan mengontrol keinginan merokok berdampak terhadap penurunan smoking self efficacy. Pengalaman pernah berhasil tidak merokok walau hanya dalam waktu yang singkat menunjukkan bahwa individu tersebut masih bisa berusaha untuk meningkatkan
keberhasilannya
(Feist
&
Brannon,
2007).
Pengalaman
keberhasilan yang mudah dicapai menyebabkan individu mengharapkan hasil yang cepat dan mudah kecewa dengan kegagalan (Bandura, 1997). Setelah individu yakin bahwa mereka memiliki apa yang diperlukan untuk mencapai
10 Universitas Sumatera Utara
keberhasilan, maka ia dapat bertahan menghadapi kesulitan dan cepat pulih dari kemunduran. Bentuk mastery experiences yang disarankan oleh Margolis & McCabe (2006) dalam artikelnya yang berjudul Improving Self Efficacy and Motivation adalah memberikan tugas dengan tingkat kesulitan pada level sedang agar
individu
memiliki
pengalaman
keberhasilan
dan
dapat
menilai
kesuksesannya tersebut sebagai hasil usahanya sendiri sehingga self efficacy meningkat. Pada penelitian ini, peneliti memanfaatkan focus group discussion (FGD) sebagai tehnik untuk memfasilitasi perubahan pemikiran dan persepsi responden terhadap kemampuan untuk mengontrol keinginan merokok yang merupakan bagian dari self efficacy. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa self efficacy merupakan aspek penting dalam perubahan perilaku. Lennon (2005) mengatakan bahwa kegiatan focus group discussion dapat dimanfaatkan untuk mengubah persepsi dan menstimulasi munculnya ide-ide baru atau insight karena adanya interaksi dalam kelompok. Selain itu, melalui proses FGD dapat dilihat dinamika yang terjadi pada kelompok, antara lain: bagaimana suatu ide dihasilkan, bagaimana munculnya kesepakatan kelompok atau konflik serta pengaruh dari partisipan yang dominan atau pasif (Monique Hennink, 2007). Dinamika yang terjadi pada kelompok tentunya dapat dimanfaatkan sebagai proses pembelajaran bagi masing-masing responden pada penelitian ini. Prawitasari (2011) juga mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan secara berkelompok memberikan manfaat positif. Manfaat positif tersebut, antara lain: memfasilitasi pembentukan harapan agar responden tetap terlibat dalam kelompok, responden merasa tidak sendirian dengan permasalahannya, adanya
11 Universitas Sumatera Utara
pembelajaran (berbagi informasi), responden merasa berperan saat memberikan masukan kepada kelompok, belajar sosialisasi, terjadi peniruan tingkah laku (modeling) dan terbentuknya kesadaran diri atas feedback yang diberikan oleh anggota kelompok. Intervensi yang dilakukan secara berkelompok diharapkan dapat meningkatkan smoking self efficacy (keyakinan terhadap kemampuan untuk mengontrol keinginan merokok). Perubahan smoking self efficacy diukur menggunakan smoking self efficacy questionnaire (SSEQ) yang dikemukakan oleh Fischer & Corcoran (1987). SSEQ memiliki hubungan yang positif dengan persiapan berhenti merokok dan usaha untuk berhenti merokok (Kenney & Holahan, 2008). Peningkatan smoking self efficacy berperan dalam meningkatkan kemampuan perokok dalam mengontrol perilaku merokoknya pada high risk situation sebagai pemicu keinginan merokok. Selain itu, peningkatan smoking self efficacy akan meningkatkan keberhasilan dalam mengurangi perilaku merokok. Karakteristik responden pada penelitian ini adalah pria dewasa awal kategori perokok sedang. Feist & Brannon (2007) mengatakan bahwa pola merokok yang konsisten mulai terbentuk pada usia dewasa awal sehingga lebih mudah membentuk keyakinan terhadap kesehatannya. Selain itu juga dikatakan bahwa pria memiliki kesulitan yang lebih sedikit untuk berhenti merokok dibanding wanita karena salah satu alasan wanita untuk merokok adalah menjaga keseimbangan berat badan. Penetapan perokok kategori sedang sebagai responden adalah karena perokok yang mengkonsumsi rokok dalam jumlah kecil, memiliki kecenderungan lebih besar untuk mengurangi atau berhenti merokok (Kwon Myung & Gwan Seo, 2011).
12 Universitas Sumatera Utara
1. 2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti bermaksud mengetahui
“apakah focus group discussion efektif untuk meningkatkan smoking self efficacy pada kelompok pria dewasa awal kategori perokok sedang”.
1. 3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah focus group discussion
efektif terhadap peningkatan smoking self efficacy pada kelompok pria dewasa awal kategori perokok sedang.
1. 4
Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan atau manfaat
kepada disiplin ilmu psikologi, khususnya bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan topik substance yang berkaitan dengan nikotin.
b. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan atau manfaat kepada: 1). Individu dan kelompok yang memiliki kesulitan mengontrol keinginan merokok karena ketidakyakinan terhadap kemampuan mengontrol keinginan merokok (rendahnya smoking self efficacy), maka hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu meningkatkan smoking self efficacy dengan memanfaatkan focus group discussion.
13 Universitas Sumatera Utara
2). Pada masyarakat luas, penelitian ini diharapkan meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai pentingnya self efficacy sebagai pendukung keberhasilan untuk mengontrol keinginan merokok.
I. 5
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab 1
Pendahuluan Bab ini menguraikan secara umum mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian.
Bab 2
Landasan Teori Bab ini menguraikan mengenai berbagai teori yang dapat memberikan penjelasan dan mendukung data penelitian.
Bab 3
Metode Penelitian Bab
ini
menguraikan
rangkaian
penelitian
yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan dan analisa data. Bab 4
Hasil dan Pembahasan Bab ini menguraikan mengenai hasil yang ditemukan dalam penelitian serta pembahasan hasil penelitian dan perbandingan hasil penelitian dengan teori.
Bab 5
Kesimpulan, dan Saran Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dari seluruh hasil yang telah diperoleh, dan saran untuk penyempurnaan penelitian selanjutnya.
14 Universitas Sumatera Utara