BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta atas perlindungan atas kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.1 Pada prinsipnya seorang anak itu harus mendapatkan perlindungan sehingga kita sebagai warga masyarakat harus ikut serta menjaga agar jangan sampai anak menjadi korban tindak pidana atau bahkan sebagai pelaku tindak pidana. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan 1
Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak.
2
pembinaan dalam sikap dan perilaku, penyesuaian diri serta pengawasan dari orang tua/wali atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat
dan
lingkungannya
yang
kurang
sehat
dan
merugikan
perkembangan pribadinya.2 Banyak kemajuan yang signifikan yang berkaitan dengan perlindungan hak anak yang sudah dicapai oleh Indonesia baik di kancah Internasional maupun Nasional dalam usaha untuk menjaga dan melindungi hak-hak anak baik itu anak sebagai manusia, anak sebagai korban tindak pidana dan anak sebagai pelaku tindak pidana. Setidaknya sejak adanya Deklarasi Anak tahun 1979 yang kemudian oleh PBB dituangkan dalam Convention on The Rights of The Child atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Hak Anak/ KHA tahun 1989 dan hal itu telah pula diratifikasi oleh Indonesia pada Tahun 1990 dengan Keppres Nomor 36 Tahun 1990. Pada Tahun 2002, Indonesia telah mengaktualisasikan ke dalam peraturan perundang-undangan yaitu UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Suatu hal yang sangat menarik dari pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini adalah adanya ketentuan pidana minimum khusus baik itu untuk pidana penjara ataupun pidana denda di dalam rumusan deliknya terhadap pelaku tindak pidana. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan pidana pada umumnya yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lebih mengenal ketentuan pidana minimum umum. 2
Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
3
Beberapa ketentuan yang akan dibahas oleh penulis mengenai tindak pidana kesusilaan yang dilakukan oleh anak, sebagaimana terdapat dalam Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan : (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Dalam Ketentuan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,(enam puluh juta rupiah),”
Pencantuman pidana minimum khusus dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diuraikan di atas, ternyata tidak disertai dengan adanya formulasi tentang aturan atau pedoman pemidanaannya yang merupakan suatu aturan khusus di luar Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang mencantumkan pidana minimum
4
khusus dalam rumusan deliknya, sehingga pada akhirnya berpotensi menimbulkan masalah yuridis di tingkat penerapan ketentuan undang-undang tersebut dalam proses persidangan. Permasalahan yang sering terjadi dan muncul dalam proses persidangan adalah ketika hakim yang mengadili perkara pidana dihadapkan pada perkara tindak pidana kesusilaan terhadap anak sebagaimana Pasal 81 atau Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan ternyata pelaku tindak pidananya adalah seorang anak. Terkait dengan penanganan kasus anak sebagai pelaku tindak pidana, dalam hal ini Indonesia telah menetapkan adanya Undang-undang Peradilan Anak yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan selanjutnya terhadap undang-undang tersebut muncul undang-undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, namun untuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini baru mulai akan berlaku pada tanggal 31 Juli 2014, sehingga sampai saat usulan penelitian ini ditulis, Indonesia masih menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Di dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tersebut, bahwa tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak di Indonesia adalah untuk pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, yaitu agar anak tetap terjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan
5
seimbang.3 Adapun terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana tersebut, di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diatur secara terperinci mengenai perlakuan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana. Berdasarkan pendapat Lilik Mulyadi, di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut juga dikenal mengenai asas-asas Pengadilan Anak,4 yaitu: 1. Adanya pembatasan umur anak 2. Pengadilan Anak merupakan kompetensi Absolut dari Peradilan Umum 3. Pengadilan Anak memeriksa anak dalam suasana kekeluargaan 4. Pengadilan Anak mengharuskan adanya “Splitsing” perkara 5. Bersidang dengan Hakim Tunggal dan Hakim anak ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung RI 6. Penjatuhan pidana yang lebih ringan daripada orang dewasa 7. Diperlukan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuh serta diakuinya pembimbing kemasyarakatan. 8. Adanya kehadiran Penasihat Hukum 9. Penahanan anak lebih singkat dari penahanan orang dewasa Berdasarkan asas-asas pengadilan anak yang telah dikemukakan di atas, dalam hal ini Penulis akan lebih menyoroti berkaitan dengan hal penjatuhan pidana dalam perkara anak yang lebih ringan daripada orang dewasa. Di dalam ketentuan BAB III PIDANA DAN TINDAKAN khususnya dalam 3
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahannya, Mandar Maju, Bandung, 2005. Hlm 15-23 4
6
ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang berbunyi : “Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa” Selain Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang berbunyi, pidana terhadap anak juga terdapat dalam ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, yaitu : “Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling banyak ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.” Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak apabila disinergikan dengan Asas-asas Pengadilan Anak, maka akan timbul suatu permasalahan, manakala di rumusan deliknya, diancam pasal mengenai tindak pidana kesusilaan yaitu Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yang sudah secara eksplisit ditentukan pidana minimum khususnya, apakah hal tersebut juga sama berlaku terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, dan sampai saat ini hal tersebut terus saja menjadi perdebatan meskipun ada beberapa putusan Hakim anak dengan argumentasi hukum tertentu, tetap saja batas limit pidana minimum khusus tersebut “disimpangi” oleh hakim. Dalam hal ini pada tataran pelaksanaanya, terdapat putusan hakim anak yang menjatuhkan pidana penjara di bawah batas limit ancaman pidana minimum khusus, dengan legal reasoning-nya masing-
7
masing. Sehingga masalah hukum yang muncul kemudian adalah adanya friksi antara kepastian hukum (rechtszekerheid) di satu pihak dengan keadilan hukum di lain pihak. Terkait dengan penanganan kasus anak sebagai pelaku tindak pidana, sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam hal ini Indonesia telah menetapkan adanya Undang-Undang Peradilan Anak yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan selanjutnya terhadap undangundang tersebut diganti dengan undang-undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, namun untuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini baru berlaku pada tanggal 31 Juli 2014. Di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, khususnya di dalam Pasal 79 ayat (3) menyebutkan bahwa “minimum khusus pidana penjara
tidak
berlaku
terhadap
anak”,
jadi
sebenarnya
mengenai
permasalahan penerapan pidana minimum khusus ini sudah diatur di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, namun dalam hal ini Penulis tertarik menyusun penelitian ini karena sampai saat ini, Indonesia masih menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sehingga sebelum diberlakukan ketentuan sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini, apakah penegak hukum di Indonesia khususnya Hakim dalam menjatuhkan putusan kepada anak sebagai pelaku tindak pidana kesusilaan dalam Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-undang
8
Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak sudah mempunyai pola pikir sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ataukah masih mengacu pada ketentuan pidana minimum khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Pemberian perlindungan terhadap anak tidak hanya diberikan kepada anak yang menjadi korban tindak pidana, namun juga kepada anak yang menjadi pelaku tindak pidana, sehingga dalam proses hukum apalagi dalam memberikan putusan pidana seharusnya juga mempertimbangkan masa depan si anak, karena bagi suatu negara, anak merupakan harapan masa depan negara. Apabila anaknya baik maka baik pula masa depan bangsa itu. Buruk kualitas anak-anaknya buruk pula masa depan bangsa ini. Pada sisi yang lain, anak merupakan kualitas sumber daya manusia sehagai subyek pembangunan bangsa sekarang dan yang akan datang. Tindak pidana yang dilakukan anak merupakan masalah serius yang dihadapi setiap negara. Di Indonesia masalah tersebut banyak diangkat dalam bentuk seminar dan diskusi yang diadakan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga terkait lainnya. Kecenderungan meningkatnya pelanggaran yang dilakukan anak atau pelaku usia muda yang mengarah pada tindak kriminal, mendorong upaya melakukan penanggulangan dan penanganannya, khusus dalam bidang hukum pidana (anak) beserta acaranya. Hal ini erat hubungannya dengan perlakuan khusus terhadap pelaku tindak pidana usia muda. Penyelesaian tindak pidana perlu ada perbedaan antara perilaku orang
9
dewasa dengan pelaku anak, dilihat dari kedudukannya seorang anak secara hukum belum dibebani kewajiban dibandingkan orang dewasa, selama seseorang masih disebut anak, selama itu pula dirinya tidak dituntut pertanggungjawaban, bila timbul masalah terhadap anak diusahakan bagaimana haknya dilindungi hukum. Anak yang diduga keras telah melakukan tindak pidana diproses melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Peradilan Anak yang ditangani oleh penyidik khusus menangani perkara anak, jaksa yang juga khusus menangani perkara anak, dan hakim khusus menangani perkara anak, dan peran aktif dari penegak hukum ini sangat diperlukan sekali dalam menyelesaikan perkara anak nakal agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak. Terhadap anak yang melakukan tindak pidana ini juga dikenai sanksi pidana. Pemidanaan terhadap anak sering menimbulkan perdebatan, karena masalah ini mempunyai konsekuensi yang sangat luas baik menyangkut diri perilaku maupun masyarakat. Pemidanaan merupakan unsur dari hukum pidana, dimana pemidanaan itu mempunyai akibat negatif bagi yang dikenai pidana. Terhadap anak nakal, hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang terdapat dalam Pasal 23 dan 24. Anak yang melakukan tindak pidana ataupun perilaku menyimpang, ia tetap harus dilindungi, karena anak sebagai generasi muda merupakan sumber daya manusia yang memiliki potensi untuk meneruskan cita-cita dan perjuangan bangsa. Oleh karena itu,
10
anak nakal, orang tua dan masyarakat sekitarnya seharusnya lebih bertanggungjawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku tersebut, karena anak berbeda dengan orang dewasa, di mana anak merupakan harapan bangsa yang nantinya akan menentukan kesejahteraan bangsa diwaktu yang akan datang. Untuk melindungi anak tersebut dari perlakuan hukum yang sewenang-wenang, maka dibentuklah Undang-Undang tentang Perlindungan Anak yang bertujuan untuk melindungi hak-hak anak meskipun anak tersebut melakukan tindak pidana ataupun perilaku penyimpang lainnya. Menurut Pasal 22 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur bahwa, terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan. Adapun pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah : (1) Pidana pokok dan pidana tambahan. (2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah : a. Pidana penjara b. Pidana kurungan c. Pidana denda d. Pidana pengawasan (3) Selain Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. (4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ada pembedaan ancaman pidana bagi anak yang ditentukan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dimana dalam penjatuhan pidananya ditentukan paling lama ½ (setengah) dari ancaman maksimum terhadap orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup
11
tidak diberlakukan terhadap anak-anak. Sanksi yang dijatuhkan terhadap anak dalam Undang-undang juga ditentukan berdasarkan umur, yaitu bagi anak yang berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan anak yang telah berusia 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun baru dapat dijatuhi pidana. Pada dasarnya suatu putusan hakim adalah merupakan hasil dari proses persidangan setiap perkara yang ditangani dan didasari pada surat dakwaan dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan dihubungkan dengan penerapan dasar hukum yang jelas, termasuk di dalamnya berat ringannya penerapan pidana penjara. Penerapan berat ringannya pidana yang dijatuhkan tentu bagi seorang hakim disesuaikan dengan apa yang menjadi motivasi dan akibat perbuatan si pelaku, khususnya dalam penerapan jenis pidana penjara, namun dalam hal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini ternyata telah mengatur secara normatif tentang pasalpasal tertentu tentang pemidanaan dengan ancaman minimal khusus. Dengan latar belakang sebagaimana yang diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat penelitian dengan judul : “Penafsiran Hakim Mengenai Ketentuan Penjatuhan Pidana Minimum Khusus Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Tindak Pidana Kesusilaan.” B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan
uraian
latar
belakang
tersebut,
maka
perumusan
permasalahan yang penulis rumuskan dalam penulisan ini adalah sebagai
12
berikut : 1. Bagaimanakah penerapan ketentuan pidana minimum khusus dalam perkara tindak pidana kesusilaan yang dilakukan oleh anak? 2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam mengambil putusan terkait dengan perkara tindak pidana kesusilaan yang dilakukan oleh anak yang memuat ancaman pidana minimum khusus? 3. Apa saja metode penafsiran yang dipergunakan Hakim dalam rangka menemukan hukum terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana kesusilaan yang memuat ketentuan pidana minimum khusus?
C. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran dari penulisan Skripsi, Tesis,Disertasi maupun Karya Ilmiah lainnya yang ada pada perpustakaan Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, perpustakaan fakultas hukum Universitas Gadjah Mada serta perpustakaan lainnya dan mencari berbagai referensi, penulis memang menemukan terdapat beberapa penelitian hukum dengan tema ketentuan penjatuhan pidana minimum khusus dan Pengadilan Anak, namun penelitian hukum tersebut berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Penelitian hukum yang dimaksud diantaranya adalah : 1. Penerapan Sanksi Pidana Di Bawah Ancaman Minimum Khusus Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, Penulis Anggi Prayurisman, SH, Universitas Andalas Padang, Tahun 2011. Dalam penelitian tersebut, isinya mengkaji penerapan sanksi pidana di
13
bawah ancaman minimum khusus dalam perkara tindak pidana korupsi, mengkaji kedudukan putusan hakim yang menerapkan sanksi pidana di bawah ancaman minimum khusus dalam perkara tindak pidana korupsi, dan mencari tahu faktor-faktor apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim untuk menerapkan sanksi pidana di bawah ancaman minimum khusus dalam perkara tindak pidana korupsi. Adapun kesimpulannya adalah dalam hal penerapan masih belum ada kesatuan pemikiran karena masih ada dua pendapat di kalangan hakim, Kedudukan putusan hakim yang menerapkan sanksi pidana di bawah ancaman minimum khusus dalam perkara tindak pidana korupsi tidak dapat dibenarkan berdasarkan asas
legalitas,
Faktor-faktor
yang
menjadi
pertimbangan
hakim
menerapkan sanksi pidana di bawah ancaman minimum khusus dalam tindak pidana korupsi, dapat dibagi factor internal dan eksternal. 2. Pelaksanaan Penegakan Hukum Terhadap Delinkuen Anak Dalam Perkara Anak Nakal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Di Kota Yogyakarta Dan Pengembangan Konsep Keadilan Restoratif Dengan Cara Diversi Dalam Rancangan UndangUndang Pidana Anak Di Indonesia, Penulis Z.Arqom, Magister Litigasi UGM Yogyakarta, Tahun 2011”, Dalam penelitian ini, berisi mengenai bagaimana pengaruh dan pelaksanaan konsep restorative justice dalam perkara anak nakal dan apakah tercermin dalam setiap putusan di Pengadilan Negeri Yogyakarta dan hasilnya bahwa model keadilan restorative justice tidak tercermin
14
dalam setiap putusan anak nakal di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Berdasar penelitian tersebut, penelitian yang dilakukan penulis berbeda, karena penelitian yang dilakukan penulis secara spesifik membahas tentang Penafsiran Hakim Mengenai Ketentuan Penjatuhan Pidana Minimum Khusus Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Tindak Pidana Kesusilaan. Di dalam penelitian ini, penulis lebih menitikberatkan pada segi penafsiran hakim dalam penjatuhan pidana minimum khusus terhadap tindak pidana kesusilaan yang dilakukan oleh anak, yang dipergunakan oleh Penulis dalam hal ini adalah dengan cara mengkaji dari sudut pandang anak sebagai pelaku tindak pidana kesusilaan dalam Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mengenal adanya ancaman pidana minimum khusus, namun dikaji dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang mengatur mengenai ketentuan pidana
terhadap
anak
pelaku
tindak
pidana,
maka
akan
terjadi
kesimpangsiuran terhadap Peraturan Perundang-undangan sehingga terjadi suatu kekosongan hukum dan menjadi tugas Hakim lah untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. Jadi penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan serta dijamin keasliannya.
D. Tujuan Penelitian Tujuan di dalam penelitian ini adalah untuk mencari jawaban sebagaimana pertanyaan-pertanyaan yang disebutkan di dalam rumusan permasalahan , sehingga tujuan dari penelitian ini adalah :
15
1. Untuk mengetahui penerapan ketentuan pidana minimum khusus dalam perkara tindak pidana kesusilaan yang dilakukan oleh anak. 2. Untuk mengetahui apa yang dasar pertimbangan hakim dalam mengambil putusan terkait dengan perkara tindak pidana kesusilaan yang dilakukan oleh anak yang memuat ancaman pidana minimum khusus. 3. Untuk mengetahui penafsiran yang dipergunakan Hakim dalam rangka menemukan hukum terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana kesusilaan yang memuat ketentuan pidana minimum khusus E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran baik dari aspek akademis maupun dari aspek sisi praktis, yaitu sebagai berikut: 1. Secara akademis, Penelitian ini diharapkan dapat merupakan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum yang terkait dengan tentang sistem peradilan pidana anak dalam kerangka sistem peradilan pidana di Indonesia. 2. Secara praktis Penelitian ini diharapkan bermanfaat dan berkontribusi secara langsung bagi pembentuk Undang-Undang dan Penegak Hukum khususnya Hakim. Bagi pembentuk Undang-undang, diharapkan studi ini dipergunakan sebagai masukan pembaruan Undang-undang untuk memformulasi
secara
lebih
mendetail
ketentuan-ketentuan
pidana
minimum khusus dalam rumusan peraturan perundang-undangan yang
16
terkait dengan tindak pidana kesusilaan terhadap anak di bawah umur sebagaimana dalam ketentuan Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang pelaku tindak pidananya adalah anak. Manfaat
Penelitian
selanjutnya
adalah
bahwa
penelitian
ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi Penegak Hukum, yang dimaksud secara spesifik dalam hal ini adalah Hakim dan juga institusinya, menyangkut di dalamnya kelembagaan Mahkamah Agung dan diharapkan dapat menjadi salah satu sumber referensi bagi hakim yang mengadili perkara anak di pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding maupun pengadilan pada tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali.