BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Tujuan negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 adalah “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. Upaya merealisir tujuan negara itu ditempuh melalui pembangunan nasional. Menurut Sjachran Basah sebagaimana dikutip Ridwan, pembangunan nasional yang bersifat multikompleks membawa akibat pemerintah turut campur dalam kehidupan rakyat yang mendalam di semua sektor. 1 Dalam rangka mencapaian tujuan bernegara tersebut, aspek keuangan negara merupakan hal yang sangat penting yang menjadi salah faktor penentu tercapainya tujuan negara tersebut. Keuangan Negara adalah bentuk pembiayaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara yang dilakukan
1
Ridwan, Diskresi Dan Tanggung Jawab Pemerintah, FH UII Press, Yogyakarta, 2014, h. 1.
1
oleh penyelenggaran negara. Tanpa keuangan negara, berarti tujuan negara tidak dapat terselenggara sehingga hanya berupa cita-cita hukum belaka. 2 Tugas pemerintahan untuk mewujudkan tujuan negara tersebut merupakan tugas yang sangat luas, oleh sebab itu tindakan pemerintah menjadi sangat penting untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan baik dalam bidang hukum publik atau dalam bidang hukum privat khususnya berkaitan dengan keuangan negara. 3 Ahli hukum Romawi, Ulpianus melakukan pembagian hukum ke dalam hukum publik dan hukum privat ketika ia menulis “Publicum ius est, quod ad statum rei romanea spectat, privatum quod ad singulorum utitilatem” (hukum publik adalah hukum yang berkenaan dengan kesejahteraan negara Romawi, sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan kekeluargaan), pengaruhnya cukup besar dalam sejarah pemikiran hukum, sampai sekarang. Salah satu pengaruh yang masih terasa hingga kini antara lain bahwa kita tidak dapat menghindarkan diri dari pembagian tersebut, termasuk dalam mengkaji dan memahami keberadaan pemerintah dalam melakukan pergaulan hukum (rechtsverkeer).4
2
Muhammad Djafar Said i, Hukum Keuangan Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, h. 8. 3 Lihat Pengertian Tindakan Administrasi Pemerintah Dalam Undang-Undang No mor 30 Tahun 2014 tentang Admin istrasi Pemerintahan pada pasal 1 angka 8. 4 Ridwan, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, h. 69.
2
Dalam menjalankan tugas pemerintahan untuk mewujudkan negara kesejahteraan “welfare state”5 ,
pemerintah disamping melaksanakan
aktivitas dalam bidang hukum publik, juga sering terlibat di dalam lapangan keperdataan dan melakukan perjanjian dengan pihak lain, seperti pelaksanaan pembangunan nasional berupa pembangunan infrastruktur dalam bentuk pembangunan gedung, pembangunan perumahan, pembangunan jembatan, pembangunan jalan dan lain sebagaimana yang ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Aktivitas negara tersebut menunjukan tindak pemerintahan yang sudah tidak lagi berada dalam ranah hukum publik melainkan berada dalam ranah hukum privat. Dalam menjalankan kekuasaannya pemerintah sering tampil dengan “dua wajah”, yang masing- masing diatur dan tunduk pada hukum yang berbeda. Ketika tindakan yang dilakukan oleh negara dalam kapasitas publik atau negara (acta jure imperii) dan ketika tindakan yang dilakukan dalam kapasitas komersial atau perdagangan (acta jure gestionis). 6 Acta jure imperii adalah tindakan suatu Negara yang bersifat berdaulat dan karena itu memiliki
5
iKonsep negara “welfare state” atau “negara kesejahteraan” hadir sebagai reaksi atas kegagalan konsep “legal state” atau negara penjaga malam (nachtwakerstaat). Lebih lanjut lihat Ridwan, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, h. 14. 6 Udoka Ndidiamaka Nwosu, Head Of State Immunity In International Law, Thesis, Depart ment of Law of the London School of Economics and Political Science for the degree of Doctor of Ph ilosophy, London, October 2011, h. 42. Lihat juga Elizabeth Helen Franey, Immunity, Individuals and International Law, Thesis, Department of Law of the London School of Economics for the degree of Doctor of Philosophy, London, June 2009 h. 138.
3
imunitas 7 , artinya bahwa ketika negara bertindak dalam kualitasnya sebagai pemerintah ia tunduk pada hukum publik 8 , sedangkan Acta jure gestionis adalah tindakan komersial dari Negara sehingga tidak memiliki imunitas (waiver of immunity) dan tunduk pada yurisdiksi kedaulatan territorial9 , yang berarti ketika bertindak tidak dalam kualitas sebagai pemerintah maka tunduk pada hukum privat 10 , oleh karena itu kedudukan pemerintah dalam pergaulan hukum keperdataan tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum privat, tidak memiliki kedudukan yang istimewa, dan dapat menjadi pihak dalam sengketa keperdataan dengan kedudukan yang sama dengan seseorang atau badan hukum perdata (equality before the law) dalam peradilan umum. 11 Terhadap tindak pemerintah yang kerap tampil dengan wajah yang berbeda tersebut N.E. Algra dan kawan-kawan mengatakan bahwa jika pemerintah bertindak dalam kualitasnya sebagai pemerintah, maka hanya hukum publiklah yang berlaku. 12 Ketika pemerintah melakukan tindakan yang hanya didasarkan pada wewenang publik (publiek becoegdheid) dan tanpa menggunakan instrument hukum keperdataan, tindakan pemerintah itu disebut murni bersifat publik (puur pbliekrechtelijke), misalnya dalam hal
7
Rajesh Venugopalan, Sovereign Immunity And Arbitration, Thesis, Department Of Law National University Of Singapore, 2006, h. 25 8 Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Op. Cit., h. 115-116. 9 Rajesh Venugopalan, Op. Cit. 10 Rid wan, Loc. It. 11 Rid wan, Hukum Administrasi Negara, Op.Cit., h. 88-89. 12 N. E. Algram, et.al., Mula Hukum, Binacipta, Jakarta, 1983, h. 173-174.
4
pembuatan peraturan perundang- undangan (regeling) atau keputusan (beschikking).13 Sedangkan terhadap tindak pemerintahan dalam bidang keperdataan, Hadjon mengatakan bahwa : Kerapkali badan atau pejabat tata usaha negara juga melakukan pelbagai perbuatan hukum keperdataan (privaatrechtelijke handeling), seperti halnya seorang warga (dalam arti manusia pribadi/ natuurlijke person) dan badan hukum perdata. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara itu tidak diatur berdasarkan hukum publik, tetapi didasarkan pada peraturan perundang-undangan hukum perdata (privaatrecht), sebagaimana lazimnya peraturan perundang-undangan yang mendasari perbuatan hukum keperdataan yang dilakukan seorang warga dan badan hukum perdata. 14 Aktivitas pemerintah dalam bidang hukum publik (jure imperii) dan di dalam lapangan keperdataan (jure gestionis) memiliki perbedaan prinsipil yang membawa implikasi yuridis terhadap status hukum keuangan tersebut, mekanisme pengelolaannya dan lembaga atau badan yang berfungsi melakukan pengawasan dan pemeriksaan. Ketika negara bertindak dalam kualitasnya sebagai pemerintah yang tunduk pada hukum publik, maka status hukum uang tersebut ialah keuangan negara. Sedangkan status hukum uang tersebut menjadi keuangan privat jika negara bertindak dalam bidang keperdataan atau melakukan tindakan komersial dengan pihak swasta. Hal ini 13
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, h. 188 d i dalam Ridwan, Hukum Administrasi... Op. Cit., h. 9-100. 14 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2011, h. 166
5
menunjukan sebuah prinsip dasar bahwa status yuridis “uang negara atau “uang privat” bergantung pada rezim hukum yang mengatur Tindak Pemerintah tersebut. Dengan kedua status hukum tersebut membawa implikasi juga terhadap mekanisme pengelolaannya dan lembaga yang berfungsi melakukan pengawasan dan pemeriksaan. Jika status hukum uang tersebut ialah uang negara, maka mekanisme pengelolaan dan lembaga yang berfungsi melakukan pengawasan maupun pemeriksaan uang tersebut tunduk pada aturan hukum publik. Sebaliknya jika status hukum uang tersebut ialah uang privat, maka mekanisme pengelolaan dan lembaga yang berfungsi melakukan pengawasan maupun pemeriksaan uang tersebut tunduk pada aturan hukum privat. Berbicara mengenai tindakan pemerintah untuk mewujudkan tujuan negara tentunya tidak dapat mengesampingkan pembahasan tentang keuangan negara sebagai salah satu aspek penting dalam rangka mencapai tujuan negara tersebut. Definisi keuangan negara berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa : Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
6
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, diharapkan menjadi kerangka hukum yang kokoh dalam upaya mendorong terwujudnya tata cara pengelolaan keuangan negara yang bersih dari korupsi. Kehadiran undang-undang ini diharapkan dapat menjawab tuntutan perkembangan zaman terhadap Hukum Keuangan Negara. Namun demikian, ternyata setelah hampir tiga belas tahun berjalannya reformasi keuangan negara tersebut, kini malah dirasakan ada problematika, khususnya terkait dengan keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan. Berbicara mengenai kekayaan negara yang dipisahkan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seluruh atau sebagian besar modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional, di samping usaha swasta dan koperasi. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, BUMN, swasta dan koperasi melaksanakan peran saling mendukung berdasarkan demokrasi ekonomi. 15 Dalam sistem perekonomian nasional, BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesarbesarnya kemakmuran masyarakat. Peran BUMN dirasakan semakin penting
15
Tri Budiyono, Umbu Rauta, dan Christiana Tri Budhayati, Problematika Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Griya Media, Salatiga, 2013, h. 24-25.
7
sebagai pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta. 16 Keberadaan BUMN sebagai salah satu pilar perekonomian Indonesia, didasarkan
kepada
penggarisan
keberadaan
BUMN
sebagaimana
diamanatkan UUD NRI 1945. Keterlibatan negara dalam kegiatan tersebut pada dasarnya merupakan pencerminan dari substansi Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang antara lain menyatakan bahwa: “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”
Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Menurut Perspektif Gustav Radbruch, dalam hukum terdapat tujuan yang ingin dicapai yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan Hukum. Setiap 16
Penjelasan Umu m Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara.
8
kali hukum dibicarakan maka otomatis di dalamnya terkandung makna keadilan, sekaligus ada kepastian dan semua hukum pasti bermanfaat. Oleh karena ketiganya merupakan satu kesatuan yang seimbang maka orang dapat saja mengatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan saja, dan itu berarti di dalam keadilan itu sudah pasti ada pula kepastian dan selalu saja diperoleh manfaat. 17 Peraturan perundang- undangan dalam hal ini Undang-Undang yang merupakan manifestasi dari hukum itu sendiri haruslah mampu mencerminkan tujuan hukum tersebut. Dalam konteks ini ialah UndangUndang Keuangan Negara haruslah mampu mencerminkan tujuan hukum tersebut. Namun, dalam perkembangannya seiring berjalannya waktu, BUMN yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan18 oleh pemerintah dalam bentuk saham di BUMN yang berbadan hukum persero menimbulkan polemik hukum, karena konsep keuangan negara yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara ternyata mengakibatkan terjadinya “antinomi” yang berujung pada tidak adanya kepastian hukum bagi pelaksanaan UndangUndang Normor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara,
17
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat, Nusa Media, Bandung, 2015, h. 113. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. 18
9
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan Undang-undang terkait lainnya. Antinomi diartikan oleh Fockema sebagai pertentangan antara dua aturan atau lebih yang pemecahannya harus dicari dengan jalan tafsir. 19 Selanjutnya ditegaskan bahwa terjadinya antinomi karena : Berdasarkan teori, hukum berada diantara filsafat hukum dengan ilmu politik. Ini disebabkan karena pada dasarnya fungsi politik hukum adalah memilih nilai-nilai dan menerapkannya pada hukum yang dicita-citakan. Sedangkan filsafat hukum merupakan perenungan dan perumusan nilai-nilai hukum. Akibat teori hukum terletak diantara filsafat hukum dan teori hukum, maka timbul persoalan-persoalan baru yang pada satu sisi berkaitan dengan filsafat dan sisi lainnya berkaitan dengan politik yang saling bertentangan.20
Senada dengan kedua pendapat diatas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan antinomi sebagai kenyataan yang kontroversial atau pertentangan antara dua ayat dalam undang-undang. 21 Black’s Law Dictionary sendiri menyebut pengertian antinomi sebagai berikut 22 : “A term used in logic and law to denote a real or apparent in consistency or conflict between two authorities or propositions” 19
Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum, Belanda – Indonesia, Binacipta, Jakarta, 1983, h. 32. 20 Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Kebebasan Hakim Perdata Dalam Penemuan Hukum Dan Antinomi Dalam Penerapannya, Mimbar Hukum, Volume 23 Nomor 1, 2011, h. 72. 21 http://kbbi.web.id/antino mi, dikunjungi pada tanggal 11 November 2015 pada pukul 13.31. 22 Henry Campbell Black, Black’ Law Dictionary-, Six edition, West Publishing Co, 1990, h. 93.
10
(Antinomi adalah istilah yang digunakan dalam logika dan hukum untuk menunjukkan ketidak konsistenan yang nyata atau yang terlihat atau pertentangan antara dua kewenangan atau usulan).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa antinomi adalah pertentangan antara norma hukum yang satu dengan yang lain. Dalam penerapan hukum, terkadang terdapat pertentangan yang tidak dapat dihindarkan. Demikian pula dalam hal peraturan perundang-undangan, antinomi yang terjadi antara peraturan perundang- undangan yang satu dengan peraturan perundangundangan yang lainnya. Penerapan dari Hukum Keuangan Negara juga mengakibatkan antinomi. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mendefinisikan keuangan negara adalah, “semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.” Kemudian pasal 2 menyatakan, Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 pada point (g) yaitu : kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
11
Penafsiran Pasal 2 huruf (g) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, ialah kekayaan BUMN adalah kekayaan negara yang dipisahkan, artinya, kekayaan BUMN itu adalah keuangan negara. Namun, jika melihat pada ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menunjukan sebaliknya, Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa “Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa “Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem anggaran pendapatan dan belanja negara namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Dari sini jelas bahwa Penyertaan Modal Negara (PMN) pada BUMN sudah terpisah dari APBN. Dengan prinsip pemisahan ini pula, pengelolaan BUMN tidak mengikuti keuangan negara dan akibat pemisahan tersebut harta kekayaan BUMN bukan sebagai kekayaan negara melainkan sebagai kekayaan BUMN sendiri. Hal yang menarik lainnya terdapat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) khususnya pendapat Mahkamah pada paragraf (3.17) menyatakan bahwa :
12
“...berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN), Pasal 1 angka 1 dan angka 10 menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Dengan demikian BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT);
Dan paragraf (3.19) yang menyatakan bahwa : “Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan dalam paragraph [3.15] sampai dengan paragraf [3.18] di atas, menurut Mahkamah, piutang Bank BUMN setelah berlakunya UU 1/2004, UU BUMN serta UU PT adalah bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN Piutang Bank-Bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing Bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat di masing-masing Bank BUMN. Bank BUMN sebagai perseroan terbatas telah dipisahkan kekayaannya dari kekayaan negara yang dalam menjalankan segala tindakan bisnisnya termasuk manajemen dan pengurusan piutang masing-masing Bank bersangkutan dilakukan oleh manajemen Bank yang bersangkutan dan tidak dilimpahkan kepada PUPN. Dengan demikian menurut Mahkamah Pasal II ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah 73 Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah adalah tidak sejalan dengan ketentuan UU 1/2004, UU BUMN, dan UU PT; 13
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut jelaslah bahwa piutang dan utang BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Di lain sisi hal ini tentu berimplikasi juga pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pengertian piutang negara adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 menyatakan, “Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”. Dengan demikian, piutang negara hanyalah piutang Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah, sehingga tidak termasuk piutang badan-badan usaha yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara termasuk dalam hal ini piutang BUMN. Selain
itu,
Undang-undang Nomor
31
Tahun 1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mempunyai sendiri konsep keuangan negara dan dipersamakan dengan perekonomian negara. UndangUndang tersebut dalam penjelasannya menyatakan bahwa: “Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan 14
atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Terdapat juga pengertian keuangan negara dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memberikan pengertian tersendiri bagi keuangan negara. Pada Pasal 46 ayat (1) berbunyi : “Kebijakan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Dalam penjelasan pasal 46 ayat (1) dijelaskan bahwa : Yang dimaksud dengan “keuangan negara” adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada saat kebijakan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan ditetapkan dan/atau dilaksanakan.
15
Forum Koordinasi Stabilitas Sistem yang dimaksud ialah Forum yang dimaksudkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa menurut Undang-Undang OJK tersebut memberikan pemaknaan tersendiri terhadap keuangan negara yaitu sebatas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sejumlah uraian di atas menunjukkan tidak seragamnya konsep keuangan negara pada Undang-Undang BUMN, Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang Panitia Urusan Piutang Negara, UndangUndang Perbendaharaan Negara,
Undang-Undang Badan Pemeriksa
Keuangan dan undang-undang terkait lainnya yang mengakibatkan ada problematika, khususnya terkait dengan konsep keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan. Perbedaan pemaknaan aturan perundang-undangan tersebut tentunya menimbulkan banyaknya multi tafsir terhadap keuangan negara dan pelaksanaannya di lapangan. Salah satu implikasinya ialah terhadap tugas dan wewenang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa : “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan 16
Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.” Hal ini menunjukan tidak dibedakannya ketentuan yang mengatur tindak pemerintahan di ranah publik (jure imperii) dan tindak pemerintahan di ranah privat (acta jure gestionis), dimana kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN dianggap sebagai keuangan negara. Ini jelas berakibat pada tidak adanya kepastian hukum terhadap ketentuan yang mengatur BUMN, dan oleh sebab itu BUMN termasuk menjadi obyek pemeriksaan BPK. Sehingga dalam hal terjadi kerugian pada BUMN, menjadi pintu masuk (entry point) bagi aparat penegak hukum untuk memeriksa proses pengelolaan BUMN. Keuangan negara yang sudah dipisahkan, terutama kedalam bentuk saham, status hukum uang tersebut bukan lagi merupakan keuangan negara. Akan tetapi, telah terjadi transformasi hukum dari status hukum keuangan publik menjadi status hukum keuangan privat. Dengan demikian, negara maupun daerah pada saat bersamaan dengan pemisahan kekayaan tersebut, tidak lagi memiliki imunitas publik sehingga kedudukan negara dari segi hukum, sama halnya dengan kedudukan hukum pemegang saham swasta lainnya karena perseroan terbatas yang sahamnya, baik di bawah 51% maupun 100 % dimiliki oleh negara/daerah, wajib tunduk pada UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berada
17
dalam domain hukum perdata, dan bukan termasuk ke dalam domain hukum publik berdasarkan lingkungan kuasa hukum yang berlaku (gebiedsleer). 23 Selain itu, Pasal 11 Undang-Undang BUMN menyebutkan : “Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsipprinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.24
Badan Usaha Milik Negara menurut UU No. 19 Tahun 2003, secara de jure dan de facto termanifestasi dalam dua bentuk badan usaha yakni Persero dan Perum. 25 Persero adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia, yang tujuan utamanya mengejar keuntungan (Pasal 1 ayat (2) UU BUMN). Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. 26
23
Arifin Soeria At madja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum: Teori, Praktik, dan Kritik , Rajawali Pers, Jakarta, 2010, h. 77. 24 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 25 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. 26 Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara.
18
Hal ini menunjukan bahwa dalam menjalankan aktivitas perusahaannya (ranah hukum privat), BUMN tunduk pada ketentuan hukum perusahaan yang di atur pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Sehingga, pada saat kekayaan negara telah dipisahkan, maka kekayaan tersebut b ukan lagi masuk di ranah hukum publik tetapi masuk di ranah hukum privat. Pengelolaan BUMN Persero dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (PT) dan peraturan pelaksanaannya. Berarti, Undang-Undang
PT sesuai dengan asas lex
specialis derograt lex generalis yang berlaku bagi BUMN Persero. Bahkan Terhadap permasalahan mengenai keuangan negara ini, Mahkamah Agung (MA)
RI
pernah
mengeluarkan
Fatwa
Hukum
dengan
Nomor
WKMA/Yud/20/VIII/2006 yang isinya menegaskan bahwa pembinaan dan pengelolaan modal BUMN yang berasal dari kekayaan negara tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. 27 Hal ini menunjukan bahwa dalam menjalankan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara sebagai bentuk tindakan pemerintah di dalam ranah hukum publik dan pengelolaan dan pertanggungjawaban BUMN 27
Fatwa Huku m yang dikeluarkan o leh MA tersebut merupakan jawaban atas Permohonan Fatwa dari Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani tahun 2006 sehubungan dengan adanya ketidaksesuaian pengaturan mengenai penyertaan kekayaan Negara p ada BUMN dalam UU No mor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No mor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Fatwa Mahkamah Agung bukanlah sumber hukum menurut peraturan perundang-undangan Indonesia, fatwa hanya merupakan pendapat Mahkamah Agung sehingga tidak mengikat secara hukum.
19
sebagai bentuk tindakan pemerintah di ranah hukum privat terdapat perbedaan. Tata cara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan ne gara diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keaungan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta ketentuan APBN, sedangkan tata cara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan BUMN Persero diatur dalam Anggaran Dasar, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Dengan demikian, tidak mungkin menggunakan ketentuan Keuangan Negara yang berlaku bagi badan hukum publik terhadap suatu PT yang status hukumnya adalah hukum privat atau sebaliknya. 28 Salah
satu
implikasi
dan konsekuensi sebagai akibat
tidak
dibedakannya ketentuan yang mengatur tindakan pemerintah di ranah publik (jure imperii) dan tindakan pemerintah di ranah privat (jure gestionis) yaitu terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Kasus yang dapat di teliti lebih lanjut yaitu kasus korupsi BUMN PT Bank Mandiri (Persero), atas nama terdakwa ECW Neloe, I Wayan Pugeg, dan M. Sholeh Tasripan. Neloe dan kedua rekannya dihadapkan dipersidangan dengan dakwaan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut, yakni atas pemberintah fasilitas kredit kepada PT Citra Graha Nusantara (PT CGN), dan di kemudian hari fasilitas kredit yang diberikan 28
S.F Marbun, Hukum Administrasi Negara I, FH UII Press, Yogyakarta, 2012, h.
288.
20
tersebut dinyatakan menjadi kredit macet. Tindakan
tersebut dilakukan
ketiga terdakwa yang berkasnya digabung dengan cara memberikan kredit Bridging Loan kepada PT. Cipta Graha Nusantara (PT. CGN) sebesar 160 miliar rupiah dengan mengabaikan asas-asas perkreditan yang sehat. 29 Padahal jika di teliti lebih lanjut, sudah jelas bahwa PT Bank Mandiri (Persero) adalah badan hukum privat yang mekanisme pengelolaan dan pertanggung jawabannya tunduk dalam lapangan keperdataan (UU Perseroan Terbatas), bukan dalam ranah publik sehingga ketiga terdakwa selaku mantan petinggi Bank Mandiri tidak dapat dikenakan aturan yang berlaku dalam hukum publik terhadap tindakan mereka di dalam ranah privat. Hal serupa disampaikan oleh Rudy Prasetya selaku Guru Besar dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, ahli hukum perusahaan, yang dihad irkan sebagai saksi ahli yang meringankan (a de charge). Dalam kesaksiannya, Rudy menjelaskan bahwa berdasarkan hukum perusahaan, negara yang memiliki sejumlah saham dalam suatu perseroan harus menanggalkan statusnya sebagai negara. Begitu berkedudukan sebagai pemegang saham, lanjutnya, maka otomatis negara berkedudukan sama dengan pemegang saham lainnya. Konsekuensinya, uang negara yang sudah disetor sebagai saham menjadi
29
Putusan Mahkamah Agung No. 1144 K/Pid/2006.
21
harta perseroan. Di dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tidak mengenal istilah negara, yang dikenal ialah pemegang saham. 30 Berdasarkan sejumlah uraian di atas menunjukkan adanya antinomi konsep keuangan negara pada Undang-Undang Keuangan Negara dengan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Hal
ini
menunjukan
tidak
dibedakannya ketentuan yang mengatur tindakan pemerintah di ranah hukum publik dan di ranah hukum privat, dimana kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN dianggap sebagai keuangan negara. Ini jelas berakibat pada tidak adanya kepastian hukum terhadap ketentuan yang mengatur BUMN, sehingga BUMN termasuk menjadi objek pemeriksaan auditor negara. Sementara di lain pihak pengaturan mengenai BUMN telah secara detail diatur dalam UU tentang BUMN dan UU tentang Perseroan Terbatas untuk dikelola secara profesional sesuai dengan prinsip tata kelola korporasi. Hal ini berimplikasi pada konsekuensi hukum terhadap pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan tersebut. Perbedaan pemaknaan aturan perundang-undangan tersebut akhirnya membuat para Direksi BUMN Persero takut mengambil keputusan bisnis karena mereka selalu dihadapkan kepada ancaman resiko kerugian keuangan
30
http://www.huku monline.com/berita/baca/hol14167/saksi-ahli-begitu-jadipemegang-saham-negara-melepaskan-jubahnya, dikunjungi pada tanggal 16 Mei 2016 pukul 10.32.
22
negara dan ancaman tindak pidana korupsi. 31 Sehingga dalam masalah ini, diperlukan adanya konsepsi hukum yang jelas atas keuangan negara.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan diteliti adalah : 1. Bagaimana
status
hukum
uang
negara
dilihat
dari
tindak
pemerintahan di lapangan keperdataan? 2. Bagaimana konsep pengaturan tentang keuangan negara yang ideal?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini: 1)
Mengetahui dan menganalisis status hukum uang negara dilihat dari tindak pemerintahan di lapangan keperdataan.
2)
Mengetahui dan menganalisis konsep keuangan negara yang tersebar di berbagai peraturan perundang- undangan serta mengetahui dan memahami konsep pengaturan tentang keuangan Negara yang ideal berdasarkan konsep tindak pemerintahan.
31
Ronny Sautma Hotma Bako, Konsepsi Hukum Atas Uang Yang Di Miliki Oleh Badan Hukum, P3DI Set jen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika, Jakarta, 2013, h. 5.
23
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan pemikiran, baik secara teoretikal maupun praktikal. Dari sisi manfaat teoritikal, diharapkan temuan penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Hukum (Ilmu Hukum Tata Negara) pada umumnya, khususnya bagi pengembangan Ilmu Hukum Keuangan Negara yang di Indonesia saat ini merupakan disiplin ilmu yang relatif baru dan perlu mendapat “suntikan” bahan untuk pengayaan dan pengembangan lebih lanjut. Penelitian ini akan memberikan sumbangan pemikiran yang menunjukkan bahwa Tindak Pemerintahan dalam ranah hukum publik maupun Tindak Pmeerintahan dalam ranah hukum privat memiliki implikasi yuridis yang berbeda, yang akan berafiliasi pada status hukum dari uang negara atau uang privat serta menunjukan terdapat antinomi yang terjadi antara hukum keuangan negara dengan peraturan perundang- undangan lainnya, ketika norma- norma di dalam hukum keuangan negara tersebut di implementasikan. Sedangkan manfaat secara praktikal, temuan dari penelitian ini dapat menjadi masukan dan referensi untuk melakukan evaluasi bagi penyempurnaan Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-undang terkait lainnya. Di samping itu, temuan penelitian ini diharapkan berguna sebagai masukan bagi bagi pemerintah, pihak swasta, BPK dalam
24
pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya berkaitan dengan keuangan negara.
F. Metode Penelitian 1)
Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian yang hendak dilakukan oleh penulis adalah penelitian
hukum (legal research) yang ditujukan pada konsep keuangan negara yang ditinjau dari tindak pemerintahan di lapangan keperdataan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundang- undangan (statute approach) diperlukan karena yang menjadi salah satu fokus penelitian ini yaitu menginventaris dan mengkaji konsep keuangan negara dalam Sistem Peraturan Perundangundangan di Indonesia. Dalam metode pendekatan Perundang-undangan ini peneliti perlu memaknai hirarki dan asas-asas Peraturan Perundangundangan. 32 Sedangkan, dalam menggunakan pendekatan konseptual, peneliti perlu
merujuk
prinsip-prinsip
hukum.
Prinsip-prinsip
ini dapat
diketemukan dalam pandangan-pandangan tokoh ataupun doktrin-doktrin hukum. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum juga dapat
32
Peter Mah mud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, h. 137.
25
diketemukan dalam undang-undang. 33
Pendekatan konseptual
ini
digunakan sebagai pijakan dalam membangun argumentasi hukum mengenai konsep ideal tentang hukum keuangan negara dilihat dari tindak pemerintahan.
2)
Bahan Hukum
a) Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari UUD NRI 1945, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara,
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
2004
tentang
Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Undang-Undang Normor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beserta perubahannya, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Putusan MK Nomor 48/PUU-XII/2013, Putusan MK
Nomor
77/PUU-IX/2011,
Fatwa
MA
Nomor
WKMA/Yud/20/VIII/2006 dan putusan MA No. 1144 K/Pid/2006.
33
Peter Mah mud, Op.Cit., h. 178.
26
b) Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang diperoleh dari buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis dan disertasi yang berkaitan dengan hukum keuangan negara yang akan diteliti atau pendapat para pakar hukum. c) Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, jurnal- jurnal hukum, dan artikel-artikel hukum yang berkaitan dengan hukum keuangan negara.
G. Kerangka Teori Penelitian dalam penyusunan Tesis ini mengacu pada; a) Konsep Tindak Pe merintah Secara
umum menurut Van Vollenhoven Tindak Pemerintahan
(Bestuurshandeling) adalah pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat secara spontan dan tersendiri oleh penguasa tinggi dan rendahan. Konsep Tindak Pemerintahan digunakan untuk melihat konsep keuangan negara beserta implikasi yuridisnya. Negara melalui pemerintah dalam beraktivitas ketika menjalankan kekuasaannya, menampilkan “dua wajah” dimana ketika negara bertindak dalam ranah publik dan dalam ranah privat. Dalam menjalankan kekuasaannya tersebut harus berdasar pada asas/prinsip hukum yang ada.
27
Tindak Pemerintahan terdiri atas Tindakan hukum dan tindakan nyata. Tindakan hukum (rechtshandelingen) adalah tindakan yang menimbulkan akibat hukum yaitu berupa hak dan kewajiban, sedangkan tindakan nyata (feitelijke handelingen) adalah tindakan yang tidak menimbulkan akibat hukum. Tindakan Hukum itu sendiri terdiri atas Tindak Pemerintahan dalam hukum publik (acta jure imperii) yaitu tindak resmi suatu negara (beserta perwakilannya) di bidang publik dalam kapasitasnya sebagai suatu negara yang berdaulat yang menegaskan keberlakuan asas/prinsip dalam hukum publik dan Tindak Pemerintahan dalam hukum privat (acta jure gestionis) yaitu tindakan negara yang sifatnya komersial (private act) yang menegaskan keberlakuan asas/prinsip yang ada dalam hukum privat. Konsep tindak pemerintahan inilah yang harus menjadi dasar dalam memahami secara komprehensif tentang keuangan negara maupun kekayaan negara yang dipisahkan. Terkhususnya tindakan hukum publik dapat dibagi juga dalam dua macam, yaitu tindakan publik bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handeling) yaitu tindakan hukum oleh pemerintah bersifat sepihak. Dilakukan atau tidak dilakukan sangat tergantung pada kehendak pemerintah/badan administrasi negara dan tindakan publik bersegi dua (tweezijdige publiekrechtelijke handeling) yaitu tindakan hukum oleh pemerintah dengan pihak lain.
28
b) Teori Sistem Hukum Dalam memahami sistem hukum atau melihat hukum dalam perspektif sistem, perlu terlebih dahulu memahami tentang sistem itu sendiri. Istilah “sistem” berasal dari bahasa Yunani, yaitu “systema”, yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian, atau sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan (a whole). 34 Esensi dari sebuah sistem ialah untuk menunjukkan satu kesatuan dari bagian-bagian. Peraturan perundang-undangan suatu negara pada hakikatnya ditegakkan berdasarkan sebuah sistem. Pengertian dari pernyataan ini ialah di dalam suatu negara pasti ada peraturan perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan tersebut tidak hanya tunggal melainkan jamak. Namun, meskipun jamak peraturan perundang-undangan tersebut adalah satu sebagai sistem di mana masing- masing saling terhubung sebagai kesatuan. 35 Peraturan perundang-undangan dipandang sebagai sebuah sistem menyerupai suatu organisme. Menurut Gary Minda sebagaimana dikutip Titon Slamet Kurnia bahwa : “law is a complete, formal, and conceptually ordered system that satisfies the legal norms of objectivity and consistency. 34
Abdul Halim Barkatullah, Budaya Hukum Masya rakat Dalam Persp ektif Sistem Hukum, Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM edisi april , Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, 2011, h. 1. 35 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2009, h. 55.
29
Dalam pengertian demikian, sistem tersebut dipercaya mampu providing uniquely solution of ‘right answers’ for every case brought for adjudication.36 Meskipun sebagai sebuah sistem peraturan perundangundangan harus dipersepsikan secara ideal sebagaimana tampak dalam pandangan di atas, tetapi keterbatasan tetap tidak terelakkan. 37 Di dalam sistem hukum terjadi interaksi antara unsur-unsur atau bagianbagian. Interaksi memungkinkan terjadinya konflik. Tidak jarang terjadi konflik antara peraturan perundang-undangan yang satu dan yang lain baik secara vertikal maupun horizontal, antara peraturan perundang-undangan dengan putusan pengadilan, maupun antara peraturan perundang-undangan dengan hukum kebiasaan maupun antara putusan pengadilan dengan hukum kebiasaan. Sistem hukum tidak menghendaki adanya konflik antara unsurunsur atau bagian-bagian. Kalau terjadi konflik maka tidak akan dibiarkan berlarut- larut. 38 Sebagai sebuah sistem tidak dikehendaki adanya saling pertentangan antara pelbagai peraturan perundang- undangan. Pertentangan hanya akan meruntuhkan ototritas dari sistem peraturan perundang-undangan itu sendiri yaitu timbulnya ketidakpastian. 39
36
Mary Massaron Ross, A Basis for Legal Reasoning: Logic an Appeal, dalam Tition Slamet Kurnia, Op. Cit., h. 56. 37 Titon, Op.Cit. h. 56-57. 38 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, h. 32. 39 Titon, Op.Cit., h. 61.
30
Dalam identifikasi suatu aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas. Dalam menghadapi konflik antar norma hukum (antinomi hukum), maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas preverensi). 40 Dengan demikian menunjukan bahwa sistem adalah suatu kesatuan yang didalamnya telah tersedia jawaban atau pemecahannya atas segala persoalan yang timbul di dalam sistem. Asas-asas penyelesaian konflik sebagaimana di sebutkan diatas antara lain :
1) Lex superior derogat legi inferiori Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal- hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundangundangan tingkat lebih rendah. 2) Lex specialis derogat legi generalis Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas Lex specialis derogat legi generalis yaitu : 40
Ari Purwadi, Harmonisasi Pengaturan Perencanaan Pembangunan Antara Pusat Dan Daerah Era Otonomi Daerah, Jurnal Perspektif, Volume XVIII No. 2, Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, 2013, h. 89.
31
Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuanketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang). Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.
3) Lex posterior derogat legi priori Aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas lex posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru. Asas ini pun memuat prinsip-prinsip antara lain : Aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang lama dan Aturan hukum baru dan lama mengatur aspek yang sama. Asas ini antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. 41
41
Novianto Haritono, Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengatu ran Mengenai Peratu ran Daerah, Serta Uji Materil Peraturan Daerah Propinsi Bali Tahun 2009 -2029, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR I, h. 11.
32