BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang sah antara laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang sempurna dibanding makhluk lainnya. Kehidupan berumah tangga dibina dalam suasana yang damai, tentram, bahagia, penuh kasih sayang antara suami dan istri. Perkawinan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut undang-undang ini, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Dalam Undang-Undang Perkawinan ini juga mengatur mengenai asas dan prinsip perkawinan sebagaimana yang terdapat pada Penjelasan Umum UU Perkawinan ini. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Oleh karena itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. Dalam undangundang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatatan tiap perkawinan adalah sama
1
2
halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang dimuat dalam daftar pencatatan. Selain itu, undang-undang ini juga menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa raganya agar dapat melangsungkan perkawinan dan dapat diwujudkan tujuan perkawinan yang tidak berakhir pada perceraian. meskipun perceraian mungkin terjadi, namun undang-undang ini memiliki prinsip untuk mempersulit perceraian di mana harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan pengadilan. Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama untuk yang Bergama Islam dan Pengadilan Negeri untuk selain beragama Islam. Indonesia merupakan negara yang berketuhanan Yang Maha Esa yang diatur dalam konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konstitusi tersebut telah diatur mengenai hak setiap warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan sesuai dengan keyakinan masing-masing tanpa adanya suatu paksaan, karena negara Indonesia adalah negara yang berketuhanan, bukan negara yang atheis. Penyebutan mengenai agama yang berlaku di Indonesia tertulis dalam Pasal 1 Penjelasan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Adapun agama yang dimaksud adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Dari keenam agama yang disebutkan dalam PNPS tersebut, mayoritas agama yang dipeluk penduduk Indonesia adalah agama Islam. Hal tersebut tentu saja
3
menyebabkan kebutuhan akan pengaturan perkawinan secara Islam lebih terasa. Menurut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Pasal 2). Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (Pasal 2 KHI). Untuk mewujudkan tujuan perkawinan, sebuah rumah tangga tentu akan menghadapi atau menemui ujian atau rintangan. Adanya ujian dalam berumah tangga setelah perkawinan, sebenarnya merupakan hal yang wajar karena perkawinan merupakan penyatuan dua insan yang berbeda. Dalam proses penyatuan atau pemahaman dua insan manusia ini sering kali menimbulkan perbedaan-perbedaan seperti perbedaan pendapat, perbedaan prinsip, maupun yang lainnya yang apabila berlangsung lama bahkan tidak dapat terselesaikan akan dapat menimbulkan hal yang tidak diinginkan seperti putusnya perkawinan. Sebab-sebab putusnya suatu perkawinan telah dijelaskan dalam Pasal 113 KHI jo Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu: 1. Kematian, 2. Perceraian dan 3. atas putusan pengadilan
4
Ujian dalam sebuah rumah tangga bisa datang dari luar maupun dari dalam. Faktor dari luar misalnya adanya orang ketiga, sedangkan dari dalam misalnya perbedaan prinsip dan sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian Rahmat Ari Jaya dalam Menyelamatkan Keluarga Indonesia bahwa ada beberapa penyebab terjadinya perceraian di Indonesia, antara lain faktor ekonomi, kurangnya rasa tanggung jawab terhadap pasangan dalam pernikahan,
perselisihan
yang
terus-menerus
yang
menyebabakan
ketidakharmonisan dan kesadaran hukum di mana apabila pasangan suami istri sudah merasa rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan maka mereka langsung berfikir untuk membawa perceraiannya ke pengadilan. Terlebih lagi di era modern ini, kebanyakan orang menganggap bahwa perceraian merupakan jalan satu-satunya untuk menyelesaiakan masalah rumah tangga mereka yang sudah tidak harmonis. Hal ini terbukti banyaknya kasus perceraian di Indonesia. Angka perceraian pasangan di Indonesia terus meningkat drastis. Seperti yang diinformasikan Dirjen Badan Peradilan Agama (BPA) Mahkamah Agung RI, Wahyu Widiana, berdasarkan hasil rekapitulasi dari 33 Pengadilan Tinggi Agama (PTA) se Indonesia sejak tahun 2005 – 2011 angka perceraian di Indonesia naik drastis hingga 70 % pertahun. Jika pada tahun 2005 angka perceraian hanya 55. 509 kasus, maka pada tahun 2011 menjadi 320.000 perkara (Musdalifah, 2012). Di Indonesia sudah ada upaya-upaya yang membatasi perceraian pada pasangan suami isteri. Salah satunya adalah dengan alasan-alasan yang harus diputuskan oleh Pengadilan Agama bagi yang muslim, dan Pengadilan negeri
5
bagi yang beragama selain Islam (Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Oleh karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tentu pengadilan yang lebih banyak berperan untuk menyelesaikan perkara perceraian adalah Pengadilan Agama. Pengadilan Agama memiliki kompetensi absolut. Kompetensi Absolut adalah kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya (A. Basiq Djalil, 2010: 147). Misalnya Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Peradilan Agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkatan pertama, tidak boleh langsung berperkara ke Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung. Kompetensi absolut Peradilan Agama dijelaskan dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang menjelaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkaraperkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah. Sesuai dengan Pasal 1 UU Perkawinan, sebuah perkawinan itu memiliki tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti menjelaskan dan menegaskan bahwa sesungguhnya perkawinan dilakukan sekali seumur hidup
6
dan hanya maut atau kematian sajalah yang memisahkan mereka, bukan karena perceraian. Namun justru dengan perceraian akan menimbulkan masalah baru. Sebuah perceraian, akan memberi dua akibat. Akibat yang pertama adalah mengenai harta bersama yang diperoleh kedua pasangan suami istri selama mereka berumah tangga, sedangkan akibat yang kedua adalah akibat pada anak, yaitu siapa yang memegang hak asuh anak atau hadhanah setelah perceraian. Harta terdiri atas dua macam yaitu harta bawaan dan harta bersama. Harta bawaan adalah harta yang dimiliki oleh suami atau istri sebelum mereka menikah atau berumah tangga sedangkan harta bersama adalah harta yang diperoleh setelah suami istri menikah atau berumah tangga. Harta bersama biasa disebut sebagai harta gono-gini. Dalam perkara perceraian biasanya yang diperebutkan adalah harta bersama atau harta gono-gini ini. Harta sebagai salah satu akibat dari sebuah perceraian mungkin merupakan hal yang penting bagi masing-masing pihak (suami atau istri), namun hal itu tidak jauh lebih penting jika dibandingkan dengan anak sebagai akibat dari perceraian. Anak sering sakali menjadi korban dari sebuah perceraian. Anak harus menanggung beban psikis karena perceraian orang tuanya. Beban psikis ini yang apabila dibiarkan begitu saja akan mempengaruhi tumbuh kembang anak tersebut. Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Hadi Supeno, bahwa perceraian yang terjadi di Indonesia sering menjadikan anak
7
sebagai korban. Ia juga menjelaskan bahwa hampir tiap hari KPAI menerima kasus perebutan hak asuh anak (http://www.republika.co.id/). Hal tersebut membuktikan bahwa anak sering menjadi korban dalam perceraian. Perceraian berdampak negatif terhadap anak khususnya pada proses tumbuh kembangnya. Dengan perceraian kedua orang tuanya, anak tidak bisa lagi tinggal bersama-sama dengan bapak ibunya. Anak hanya bisa tinggal bersama ibunya saja atau ayahnya saja karena hak asuh anak hanya akan jatuh pada ayah atau ibunya. Tetapi walaupun demikian, orang tua masih tetap mempunyai kewajiban sebagai orang tuanya. Hal ini sesuai dengan Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa meskipun orang tua telah bercerai, mereka masih mempunyai kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya. Jika terdapat perselisihan mengenai penguasaan anak-anak maka Pengadilan dapat memutuskannya. Adapun kewajiban orang tua yang tetap harus dijalankan meskipun sudah bercerai yaitu diatur dalam Pasal 45 UU No. 1 tahun 1974 “(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaikbaiknya”. Dari pasal tersebut menjelaskan bahwa setelah orang tua bercerai, mereka masih mempunyai kewajiban untuk mengurusi dan mengasuh anakanak mereka. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa sebuah perceraian khususnya berdasarkan hukum Islam, akan memberi akibat pada anak, yaitu siapa yang memegang hak asuh anak atau hadhanah setelah perceraian.
8
Dalam kasus perceraian hak asuh anak sering kali menjadi persoalan yang diperebutkan oleh suami-isteri . Mengenai hak asuh anak ini sebenarnya telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengasuhan anak apabila putusnya perkawinan karena perceraian dalam Pasal 105 (a) KHI yaitu pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Namun dalam kenyataannya ada beberapa kasus perceraian yang hak asuh anak jatuh pada suami meskipun anak tersebut belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun. Perceraian banyak terjadi di Bantul tempat peneliti melakukan penelitian. Bantul merupakan salah satu kabupaten yang berada di daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang tidak luput dari kasus perceraian di pengadilan. Pada 2011 lalu, Bantul merupakan kabupaten yang memiliki kasus perceraian tertinggi di DIY. Berdasarkan catatan Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) Sekar Sari DIY, kasus perceraian diatas 1.000 terjadi di Bantul. Menurut Ketua Umum LK3 Sekar Sari DIY, H Muhammad Ikbal, ada beberapa penyebab faktor perceraian, diantaranya karena adanya pihak ketiga dan ekonomi keluarga (http://plazainformasi.jogjaprov.go.id/). Pada tahun 2012 lalu Pengadilan Agama Bantul telah mencatat ada 1189 kasus perceraian seperti pada Tabel 1 di bawah ini
9
Tabel 1. Jumlah Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Bantul Tahun 2012 Jenis Perkara Cerai Talak Cerai Gugat
No. Bulan 1. Januari 41 76 2. Februari 38 58 3. Maret 33 42 4. April 25 57 5. Mei 36 72 6. Juni 24 64 7. Juli 29 61 8. Agustus 14 38 9. September 49 106 10 Oktober 35 80 11. November 30 98 12. Desember 27 55 Jumlah 381 807 Sumber: Panitera Pengadilan Agama Bantul Tahun 2012 Data di atas membuktikan tingginya angka perceraian di Bantul. Selain data tersebut peneliti juga mendapat beberapa surat perceraian yang ditempel di papan pengumuman pada saat peneliti melakukan pra penelitian Jumat, 15 Februari 2013. Adapun hal dan nomor perkara yang dapat dilihat di Tabel 2 sebagai berikut:
10
Tabel 2. Perkara Perceraian Bulan Januari 2013 di Pengadilan Agama Bantul No.
Nomor Perkara
Hal Perkara Cerai Gugat
Tanggal
1.
008/Pdt.G/2013/PA.Btl
9 Januari 2013
2.
0043/Pdt.G/2013/PA.Btl Cerai Talak
14 Januari 2013
3.
0045/Pdt.G/2013/PA.Btl Cerai Gugat
14 Januari 2013
4.
0048/Pdt.G/2013/PA.Btl Cerai Gugat
14 Januari 2013
5.
0071/Pdt.G/2013/PA.Btl Cerai Talak
21 Januari 2013
6.
0072/Pdt.G/2013/PA.Btl Cerai gugat ghaib
21 Januari 2013
7.
0076/Pdt.G/2013/PA.Btl Cerai Gugat
21 Januari 2013
8.
0091/Pdt.G/2013/PA.Btl Cerai gugat ghaib
23 Januari 2013
9.
0096/Pdt.G/2013/PA.Btl Cerai Gugat
25 Jabuari 2013
10.
0100/Pdt.G/2013/PA.Btl Cerai Gugat
28 Januari 2013
11.
0111/Pdt.G/2013/PA.Btl Cerai talak ghaib
29 Januari 2013
Sumber: Data Informasi Pengadilan Agama Bantul Tahun 2013 Data-data di atas menunjukkan bahwa di Bantul
banyak pasangan
suami istri menyelesaikan masalah dalam rumah tangganya dengan perceraian yang membawa perkaranya dalam pengadilan. Selain itu, gugatan perceraian yang diajukan cenderung selalu dikabulkan oleh pengadilan meskipun yang ingin bercerai hanya salah satu pihak saja. Dalam salah satu asaz Undang-Undang Perkawinan telah dituliskan secara tegas bahwa mempersulit adanya perceraian di mana harus ada alasan-alasan yang cukup untuk bercerai. Dari beberapa pernyataan di atas timbul pertanyaan bahwa
11
apakah jika alasan-alasan perceraian telah terpenuhi perceraian dapat dikabulkan? Lalu bagaiamana peran hakim di sini selaku pejabat yang berwenang untuk menyelesaikan masalah. Fenomena perebutan hak asuh anak terjadi baik dalam hal hak asuh anak yang ditetapkan melalui putusan Pengadilan jatuh pada salah satu orang tua maupun dalam hal putusan Pengadilan menetapkan hak asuh anak dilakukan secara bersama-sama oleh kedua orang tua. Dengan alasan kepentingan anak, kedua orang tua saling menuduh satu sama lain telah melalaikan kewajibannya sebagai orangtua, seperti mempengaruhi pola pikir dan psikologis anak tentang perilaku buruk ayah atau ibunya agar anak berada dalam perlindungannya. Hal ini tentu akan membuat perkembangan psikologis anak menjadi terganggu, anak menjadi bingung dan bahkan bisa menjadi beban mentalnya. Kedua orang tua hendaknya menomorduakan ego mereka dan mengutamakan kehidupan anaknya agar layak dan penuh kasih sayang dari mereka meskipun kedua orangtuanya telah bercerai. Sebenarnya hak asuh anak (hadhonah) merupakan kewajiban dari kedua orang tuanya, artinya meskipun kedua orang tua telah bercerai tetapi kedua orang tua tersebut
masih
mempunyai
kewajiban
memelihara,
mengasuh,
dan
menyayangi si anak agar dapat tetap hidup layak tetapi terkadang mereka lupa akan kewajibannya tersebut. Perceraian yang berdampak pada hak asuh anak yang melalui proses pengadilan tentu tidak mudah. Hakim sebagai pejabat yang berwenang untuk memutuskan suatu perkara termasuk perkara perceraian tentu bersikap seadil-
12
adilnya. Dalam putusan pengadilan mengenai hak asuh anak yang diputuskan untuk diberikan kepada ayah atau ibunya tentu melalui pertimbangan yang matang dari hakim. Hal ini yang menyebabkan peneiliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara hak asuh anak karena perceraian khususnya di Pengadilan Agama Bantul. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi masalahmasalah sebagai berikut: 1.
Berdasarkan hasil penelitian Rahmat Ari Jaya dalam Menyelamatkan Keluarga Indonesia oleh Musdalifah bahwa penyebab perceraian di Indonesia adalah faktor ekonomi, pasangan suami istri yangtidak bertanggungjawab, perselisihan yang terus-menerus, dan kesadaran hukum.
2.
Perceraian di Indonesia semakin meningkat terbukti dengan rekapitulasi Dirjen Badan Peradilan Agama (BPA) Mahkamah Agung RI tahun 2005 – 2011 angka perceraian di Indonesia naik drastis hingga 70 % pertahun .
3.
Perceraian yang terjadi di kabupaten Bantul semakin meningkat, terbukti pada tahun 2011 mencapai 1.000 kasus dan tahun 2012 mencapai 1189 kasus.
4.
Perceraian dianggap sebagai jalan satu-satunya untuk menyelesaikan konflik rumah tangga.
13
5.
Kecenderungan bahwa Pengadilam Agama Bantul mengabulkan gugatan perceraian meskipun yang ingin bercerai hanya salah satu pihak saja.
6.
Masalah yang muncul dari perceraian melalui Pengadilan Agama Bantul antara lain adalah perebutan hak asuh anak.
7.
Perebutan hak asuh anak dapat mempengaruhi perkembangan anak tersebut.
C. Batasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah tersebut agar peneliti dapat lebih fokus terhadap masalah pertimbangan hakim dalam memutus perkara perceraian dan hak asuh anak di pengadilan Agama Bantul, maka diperoleh batasan masalah sebagai berikut: 1.
Kecenderungan Pengadilan Agama Bantul mengabulkan gugatan perceraian meskipun yang ingin bercerai hanya salah satu pihak saja
2.
Masalah yang muncul dari perceraian melalui Pengadilan Agama Bantul antara lain adalah perebutan hak asuh anak.
D. Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya adalah sebagai berikut: 1.
Apa
yang menjadi
pertimbangan hakim dalam memutus atau
mengabulkan gugatan perceraian di Pengadilan Agama Bantul? 2.
Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus hak asuh anak setelah perceraian di Pengadilan Agama Bantul?
14
E. Tujuan Penelitian Pada hakekatnya tujuan penelitian adalah merupakan apa yang hendak dicapai dan diharapkan oleh peneliti, dalam hal ini ada dua tujuan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1.
Mengetahui apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus atau mengabulkan gugatan perceraian di Pengadilan Agama Bantul.
2.
Mengetahui apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus hak pengasuhan anak setelah perceraian.
F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis mupun praktis. 1.
Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah pengetahuan guna memberikan sumbangan bagi pengembangan mata kuliah Hukum Perdata, Hukum Acara Perdata, dan Hukum Islam khususnya
pada
Program
Studi
Pendidikan
Kewarganegaraan.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan sekaligus salah satu referensi bagi peneliti lain yang relevan dengan penelitian ini. 2.
Manfaat Praktis a.
Bagi Peneliti 1) Sebagai media untuk mengukur kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh di bangku kuliah baik di bidang Hukum Perdata, Hukum Acara Perdata,
15
maupun Hukum Islam yang merupakan salah satu rumpun dalam Pendidikan Kewarganegaraan di samping rumpun moral dan politik. 2) Sebagai bekal menjadi guru yang profesional dalam mengajar Pendidikan Kearganegaraan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). b.
Bagi Lembaga Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran atau bahan pertimbangan Hakim dalam memutus perkara perceraian maupun hak asuh anak di kemudian hari.
G. Batasan Istilah Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap masalah yang diteliti maka peneliti memberikan batasan penelitisn sebagai berikut: 1.
Hakim Menurut T. S. Simorangkir, hakim adalah petugas pengadilan yang mengadili perkara; dalam ilmu pengetahuan diakui sebagai salah satu sumber hukum (C. J. T. S. Simorangkir, dkk., 2000: 61). Dalam penelitian ini yang dimaksud hakim adalah hakim Pengadilan Agama.
2.
Pertimbangan Hakim Pertimbangan adalah dasar putusan yang terdiri dari pertimbangan tentang duduk perkara atau peristiwa dan pertimbangan tentang hukumnya. Pertimbangan putusan memuat alasan-alasan hakim sebagai
16
pertanggungjawaban kepada masyarakat mengapa Hakim sampai mengambil putusan demikian sehingga mempunyai nilai obyektif (Sudikno, 1993: 184). Jadi pertimbangan Hakim adalah alasan-alasan hakim dalam memutus suatu perkara sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat sehingga bernilai obyektif. 3.
Putusan Hakim Putusan hakim adalah putusan akhir dari suatu pemeriksaan persidangan di pengadilan dalam suatu perkara (Sarwono, 2011: 211). Putusan hakim yang dimaksud dalam penelitian ini adalah putusan hakim Pengadilan Agama yang berkaitan dengan perkara perceraian dan hak asuh anak karena perceraian.
4.
Perceraian Menurut Agus Tomi dalam Pemahaman Hak Asuh Anak setelah Perceraian terhadap Perkembangan Mental Anak, perceraian adalah perpisahan atau putusnya hubungan suami-istri. Di antara keduanya diharamkan atas aktifitas pemenuhan seksual, serta lepas dari hak dan kewajiban sebagai suami dan istri (Agus Tomi, 2013). Jadi yang dimaksud dengan perceraian dalam penelitian ini adalah perpisahan atau berakhirnya hubungan suami istri di mana hak dan kewajiban mereka sebagai suami istri sudah tidak berlaku lagi. Perceraian yang dimaksud adalah perceraian melalui Pengadilan yang diputus oleh hakim.
17
5.
Hak asuh anak Menurut Agus Tomi dalam Pemahaman Hak Asuh Anak setelah Perceraian terhadap Perkembangan Mental Anak, hak asuh anak adalah kekuasaan seseorang atau lembaga, berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan,
untuk
untuk
memberikan
bimbingan,
pemeliharaan,
perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar (Agus Tomi, 2013). 6.
Pengadilan Agama Menurut Zainuddin Ali (2006: 32), pengadilan agama adalah pengadilan
tingkat
pertama
dalam
proses
pemberian
keadilan
berdasarkan hukum Islam kepada orang Islam yang mencari keadilan. Pengadilan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Pengadilan Agama Bantul.