BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia dibentuk dengan tujuan melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia. Untuk mewujudkan hal tersebut maka negara mempunyai kewajiban dalam memenuhi seluruh kebutuhan setiap warga negara melalui pemerintahan yang mampu menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas untuk memenuhi seluruh kebutuhan dasar dan hak-hak sipil warga negara atas barang dan jasa publik. Pelayanan publik merupakan tugas terpenting dari pemerintah baik itu di pusat ataupun di daerah yang terdiri dari sosok aparatur sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Pelayanan publik meliputi aspek kehidupan
1
masyarakat yang sangat luas. Pelayanan publik bahkan dimulai sejak seseorang lahir, ketika diperiksa oleh dokter, mengurus akta kelahiran, mengurus kartu identitas, menempuh pendidikan di universitas negeri, menikmati bahan makanan yang pasarnya dikelola oleh pemerintah, menempati rumah yang disubsidi pemerintah, memperoleh macam-macam perizinan yang berkaitan dengan dunia usaha yang digelutinya, hingga seseorang meninggal dan diurus surat kematiannya untuk kemudian dikuburkan di pemakaman. Pelaksanaan otonomi daerah yang telah dijalankan oleh pemerintah yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undng Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan. Salah satu perubahan itu adalah perubahan dari sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi pemerintahan yang desentralistik dengan pemberian wewenang yang lebih besar dalam penyelenggaraan beberapa bidang pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Tujuan
dari
pemberian
wewenang
tersebut
bukan
hanya
pendistribusian kekuasaan saja, tetapi lebih bertujuan agar pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat, sehingga tujuan negara dalam menningkatkan kesejahteraan kehidupan berbangsa dan bernegara dapat tercapai. Kemudian seiring dengan bertambah besarnya wewenang tersebut, maka diharapkan aparat birokrasi
2
pemerintahan
di
daerah
dapat
mengelola
dan
menyelenggarakan
pemerintahan daerah dengan lebih baik, khususnya dalam pemberian pelayanan publik yang lebih berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat. Salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah adalah bagaimana mewujudkan aparatur yang profesional, memiliki etos kerja yang tinggi, kompetitif, dan kemampuan untuk memegang teguh etika birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya serta terbebas dari KKN yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme. Tantangan tersebut merupakan hal yang sangat wajar karena masyarakat di daerah menginginkan agar aparatur pemerintah dalam menjalankan tugastugasnya dapat bekerja secara optimal yang pada akhirnya akan dapat memberikan dan melaksanakan pelayanan yang berkualitas terhadap masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian Governance and Desentralization Survey (GDS) 2002 pada 150 wilayah kota/kabupaten di Indonesia (dalam Dwiyanto, 2003) justru menggambarkan kualitas pelaksanaan pelayanan publik di Indonesia masih sangat rendah. Terdapat tiga masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang mendukung kesimpulan tersebut. Pertama, besarnya diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan masih amat dipengaruhi oleh hubungan per-konco-an, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. Fenomena ini masih tetap marak walaupun telah diberlakukannya Undang-
3
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan. Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna pelayanan cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas, dan ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidakpastian biaya dan waktu pelayanan. Seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik yang berkualitas, maka pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menyelengarakan pelayanan publik yang berkualitas. Sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan maka diterbitkanlah Surat Keputusan
Menteri
Pemberdayaan
63/KEP/M.PAN/07/2003
tentang
Aparatur
Pedoman
Negara
Umum
Nomor
:
Penyelenggaraan
Pelayanan Publik. Kemudian Keputusan Menteri Pendayagunaan Apratur Negara Nomor 63 Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Publik, dimana ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pelayanan publik untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas diantaranya: (1) Prosedur pelayanan, (2) Waktu penyelesaian, (3) Biaya pelayanan, (4) Produk pelayanan, (5) Sarana dan prasarana, (6) kompetensi petugas pemberi pelayanan.
4
Namun, hingga sekarang pelayanan publik yang berkulitas masih sulit untuk diwujudkan dengan masih ditemuinya pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perizinan tertentu, biaya yang tidak jelas, serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli) merupakan indikator dari rendahnya kualitas pelayanan publik di
Indonesia.
Selain
itu,
masih
terjadinya
diskriminasi
dalam
penyelenggaraan pelayanan publik dimana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit untuk mendapatkan pelayanan. Sebaliknya bagi masyarakat yang memiliki uang dan mau mengeluarkan biaya tambahan akan sangat dengan mudah mendapatkan segala pelayanan publik yang diinginkan. Hal ini menimbulkan anggapan di dalam masyarakat bahwa untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas maka mau tidak mau masyarakat harus mau untuk mengeluarkan biaya tambahan. Gambaran dari hal tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut. Tabel 1.1
Reaksi masyarakat pengguna layanan ketika dimintai ”uang rokok” (pungutan liar)
Reaksi masyarakat Menganggap pungli sebagai hal yang wajar, tetapi tidak mau membayar Marah dan menolak untuk membayar pungli Merasa lega karena dengan demikian pekerjaan akan cepat selesai Merasa keberatan, tetapi tetp membayarnya Menganggap pungli sebagai hal yang wajar sehingga membayarnya Sumber : Tabel 2.1 (Dwiyanto, 2011)
Desa
Persentase (%) Kota Total
4,5
4,9
4,7
12,1
15,7
13,9
15,7
15,3
13,9
21
18,7
19,9
46,8
45,5
46,1
5
Dari tabel di atas maka dapat dilihat bahwa bukan hanya masyarakat memang harus membayar lebih untuk menadapatkan pelayanan, tetapi hal tersebut memang sudah menjadi budaya atau kebiasaan yang dijalankan oleh aparatur pemberi pelayanan dan masyarakat sendiri sudah memaklumi dan menerima budaya pungli dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Selain itu, dalam Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 10/M.PAN/07/2005 tentang Prioritas Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil memperoleh prioritas utama dalam penanganan peningkatan kualitas pelayanan yang sangat diperlukan oleh masyarakat ( lihat tabel 1.2.). Hal ini dapat juga diartikan bahwa pelayanan publik di bidang kependudukan dan pencatatan sipil paling banyak mendapat keluhan dari masyarakat sebagai pengguna layanan. Selanjutnya, dalam sebuah survey mengenai penilaian kualitas pelayanan birokrasi di Indonesia yang dilakukan The Political and Economic Risk Concultacy Ltd, Indonesia menduduki peringkat terburuk kedua di Asia ( lihat tabel 1.3.).
6
Tabel 1.2. Daftar Prioritas Jenis Pelayanan Publik No Sektor Jenis Pelayanan 1. Administrasi 1. KTP Kependudukan 2. Akta Kelahiran 3. Catatn sipil 4. Akta Kematian 5. Akta Nikah/Cerai 6. Kartu Keluarga 2. Kepolisian 1. STNK dan BPKB 2. SIM 3. Penyelesaian Laporan Pengauan Masyarakat 3. Perindustrian, 1. SIUP, SITU, Tanda Daftar Perusahaan Perdagangan dan 2. Metrologi/Tera Koperasi 3. Pengujian Hasil Industri 4. Kredit usaha 4. Bea Cukai dan 1. Bea Masuk Pajak 2. Cukai 3. NPWP 4. Pelayanan Pembayaran Pajak 5. Kesehatan 1. Rumah Sakit 2. Puskesmas 3. Posyandu 6. Imigrasi 1. Pengurusan Paspor 2. Pengurusan Keimigrasian lainnya 7. Perhubungan 1. Izin Usaha Angkutan Darat/Laut/Udara 2. Pelayanan Bandara/Pelabuhan/Stasiun/Terminal 3. Izin Kelaikan Kendaraan Bermotor 8. Ketenagakerjaan 1. Kartu Kuning (Pencari Kerja) 2. Informasi Kesempatan Kerja 3. Penempatan Tenaga Kerja 4. Pelayanan TKI di Bandara/Pelabuhan 9. Pertanahan dan 1. Pengurusan Sertifikat Tanah Pemukiman 2. Pengurusan Pengalihan Hak Atas Tanah 3. IMB 4. Izin Lokasi Industri/Perdagangan 5. HO 6. Amdal 10. Pendidikan 1. Pendidikan Dasar 2. Pendidikan Menengah 3. Pendidikan Lainnya 11. Penanaman Modal 1. Izin PMA 2. Izin PMDN 3. Informasi Potensi Investasi Sumber : SE MENPAN No. 10/M.PAN/07/2005
7
Tabel 1.3.
Kualitas Birokrasi di Indonesia
No. 1.
Tahun 1997
Nilai 8,16
Keterangan Terburuk ketiga di Asia
2.
1998
7,91
Terburuk keempat di Asia
3.
1999
8,18
Terburuk kelima di Asia
4.
2000
7,44
Terburuk kelima di Asia
5.
2001
8,83
Terburuk ketiga di Asia
6.
2004
7,75
Terburuk kedua di Asia
7.
2006
8,20
Terburuk kedua di Asia
Sumber : Kompas, 26 Mei 2006, Survey Of Political and economic Risk Concultncy terhadap 1.000 ekaspatriat di Asia. Haryono menjelaskan (dalam Prianto, 2006) bahwa salah satu tolak ukur keberhasilan pemerintah daerah adalah apabila masing-masing daerah mampu meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat. Secara politis, pelayanan publik yang berkualitas merupakan salah satu kunci yang harus diambil oleh pemerintah untuk memperoleh dukungan dan kepercayaan masyarakat. Pada dasarnya pengelolaan pemerintah daerah yang berpihak pada masyarakat dalam hal peningkatan kualitas pelayanan publik ditentukan oleh sejauh mana pemerintah daerah tersebut mampu memberikan pelayanan yang terbaik dan optimal kepada seluruh lapisan masyarakat. Perwujudan nyata dari sikap aparatur pemerintah daerah dalam menjalankan
tugas
dan
fungsinya
antara
lain
tercermin
dari
penyelenggaraan pelayanan publik terhadap masyarakatnya.
8
Tuntutan akan pelayanan administrasi kependudukan yang tertib dan tidak diskriminiatif juga sangat dibutuhkan, oleh karena peraturan perundang-undangan mengenai administrasi kependudukan yang ada sudah tidak sesuai lagi sehingga diperlukan suatu pengaturan secara menyeluruh. Oleh sebab itu, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2006
tentang
Administrasi
Kependudukan memuat pengaturan dan pembentukan sistem administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, dimana dalam BAB I Pasal 1 disebutkan bahwa : “Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain.” Dalam UUD 1945 Pasal 28 ayat (1) amandemen kedua dan Pasal 34 ayat (3) amandemen keempat telah mengamanatkan negara wajib melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam
rangka
pelayanan
umum
dan
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, penyelenggaraan pelayanan publik yang dilaksanakan oleh aparatur negara dalam berbagai sektor pelayanan terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat, wajib dilaksanakan sesuai dengan amanat UUD 1945 tersebut.
9
Ratminto dan Atik Septi Winarsih (2005) menginvetarisir beberapa aturan yang telah dikeluarkan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik, sebagai berikut : 1. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 9/MENPAN/1998 tentang Delapan Program Strategis Pemicu Pendayagunaan Administrasi Negara. 2. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 1/1993 tentang Pedoman Tata laksana Pelayanan Umum. Ini adalah merupakan pedoman bagi seluruh aparat pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan umum, biaya pelayanan umum dan penyelesaian persoalan dan sengketa. 3. Instruksi Presiden Nomor 1.1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Kepada Masyarakat. Inpres ini merupakan instruksi dari Presiden Republik Indonesia kepada
Menteri
mengambil
Pendayagunaan
langkah-langkah
Aparatur
yang
Negara
terkoordinasi
untuk dengan
departemen/instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pelayanan aparatur pemerintah
kepada
masyarakat
baik
yang
menyangkut
penyelenggaraan pelayanan pemerintah, pembangunan maupun kemasyarakatan.
10
4. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 6/1995 tentang Pedoman Penganugerahan Penghargaan Abdi Satya Bhakti bagi unit kerja/kantor pelayanan percontohan. 5. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1996. Disini Gubernur kepada daerah Tk. I dan Bupati/Walikotamadya Kepala daerah Tk. II di seluruh Indonesia diinstruksikan untuk : a. Mengambil
langkah-langkah
penyederhanaan
perizinan
beserta pelaksanaannya. b. Memberikan kemudahan bagi masyarakat yang melakukan kegiatan di bidang usaha. c. Menyusun buku petunjuk pelayanan perizinan di daerah. 6. Surat Edaran Direktur Jendral PUOD Nomor 503/125/PUOD tanggal 16 Januari 1996. Dalam surat edaran ini seluruh Pemerintah Daerah Tk. II di Indonesia diperintahkan untuk membentuk unit pelayanan terpadu pola satu atap secara bertahap, yang operasionalnya dituangkan dalam keputusan Bupati/Walikotamadya Kepala daerah Tk. II. 7. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100/757/OTDA tanggal 8 Juli 2002 tentang Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal. 8. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun
2003
tentang
Pedoman
Umum
Penyelenggaraan
Pelayanan Publik.
11
9. Keputusan Menteri pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25 Tahun 2004 tentang Indeks Kepuasan Masyarakat. 10. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 26 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Akuntabilitas Pelayanan. 11. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 118 Tahun 2004 tentang Penanganan Pengaduan Masyarakat. 12. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 119 Tahun 2004 tentang Pemberian tanda Penghargaan “Citra Pelayanan Prima”. Penyelenggaraan pelayanan publik di daerah menunjukkan kinerja yang bervariasi. Beberapa daerah berhasil mengembangkan inovasi dalam manajemen pelayanan publik dengan mengembangkan berbagai program. Sebagai contoh, beberapa daerah berhasil mengembangkan manajemen pelayanan yang partisipatif dengan mengadopsi kontrak pelayanan seperti yang dilakukan di Kota Yogyakarta (DIY) dan Blitar (Jawa Timur). Sementara itu, Kabupaten Jembrana (Bali) berhasil memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan secara gratis bagi warga masyarakatnya. Kompetisi beberapa daerah sebagai upaya peningkatan kualitas pelayanan dan kepuasan masyarakat khususnya pelayanan administrsi kependudukan menjadi target keberhasilan pemerintah dalam melayani masyarakat. Sebagaimana diketahui, bahwa pada awalnya retribusi penggantian biaya cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 adalah termasuk golongan
12
Retribusi Jasa Umum, jadi pemerintah daerah berhak untuk menarik biaya dalam pengurusan Kartu Tanda Penduduk dan Akta Kelahiran yang besarnya tergantung dengan kemampuan daerah itu sendiri. Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum berdasarkan kebijakan daerah dengan mempertimbangkan biaya penyediaan jasa, kemampuan masyarakat dan aspek keadilan, hal inilah yang menyebabkan berbedanya besaran biaya pelayanan administrasi kependudukan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain pada waktu itu. Hal ini menyebabkan timbulnya suatu kebanggaan tersendiri apabila suatu pemerintah daerah mampu untuk menerapkan kebijakan gratis biaya pelayanan KTP dan akta catatan sipil sehingga menjadi suatu kebijakan yang populer di mata masyarakat. Pada faktanya, pelaksanaan kebijakan gratis pelayanan administrsi kependudukan
adalah
bagaikan
buah
simalakama,
karena
dengan
dihapuskannya biaya pelayanan administrasi kependudukan justru juga dapat memperburuk kualitas pelayanan itu sendiri dan menimbulkan masalah-masalah seperti ketidakpastian waktu dan biaya, pengurusan yang berbelit serta maraknya pungutan liar. Berikut adalah beberapa contoh daerah yang melaksanakan program gratis KTP/KK/Akta Catatan Sipil beserta masalah-masalah yang ditimbulkan sebagai efek dari program gratis tersebut : 1. Kabupaten Lombok Timur NTB : Sebelum gratis warga hanya butuh dalam hitungan jam dalam mendapatkan KTP, setelah gratis justru waktu yang dibutuhkan berminggu-minggu. (www.suarantb.com)
13
2. Kabupaten Sidoarjo melalui Perda No. 1 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan : Terkendala lamanya pengurusan
dan
banyaknya
pungutan
liar.
(www.dprd-
sidoarjokab.go.id) 3. Kota Makassar : Pelayanan gratis yang diberikan adalah pelayanan KTP, KK, dan Akte Kelahiran, namun masih banyak pungutan liar dan
pengurusan
yang
berbelit-belit.
(www.antara-
sulawesiselatan.com) 4. Kabupaten Subang : Jauh lebih rumit dibanding KTP sebelumnya dan masih adanya pungutan liar. (www.progresifjaya.com) Salah satu indikator keberhasilan administrasi negara adalah dengan terselenggaranya pendataan penduduk yang baik dan KTP merupakan salah satu alat pendataan yang digunakan oleh pemerintah Indonesia. Tidak tertibnya administrasi kependudukan, misalnya KTP palsu, KTP ganda, ataupun KTP yang berisikan identitas yang tidak benar, dapat menimbulkan permasalahan dan dapat merugikan negara. Oleh karena itu pemerintah pusat melalui Kementrian Dalam Negeri melaksanakan 3 program untuk membenahi permasalahan administrasi kependudukan khususnya perihal KTP, yaitu : pemutakhiran data kependudukan, penerbitan Nomor Induk Kependudukan dan penerapan KTP elektronik (KTP-el). Program KTP-el telah dimulai sejak tahun 2009 dengan ditunjuknya 4 (empat) kota sebagai proyek percontohan nasional, yaitu Kota Padang, Kota
Makassar,
Kota
Yogyakarta,
dan
Kota
Denpasar.
Untuk
kota/kabupaten yang lainnya secara resmi telah diluncurkan oleh Kementrian Dalam Negeri pada Februari 2011. Selanjutnya, sesuai dengan
14
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 yang disahkan pada tanggal 24 Desember 2013, maka sebutan e-KTP berganti menjadi KTP-el (KTP elektronik) sesuai dengan norma Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Baik atau buruknya kualitas penyelenggraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah juga dapat dilihat melalui penyelenggaraan pelayanan publik pada pemerintah kecamatan. Pemerintah kecamatan sangat sering berhadapan langsung dengan segala permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Namun,
penyelenggaraan
pelayanan
oleh
pemerintah
kecamatan relatif masih belum optimal, karena masih banyaknya ditemukan keluhan-keluhan atau pengaduan dari masyarakat sebagai pengguna pelayanan. Hal ini telah dicoba untuk diperbaiki oleh pemerintah pusat dengan mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai tindak lanjut upaya untuk melaksanakan kegiatan pelayanan publik, contohnya antara lain adalah dengan
Permendagri
Nomor
24
Tahun
2006
tentang
Pedoman
Penyelenggraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Permendagri tersebut mengatur penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas dan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik. Selanjutnya, pemerintah juga mengeluarkan Permendagri Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN). Melalui permendagri ini pemerintah menetapkan bahwa seluruh kecamatan telah menerapkan PATEN selambat-lambatnya pada tahun 2014.
15
Pelayanan Administrasi Terpdu Kecamatan (PATEN) merupakan suatu terobosan oleh pemerintah dalam rangka mendekatkan, mempermudah, dan mempercepat pelayanan administrasi perizinan / non perizinan di tingkat kecamatan, terutama bagi kecamatan yang letaknya jauh dari Kantor Pemerintah Kota/Kabupaten dan sulit dijangkau karena faktor kondisi geografis serta infrastruktur jalan yang belum memadai. Untuk Pemerintah Kota Padang sendiri, kebijakan gratis pelayanan KTP sudah dilaksanakan sejak tahun 2009 melalui Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 06 Tahun 2009 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil. Kebijakan ini pada awalnya merupakan wujud
dari janji kampanye pasangan walikota dan wakil
walikota terpilih, dimana salah satu janji kampanye tersebut adalah dengan digratiskannya biaya pengurusan KTP. Program KTP gratis ini cukup berhasil menarik suara dan dukungan dari masyarakat, sekaligus menjadi bukti tingginya harapan masyarakat terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik khususnya pelayanan KTP. Namun, dalam perjalanannya, program ini terganggu dengan terjadinya gempa bumi pada bulan September tahun 2009. Gempa tersebut mengakibatkan hancurnya sebagian besar infrastruktur pemerintahan termasuk gedung Balaikota Padang. Sesuai dengan pelaksanaan program KTP-el yang telah dimulai sejak tahun 2011, maka Pemerintah Kecamatan Padang Selatan diharapkan dapat menunjukkan hasil yang optimal karena Kecamatan Padang Selatan telah lebih dahulu melakukan proyek percontohan KTP-el pada 2009.
16
Kecamatan Padang Selatan dipilih karena memiliki data kependudukan yang valid dibandingkan dengan kecamatan lain yang ada di Kota Padang, selain itu Kecamatan Padang selatan juga memiliki fasilitas gedung serta personil yang lebih memadai untuk malakukan proyek percontohan tersebut. Selanjutnya, belum selesainya perekaman data penduduk dan pencetakan KTP-el menyebabkan pemerintah pusat masih memberlakukan KTP non elektronik (KTP biasa/KTP manual) sesuai Perpres No. 112 Tahun 2013 sehingga sampai pada akhir 2014 ini pemerintah kecamatan masih akan melayani 2 jenis pelayanan KTP. Berlakunya 2 jenis KTP tersebut dengan prosedur dan waktu penyelesaiannya masing-masing tentu juga dapat menimbulkan kesulitan dan kebingungan di dalam masyarakat itu sendiri. Karena pentingnya serta besarnya harapan masyarakat terhadap kualitas pelayanan dari program gratis KTP yang dilakukan Pemerintah Kota Padang, serta hasil pengamatan penulis sewaktu masih aktif bekerja sebagai aparat pemerintah di kecamatan bahwa masih banyaknya ditemukan keluhan-keluhan dari masyarakat terhadap pelayanan di kecamatan dimana hal tersebut menjadi bukti dari masih rendahnya kualitas pelayanan publik khususnya pada tingkat pemerintah kecamatan. Kecamatan Padang Selatan dipilih oleh penulis menjadi lokasi penelitian karena Pemerintah Kecamatan Padang Selatan yang menjadi salah satu dari 4 kota percontohan dalam melaksanakan program KTP-el di Indonesia, sudah tentunya memiliki nilai lebih dibanding kecamatan-kecamatan lain di Kota Padang. Kualitas pelayanan KTP gratis di Kecamatan Padang Selatan juga bisa sebagai
17
representasi dari kualitas pelayanan publik di Kota Padang, khususnya pelayanan KTP. Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis merasa tertarik untuk menyusun tesis ini dengan judul ” KUALITAS PELAYANAN
KARTU
TANDA
PENDUDUK
GRATIS DI
KANTOR KECAMATAN PADANG SELATAN”. 1.2.
Rumusan Masalah Dari penjabaran latar belakang tersebut, maka penulis dapat
merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berkut : 1.
Bagaimana kualitas pelayanan Kartu Tanda Penduduk Gratis di Kantor Camat Padang Selatan ?
2.
Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi kualitas pelayanan Kartu Tanda Penduduk Gratis di Kantor Camat Padang Selatan ?
1.3.
Tujuan Penelitian Maka dapat dilihat tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui dan menganalisis kualitas pelayanan Kartu Tanda Penduduk Gratis di Kantor Camat Padang Selatan.
2.
Untuk
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kualitas
pelayanan Kartu Tanda Penduduk Gratis di Kantor Camat Padang Selatan 1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini secara umum adalah
untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan sosial
18
terutama tentang kualitas dalam pelayanan publik. Sekaligus untuk dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi Pemerintah Kota Padang dalam peningkatan kualitas pelayanan publik terhadap masyarakatnya. Sedangkan manfaat khususnya adalah untuk memberikan masukan-masukan sekaligus bahan pertimbangan bagi daerah-daerah lain yang ingin mengetahui dan meningkatkan kualitas pelayanan publiknya.
19