1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berdasarkan dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat
melalui
peningkatan
pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antarsusunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang
dan
tantangan
dalam
persaingan
global
dengan
memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai
2
dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk
menangani
urusan
pemerintahan
dilaksanakan
berdasarkan
tugas,
wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Kepentingan dan aspirasi masyarakat tersebut harus dapat ditangkap oleh Pemerintah Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai representasi
3
perwakilan rakyat dalam struktur kelembagan pemerintahan daerah yang menjalankan fungsi pemerintahan, yang bertujuan sebagaimana yang disebutkan di atas. Pemerintah daerah menjalankan fungsi pemerintahan dan DPRD menjalankan fungsi legislasi, fungsi penganggaran (budgeting) dan fungsi pengawasan. Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD seyogyanya merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa diantara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini dapat dicerminkan dalam membuat kebijakan daerah berupa
peraturan daerah.
Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung (sinergi) bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Dalam melaksanakan berbagai fungsi dan tugasnya, anggota lembaga legislative dalam hal ini DPRD Kota Makassar dituntut untuk tanggap terhadapa kepentingan rakyat yang diwakilinya dan organisasi politik tempatnya bernaung. Maka dalam mengoptimalkan tugas dan tanggung jawabnya dibentuklah alat kelengkapan guna menunjang kinerja DPRD secara keseluruhan. Alat kelengkapan ini adalah salah satu unit terkecil atau organisasi kecil di DPRD. Semua unit kecil (alat kelengkapan ) yang dibentuk oleh DPRD adalah tidak lain untuk menunjang sinergisme pelaksanaan pemerintahan.
4
Namun dalam kenyataannya, sinergisme
tersebut belum dapat berjalan
secara optimal. Kesetaraan hubungan tersebut seringkali dimaknai lain, yang mengurangi fungsi dan kewenangan dewan. Sebagai contoh, masih banyaknya produk peraturan- peraturan daerah yang merupakan inisiasi dari pemerintah daerah, bukan dari DPRD. Padahal jika kita merujuk pada Pasal 95 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2004 dengan tegas dinyatakan bahwa
”DPRD memegang kekuasaan membentuk peraturan daerah”. Ini artinya bahwa “leading sector” pembentukan PERDA seharusnya ada ditangan DPRD. Hal ini dapat kita lihat dari rekapan peraturan daerah satu tahun terakhir yang sudah ditetapkan. Sebagian besar draft Rancangan Peraturan Daerah merupakan inisiatif dari Pemerintah Kota Makassar yang langsung bersentuhan dengan masyarakat atau publik, sehingga lebih
tanggap terhadap polemik yang terjadi dimasyarakat.
Sebagai bahan perbandingan yang menunjukkan proporsi peraturan yang inisiatifnya berasal dari DPRD dan eksekutif. Tabel 1 Perbandingan Inisiatif Legislatif dan Eksekutif Tahun 2010 JENIS PERDA
DPRD KOTA MAKASSAR -
APBD Tahun 2011
PEMERINTAH KOTA MAKASSAR Draft berasal dari Pemerintah Kota Makassar -
Perubahan APBD Tahun 2010
-
-
Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD Tahun 2009 Ruang Terbuka Hijau (masih dalam bentuk draft RAPERDA)
-
-
-
Draft berasal dari DPRD Kota Makassar
PAJAK DAERAH
-
KET Telah ditetapkan Telah ditetapkan Telah ditetapkan Telah ditetapkan Masih dalam pembahasan
Sumber : Daftar peraturan daerah Kota Makassar, 2010 Bagian Rapat Sekretariat DPRD Kota Makassar
5
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 1 (satu) tahun anggaran tahun 2010 , ada 5 (lima)
peraturan daerah yang ditargetkan untuk
ditetapkan , namun hanya 4 (empat) yang dapat ditetapkan dan semua draftnya inisiatif dari Pemerintah Kota Makassar. Belum lagi yang berkaitan dengan “bargaining posisition” dalam pembahasan APBD, DPRD masih dalam posisi yang lemah. Bagaimana tidak, draft Perda APBD tersebut biasanya masuk ke Dewan dalam waktu yang sangat pendek pembahasan dalam waktu 2 (minggu) dalam kalender kegiatan alat kelengkapan DPRD, untuk membahas lebih dari 30 (tiga puluh) SKPD, dan Perusahaan Daerah, sehingga sangat sulit bagi Dewan untuk secara teliti mengkaji substansi dari draft tersebut. Selain kedua contoh di atas, jika kita lihat dari aspek penganggaran yang dimiliki Dewan, masih sangat timpang dibandingkan dengan penganggaran yang ada di pemerintah daerah. Dewan tidak mempunyai otonomisasi anggaran yang dapat mendukung fungsi dan kinerjanya secara optimal. Sehingga tidak aneh jika seringkali muncul ‟rumor‟ bahwa DPRD hanya sebagai ’rubber stamp’ yang meligitimasi semua kebijakan pemerintah. Hal ini diperparah lagi dengan regulasi kita yang belum memberikan kedudukan yang setara antara pemerintah daerah dengan DPRD yang dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan kedudukan MPR,DPR,DPD,dan DPRD, yaitu antara lain yang berkaitan dengan : 1. Status pejabat negara, hanya melekat pada kepala daerah tidak termasuk anggota DPRD; 2. Pengaturan hak inisiasi legislasi bagi anggota maupun kelembagaan DPRD dibanding dengan pengaturan inisiasi legislasi dari pemerintah daerah (dalam bentuk peraturan teknis pelaksanaan); 3. Kedudukan, tugas dan fungsi alat kelengkapan Badan Legislasi dalam struktur kelembagaan Dewan;
6
Pengangkatan staf ahli untuk mendukung kinerja dewan; dan lain-lain. Dari kondisi yang demikian, memang sepertinya sangat sulit untuk berharap banyak adanya kesetaraan antara Pemerintah Daerah dengan DPRD, tetapi hal ini bukannya tidak mungkin. Sejalan dengan perubahan konstitusi dan kematangan otonomi daerah, mulai dilakukan penguatan fungsi dan kinerja dewan melalui perubahan regulasi, pembenahan struktur kelembagaan (misalnya adanya penambahan alat kelengkapan dewan yang berupa Badan Legislasi, Badan Kehormatan, dan lain-lain), penguatan kelembagaan (optimalisasi fungsi alat-alat kelengkapan dewan), penguatan penganggaran, peningkatan daya dukung Dewan (sarana-prasarana dan staf) dan penentuan Program Legislasi Daerah sebagai instrumen perencanaan pembentukan peraturan daerah yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis antara Dewan dan Pemerintah Daerah. Dalam upaya mendorong dan mengakselerasi ke arah penguatan fungsi dan kinerja Dewan tersebut (khususnya dalam bidang legislasi), peran alat-alat kelengkapan Dewan dalam hal ini salah satunya adalah Badan Legislasi sangatlah diperlukan.
Keberadaan alat kelengkapan ini di dalam DPRD secara normatif
memang masih lemah. Perubahan status dari Panitia Legislasi ke Badan Legislasi berdasarkam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,DPR, dan DPRD serta Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seyogyanya menguatkan fungsinya sebagai alat kelengkapan Dewan namun pada kenyataannya tidak demikian. Hal ini dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 43 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Tata Tertib DPRD,
7
tidak menyebut secara tegas Badan Legislasi sebagai salahsatu alat kelengkapan DPRD, namun yang disebut alat kelengkapan DPRD adalah “pimpinan, komisi, Badan Musyawarah, Badan anggaran, badan kehormatan, dan alat kelengkapan lain yang diperlukan”. Poin yang terakhir inilah sebagai „pintu masuk‟ dibentuknya alat kelengkapan Badan Legislasi, sehingga tidak dianggap sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap. Untuk itu, jika ada komitmen dan keinginan yang kuat dalam upaya meningkatkan optimalisasi dalam fungsi legislasi, alat kelengkapan Badan Legislasi di DPRD hendaknya dipersamakan dengan alat-alat kelengkapan DPRD lainnya yang telah ada dan ditetapkan keberadaannya bersifat tetap. Alat kelengkapan ini dipandang perlu jika ada komitmen untuk melakukan penguatan fungsi legislasi di DPRD. Tugas-tugas yang dapat dilaksanakan oleh alat kelengkapan ini adalah menyusun program legislasi daerah yang memuat daftar urutan rancangan peraturan daerah untuk satu masa keanggotaan dan prioritas setiap tahun anggaran, yang selanjutnya dilaporkan dalam Rapat Paripurna untuk ditetapkan dengan Keputusan Ketua DPRD Pada pemaparan di atas, dapat diambil „benang merah‟ untuk mengurai optimalisasi kinerja Dewan dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Di satu sisi ada faktor yang mempengaruhi belum optimalnya kinerja dewan, namun disisi yang lain ada potensi dan peluang yang dapat digali dan dimanfaatkan. Seperti halnya kebutuhan akan alat kelengkapan Badan Legislasi
di
DPRD.
Alat
kelengkapan
ini
belum
secara
keseluruhan
dimiliki/dibentuk oleh DPRD-DPRD. Keberadaan alat kelengkapan ini di dalam DPRD secara normatif memang masih lemah. Padahal secara substantif fungsi
8
alat kelengkapan ini sangat penting terkait dengan penguatan fungsi legislasi di daerah (DPRD). Namun keberadaan alat kelengkapan ini sebagaimana yang telah diuraikan di atas, di dalam peraturan perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas bahwa Badan Legislasi sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD. Selain pembentukan alat kelengkapan Badan Legislasi di DPRD-DPRD, dalam upaya penguatan fungsi legislasi DPRD sebagaimana tersebut di atas, harus pula didukung adanya pendanaan/anggaran yang cukup. Proses legislasi tidak hanya sekedar pembahasan dan pengesahan suatu RAPERDA tetapi dimulai dari
perencanaan,
persiapan,
pembentukan,
perumusan,
pembahasan,
pengundangan dan penyebarluasan. Kesemua proses tersebut memerlukan anggaran. Jika secara regulatif DPRD di beri fungsi dan wewenang untuk melakukan inisiasi legislasi, maka kesemua proses tersebut harus dilakukan dan juga harus didukung dan disertai dengan anggaran yang cukup. Pertanyaannya adalah apakah pemerintah daerah sebagai pemegang dan pengelola otoritas keuangan daerah telah secara „fair‟ memberikan porsi yang seimbang anggaran pembuatan PERDA yang diinisiasi pemerintah daerah sendiri dengan yang diinisiasi DPRD. Berdasarakan berita pada Harian Fajar edisi Kamis, 28 April 2011 ,sejumlah Rancangan Peraturan Daerah ( RAPERDA) maupun Peraturan Daerah (PERDA) saat ini masih menumpuk di Badan Legislasi (BALEG) DPR Kota Makassar. Ada yang masih berbentuik draft rancangan ada juga yang masih dalam kajian akademik. Bertumpuknya Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) dikarenakan beberapa kendala terkait pembahasan RAPERDA tersebut yang diakui oleh Ketua Badan Legislasi (BALEG) DPRD Kota Makasar Yusuf Gunco,SH,MH .
9
Dari data dan fakta yang telah dipaparkan diatas terlihat bahwa Rancangan peraturan daerah yang merupakan inisiatif dari Pemerintah Daerah (Pemerintah Kota Makassar) lebih cepat ditetapkan daripada Rancangan Peraturan Daerah yang merupakan inisiatif dari Dewan itu sendiri karena beberapa alasan yang tergambar sebelumnya. B. Fokus Masalah Fungsi DPRD sebagaimana diuraikan diatas pada hakikatnya merupakan Tugas Pokok DPRD dalam kedudukannya sebagai mitra kerja dari Pemerintah Daerah. Pelaksanaan Fungsi atau tugas pokok dan kewenangan DPRD merupakan indicator penilaian kinerja dari kelembagaan DPRD sebagai institusi/organisasai publik yang harus mempertanggungjawabkan kewajibannya sebagai wakil rakyat kepada konstituen atau masyarakata yang diwakilinya menegenai apa saja yang telah, akan dan sudah dilaksanakannya. Olehnya itu penulis mencoba merumuskan pokok permasalahan atau memberikan batasan permasalahan berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang sebagai berikut : “ Bagaimana Kinerja Badan Legislasi DPRD Kota Makassar dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kota Makassar ? “ C. Tujuan Tujuan penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran secara nyata mengenai Kinerja Badan Legislasi DPRD Kota Makassar dalam Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
10
D. Manfaat Penelitian a. Manfaat akademik Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pemikiran dalam Ilmu Administrasi, khususnya Administarasi Pembangunan Daerah dalam bidang kinerja Badan Legislasi Daerah .
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman mengenai Kinerja organisasi sehingga berguna bagi peneliti lain yang akan melakukan pengkajian organisasi Pemerintah dan sebagai bahan evaluasi kinerja organisasi serta dapat digunakan sebagai acuan atau pertimbangan oleh organisasi atau pembuat kebijakan dalam hal ini DPRD Kota Makassar
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan teori
1. Konsep kinerja Kinerja merupakan suatu proses yang berkenaan dengan aktivitas sumber daya manusia dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan. Mengingat kinerja adalah aktivitas yang berkaitan dengan unsure yang terlibat dalam suatu proses untuk menghasilkan sesuatu maka penilaian diperlukan sebagai dasar untuk meproduksi atau pengembangan. Kinerja atau performance adalah prestasi yang dihasilkan dari suatu proses atau cara bertindak dalam suatu fungsi atau lebih. Kinerja menempatkan suatu proses yang berkenaan dengan aktivitas sumber daya manusia dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan yang menghasilkan sesuatu dalam pencapaian tujuan organisasi (Sedarmayanti,2004:46) Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam organisasai yang modern, penilaian mekanisme penting bagi manajemen untuk meningkatkan kinerja.
12
Kinerja
(performance)
juga
adapt
didefenisikan
sebagai
tingkat
pencapaian hasil atau “degree of accomplishment” atau ddengan kata lain,kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi (Rue & Byars,1981). Penialain kinerja merupakan sautu kegiatan yang sangat penting karena dapatdigunakan seagi ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai hasilnya. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja , maka upaya untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara lebih terarah dan sistematis . Kinerja menempatkan suatu proses yang berkenaan dengan aktivitas sumber daya manusia dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan, mengingat kinerja adalah aktivitas yang berkaitan dengan unsure-unsur yang terlibat dalam suatu proses untuk menghasilkan sesuatu (Output). Prawirosentoro (1999:2) mengemakakan bahwa , Kata kinerja yag merupakan padanan kata “performance” yang berarti hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasai, sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan seacra legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika “ Pendapat yang serupa dikemumakan oleh Soeryadi (2000:2) mendefinisikan bahwa kinerja adalah “ hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masingmasing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Secara umum dapat digambarkan bahwa Kinerja pada dasarnya adalah hasil kerja yang ditampakkan atau dihasilkan oleh suatu organisasi sebagai tujuan yang dicita-citakan bersama dengan penuh rasa tanggungjawab tidak melanggar hukum , berdasarkan moral dan etika yang berlaku.
13
Lebih rinci pandangan Kinerja di kemukakan oleh Irawan dkk (1997:17) yaitu bahwa kinerja secara umum adalah perbuatan atau prestasi (performance). Dalam konteks khusus performance diartikan sebagai output seorang pekerja, sebuah output proses manajemen, atau suatu organisasi secara keseluruhan, diman output tersebut harus ditunjukkan buktinya secar konkret dan dapat diukur
(dibandingkan
dengan
standar
yang
telah
ditentukan).
Kinerja
(performance) adalah hasil kerja yang bersifat konkret, dapat diamati, dan dapat diukur. Pendapat yang hampir sama dengan dua pendapat sebelumnya namun dikemukakan lebih rinci dengan menyebutkan adanya input, proses dan output dari kineja itu sendiri. Pendapat ini menyimpulkan bahwa kinerja adalah suatu hal yang riil dan dapat diukur serta di amati Penetapan indicator kinerja harus didasarkan pada perkiraan yang realistis dengan memperhatikan tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Indicator kinerja hendaknya (1) spesifik dan jelas , (2) dapat diukur secara objektif baik yang bersifat kuantitatif ataupun kualitatif ; (3) dapat dicapai, penting dan harus berguna untuk menunjukkan pencapaian keluaran, hasil, manfaat,dan dampak ; (4) harus cukup fleksibel dan sensitive terhadap perubahan ; (5) efektif yaitu dapat dikumpulkan , diolah,dan dianalisis datanya secara efisien dan ekonomis (LAN,2004) Dengan demikian kinerja adalah hasil kerja yang bersifat konkret , dapat diamati dan diukur. Jika diaplikasikan pada suatu organisasi maka akan mengandung secara tersirat 3 (tiga) aspek yang perlu dipahami oleh setiap individu
yaitu
:
(1)
kejelasan
tugas
atau
pekerjaan
yang
menjadi
14
tanggungjawabnya , (2) Kejelasan hasil yang diharapkan dari suatu pekerjaan atau fungsi; dan (3) waktu yang diperlukan untyk menyelesaikan suatu pekerjaan agar hasil yang diharapkan dapat terwujud.
2. Pengukuran Kinerja organisasi Menurut
(Shand 1997:22) “Apabila suatu organisasi tidak mengukur
kinerjanya maka organisasi tersebut tidak akan mengetahui apa yang sudah dikerjakan” . Pernyataan ini menunjukkan betapa pentingnya mengukur kinerja organisasi termasuk organisasi publik.
Bagi organisasi publik, hasil dari
pengukuran kinerja dapat membantu pimpinan dalam pengambilan keputusan dan dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi. Selain itu, hasil dari pengukuran kinerja organisasi juga dapat membantu pimpinan dalam menetapkan target-target yang lebih spesifik, alokasi anggaran yang lebih baik, dan dalam meningkatkan motivasi dan akuntabilitas pegawai (Jowett dan Rothwell 1988:4). Walaupun mengukur kinerja organisasi dapat memberikan manfaat yang besar dan oleh karena itu hal ini telah menjadi “isu utama dalam setiap organisasi.
Hal ini dapat dilihat pada tidak konsistennya
istilah-istilah yang digunakan dalam menjelaskan konsep mengenai kinerja organisasi. Goodman
dan
Pennings
(1977:1-2)
dan
Cambell
(1997:14)
menggunakan istilah kinerja organisasi dan efektivitas dalam makna yang sama. Selanjutnya, Mark (1981:73) memasukkan efektivitas dan kinerja ke dalam definisi produktivitas sedangkan Hannan dan Freeman (1977:115) mengatakan bahwa kinerja organisasi selalu berhubungan dengan hasil (output). Sebaliknya,
15
menurut Quinn (1978:42), “produktivitaslah sebenarnya yang disebut sebagai kinerja organisasi” walaupun Hatry (1978:28) menyatakan bahwa produktivitas tidak hanya efektifitas tetapi juga efisiensi. Singkatnya bahwa ketika berbicara tentang kinerja organisasi orang sering berada pada gelombang yang berbeda. Mereka menggunakan kata effisiensi padahal yang dimaksud adalah efektivitas atau kualitas atau mungkin juga produktivitas. Dari beberapa rujukan para ahli sebelumnya oleh
Amir Imbaruddin
(2010) dalam orasi ilmiahnya mengemukakan bahwa pengukuran kinerja organisasi publik secara umum melalui dua dimensi yaitu secara objektif dan secara subjektif . a.
PENGUKURAN OBJEKTIF KINERJA ORGANISASI : EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS Ada dua pendekatan berbeda yang umum digunakan dalam menganalisis dan mengukur kinerja organisasi publik menurut Brown dan Coulter (1983:50). Pendekatan pertama adalah mengukur kinerja dengan menggunakan data dan informasi yang berasal dari dalam organisasi pemerintah yang diukur tersebut. Seringkali dihubungkan dengan model produksi seperti pada Gambar 1, pendekatan pertama ini dikenal sebagai pengukuran objektif dengan dua indikator utama yaitu efisiensi dan efektivitas . Efisiensi dan efektivitas dapat dikatakan sebagai dua istilah yang paling populer digunakan dalam pengukuran kinerja organisasi pemerintahan. Secara umum efisiensi didefinisikan dan diukur dari perbandingan input dan output atau rasio di mana input diubah menjadi output (Carter dkk. 1992:37; Mulreany 1991:8; Boyle 1989:19; Gleason
16
dan Barnum 1982:380). Berdasarkan definisi ini, efisiensi organisasi dapat dicapai dengan meminimalkan input dan mempertahankan output atau dengan mempertahankan input tetapi memaksimalkan output atau secara bersamaan meminimalkan input dan memaksimalkan output. Namun, banyak yang berpendapat bahwa penggunaan istilah efisiensi umumnya hanya dilihat satu sisi yaitu dalam arti meminimalkan input atau mengurangi biaya untuk menghasilkan sejumlah tertentu output (input efficiency).
Sumber: Boyle, R., 1989. Managing Public Sector Performance: a comparative study of performance monitoring systems in the public and private sector, Institute of Public Administration, Dublin:17. Jika dibandingkan dengan efisiensi, definisi efektivitas lebih problematik dan membingungkan. Pada organisasi publik, tujuan organisasi yang kurang jelas dan
sering
saling
bertentangan
sehingga
semakin
menyulitkan
untuk
menyepakati definisi efektivitas yang dapat diterima secara luas. Meskipun demikian, menurut Cameron (1981a:45) sedikitnya ada empat pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan dan mengukur efektivitas organisasi. 1.
Pertama dan paling umum digunakan adalah mengukur efektivitas dengan sejauh mana sebuah organisasi mencapai tujuan atau target yang
17
sudah ditetapkan . Pendekatan ini mengasumsikan bahwa tujuan-tujuan organisasi jelas dan dapat diukur (clear and measurable objectives) serta semakin banyak tujuan dan target organisasi dapat dicapai maka semakin efektiflah organisasi tersebut. Tetapi karena tidak semua organisasi publik memiliki tujuan yang jelas dan terukur maka pencapaian tujuan dianggap kurang relevan untuk mengukur efektivitas organisasi pemerintah. 2.
Pendekatan kedua mengukur efektivitas organisasi, menurut Cameron (1981b:4), disebut System-Resource Model yaitu suatu organisasi dapat dikatakan efektif apabila organisasi tersebut mampu memperoleh semua sumber daya yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan organisasi tersebut. Semakin banyak sumber daya yang dapat dikumpulkan oleh sebuah organisasi dari lingkungannya maka semakin efektiflah organisasi tersebut. Dengan kata lain, kalau pendekatan Goal Model menekankan pada output maka pendekatan System-Resource Model mengutamakan pada input.
3.
Pendekatan ketiga untuk mengukur efektivitas organisasi disebut Internal Process Model yang menekankan pada proses dan mekanisme kerja dalam organisasi. Menurut model ini, sebuah organisasi dapat dikatakan efektif apabila proses dan mekanisme kerja di dalam organisasi tersebut berlangsung damai. Hal ini ditandai dengan adanya saling percaya di antara pegawai dan lancarnya arus informasi horizontal dan vertikal di dalam organisasi (Cameron 1981b:4).
4.
Pendekatan keempat dan terakhir dalam mengukur efektivitas organisasi adalah Stategic-Constituencies Model yang mengukur efektivitas suatu organisasi dengan sejauh mana organisasi tersebut dapat memuaskan
18
stakeholder-nya.
Stakeholder
ini
terdiri
dari
orang-orang
yang
menyediakan input untuk organisasi atau yang menggunakan output dari organisasi atau yang memiliki kerjasama dengan organisasi atau individu yang peranannya sangat penting bagi kelangsungan hidup organisasi (Cameron 1981b:4). b.
PENGUKURAN SUBJEKTIF KINERJA ORGANISASI: KUALITAS PELAYANAN Keterbatasan pengukuran kinerja organisasi secara objektif yang berbasis kuantitas seperti yang dijelaskan sebelumnya memperkuat alasan juga perlunya pengukuran subjektif kinerja organisasi publikyang berbasis kualitas. Namun demikian sampai saat ini, pengukuran subjektif kinerja organisasi publik yang paling populer digunakan adalah survey tingkat kepuasan penerima jasa – dalam hal ini pelanggan atau klien atau warga negara – terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh instansi pemerintah (Donnelly dkk. 1995; Navaratnam dan Harris 1995; Nash 1996; Chiu 1977; Claver dkk. 1999; Donnelly 1999; Kloot 1999). Sedikitnya ada dua alasan mengapa tingkat kepuasan penerima pelayanan paling banyak digunakan untuk mengukur kinerja organisasi publik secara subjektif. Pertama,
munculnya
pendekatan
manajemen
dalam
kajian
administrasi negara di tahun 1980-an dengan berbagai label seperti “managerialism” atau “market-based public administration” atau “new public management”. Walaupun berbeda label, pendekatan-pendekatan ini menekankan pada pentingnya kualitas pelayanan publik dan kepuasan
19
masyarakat penerima pelayanan serta memperkenalkan mekanisme pasar dan kompetisi dalam penyediaan pelayanan publik (Taylor 2000 dan Hughes 1994). Alasan kedua mengapa indikator pengukuran subjektif kinerja organisasi publik untuk mengukur tingkat kepuasan penerima pelayanan populer karena semakin meningkatnya tuntutan agar pemerintah di seluruh dunia mengadopsi praktek-praktek demokrasi dan partisipasi warga negara dalam segala aktifitas pemerintahan. Brudney dan England (1982:129) berpendapat bahwa penilaian dan pendapat masyarakat terhadap kinerja organisasi pemerintah adalah bentuk nyata nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Masyarakat akan merasa benar-benar dilibatkan dalam pengelolaan pelayanan publik dan pemerintah serius mendengarkan aspirasi serta menindaklanjuti keinginan masyarakat. Hal ini terjadi karena semakin tingginya tuntutan masyarakat agar pemerintah memberikan pelayanan yang berkualitas dan memperhatikan dengan serius keinginan-keinginan dari masyarakat yang dilayani. Selain itu, penilaian masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang mereka terima juga relevan sebagai mekanisme voice khususnya pada pelayanan publik yang dimonopoli oleh pemerintah sehingga masyarakat tidak memiliki mekanisme exit (Carter dkk. 1992:41). Selanjutnya Palfrey dkk. (1992) menjelaskan bahwa penilaian masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang diterima juga dapat membantu untuk memahami kebutuhan masyarakat dan dapat membantu pemerintah merancang
20
pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan tersebut. Terakhir, sebagai penerima manfaat utama dari pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik, masyarakat sudah pada tempatnya bila ikut terlibat dalam proses penilaian kinerja organisasi publik tersebut. Selain alasan-alasan philosopis, banyak manfaat praktis lainnya yang dapat diperoleh dari hasil penilaian kinerja yang melibatkan masyarakat penerima
pelayanan.
Sebagai
contoh,
hasil
penilaian
masyarakat
penerima pelayanan dapat memberikan informasi menyangkut jenis dan jumlah pelayanan publik tertentu yang dibutuhkan masyarakat dan apakah perubahan mekanisme pelayanan yang dilakukan sudah sesuai dengan
harapan
masyarakat.
Juga
dapat
memberikan
gambaran
keinginan dan kebutuhan masyarakat terhadap kebijakan, program, dan kegiatan yang menjadi prioritas bagi masyarakat. Dengan adanya mekanisme penilaian masyarakat terhadap kualitas pelayanan seperti ini, pembuat kebijakan juga dapat mengetahui keinginan-keinginan masyarakat
yang enggan untuk menyuarakan
harapan mereka melalui mekanisme konvensional seperti mengirim surat keluhan atau melakukan pengaduan melalui telepon (Hatry dkk. 1998:2). Pengukuran kinerja untuk penilaian keberhasilan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi organisasi. Pengukuran kinerja mencakup penetapan
indicator
kinerja
dan
penetapan
indicator
kinerjadan
penetapan capaian indicator kinerja. Selanjutnya , dilakukan evaluasi kinerja dengan cara menghitung nilai capaian kinerja dari pelaksanaan
21
kegiatan
yang
telah
ditetapkan.
Kemudian
untuk
menilai
pertanggungjwaban pencapaian tujuan dan sasaran yang ditetapkan berdasarkan
hasil
perencanaan
strategio
masing-masing
kegiatan
organisasi manajemen pemerintahan. Pencapaian kinerja dengan meninterpretasikan lebih lanjut hasil pengukuran kinerja menggambarkan keberhasilan organisasi dalam melaksanakan misinya. Menururut Munawir (1999:22) apabila diasumsikan bahwa semakin tinggi realisasi dapat menggambarkan pencapaian indicator kinerja yang semakin baik,maka untuk menghitung capaian indicator kinerja digunakan rumus sebagai berikut : Indikator Kinerja = Realisasi x 100%
Jika diasumsikan bahwa semakin tinggi realisasi menunjukkan semakin rendahnya pencapaian kinerja, maka digunakan rumus yakni :
Capaian Indikator Kinerja + Rencana –( Realisasi – Rencana) x 100 % : Rencana Sedarmayanti (2004:198) menyatakan bahwa indicator kinerja adalah ukuran
kuantitatifr
dan
kualitatif
yang
menggambarkan
tingkat
pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan, dengan memperhitungkan indicator masukan (input), keluaran (output), hasil
(outcome), manfaat (benefit) dan dampak (impact). Untuk mengetahui secara terperinci masing-masing indicator kinerja, maka akan diuraikan sebagi berikut :
22
a. Indicator (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran . indicator ini dapat berupa dana,sumber daya manusia , informasi, kebijakan/peraturan perundang-undangan dan sebaginya. b. Indicator keluaran (output) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan non fisik c. Indicator hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah d. Indicator manfaat (benefit) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan e. Indicator dampak (impact) adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negative pada setiap tingkatan indicator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan. Tanpa indikator, untuk mengukur dan menilai kinerja pada suatu organisasi maka akan sulit . secara umum, indicator kinerja memiliki fungsi untuk meperjelas tentang apa, berapa dan kapan kegiatan dilaksanakan, serta menciptakan consensus untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelkasnaan kegiatan dan dalam menilai kinerjanya dan membangun dasar pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja organisasi.
3. Konsep Legislasi dan Badan Legislasi Daerah Konsep legislasi, merupakan kata kerja dari sifat yang ditunjukkan oleh legislatif. Dengan kata lain struktur/lembaga/organisasi yang disebutkan dengan legislatif memuat peran dan atau tugas utamanya adalah melakukan segala
23
sesuatunya menjadi sah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau undang-undang yang ada. Termasuk yang terutama adalah menjadikan sah pertauran perundangan atau undang-undang. Legislatif merupakan suatu struktur /lembaga/organisasi yang disebutkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dengan demikian subyek yang dimaksudkan
adalah
DPRD.
Sedangkan
sesuatu
yang
merupakan
wewenang/kekuasaan untuk diputuskan adalah peraturan perundang-undangan atau
undang-undang
disamping segala
sesuatu
yang karena
peraturan
perundang-undangan tersebut memberi kewenangan atau kekuasaan untuk diputuskan.
Kompetensi
legislasi
yang
dimaksudkan
adalah
kekuasaan/kewenangan yang dimiliki oleh lembaga legislatif untuk memutuskan atau menentukan suatu peraturan perundangan atau undang-undang agar menjadi sah serta segala sesuatu yang oleh peraturan perundangan disebut sebagai obyek dari kekuasaan atau kewenangan legislatif. Legislasi daerah adalah instumen perencanaan program di daerah termasuk didalamnya adalah pembentukan RAPERDA. Proses pembentukan raperda setidaknya melalui dua jalur. Pertama, melalui inisiatif Eksekutif dimana sebuah rancangan masuk ke DPRD dari Eksekutif yang kemudian dibahas di rapat dewan untuk dianalisis apakah layak untuk dibawa ke Pansus. Dan yang kedua adalah melalui inisiatif dari DPRD itu sendiri berdasarkan skala prioritas yang telah disusun selama tahun berjalan . Badan Legislasi dibentuk oleh DPRD dan merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap. DPRD menetapkan susunan dan keanggotaan pada permulaan masa keanggotaan DPRD dan permulaan tahun sidang. Jumlah
24
anggota
ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan
pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPRD dan pada permulaan tahun sidang. Pimpinan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota musyawarah
untuk
mufakat
dan
proporsional
berdasarkan prinsip
dengan
memperhatikan
keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan dilakukan dalam rapat yang dipimpin oleh pimpinan DPRD setelah penetapan susunan dan keanggotaan Adapun tugas dan wewenang Badan Legislasi menurut Peraturan DPRD Kota Makassar tentang Tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Makassar adalah sebagai berikut : 1. Menyusun rancangan program legislasi daerah yang memuat daftar urutan prioritas rancangan peraturan daerah beserta alasannya untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPRD 2. Koordinasi untuk pembentukan program legislasi daerah antara DPRD dan Pemerintah Daerah, 3. Menyiapkan rancangan peraturan daerah usul DPRD berdasarkan prioritas yang telah ditetapkan, 4. Melakukan pengharmonisasian,pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah tersebut disampaikan kepada pimpinan DPRD, 5. Memberikan pertimbangan terhadap rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh anggota,komisi dan/atau gabungan komisi, diluar prioritas rancangan peraturan daerah tahun berjalan atau diluar rancangan peraturan daerah yang terdaftar dalam program legislasi daerah, 6. Mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan rancangan peraturan daerah melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus, 7. Memberikan masukan kepada pimpinan DPRD atas rancangan peraturan daerah yang ditugaskan oleh Badan Musyawarah,dan
25
8. Membuat laporan kinerja pada masa akhir keanggotaan DPRD baik yang sudah maupun belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan berikutnya. Fungsi Badan Legislasi Daerah Fungsi dalam konteks ilmu politik diartikan sebagai sebuah substansi peran dari suatu struktur atau yang diterangkan oleh term fungsi legislatif. Dengan demikian maka fungsi legislatif menunjuk pada substansi
peran
yang
harusnya
dilakukan
oleh
lembaga
legislatif.
Merujuk pada UU No 10 tahun 2004 pasal 1 ayat (10) proses legislasi daerah hendaknya dilakukan dalam kerangka yang terencana, terpadu dan sistematis. Kewenangan Pembentukan peraturan daerah sebelum lahirnya TAP MPR dan
diamandemennya
UUD
1945
dipandang
sebagai
suatu
pemberian
kewenangan (atribusian) dari UU Pemerintahan Daerah dan dilain pihak pembentukan suatu
peraturan daerah dapat juga merupakan pelimpahan
wewenang (delegasi) dari suatu keputusan presiden. Keberadaan
peraturan daerah dalam UUD 1945 sebelum diamandemen
memang tidak dikenal, sehingga
peraturan daerah termarjinalkan dalam tata
susunan peraturan perundang-undangan Indonesia. Tidak demikian halnya dengan setelah UUD 1945 diamanden, eksistensi
peraturan daerah sudah
dikukuhkan secara konsitusional sebagaimana dituangkan dalam Pasal 18 ayat (6) yang selengkapnya berbunyi; Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Dengan demikian pemerintahan daerah dapat menetapkan
peraturan
daerah bukanlah lagi dikarenakan adanya perintah dari UU yang mengatur
26
pemerintahan daerah, melainkan merupakan amanat dari konstitusi. Artinya, suatu UU yang dibentuk mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah harus memberikan hak kepada pemerintahan daerah untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun
demikian,
dalam
praktik
pembentukan
peraturan
daerah,
Pemerintahan Daerah belum memahami hak konstitusional yang diberikan UUD 1945. Hal ini setidaknya terlihat dalam melakukan pembentukan
peraturan
daerah Dalam perspektif norma hukum yang dinamik dan hirakhis itu saja misalnya, maka pembentukan suatu peraturan perundang-undangan negara bukanlah suatu pekerjaan mudah. Pembentuk peraturan perundang-undangan dituntut memiliki pengetahuan yang cukup, sehingga produk perundangundangan yang dihasilkan menjadi responsif dan populistik.
4. Peraturan Daerah UU Nomor 10 Tahun 2004,tentang Pembentukan Pearturan Perundangundangan
kembali
menegaskan
keberadaan
Perda
ini
dalam
kerangka
pembentukan hukum nasioanal. Demikian pula UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 1 angka 1 ,UU Nomor 10 Tahun 2004 mengatur proses pembentukan perauran perundang-undangan yang diartikan sebagai proses pembuatan
peraturan
perundang-undangan
pada
dasarnya
dimulai
dari
27
perencanaan,persipan
teknik
pembentukan
,
perumusan,
pembahasan,
pengesahan, pengundanagan dan penyebarluasan. Perda adalah kebijakan publik tertinggi yang dapat dirumuskan oleh pemerintah di daerah. Oleh karenanya Perda harus jadi acuan bagi DPRD, Pemda dan masyarakat sipil dalam merumuskan kebijakan-kebijakan publik dan privat. Perda dimaksudkan untuk melaksanakan tugas, wewewnang, kewajiban, dan tanggungjawab serta atas dasar melaksanakan perintah peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undanagn diatasnya, untuk itu dalam pembentukan Peraturan Daerah pemerintah pusat memberlakukan adanya pembinaan dan pengawasan. Pembinaan, dalam penjrelasan UU Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan adalah upaya yang dilakukan pemerintah (pusat) dan /atau gubernur selaku wakil pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Sedangkan pengawasan menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai rencana dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan Daerah merupakan instrument hukum kebijakan publik daerah. melalui, pemerintah menetapkan program pembangunan daerah. Kemudian program
pembangunan
tersebut
menjadi
acuan
bagi
program
legislasi
(pembentukan) Peraturan Daerah. PERDA juga menjadi bentuk kontrak pemerintah terhadap upaya menciptakan kesejahteraan rakyat didaerahnya
28
masing-masing. Sebagai instrument kebijakan publik, maka perda merupakan bentuk formal dan mengikat program yang dilaksanakan. Peraturan Daerah adalah produk hukum yang dibentuk bersama antara DPRD dengan Kepala Daerah. Dalam hal tertentu untuk melaksanakan peraturan daerah tersebut adakalanya diperlukan pengaturan lebih lanjut, dimana untuk itu perlu diatur dengan Peraturan Kepala Daerah (Sepertinya PP dalam pelaksanaan Undang-Undang) dan Keputusan Kepala Daerah (seperti Kepres yang dibuat oleh Presiden). Pembentukan dan Peraturan Kepala daerah dan keputusan Kepala Daerah itu tidak memerlukan persetujuan DPRD yang merupakan perintah lansung dari Perdanya sendiri maupun dalam rangka menindak lanjuti suatu peraturan daerah yang telah ditetapkan. Peraturan Daerah pada hakikatnya ikut serta dalam menentukan arah pembangunan dan pemerintahan di daerah, karena ia memberikan dasar dan batasan tentang bagaiman tata pemerintahan di berbagai bidang harus di jalankan, tidak terkecuali di Kota Makassar. Semua pelaku tata pemerintahan, baik ditingkat nasional maupun di tingakt daerah harus menghormati perda karena ia merupakan bagian dari sumber hukum. Oleh karena itu , DPRD, pemerintah daerah dan masyarakat sipil harus menentukan prioritas bersama apa saja perda yang utama dan apa saja yang lebih merupakan operasionalisasi. Berdasarkan
kerangka
itu,
sinkronisasi
dilakukan
secara
kontinyu
agar
pertentangan dan dampak negative kebijakan publik dapat diminimalkan . Pada setiap pembentukan Perundang-undangan tetap merujuk dan mengacu pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang dimana dalam pembentukan Perundang-undangan tersebut dijelaskan muatan dana materi
29
yang ada dalam Perundang-undangan yang akan di bentuk memenuhi beberapa azas antara lain : -
Kejelasan tujuan, yaitu setiap pembentukan Peraturan Perundangundangan harus mempunyai tujuan dan manfaat yang jelas untuk apa Peraturan Perundang-undangan itu dibuat,
-
Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis Peraturan Perundang-undangan hanya dibuat oleh pejabat/le,baga atau organ yang diberi kewenangan untuk membentuk Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan,
-
Dapat dilaksanakan, yaitu setiap pembentukan Peraturan Perundangundangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan Perundangundangan tersebut didalam masyarakat baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis,
-
Kedayagunaan
dan
keberhasilgunaan,
yaitu
setiap
Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur masyarakat, berbangsa,dan bernegara, -
Kejelasan rumusan, yaitu bahwa setiap Pearturan Perundang-undangan harus memenuhi persayaratan teknis penyusunan Peraturan Perundangundangan,sistematika,dan pilihan kata atau terminology serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam penafsiran dalam pelaksanaannya.
-
Keterbukaan, yaitu bahwa dalam proses pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari Perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-seluasnya untuk
30
memberi masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundangundangan. Sedangkan draft Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan oleh Badan Legislasi hendaknya mengandung beberapa unsur supaya layak ditetapkan menjadi peraturan daerah atau tidak kemudian menurut Pasal 6 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 . Unsur-unsur tersebut antara lain: -
Pengayoman, yaitu setiap rumusan Peraturan Perundang-undangan harus
berfungsi
mengayomi
seluruh
masyarakat
dan
memberikan
perlindungan hak asasi manusia yang paling hakiki, -
Kemanusiaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus bersifat manusiawi dan menghargai harkat dan martabat manusia serta tidak boleh membebani masyarakat diluar kemampuan manusia itu sendiri,
-
Kebangsaan,
yaitu
setiap
Peraturan
Perundang-undangan
harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang berazaskan musyawarah dalam mengambil keputusan, -
Kekeluargaan,
yaitu
setiap
Peraturan
Perundang-undangan
harus
mencerminkan azas musyawarah mufakat dalam setiap penyelesaian masalah yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan, -
Kenusantaraan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian dan system hukum nasional yang berdasarkan Pancasila atau wilayah/daerah tertentu, sesuai dengan jenis Peraturan Perundangudangan tersebut,
-
Kebhineka tunggal-ikaan, yaitu setiap Perencanaan, pembuatan, penyusunan memperhatikan
serta
materi
keragaman
muatan penduduk,
perundang-undangan agama,suku
dan
harus
golongan
31
khususnya yang menyangkut masalah-masalah yang sensitive dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, -
Keadilan yang merata yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan bagi setiap warga negara tanpa kecuali,
-
Kesamaan kedudukan dan hukum dan pemerintahan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan materi muatannya tidak boleh berisi halhal yang bersifat deskriminatif,
-
Ketertiban dan kepastian hukum, yaitu setiap Peraturan Perundangundangan harus dapat menimbulkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat,
-
Keseimbangan, keserasian,dan keselarasan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan materi muatannya atau isinya harus mencerminkan keseimbangan, keserasian,dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat , serta bangsa dan negara. 5. Efektifitas dan efisiensi James
I.
Gibson
(1989:30)
mengatakan
efektivitas
adalah
menggambarkan seluruh siklus input-proses-output. Menurut Soekarno K. (1986:42) efektif adalah pencapaian tujuan atau hasil dikehendaki tanpa menghiraukan faktor-faktor tenaga, waktu, biaya, fikiran alat dan lain-alat yang telah dikeluarkan/ digunakan. Hal ini berarti bahwa pengertian efektivitas yang dipentingkan adalah semata-mata hasil atau tujuan yang dikehendaki. Pada dasarnya pengertian efektifitas yang umum menunjukkan pada taraf tercapainya hasil, sering atau senantiasa dikaitkan dengan pengertian efisien, meskipun sebenarnya ada perbedaan diantara keduanya. Efektifitas menekankan
32
pada hasil yang dicapai, sedangkan efisiensi lebih melihat pada bagaimana cara mencapai hasil yang dicapai itu dengan membandingkan antara input dan
outputnya. Istilah efektif (effective) dan efisien (efficient) merupakan dua istilah yang saling berkaitan dan patut dihayati dalam upaya untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Tentang arti dari efektif maupun efisien terdapat beberapa pendapat. Menurut Chester I. Barnard (Prawirosentono, 1999), bahwa : “When a specific
desired end is attained we shall say that the action is effective. When the unsought consequences of the action are more important than the attainment of the desired end and are dissatisfactory, effective action, we shall say, it is inefficient. When the unsought consequences are unimportant or trivial, the action is efficient. Accordingly, we shall say that an action is effective if it specific objective aim. It is efficient if it satisfies the motives of the aim, whatever it is effective or not”. (Bila suatu tujuan tertentu akhirnya dapat dicapai, kita boleh mengatakan bahwa kegiatan tersebut adalah efektif. Tetapi bila akibat-akibat yang tidak dicari dari kegiatan mempunyai nilai yang lebih penting dibandingkan dengan hasil yang dicapai, sehingga mengakibatkan ketidakpuasan walaupun efektif, hal ini disebut tidak efisien. Sebaliknya bila akibat yang tidak dicari-cari, tidak penting atau remeh, maka kegiatan tersebut efisien. Sehubungan dengan itu, kita dapat mengatakan sesuatu efektif bila mencapai tujuan tertentu. Dikatakan efisien bila hal itu memuaskan sebagai pendorong mencapai tujuan, terlepas apakah efektif atau tidak). Disamping itu, menurut Chester Barnard, dalam Kebijakan Kinerja Karyawan (Prawirosentono, 1999 )pengertian efektif dan efisien dikaitkan dengan
33
sistem
kerjasama
seperti
dalam
organisasi
perusahaan
atau
lembaga
pemerintahan, sebagai berikut : “Effectiveness of cooperative effort relates to
accomplishment of an objective of the sistem and it is determined with a view to the sistem‟s requirement. The efficiency of a cooperative sistem is the resultant of the efficiency of the individuals furnishing the constituent effort, that is, as viewed by them”. (Efektivitas dari usaha kerjasama (antar individu) berhubungan dengan pelaksanaan yang dapat mencapai suatu tujuan dalam suatu sistem, dan hal itu ditentukan dengan suatu pandangan dapat memenuhi kebutuhan sistem itu sendiri. Sedangkan efisiensi dari suatu kerjasama dalam suatu sistem (antar individu) adalah hasil gabungan efisiensi dari upaya yang dipilih masing-masing individu). Dalam bahasa dan kalimat yang mudah hal tersebut dapat dijelaskan bahwa : efektifitas dari kelompok (organisasi perusahaan) adalah bila tujuan kelompok tersebut dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan. Sedangkan efisien berkaitan dengan jumlah pengorbanan yang dikeluarkan dalam upaya mencapai tujuan. Bila pengorbanannya dianggap terlalu besar, maka dapat dikatakan tidak efisien. Efisien harus selalu bersifat kuantitatif dan dapat diukur (mearsurable), sedangkan efektif mengandung pula pengertian kualitatif. Efektif lebih mengarah ke pencapaian sasaran. Efisien dalam menggunakan masukan (input) akan menghasilkan produktifitas yang tinggi, yang merupakan tujuan dari setiap organisasi apapun bidang kegiatannya. Hal yang paling rawan adalah apabila efisiensi selalu diartikan sebagai penghematan, karena bisa mengganggu operasi,
34
sehingga pada gilirannya akan mempengaruhi hasil akhir, karena sasarannya tidak tercapai dan produktifitasnya akan juga tidak setinggi yang diharapkan. Penghematan sebenarnya hanya sebagian dari efisiensi. Persepsi yang tidak tepat mengenai efisiensi dengan menganggap semata-mata sebagai penghematan sama halnya dengan penghayatan yang tidak tepat mengenai Cost
Reduction Program (Program Pengurangan Biaya), yang sebaliknya dipandang sebagai Cost Improvement Program (Program Perbaikan Biaya) yang berarti mengefektifkan biaya. Efektif dan efisien Badan Legislasi yang dimaksudkan adalah dalam pembentukan Rancangan peraturan daerah yakni kesuaian antara target dan pencapaian target Rancangan peraturan daerah yang dapat diselesaikan oleh Badan Legislasi berdasarkan program legislasi yang telah ditentukan diawal tahun. Sedangkan efisiensinya diukur berdasarkan pemanfataan sumber daya yang telah di alokasikan untuk Rancangan peraturan daerah dengan tepat. B. Definisi Konsep 1. Kinerja
Badan Legislasi adalah seluruh rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) berdasarkan substansi prioritas yang telah ditentukan dalam DPA ( Daftar Pelaksanaan Anggaran). Proses dari pembentukan substansi prioritas legislasi daerah, sampai pada tahapan pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah
yang masuk ke dalam Dewan. Rancangan Peraturan Daerah yang dimaksud bisa merupakan inisiatif dari Perintah Daerah dan berakhir pada evaluasi pelaksanaan peraturan daerah yang telah ditetapkan.
35
2. Input RAPERDA adalah substansi dasar dalam pembentukan Peraturan Daerah. Substansi yang dimaksud merupakan titik awal di susunnya sebuah Rancangan Peraturan Daerah. Dimulai dari Identifikasi isu ataupun masalah yang menjadi polemik di masyarakat atau publik. Langkah awal yang yang harus diambil oleh para perancang Peraturan Daerah adalah mengidentifikasi masalah atau isu publik yang tengah berkembang yang dihadapi oleh masyarakat atau publik secara umum. Permasalahan dapat mencakup berbagai hal , sebagai perancang
peraturan daerah maka Badan Legislasi
juga harus mampu untuk mengetahui sebab terjadinya masalah (akar masalah) dan pihak-pihak yang terkena dampak dari berbagai masalah tersebut. Selain itu juga mampu untuk memahami konsekuensi-konsekuensi yang mungkin akan timbul dari penanganan masalah-masalah tersebut. Dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah, maka yang termasuk dalam indicator input antara lain adalah, sumber daya, berupa pendanaan atau sumberdaya manusia itu sendiri. Sumber daya yang berupa pendanaan diatur dalam anggaran belanja tahunan yang dituangkan dalam DPA ( Dokumen Pelaksanaan Anggaran), sumber daya lainnya yang paling utama dalah manusia itu sendiri, dalam hal ini anggota DPRD Kota Makassar yang termasuk dalam keanggotan Badan Legislasi sebagai Perancang
peraturan
daerah, staf pembantu administrasi yang di tugaskan dalam melayani dan mendukung tugas dan fungsi Badan Legislasi, Tenaga ahli /Narasumber ,serta fasilitas pendukung berjalannya tugas dan fungsi Badan Legislasi dalam Pembentukan Peraturan Daerah. 3. Proses
RAPERDA adalah
kegiatan
dalam
pembentukan
Rancangan
Peraturan Daerah , dimulai dari identifikasi Isu atau polemic permasalahan
36
yang terjadi dimasyarakat, sampai dalam tahap pembahasan di DPRD dengan melibatkan Stakeholder yang dianggap ada kaitannya dengan permasalahan yang akan di bahas untuk bersama-sama mencari solusinya. Proses Pembentukan Peraturan Daerah yang dimaksud harus memiliki beberapa asas antara
lain
:
Kejelasan
tujuan,
Kelembagaan,
dapat
dilaksanakan,
Kedayagunaan, Kejelasan rumusan, dan keterbukaan. 4. Output Kinerja adalah Draft Rancangan Peraturan Daerah Kota Makassar, yang selanjutnya akan di bahas oleh komisi dan Badan Musyawarah apakah draft ini dianggap layak untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah atau tidak kemudian. Kebangsaan,
Dengan
indikatornya
Kekeluargaan,
adalah
Kenusantaraan,
Pengayoman,
Kemanusiaan,
Kebhineka
tunggal-ikaan,
Keadilan merata, Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, Ketertiban dan Kepastian hukum, Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. C. Model Berpikir Pembuatan dan pembentukan Peraturan Daerah adalah fungsi utama yang harus dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). PERDA merupakan salah satu sumber hukum dalam Tata Urutan Perundang-undangan Indonesia. Akan tetapi sering kali perda ditempatkan sebagai peraturan yang menjabarkan pengaturan-pengaturan lanjutan terhadap kebijakan pemerintah nasional. Kenyataan seperti ini perlu diluruskan agar perda mendapatkan posisi sebagaimana dimandatkan secara konstusional. Di era otonomi daerah dan desentralisasi, DPRD dan Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang luas dalam pembentukan peraturan perundangundangan. Akan tetapi, seringkali fungsi dan tugas tersebut tidak selaras atau
37
bahkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan satu dengan lainnya. DPRD dalam hal ini yang mempunyai tugas dan fungsi utama dalam pembentukan Peraturan Daerah diharapkan mampu untuk dapat melihat dengan jeli dan seksama formula dari Perda dan peruntukannya sehingga Fungsi perda sebagai penentu arah pembangunan daerah dan pemerintahan di daerah dapat terlaksana dengan baik dan efektif. Mengukur kinerja Badan Legsislasi berdasarkan hasil Rancangan yang dapat dihasilkan sesuai dengan isu yang telah masuk ke dalam agenda politik. Memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki oleh Badan Legislasi agar mengasilkan output yang optimal. Dari beberapa model yang telah diutarakan diatas, peneliti memilih modelinput- proses dan output karena dianggap paling sesuai dengan karakteristik dan logika penelitian pada Badan Legislasi DPRD Kota Makassar dalam pembentukan Rancangan
Peraturan
Daerah,
yakni
bagaimana
Badan
Legislasi
dapat
memanfaatkan Input yang dimiliknya, bagaimana proses bekerjanya Badan Legislasi
dalam
memanfaatkan
input
yang
dimilikinya
sehingga
dapat
menghasilkan Output yang sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu berdasarkan grand theory yang dikemukakan sebelumnya , bahwa untuk mengukur kinerja organisasi adalah melihat dari pemanfaatan input dan hasil akhir yang dimiliki oleh suatu organisasi. Efektif adalah dengan membandingkan input dan output, sedangkan efektif lebih kepada hasil akhir yang dicapai.
38
Untuk lebih jelasnya model berpikir dalam penelitian ini secara visual dapat diilustrasikan seperti skema berikut :
Kinerja Badan Legislasi
Input RAPERDA
Proses RAPERDA A Output RAPERDA
--------
outcome
Efisiensi
Efisiensi Efektif -----------------------------------------------------------------------------------------------
Gambar 2. Model Berpikir di adaptasi dari teori Boyle
D. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimanakah Input dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah yang dimiliki oleh Badan Legislasi DPRD Kota Makassar ? 2.
Bagaimanakah proses pembentukan Rancangan Peraturan Daerah oleh Badan Legislasi DPRD Kota Makassar ?
39
3. Bagaimanakah output pembentukan Rancangan Peraturan Daerah oleh Badan Legislasi DPRD Kota Makassar ?
40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian Metode
penelitian
menggambarkan
pendekatan
sistematis
yang
digunakan untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Dengan kata lain Metode penelitian ini merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan untuk mendekati kebenaran. Berdasarkan fokus penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, dalam penelitian ini penulis menitikberatkan pada metode penelitian deskriptif kualitatif, hal ini mengingat peneliti bermaksud mendeskripsikan, mencatat dan menginterpretasikan Kinerja Badan Legislasi DPRD Kota Makassar dalam proses pembentukan
peraturan
daerah Kota Makassar. Penelitian ini dilaksanakan di
Kantor DPRD Kota Makassar
Pemilihan
lokasi ini didasarkan pada data dan informasi yang dibutuhkan, dapat mudah diperoleh dan tidak membutuhkan biaya yang terlalu besar serta relevan dengan pokok permasalahan yang menjadi obyek peneliti. Metode penelitian kualitatif dinamakan juga sebagai metode artistik karena proses penelitian lebih bersifat seni (kurang terpola), dan disebut sebagai metode interpreatif karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan (Sugiyono, 2009: 7-8) Dari pengertian tentang penelitian deskriptif di atas peneliti dapat mengetahui
bahwa
penelitian
deskriptif
pada
dasarnya
adalah
upaya
41
memberikan gambaran secara jelas sesuai dengan fakta yang sebenarnya ditemui di lapangan dengan didukung data yang tingkat validitasnya tidak diragukan lagi. Dipilih metode kualitatif karena peneliti akan mengungkapkan data berdasarkan pengamatan, tanpa dipengaruhi atau diberikan perlakuan khusus dengan sengaja dari apa yang ingin diungkpakan dan diteliti. Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yakni pemaparan tentang apa yang diucapkan , ditulis, dan yang dilakukan secara nyata dan dapat diamati dari orang-orang atau subjek penelitian. B. Unit Analisis Untuk memperoleh data dan informasi yang terkait dalam penelitian ini dengan keterbatasan yang dimiliki baik tenaga, biaya dan waktu, adapun informan yang dimintakan informasinya yaitu : 1.
Pimpinan DPRD
: 4 orang
2.
Anggota Badan Legislasi
: 12 orang
3.
Sekretaris DPRD Kota Makassar
: 1 orang
Proses Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah berdasarkan jumlah draft yang sudah dibuat oleh Badan Legislasi, serta beberapa dokumen yang menjadi telaahan guna mendapatkan informasi yang akurat mengenai Kinerja Badan Legislasi DPRD Kota Makassar, antara lain: Surat Keputusan Pembentukan Badan Legislasi dan Keanggotaanya, DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran ) Tahun anggaran 2010-2011 mengenai anggaran Pembentukan Peraturan Daerah Kota Makassar, Laporan Rapat Badan Legislasi, serta daftar Rancangan Peraturan Daerah yang akan di bahas selanjutnya dalam kurun waktu 1 (satu )
42
tahun anggaran, serta beberapa informasi dari berbagai pihak yang sekiranya dapat mendukung akuratisasi data yang diperoleh dalam penelitian ini . C. Teknik Pengumpulan Data Data dan bahan keterangan, yang aktual dan objektif diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : 1.
Wawancara Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan tanya jawab dan tatap muka secara langsung dengan responden. wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam jumlah respondennya sedikit/kecil” Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan wawancara semi-terstruktur, yakni wawancara yang dilakukan dengan memberikan pertanyaan - pertanyaan yang sudah dirancang sebelumnya sebagai alat bantu untuk mendapatkan informasi yang
akurat
dalam
pertanyaan-pertanyaan
penelitian dan
ini
tanpa
jawaban
mengabaikan
selama
proses
munculnya wawancara
berlangsung. 2.
Analisa Dokumen Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu (Sugiyono, 2009: 240). Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), ceritera, biografi,
43
peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup. Sketsa dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film dan lain-lain. Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif, hasil penelitian dari obsevasi dan wawancara, akan lebih kredibel/dapat dipercaya kalau di dukung oleh sejarah pribadi kehidupan di masa kecil, di sekolah, di tempat kerja, di masyarakat, dan autobiografi. Di dalam penelitian ini, peneliti hanya
menyelidiki benda-benda
tertulis seperti buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian, laporan dan sebagainya yang terkait dengan fokus penelitian. Menurut sumbernya, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dibedakan atas : 1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber asalnya. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari informan terkait dengan topik penelitian ini. 2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari berbagai sumber lain seperti laporan-laporan, kepustakaan, dan lain-lain. 3. Prosedur Pengolahan Data Pengolahan data merupakan tahapan yang menyajikan serangkaian informasi secara objektif dan rasional tentang data/fakta yang ditemui dalam penelitian lapangan. Untuk memperoleh informasi penelitian yang lebih rasional dan
objektif,
maka
data-data
yang
menggunakan teknik deskriptif kualitatif.
terkumpul
dan
dianalisis
dengan
44
Pengolahan terhadap data dalam penelitian ini dilakukan selama penelitian berlangsung. Sifatnya adalah terbuka secara induktif, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman dan pengertian, bukan membuktikan hipotesis teori. Dengan menggunakan metode ini memungkinkan terjadinya perubahan, perbaikan, dan penyempurnaan berdasarkan data yang diperoleh. Setelah data selesai
dikumpulkan
dari
tempat
penelitian,
tahap
selanjutnya
adalah
menganalisis data. Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Tahap ini merupakan tahap yang sangat menentukan karena pada tahap inialah data dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga dapat menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipahami untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun tahap-tahap menganalisis data yang penulis gunakan adalah sebagai berikut : 1. Data Reduction (Reduksi data) Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan terinci. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian, data yang direduksi
45
akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. 2. Data Display (penyajian data) Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dengan bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. 3. Conclusion Drawing / verification Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan
bukti-bukti
pengumpulan
data
yang
kuat
berikutnya.
yang
Tetapi
mendukung apabila
pada
tahap
kesimpulan
yang
dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Data
yang
diambil
selanjutnya
dideskripsikan
dengan
jalan
mengadakan komparasi dengan teori-teori dan hasil-hasil temuan yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian pada akhirnya akan ditemukan ketajaman hasil dari dari masalah yang dikaji. Seluruh proses analisis dan interpretasi data akan dideskripsikan secara kualitatif dalam bentuk laporan hasil penelitian.
46
Data kuantitatif yang dihasilkan diolah secara persentase dan hanya bertujuan untuk memperoleh ketajaman data kualitatif, dengan kata lain data kuantitatif hanyalah data pendukung.
47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran umum DPRD Kota Makassar dan Badan Legislasi DPRD
merupakan
salah
satu
pilar
utama
untuk
mendukung
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selanjutnya dalam upaya mewujudkan tugas dan fungsinya tersebut, DPRD mempunyai peran dalam hal menciptakan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diatur ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Berkenaan dengan hal tersebut, sejak diberlakukannya desentralisasi, DPRD sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah, semakin memainkan peran dan wewenang yang sekaligus sebagai institusi jembatan antara aspirasi warga yang beraneka ragam dengan keputusan politik pembangunan yang menterjemahkan aspirasi tersebut dalam format-format pembayaran daerah beserta mata anggarannya. Kewenangannya dalam proses legislasi, penganggaran dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah membuat DPRD dapat berperan besar
dalam
kewenangan
pembuatan tersebut
kebijakan-kebijakan
memungkinkan
DPRD
publik
di
daerah.
mengambil
peran
Dengan dalam
menentukan peraturan daerah ,alokasi anggaran dan pelayanan publik untuk lebih berpihak kepada masyarakat. Sesuai
dengan
Visi
DPRD
Kota
Makassar
yaitu
“Mendukung
Terwujudnya Makassar Menuju Kota Dunia Berlandaskan Kearifan
48
Lokal Secara Berkelanjutan Melaui Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Legislasi , Anggaran, dan Pengawasan serta Penanganan Aspirasi Masyarakat “ Untuk mencapai Visi ini telah dirumuskan Misi dengan tujuan untuk mempermudah pencapaian Visi tersebut sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5.
Meningktakan kualitas Fungsi Legislasi , Fungsi Anggaran dan Fungsi Pengawasan yang harmonis dan bertanggungjawab; Menumbuh kembangkan sinergi antar Alat Kelengkapan DPRD; Membangun hubungan yang harmonis antar Lemabga DPRD, Pemerintah daerah dan Masyarakat ; Meningkatkan partisipasi public setiap proses pengambilan kebijakan DPRD,Penyusunan APBD, termasuk Pengawasan atas Pelaksanaan kebijakan agar sesuai dengan harapan masyarakat; Melaksanakan pertanggungjawaban public secra berkala dan transparan . Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD Kota Makassar yang diperankan
oleh 50 ( lima puluh ) Legislator, yang tergabung dalam 4 ( empat ) Bidang Komisi , dan 7 ( tujuh ) Fraksi serta Alat Kelengkapan Lainnya. Pembagian tugas dan fungsi Anggota Legislatif DPRD Kota Makassar dalam Struktur Organisasinya dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
49
DPRD KOTA MAKSSAR
-----------------------------------------------------------------------------------
FRAKSI 111
Pimpinan
- Panitia Khusus - Panitia Kerja
Komisi
Badan Musyawarah
Badan Anggaran
Badan Legislasi
Badan Kehormatan
Gambar 3. Struktur Organisasi DPRD Kota Makasar
Secara formal, Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari DPRD atau Pemerintah Daerah. Namun demikian, pembentukan dan penyusunan sebuah Rancangan Peraturan Daerah hanya dapat diinisiasi apabila terdapat permasalahan yang pecegahan atau pemecahannya melalui sebuah regulasi atau peraturan baru. Sehingga inisiasi awal pembentukan dan penyusunan Rancangan peraturan daerah baru dapat di prakarsai oleh pemangku kepentingan yang terkait, abik itu lembaga/instansi pemerintah, badan legislastif,dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi non-pemerintah, maupun kelompok masyarakat. Terlepas dari pihak mana yang mengambil prakarsa awal penyusunan sebuah Rancangan Peraturan Daerah yang baru, hendaknya diingat bahwa saat
50
ini terdapat dua jalur pembentukan Rancangan Peraturan Daerah yaitu jalur eksekutif dan jaulur legislastif. Oleh karena itu pejabat yang berwenang hendaknya dilibatkan sejak awal. Dengan kata lain, sebelum melangkah terlalu jauh, inisiasi awal yang bisa saja datang dari kelompok masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya tersebut haruslah diadopsi menjadi inisiasi lembaga eksekutif/instansi eksekutif atau badan legislative. Badan Legislasi adalah unit organisasi didalam Lembaga Legislatif yang kedudukannya bersifat tetap. Alat kelengkapn DPRD ini adalah unit yang pada awal dibentuknya merupakan bentuk kepanitiaan, namun seiring dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentng Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah maka Panitia Legislasi berubah nama menjadi Badan Legislasi. Berdasarkan Tata Tertib DPRD Kota Makassar yang mengatur tentang Fungsi dan tugas Pokok Badan Legislasi menyebutkan bahwa Badan Legislasi DPRD Kota Makassar mempunyai tugas dan wewenang dalam penyusunan/ pembentukan draft Rancangan Peraturan Daerah berdasarkan prioritas yang telah ditetapkan dalam program legislasi daerah . Program legislasi daerah (Prolegda) merupakan bagian penting dalam proses pembentukan peraturan daerah. Program ini akan menjadi pedoman bagi pemerintah lokal dan DPRD untuk membuat skala prioritas dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah. Tanpa Prolegda ada masalah secara hukum dalam program ini karena tidak ada kejelasan mekanisme Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah dan skala prioritas yang harus didahulukan.
51
Rancangan Peraturan Daerah sebagai bagian dari proses legislasi daerah merupakan peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum nasional yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Mengingat
peranan
Peraturan
Daerah
yang
demikian
penting
dalam
penyelenggaraan otonomi daerah, maka penyusunannya perlu diprogramkan, agar
berbagai
perangkat
hukum
yang
diperlukan
dalam
rangka
penyelenggarakan otonomi daerah dapat dibentuk secara sistematis, terarah dan terencana berdasarkan skala prioritas yang jelas. Rancangan
Peraturan
Daerah
harus
direncanakan
sebaik-baiknya.
Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) yang baik dapat terwujud apabila didukung oleh standard dan metode yang tepat, sehingga memenuhi teknis pembentukan peraturan perundangundangan sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Tahapan pembentukan RAPERDA dimulai dengan Program Legislasi Daerah (Prolegda) yang bertujuan mendesain RAPERDA secara berencana, bertahap, terarah dan terpadu. Prolegda
adalah
instrument
perencanaan
pembentukan
Rancangan
Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. beberapa
alasan
obyektif
mengapa
Prolegda
diperlukan
dalam
proses
pembentukan Rancangan peraturan daerah : 1.
Memberikan gambaran obyektif tentang kondisi permasalahan pembentukan peraturan daerah;
umum
mengenai
52
2. 3. 4. 5.
Menetapkan skala prioritas penyusunan peraturan daerah untuk jangka panjang, menengah atau jangka pendek sebagai pedoman bersama dalam pembentukan peraturan daerah; Menyelenggarakan sinergi antar lembaga yang berwenang membentuk peraturan daerah; Mempercepat proses pembentukan peraturan daerah dengan memfokuskan kegiatan penyusunan Rancangan peraturan daerah menurut skala prioritas yang ditetapkan; Menjadi sarana pengendali kegiatan pebentukan peraturan daerah. Sehubungan dengan urgensi penyusunan Prolegda tersebut diperlukan
dalam perencanaan pembangunan secara keseluruhan (makro perencanaan). Kedua, Prolegda dapat mengurangi berbagai kelemahan dalam penyusunan peraturan daerah yang ditemukan selama ini. Berkenaan makro perencanaan, bahwa otonomi daerah memberikan kewenangan luas kepada daerah dalam penyelenggaraan pembangunan. Dalam pembangunan daerah yang dilaksanakan harus memiliki kerangka hukum yang memberikan arah serta legalitas kegiatan pembangunan yang dilakukan dalam bentuk peraturan daerah yang kemudian akan nditetapkan menjadi sebuah Peraturan Daerah. Untuk memperoleh peraturan daerah yang berkualitas, pembentukan
peraturan daerah perlu
dilakukan secara terencana, sistematis dan partisipatif. Pembentukan
peraturan daerah merupakan bagian integral dalam
pembangunan daerah perlu menyesuaikan dengan kerangka perencanaan pembangunan daerah. Pembangunan. Jika melihat kondisi yang ada di Kota Makassar
sampai
sekarang
Prolegda
belum
seharusnya tahapan perencanaan pembentukan
terbentuk.
Padahal,
sudah
peraturan daerah dimulai
dengan Program Legislasi Daerah (Prolegda) yang bertujuan mendesain peraturan daerah
secara terencana, bertahap, terarah dan terpadu. Daftar
Rancangan Peraturan Daerah ( RAPERDA) yang ada dalam Prolegda setiap tahun
53
mencerminkan skala prioritas yang disusun oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sampai
dengan
tahapan
terakhir,
yairu
tahapan
pengundangan
dan
penyebarluasan, suatu Rancangan Peraturan Daerah diharapkan akan menjadi perda yang mampu memenuhi unsur-unsur pembuatan perda yang baik, yaitu unsur filosofis, sosiologis dan yuridis. Kembali kepada pokok bahasan dalam pembentukan peraturan daerah secara sistematis seperti yang akan di bahas berikut . Menanggapi isu atau polemic yang berkembang di masyarakat yang selanjutnya membutuhkan respon dari DPRD sebagai wakil rakyat maka Badan Legislasi secara khusus diwajibkan untuk mempunyai inisiatif yang tinggi menanggapi masalah tersebut dengan merumuskan solusi melalui Rancangan Peraturan Daerah yang kemudian akan dibahas selanjutnya dengan Stakeholder terkait dengan permasalahan yang ada. Badan legislasi terdiri dari utusan komisi, utusan fraksi dan unsure pimpinan DPRD yang bertindak sebagai Koordinator. Dalam surat keputusan DPRD Kota Makassar ditetapkan susunan keanggotaan badan Legislasi sebagai berikut .
54
Tabel 2 Susunan keanggotaan Badan Legislasi DPRD Kota Makassar Tahun 2010
NO
1
NAMA
UNSUR
2
3
AN
KEDUDUK
4
1
Drs. H. I. ADNAN MAHMUD
Pimpinan Dewan
Koordinator Umum
2
HAIDAR MAJID,S.Sos
Pimpinan Dewan
Koordinator
3
H.M.BUSRAH ABDULLAH
Pimpinan Dewan
Koordinator
4
Drs. SYAMSU NIANG,M.Pd
Pimpinan Dewan
Koordinator
5
YUSUF GUNCO,SH,MH
Fraksi Partai Golkar
Ketua
6
IRWAN,ST
Fraksi PKS
Wakil Ketua
7
ABDUL WAHAB TAHIR,SH
Fraksi Partai Golkar
Anggota
8
IMRAN TENRI TATA,SE
Fraksi Partai Golkar
Anggota
9
A. FADLY F. DHARWIS
Fraksi Partai Demokrat
Anggota
10
Ir. HAERUDDIN HAFIED
Fraksi Partai Demokrat
Anggota
11
Drs. ABD. RAUF RACHMAN,SH
Fraksi Partai Amanat Nasional
Anggota
12
MUJIBURRAHMAN B,S.Sos.I,M.Si
Fraksi Partai Demokrasi Kebangsaan
Anggota
13
Drs. AMAR BUSTHANUL
Fraksi Makassar Bersatu
Anggota
14
NELSON MARNANSE KAMISI,ST
Fraksi Makassar Bersatu
Anggota
15
Drs.H.M. YUNUS HJ
Fraksi Persatuan Nurani
Anggota
16
MUH. AMIN
Fraksi Persatuan Nurani
Anggota
Berdasarkan Surat Keputusan DPRD Kota Makassar Nomor : 11/DPRD/XI/2009
Dengan komposisi yang telah ditunjuk dalam Surat Keputusan tersebut Badan legislasi didampingi 3 (tiga) orang staf yang ditugaskan dalam membantu kelancaran pelaksanaan tugas-tugas Badan Legislasi dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kota Makassar.
55
B. Input Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) Kota Makassar Tahun 2010 Dalam penelitian ini teridentifikasi beberapa macam sumber input substansif dari suatu Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) secara substansif yaitu rapat penerimaan aspirasi, unjuk rasa, peninjauan lapangan, pelaksanaan reses dan atau kunjungan kerja alat kelengkapan DPRD Kota Makassar . Selain itu secara administratif atau teknis sumbedaya manusia yang dimiliki oleh Badan Legislasi dan
Anggaran/budget, serta management dianggap sebagai input
Rancangan Peraturan Daerah. Berbagai input diatas dibahas sebagai berikut : 1. Aspirasi Masyarakat Kompleksnya masalah yang dihadapi oleh masyarakat di Kota Makassar pada khususnya, menuntut respon dari DPRD Kota Makassar dan Pemerintah Kota Makassar untuk mengatur masalah – masalah tersebut tersebut. Masalah atau polemik yang terjadi dapat langsung disampaikan oleh masyarakat/ public ke Pemerintah Daerah melalui demonstrasi/ penyampaian aspirasi secara langsung, atau melalui kunjungan lapangan oleh pihak legislative bersama dengan stakeholder yang bersangkutan untuk mengidentifikasi masalah yang perlu diatur dalam satu produk hukum tertentu. Issu-isu publik tersebut dijadikan target untuk diberikan solusi melalui pembahasan secara bersama-sama antara pihak legislative dan eksekutif yang dituangkan dalam Rancangan Peraturan Daerah. Isu publik yang diterima oleh Badan Legislasi kemudian di formulasikan draftnya dengan berpedoman kepada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 baik muatan materi yang akan di masukkan dalam draft rancangan tersebut
56
ataupun ketentuan-ketentuan lain yang mengikat sehingga draft Rancangan dianggap layak untuk dibahas kemudian pada pembicaraan tingkat lanjut. Isu publik yang merupakan aspirasi dari masyarakat dapat langsung di sampaikan ke Dewan melalui rapat penerimaan aspirasi seperti yang ada pada gambar di bawah ini :
Gambar 4. Rapat penerimaan aspirasi Dokumentasi Humas Sekretariat DPRD Kota Makassar Sumber : Bagian Humas Sekreatriat DPRD Kota Makassar Tahnu 2010
Gambar diatas adalah bentuk respon Anggota dewan terhadap isu yang masuk melalui aspirasi masyarakat yang disampaikan secara langsung. Aspirasi diserap oleh Tim yang dibentuk oleh DPRD Kota Makassar bersama dengan Sekretraiat DPRD selaku pelayan admnistrasi DPRD. Tim penerima aspirasi merupakan tim yang dibentuk dari utusan fraksi dan utusan komisi di dampingi oleh staf bagian Humas Sekretariat DPRD Kota Makassar. Aspirasi yang diterima kemudian diteruskan ke Pimpinan dewan selaku coordinator untuk kemudian di teruskan lagi ke komisi terkait dengan
57
permasalahan. Untuk ditindak lanjuti secara berjenjang oleh Dewan sampai pada tahap pembentukan dan pembahsan Rancangan Peraturan Daerah sebagai bentuk konkrit akhir dari aspirasi yang telah masuk di Dewan .
Gambar 5. Bentuk aspirasi yang sampaikan oleh masyarakat ke DPRD Kota Makassar Sumber : Dokumen Humas Set. DPRD Kota Makassar Tahun 2010
Bentuk aspirasi yang menjadi keluhan masyarakat yang secara langsung di sampaikan ke DPRD Kota Makassar yang memerlukan respon dan tindak lanjut oleh Pemerintah dan Legislatif melalui Pembentukan Rancangan
peraturan
daerah sehingga mendapatkan kesesuaian antara masyarkat dan pihak yang terkait. Isu atau polemik yang terjadi bagi masyarakat merupakan problema yang membutuhkan regulasi dalam penyelesaiannya. Oleh sebab itu, Dewan memfasilitasi dengan rapat penerimaan aspirasi, sebagai langkah awal mengidentifikasi permasalahan yang terjadi.
58
Isu yang ada di masyarakat, di aspirasikan ke dewan melalui unjuk rasa atau demonstrasi, aspirasi ini kemudian akan di terima oleh dewan sebagai langkah awal mengidentifikasi masalah untuk kemudian dibahas dalam satu rapat pembahasan intern pada komisi yang membidangi ataupun komisi terkait dengan isu yang ada. Cara ini dianggap paling efektif karena dengan penyampaian aspirasi secara langsung kepada komisi terkait, menimbulkan jesan bahwa aspirasi dapat tertuang pada tempat dan pihak yang tepat. Namun terkadang aspirasi yang disampaikan oleh publik tidak langsung ditindak lanjuti, bahkan tidak jarang pula masyarakat/publik merasa kecewa karena aspirasi urung disampaikan atau merasa aspirasi tidak diteriam dengan baik sesuai yang mereka inginkan. Hal ini disebabkan kondisi anggota dewan yang tidak memungkinkan untuk langsung menerima aspirasi tersebut. Bahkan seringkali ditemui dalam penerimaan aspirasi hanya diwakili oleh anggota dewan yang sebenarnya bukan membidangi masalah tersebut, tapi anggota dewan yang seharusnya menerima aspirasi sedang tidak berada ditempat karena alasan dinas luar atau keperluan dinas lainnya. Hal ini pun menjadi penyebab lambannya isu diterima dan ditampung untuk kemudian ditindaklanjuti dalam pembahasan. Kondisi seperti ini akhirnya menyebabkan Badan Legislasi kurang efektif dalam mengidentifikasi masalah yang ada dimasyarakat karena kurangnya koordinasi mengenai aspirasi yang datang dan diterima bukan oleh komisi yang membidangi, sehingga sering terjadi kesalahan dalam komunikasi mengenai aspirasi yang akan di masukkan dalam agenda politik DPRD dan agenda pembahasan oleh Badan Legislasi.
59
Hal lain menyebutkan bahwa proses pembentukan Rancangan Peraturan Daerah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat diperlukan data dan informasi yang sebanyak-banyaknya yang berkaitan dengan materi yang yang akan diatur. DPRD tidak boleh hanya mengandalkan informasi yang disampaikan secara langsung maupun tidak langsung ke gedung DPRD. Disamping itu anggota DPRD juga kurang aktif dalam mencari dan menggali data dan informasi kepada masyarakat. Metode analisis terhadap data dan informasi yang diserap juga tidak ada sehingga banyak anggota DPRD dalam menjalankan tugas dan fungsinya hanya mengandalkan suara hati saja dalam menghadapi suatu permasalahan. Data dan informasi yang dimiliki oleh anggota DPRD Kota Makassar belum cukup banyak tersedia bila dibandingkan akses terhadap data dan informasi diera globalisasi, informasi dan teknologi. Ketersediaan data dan informasi yang cukup banyak di temukan di dunia maya (cyber space) sekarang ini menuntut orang yang akan mengaksesnya mengenal teknologi informasi yang juga berkembang sangat pesat. Untuk mengetahui informasi tersebut sangat erat kaitannya dengan tingkat kemampuan yang dimiliki orang tersebut, baik yang diperoleh melalui pendidikan formal maupun non formal. Di era teknologi dan informasi serta globalisasi sekarang ini, ketersediaan data dan informasi mutlak dibutuhkan agar dalam pengambilan keputusan dalam kebijakan dapat lebih optimal. Untuk itu dalam melihat suatu permasalahan yang dihadapi masyarakat, DPRD mutlak membutuhkan data dan informasi yang lengkap sehingga permasalahan tersebut dapat tergambar secara utuh dan penyelesaiannya juga dapat dilakukan secara komprehensif. Faktor data dan informasi meliputi aspek ketersediaan dan aksebilitas, kualitas, validasi dan
60
pemanfaatannya. Data dan informasi yang dimaksud disini adalah data dan informasi yang terkait dengan penetapan suatu kebijakan disamping aspirasi masyarakat yang diserap. Walaupun pendapat diatas tidak menyebutkan kelemahan dari ketersediaan data dan informasi, namun yang umum dalam penetapan kebijakan sangat terkait dengan masalah waktu. Pada beberapa permasalahan yang urgent dan memerlukan pemecahan yang cepat sangat diperlukan keberadaan suatu sistem penyediaan informasi secara cepat agar keuntungan sebagaimana disebutkan diatas dapat tercapai. Jadi keberadaan suatu sistem informasi berbasis teknologi informasi mutlak dibutuhkan. Sebagai contoh, sampai saat ini DPRD Kota Makassar baru mempunyai website sendiri,sehingga selama ini hanya menumpang pada website resmi Pemerintah Kota Makassar. Padahal sebenarnya dengan ketersediaan website dapat dapat berfungsi juga sebagai layanan kotak pos online sebagai sarana menampung aspirasi masyarakat yang efektif. Dengan demikian penyerapan aspirasi masyarakat dapat berlangsung secara cepat dan efektif, karena memangkas panjangnya mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat sebagai ide utama kebijakan. Dalam
penyerapan
aspirasi,
DPRD
jangan
hanya
cenderung
memanfaatkan data dan informasi yang dimiliki oleh Pemerintah Kota. Karena kondisi ini hanya akan menyebabkan informasi sebagai input yang dibutuhkan dalam penentuan kebijakan sangat minim. Dalam hal ini DPRD tidak memiliki sumber informasi yang jelas sebagai pembanding bagi informasi yang dimiliki eksekutif. Kondisi ini tentu mempengaruhi output berupa Rancangan Peraturan Daerah yang dihasilkan.
61
2. Sumberdaya Manusia Dilihat dari 12 orang anggota DPRD yang duduk dalam Badan Legislasi DPRD Kota Makassar (berdasarkan data pada tabel. 2 ) hanya 3 orang anggota yang mempunyai latar belakang pendidikan dibidang hukum. Bahkan ada anggota DPRD yang hanya berlatar belakang pendidikan SLTA. Seyogyanya untuk mengimbangi kemampuan SDM kalangan eksekutif, sudah seharusnya semua anggota dewan memiliki tingkat pendidikan formal S1, karena sesuai dengan fungsi yang dimiliki anggota dewan yang meliputi legislasi, pengawasan dan anggaran, latar belakang pendidikan SLTA tidak memadai. Sumber Daya Manusia ditinjau dari kemampuan anggota Badan Legislasi dalam Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, beberapa informan yang diwawancarai mengemukakan hal yang hampir sama. Anggota Badan Legislasi dari Fraksi golongan Rakyat di waktu yang sama (tanggal 16 Mei 2011) mengemukakan bahwa: Kita ini dari latar belakang yang berbeda-beda, menjadi politikus itu juga butuh pengetahuan yang luas,apalagi dalam hal penyusunan peraturan daerah, itu betul-betul butuh pemahaman yang mendalam, tidak boleh asal saja, ini tentang hukum, ada punishmentnya. Berbicara tentang hukum itu harus dengan ahlinya, yang sekolah hukum saja biasanya masih perlu bimbingan apalagi kita ini, masih perlu banyak pembelajaran lah, banyak pelatihan, supaya sedikit banyaknya kita juga tahu tentang hukum. Lebih lanjut Beliau menambahkan, bahwa dengan mengikuti workshop atau pelatihan-pelatihan mampu memberikan masukan dan wawasan mengenai hukum dan perundang-undangan. Salah satu upaya peningkatan sumber daya manusia, sehingga mampu menimbulkan kepercayaan kepada masyarakat
62
tentang produk hukum yang di bentuk oleh anggota Badan Legislasi DPRD Kota Makassar khususnya. Berdasarkan analisa dari informasi yang didapat oleh peneliti melalui media massa, dan elektronik bahwa kekurangan sumber daya manusia pada umumnya bukan disebabkan karena kurangnya jumlah/ kuantitas, akan tetapi kurang dari segi kualitas yang berkaitan dengan tugas yang berkaitan dengan bidang hukum. Kehadiran Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah merupakan faktor penyebab terjadinya perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang meluas di daerah. Melalui kedua UndangUndang tersebut Daerah otonomi telah dan akan diberi kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab, disertai dengan pemberian sumber-sumber keuangan yang cukup signifikan seimbang dengan kewenangannya. Pola yang digunakan adalah “uang mengikuti fungsi” (money follow function). Berdasarkan
undang-undang
tersebut
serta
berbagai
peraturan
pelaksanaan lainnya, akan ada konsentrasi pengambilan keputusan dan perputaran uang yang lebih besar di daerah otonom, terutama daerah kabupaten/ kota. Dengan kewenangan yang lebih luas, berarti daerah otonomi memiliki diskresi yang lebih besar untuk menentukan masa depannya sendiri berdasarkan kebutuhan dan kemampuan yang dimilikinya dalam ikatan NKRI. Dengan bertambahnya jumlah uang yang beredar didaerah, diharapkan akan dapat mempercepat proses pembangunan dan pemerataan hasil-hasilnya di daerah, apabila masyarakat setempat dapat memanfaatkan peluang yang ada. Apabila tidak, maka orang lain yang lebih siap akan memanfaatkan peluang tersebut.
63
Perubahan
sebagaimana
dikemukakan
di
atas,
juga
akan
menimbulkanberbagai konsekuensi, termasuk kemungkinan terjadinya gegar budaya (cultural shock) bagi masyarakat dan pemerintah daerah, berupa kegamangan, rasa tidak percaya diri ataupun perasaan ego kedaerahan yang berlebihan. Otonomi luas bagi daerah kabupaten/ kota akhirnya seperti pisau bermata ganda, disatu sisi dapat menjadi berkah, di sisi lain dapat menjadi bencana. Kunci utamanya terletak pada kualitas sumber daya manusia, yang dapat mengubah berbagai kelemahan menjadi kekuatan serta mengubah tantangan menjadi peluang. Untuk dapat menangkap berbagai peluang yang telah terbuka di depan mata, upaya utama yang harus di lakukan oleh masyarakat dan pemerintah daerah adalah membangun SDM yang berkualitas. Pada Tabel 2 yang menyebutkan komposisi Badan Legislasi, terlihat bahwa yang memiliki latar belakang pendidikan hukum hanya 3 (tiga) orang anggota saja, sedangkan yang lain pendidikannya mayoritas tamatan SMA. Hal ini menunjukkan bahwa dengan kondisi yang demikian untuk menghasilkan produk hukum yang berkualitas akan sedikit menemui hambatan.
Diketahui
bahwa kualitas SDM sangat berpengaruh dengan output yang dihasilkan. Pada penelitian ini, peneliti kesulitan unutuk mendapatkan informasi mengenai peningkatan SDM yang dilakukan oleh anggota Badan Legislasi dalam hal legal
drafting, karena data tersebut tidak terekap dalam satu data base, sehingga tidak diketahui apakah pelatihan atau peningkatan SDM tentang Legal drafting sudah dikuasai oleh Badan Legislasi atau minimal pernah mengikuti pelatihan tersebut.
64
Terkait pembentukan Rancangan Peraturan Daerah melalui program legislasi daerah. masih belum maksimal, sehingga sumber daya manusia yang menjadi penopang hanyalah akademisi, yang dalam hal ini sebagai pembuat naskah akademik Rancangan
Peraturan Daerah. Padahal, sebagaimana yang
termaktub dalam Penjelasan UU No.10 Tahun 2004 disebutkan bahwa “Untuk menunjang pembentukan peraturan perundangundangan, diperlukan peran tenaga perancang peraturan perundang-undangan sebagai tenaga fungsional yang berkualitas dan yang mempunyai tugas menyiapkan, mengolah, dan merumuskan
rancangan
peraturan
perundang-undangan”.
Masalahnya,
eksistensi tenaga perancang peraturan daerah yang tidak lain adalah staf Bagian Hukum tersebut pada dasarnya tidak sesuai dengan Pasal 2 Perpres No. 37 Tahun 2006. Berdasarkan Pasal 2 tersebut seharusnya mereka secara khusus dan penuh waktu diangkat oleh Walikota Makassar untuk menduduki jabatan fungsional sebagai tenaga perancang peraturan daerah. Faktanya, yang disebut dengan legal drafter oleh Bagian Hukum tersebut tidak lain adalah para staf Bagian Hukum yang selama ini terlibat dalam penyusunan Raperda. Jadi, tenaga perancang Perda tersebut bukanlah tenaga perancang fungsional sebagaimana yang diatur oleh Perpres No. 37 Tahun 2006. Sementara jika ditinjau dari sisi kemampuan anggota DPRD Makassar, banyak pihak yang meragukan kemampuan SDM anggota dewan dalam menyusun Rancangan Peraturan Daerah. Harus diakui, keterwakilan masyarakat yang tercermin pada anggota dewan yang terpilih bukan karena factor SDM semata, melainkan karena pengaruh yang ditunjang dengan kemampuan financial dan modal yang dimiliki. Karena itu masyarakat tidak dapat berharap banyak terhadap kemampuan anggota dewan, khususnya dalam kemampuannya
65
menyusun Rancangan Peraturan Daerah. Anggota DPRD memang tidak dipersiapkan secara matang dalam merancang peraturan daerah, keterwakilan anggota
DPRD
lebih
banyak
memenuhi
persyaratan
politis
saja
dan
mengesampingkan persyaratan formal intelektual dan pemerintahan. Terkait dengan kemampuan masing-masing anggota Badan Legislasi masih terlihat bahwa tidak semua anggota Badan Legislasi memiliki kemampuan di bidang nya namun usaha untuk meningkatkan skill dan kemampuan sehingga menimbulkan kepercayaan dari masyarakat tentang produk hukum yang dihasilkan telah dilakukan oleh Badan Legislasi DPRD Kota Makassar sampai dengan saat ini . Perlu disadari bahwa jabatan anggota dewan terkhusus anggota badan Legislasi adalah jabatan politis. Seseorang anggota dewan mungkin mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi sehingga mampu menguasai dengan baik bidang yang dinaunginya. Namun tidak mungkin sebagai seorang anggota dewan hanya semata-mata terlibat dalam bidang yang ditekuninya saja, dan tidak mungkin seorang anggota dewan menguasai semua bidang yang ada. Oleh karena itu anggota dewan perlu mendapat dukungan pendidikan atau pengetahuan tambahan yang bisa didapat dari pelatihan peningkatan sumber daya manusia, atau Workshop tentang satu bidang tertentu. Input lain yang dimiliki oleh Badan Legislasi adalah dukungan dan peran serta Sekretariat Dewan dan tim ahli dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah. Meskipun bukan merupakan bagian dari alat kelengkapan dewan, namun peran Sekretariat Dewan tidak dapat dipandang sebelah mata. Keanggotaan dewan merupakan jabatan politis lima tahunan,sedangkan pegawai secretariat
66
dewan mempunyai masa kerja lebih dari itu. Artinya anggota-anggota dewan boleh datang silih berganti, namun pegawai sekretariat bisa saja mengabdi sampai masa pensiun. Dukungan pelayanan administrative yang diberikan oleh sekretariat adalah faktor yang dapat menunjang kinerja Badan Legislasi dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah. Pelayanan administrative yang dimaksud baik berupa dukungan fasilitas dan jasa penunjang kinerja. Pada bagian lain dukungan tenaga ahli atau tim ahli yang dibentuk oleh sekretarariat dewan dimaksudkan sebagai media untuk saling berbagi pendapat mengenai hal apa saja yang bisa dijadikan solusi pemecahan masalah yang dituangkan dalam draft Rancangan Peraturan Daerah. Tenaga ahli/ Tim ahli diisi oleh tenaga fungsional yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang termasuk ahli di bidang perancangan peraturan perundang-undangan. Tenaga ahli atau nara sumber juga bisa berasal dari partai politik yang dianggap mengusai suatu bidang tertentu untuk dapat diminta pendapatnya dalam meformulasi suatu draft Rancangan Peraturan Daerah. Dengan adanya fasilitas penyediaan Tenaga ahli atau Narasumber oleh Sekretariat DPRD Kota Makassar menunjukkan pelayanan Sekretariat Dewan mampu memberikan pelayanan bidang keahlian yang secara khusus mendukung pelaksanaan fungsi dewan di bidang legislasi. Badan legislasi yang didukung oleh 16 (enam belas) legislator , 3 (tiga) orang staf pembantu, dan media elektronik yang merupakan unsur pendukung dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah pada kenyataannya juga dianggap belum maksimal sehingga menjadi hambatan dalam mengoptimalkan kinerja Badan legislasi. Namun untuk
67
memaksimalkan produk hukum yang di hasilkan, Badan Legislasi telah berupaya untuk meningkatkan pengetahuan dalam bidang hukum dengan mengikuti pelatihan-pelatihan atau sosialisasi-sosialisasi terkait dengan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah . Input yang dimiliki oleh Badan Legislasi yaitu Sumber daya manusia dan ketersediaan anggaran dan fasilitas penunjang kinerja Badan Legislasi bila ditinjau berdasarkan teori pada bagian sebelumnya sudah cukup untuk menunjang pembentukan Rancangan Peraturan Daerah, namun kenyataannya input yang dimiliki belum mampu menghasilkan output yang maksimal. Dalam fakta ini menggugurkan penerapan pendekatan pengukuran efektifitas kinerja organisasi ditinjau dari pencapaian target yang telah ditetapkan. Badan Legislasi yang menargetkan capaian Rancangan Peraturan dalam 1 (satu) tahun anggaran adalah 13 (tiga belas) buah rancangan , hanya mampu menetapkan 4 (empat) saja , sehingga dikategorikan kurang efektif. 3. Anggaran Dalam hal penganggaran Pembentukan Peraturan Daerah yang di targetkan oleh Pemerintah Daerah Kota Makassar berdasarkan perhitungan anggaran tahun sebelumnya lebih kurangnya. Hal ini menunjukkan target dalam DPA belum tercapai secara keseluruhan . Dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Tahun 2010 telah dianggarkan untuk Pembentukan
peraturan daerah
sebanyak 13 ( tiga belas) buah, namun yang ditetapkan menjadi Daerah adalah hanya 10 % dari target.
Peraturan
68
Kondisi ini diperparah dengan fakta dilapangan menunjukkan bahwa sampai dengan saat tidak adanya Program Legislasi Daerah yang dibentuk oleh eksekutif dan legislative sehingga menyebabkan sulitnya menentukan skala prioritas dalam pembentukan peraturan daerah yang dimaksudkan menjadi regulasi kehidupan publik atau masyarakat yang bearada di Kota Makassar saat ini untuk membentuk regulasi tersebut Eksekutif dan Legislative hanya mengacu pada Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA). Ketua DPRD menambahkan dalam interview/wawancara dalam sela Rapat Paripurna DPRD Kota Makassar, tanggal 15 Juni 2011 mengatakan bahwa : Target yang diperkirakan, bisa dicapai seluruhnya ataupun bisa tidak, tergantung pada kondisi alotnya pembahasan . Pembentukan Rancangan peraturan daerah merupakan hasil pemikiran dan masukan dari berbagai pihak, masyarakat, Pemerintah Kota, dan DPRD sendiri. Menyatukan pendapat yang berbeda hal yang sangat sulit, tapi mencari titik tengah lebih besar kemungkinannya” Selanjutnya Ketua DPRD Kota Makassar menambahkan, Terkadang masyarakat kurang paham, bahwa kami disini mengkondisikan segala sesuatunya demi mendapatkan solusi terbaik, kalau hanya mengikuti aspirasi mereka, pasti ada pihak yang dirugikan, kita anggota Dewan di posisikan sebagai penengah, masyarakat dan Pemerintah atau pihak ketiga yang terkait dengan permasalahan yang ada di masyarakat. Kami di vonis tidak pro rakyat, padahal kami ini berusaha mencari jalan keluar terbaik, istilahnya win-win solution. Apalagi memang sudah ada aturan yang mengikat “ Namun
disisi
lain,
menyebutkan
bahwa
Kinerja
anggota
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Makassar secara keseluruhan mendapat sorotan tajam. Kinerjanya dinilai tak sebanding dengan dana yang dianggarkan. Pada 2011 dengan jumlah yang fantastis dianggarkan untuk peningkatan kapasitas anggota dewan. Padahal, kinerja legislator selama ini tidak sebanding dengan anggaran itu. Tidak sebanding dengan kinerja yang ditunjukkan oleh
69
anggota DPRD selama 2 tahun terakhir ini, Salah satu kinerja yang bisa diukur yaitu jumlah Perda yang dihasilkan, utamanya Perda inisiatif. Sejak 2009 hingga 2010 ini belum ada Perda inisiatif yang ditetapkan dan sampai sekarang memasuki 2011 tidak ada yang jelas. Anggaran yang sangat fantastis dari kisaran Rp11 Miliar hingga Rp14 Miliar sangat tidak mencerminkan kinerja yang rendah. Disamping itu, track record DPRD Makassar dalam menindak lanjuti keinginan masyarakat dinilai masih kurang. Hal itu bisa dilihat dari pembahasan hak angket Karebosi yang gagal diusung. Pemberian izin pembangunan Tower di Rappocini tanpa persetujuan warga, Rekomendasi penangguhan penahanan Direktur PIP, Ruislag SD Bung yang merugikan pihak sekolah, berlarut-larutnya kasus PDAM dan lain-lain. Anggaran reses di DPRD termasuk item yang mendapatkan porsi yang besar. Sejak 2009 kisaran anggarannya sudah berada pada Rp1 Miliar lebih. Angka ini mestinya berbanding lurus dengan banyaknya jumlah aspirasi masyarakat yang masuk pada setiap pembahasan APBD. Namun pada faktanya ini tidak maksimal. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya keluhan masyarakat atas usulan-usulan mereka yang tidak terakomodir pada saat pelaksanaan reses DPRD dan Musrenbang. Anggaran yang dialokasikan untuk penyerapan aspirasi ini tidak kecil dan bahkan meningkat dari tahun ke tahun. Untuk 2011 ini Sekretariat DPRD kembali menganggarkan sekitar Rp1,50 miliar untuk reses. Tapi pada kenyataannya, anggaran ini menjadi mubazir karena aspirasi masyarakat tetap menggantung. Selain itu, dalam agenda kerja Badan legislasi DPRD Kota Makassar sudah ada tiga daftar Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibahas oleh DPRD Kota
70
Makassar yaitu, Perda tentang Ruang Terbuka Hijau, Perda tentang Menara, Perda tentang Rumah Kos. Anggaran yang digunakan sudah mencapai Rp1,2 miliar lebih tetapi perda yang dimaksud tidak ditahu ujung pangkalnya. Pada tahun 2011 ini bahkan dianggarkan lagi sebesar Rp1,18 miliar untuk pembahasan Rancangan Peraturan Daerah yang sama. Hal ini menunjukkan begitu borosnya DPRD kota Makassar dalam memanfaatkan anggaran dan sangat tidak sebanding dengan karya yang dihasilkannya. Berdasarkan Rencana Kerja DPRD Kota Makassar Tahun 2010 ditargetkan 13 Buah Rancangan peraturan daerah yang akan ditetapkan menjadi peraturan daerah dengan Anggaran sebesar Rp. 2 M (milyar) dengan perician untuk 1 (satu) buah
peraturan daerah, dimulai dari proses pembentukan Rancangan
Peraturan Daerah sampai dengan ditetapkannya menjadi
peraturan daerah
adalah sebesar Rp. 152 juta , untuk setiap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah , anggaran rapat dan kebutuhan intern pembahasan, dimasukkan dalam anggaran makan minum harian Sekretariat DPRD Kota Makassar, tetapi untuk anggaran Perjalanan Dinas dalam rangka Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah yang di maksud. Anggaran tersebut sesuai dengan Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang di tetapkan sebagai pedoman anggaran belanja dalam satu tahun anggaran berjalan. Hal ini juga ditegaskan oleh Sekretaris DPRD Kota Makassar dalam kutipan wawancara (15 Juni 2011) di bawah ini : Anggaran Perjalan Dinas Anggota Dewan dalam rangka pembahasan Rancangan peraturan daerah itu di sediakan sekitar 2 milyar, untuk pembahasan 13 ( tiga belas) Rancangan, dengan rincian untuk Pimpinan Dewan kisaran Rp. 10 juta untuk satu kali perjalanan dan Rp. 8 Juta untuk anggota dewan. Semua sudah di rincikan dalam DPA .
71
Sekretari DPRD Kota Makassar juga menambahkan bahwa : Dana yang disediakan untuk pembahasan rancangan sudah dianggap cukup, dengan jumlah anggaran yang demikian banyak diharapkan mampu memenuhi kebutuhan anggota dewan yang terhormat untuk melakukan perjalanan dinas dalam rangka pembahasan ranperda. Adapun untuk Badan Legislasi sendiri di anggarkan untuk satu kali perjalanan dinas Kunjungan Kerja untuk setiap alat kelengkapan termasuk Badan Legislasi. Untuk pembahasan Ranperda di sediakan juga dana untuk Perjalanan Dinas yang rancangannnya berasal dari inisiatif DPRD Kota Makassar . Rincian anggaran yang dimaksud dapat dilihat dalam tabel berikut ini : Rincian dokumen pelaksanaaan anggaran belanja langsung Tabel 3 Rincian Anggaran Perjalanan Dinas Kunjungan Kerja Panitia Legislasi Kode rekenin g 1.20.04. 15.09.
URAIAN
RINCIAN PERHITUNGAN Volume Harga Satuan
JUMLAH (Rp)
Kunjungan kerja Panitia Legislasi Pimpinan DPRD - Ketua - Wakil ketua - Anggota - Struktural -Staf Pendamping
4 1 1 11 1 2
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
10.000.000 8.000.000 8.000.000 8.000.000 6.000.000 6.000.000
Rp. 40.000.000 Rp. 8.000.000 Rp. 8.000.000 Rp. 88.000.000 Rp. 6.000.000 Rp. 12.000.000 Rp. 162.000.000
Sumber : Dokumen Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2010
Anggaran diatas di maksudkan untuk perjalanan dinas Alat Kelengkapan (Badan Legislasi) diluar pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, tetapi dimaksudkan untuk kunjungan kerja perbandingan kinerja dan proses kerja Badan Legislasi antar DPRD tingkat Kabupaten / Kota .
72
Untuk anggaran pembahasan Rancangan peraturan daerah dapat dilihat dalan rincian di bawah ini : Tabel 4 Rincian Anggaran Belanja Langsung Perjalanan Dinas Pembahasan Rancangan peraturan daerah Kode rekenin g 1.20.04. 15.01
URAIAN Kunjungan Kerja Pembahasan Rancangan peraturan daerah Pimpinan DPRD - Ketua - Wakil ketua - Anggota - Struktural -Staf Pendamping
RINCIAN PERHITUNGAN Volume Harga Satuan
52 13 13 143 13 23
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
12.000.000 8.000.000 8.000.000 8.000.000 6.000.000 6.000.000
JUMLAH (Rp)
Rp. 624.000.000 Rp. 104.000.000 Rp. 104.000.000 Rp. 1.114.000.000 Rp. 78.000.000 Rp. 138.000.000 Rp. 2.162.000.000
Sumber Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Tahun Anggaran 2010
Dari data yang diperoleh berdasarkan tabel diatas hanya menyebutkan anggaran untuk perjalanan dinas DPRD dalam rangka pembahasan Rancangan Peraturan, sedangkan anggaran untuk pembahasan Rancangan Peraturan Daerah itu sendiri tidak dianggarkan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti didapatkan informasi bahwa anggaran untuk pembentukan Rancangan Peraturan Daerah berada pada SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah )masingmasing. Sebagai contoh untuk Rancangan
peraturan daerah yang mengatur
tentang Pajak dan retribusi , anggarannya berada di Dinas Pendapatan Daerah, Rancangan Peraturan Daerah tentang tarif angkutan umum, berada di Dinas Perhubungan, sehingga terkadang menyebabkan tumpang tindih anggaran. Sejatinya hal itu di atur dalam sebuah Program Legislasi Daerah, sehingga pengaturan anggarannya di sentralkan pada satu bagian, dalam hal ini Bagian Hukum Sekretariat Daerah yang mempunyai kewenangan dalam pengaturan
73
administrasi pembentukan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari eksekutif. Berdasarkan uraian rincian anggaran yang dimiliki oleh DPRD Kota Makassar, dalam hal Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah sudah sangat maksimum, bila mengacu kepada teori kinerja bahwa untuk menghasilkan output yang maksimal dengan memanfaatkan input secara optimal, idealnya DPRD Kota Makassar dalam hal ini Badan Legislasi mampu untuk memberikan kinerja yang maksimal dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah bukan penumpukan Rancangan peraturan daerah seperti yang terjadi sekarang ini . Disamping itu secara objektif juga dapat diukur kinerja Badan Legislasi melalui pendekatan System-resource Model, dimana Badan Legislasi telah mendapatkan sumberdaya yang dibutuhkan dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah namun dalam pemanfaatannya tidak optimal. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja Badan Legislasi tidak efektif. Uraian diatas mengambarkan bahwa anggaran yang disediakan untuk pembahasan Rncangan Peraturan Daerah tiap tahun meningkat, berdasarkan hasil analisa Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) 3 tahun terakhir. Untuk tahun 2011, di peroleh data dari hasil penelitian pada Bagian Keuangan Sekretariat DPRD Kota Makassar, menunjukkan realisasi anggaran tahun 2011 untuk pembahasan Rancangan Peraturan Daerah sudah hampir habis, dan direncanakan untuk penambahan pada anggaran perubahan tahun 2011 . Dana yang sedemikian besar seharusnya dapat digunakan untuk menyelesaikan dan mewujudkan aspirasi masyarakat, namun fakta tidak
74
menunjukkan hal tersebut, aspirasi masyarakat belum sepenuhnya terwujud namun anggaran yang tersedia sudah hampir seluruhnya digunakan. 4.
Manajemen
Badan Legislasi yang didukung oleh 12 ( dua belas) Legislator, idealnya memiliki management yang sinergis, adanya komposisi Ketua dan Wakil ketua di maksudkan untuk dapat mengatur pembagian tugas dan kewenangan serta tanggung jawab yang diemban, namun adanya tumpang tindih tugas yang dimiliki oleh masing-masing anggota yang duduk dalam Badan Legislasi menjadikan kinerja menjadi melemah. Kondisi ini sangat sering terlihat, dimana anggota Badan Legislasi juga berperan dalam alat kelengkapan lain yang memiliki tugas yang berbeda. Kinerja Badan Legislasi akhirnya tidak bisa maksmimal karena pembagian tugas yang tidak merata. Tidak efektifnya management yang terjadi didalam Badan Legislasi menyebabkan bertumpuknya Rancangan Peraturan sehingga target yang dimiliki oleh Badan Legislasi itu sendiri tidak dapat tercapai. Berdasarkan fakta yang ditunjukkan dari jumlah Rancangan Peraturan yang dapat direalisasikan dalam 2 (dua) tahun terakhir, dimana Badan Legislasi yang diperankan oleh Legislator baru hanya mampu merealisasikan 33 % dari target Rancangan yang ada. Sebagai perbandingan untuk Tahun Anggaran 2009, dari 9 (sembilan)
target
Rancangan
Peraturan
Daerah
dapat
terealisasikan
pembahasannya sampai ditetapkan menjadi Peraturan Daerah mencapai 70 %, namun tidak demikian pada tahun terakhir. Lambannya management dipengaruhi oleh jumlah Rancangan yang semakin meningkat sedangkan waktu pembahasan yang sedemikian singkat
75
sehingga output yang dihasilkan tidak mampu memenuhi target yang telah direncanakan sebelumnya. Hal yang lain teridentifikasi bahwa, Badan Legislasi tidak menentukan skala prioritas untuk pembahasan Rancangan Peraturan Daerah,
sehingga
terlihat
bahwa
Badan
Legislasi
hanya
menyelesaikan
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah yang sifatnya sederhana atau mudah, bukan dari segi pentingnya Rancangan Peraturan Daerah itu dibahas dan diselesaikan. Padahal kemungkinan Rancangan Peraturan Daerah yang tidak mampu diselesaikan itu menyangkut kepentingan banyak orang atau bersifat
urgent. Sedangkan idealnya sebuah organisasi untuk menghasilkan ouptput yang berkualitas dan sesuai dengan yang diharapkan adalah sinergisme pembagian tugas dalam organisasi dengan kata lain management yang baik dalam sebuah oragnisasi menjamin output yang berkualitas. Walaupun anggota Badan Legislasi yang sekarang menjabat tidak mengalami pembatalan Rancangan Peraturan Daerah
yang
dihasilkan
namun
tidak
menutup
kemungkinan
dengan
management yang buruk hal ini akan ditemui, kerana management yang tidak baik akan mempengaruhi output yang dihasilkan c.
Proses Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) Setelah instansi/badan yang menginisiasi memahami prinsip-prinsip
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah, maka instansi tersebut telah siap untuk membuat kerangka konseptual dan memulai proses pembentukan Rancangan Peraturan Daerah. Pada intinya, pembentukan Rancangan peraturan daerah sebenarnya merupakan satu bentuk pemecahan masalah yang rasional. Layaknya sebagai proses pemecahan masalah, langkah pertama yang perlu
76
diambil adalah menjabarkan masalah yang akan diatasi, dan menjelaskan bagaimana
Rancangan
Peraturan
Daerah
yang
diusulkan
akan
dapat
menyelesaikan masalah tersebut. Konsep atau draft Rancangan Peraturan Daerah harus merupakan usulan pemecahan masalah-masalah spesifik yang telah diindentifikasi dan dirumuskan sebelumnya. Dan seperti layaknya usulan pemecahan masalah yang memerlukan kajian empiris, draft Rancangan Peraturan Daerah juga hendaknya dikaji secara empiris melalui konsultasi publik dan pembahasan antar instansi. Lebih jauh, Peraturan Daerah yang sudah disahkan hanyalah merupakana pemecahan secara teoritis , oleh karena itu perlu dicek secara silang (cross check) secara pasti tingkat kefektivan yang sebenarnya. Dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah, ada beberapa langkah yang dilakukan, mulai dari identifikasi isu sampai dengan tahap penetapan Rancangan Peraturan Daerah. Rancangan Peraturan Daerah yang dibedakan berdasarkan inisiatornya dalam pembentukannya juga melalui tahap yang berbeda. Identifikasi masalah yang dilakukan oleh Eksekutif yang di ajukan oleh Walikota/ Kepala Daerah ke Pimpinan DPRD, isu yang diterima oleh Pimpinan DPRD berupa draft Rancangan Peraturan Daerah yang disusun oleh legal drafter yang ada di Eksekutif. Pimpinan DPRD mendisposisi draft Rancangan Peraturan Daerah kepada Badan Legislasi untuk mengkaji susunan draft RAPERDA yang diajukan oleh pihak eksekutif, untuk dibahas lebih lanjut dengan komisi dan stakeholders terkait sesuai dengang hasil identifikasi isu yang telah dilakukan.
77
Tahapan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA), dimulai dari tahap inisiasi, tahap pembahasan di Pemerintah Daerah, selanjutnya ke Tahap pembahasan di DPRD termasuk dalam pembicaraan tingkat komisi, fraksi dan badan musyawarah. 1.
Tahap inisiasi merupakan tahap awal pembentukan Rancangan Peraturan Daerah biasanya diawali dengan identifikasi agenda yang berasal dari publik, anggota DPRD, ataupun Pemerintah Daerah. Publik dapat menyampaikan suatu permasalahan tertentu yang pantas dimasukkan kedalam agenda politik untuk selanjutnya dirumuskan sebagai kebijakan publik . Selanjutnya anggota dewan dapat membawakan agenda tersebut untuk ditindaklanjuti dengan pembentukan draft Rancangan Peraturan Daerah untuk mendapatkan persetujuan dalam pembahasan di tingkat selanjutnya.
2.
Tahapan di Pemerintah daerah , berdasarkan Peraturan Mentri Dalam Negri No. 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah adalah sebagai berikut : a. Penyusunan produk hukum daerah yang bersifat pengaturan dilakukan berdasarkan Prolegda, b. Pimpinan satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) memprakarsai rencana penyusunan produk hukum daerah. Tanpa mengurangi ketentuan ini , penyusunan produk hukum daerah dapat didelegasikan pada Biro / Bagian Hukum. c. Untuk penyusunan produk hukum daerah dibentuk Tim antar SKPD yang diketuai oleh pimpinan SKPD pemrakarsa atau pejabat yang ditunjuk
78
oleh Kepala Daerah dan Kepala Biro Hukum sekaligus menjadi sekretaris, d. Selanjutnya, dilakukan pembahsan antar Bagian hukum danSKPD terkait. Pembahasan menitik beratkan pada objek yang diatur, jangkauan, dan arah pengaturan. e. Selanjutnya draft rancangan yang telah dibahas oleh Tim diajukan ke sekretaris Daerah untuk kemudian di ajukan ke DPRD untuk di bahas. 3.
Sementara untuk tahapan di DPRD melalui 5 ( lima) tahapan , yakni - Tahap persiapan perancangan, - Tahap perancangan draft, - Tahap pembahasan draft oleh komisi, dan fraksi, - Tahap pembahasan badan musyawarah, - Tahap pembicaraan tingkat Paripurna beradasarkan pendapat dan pemandangan umum dari fraksi-fraksi . Tahapan tersebut diatas dapat dilihat pada gambar berikut ini :
79
Gambar. 6 Rapat Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Pajak Daerah Sumber: Dokumentasi Humas Set. DPRD Kota Makassar 2009
Dari gambar diatas, merupakan tahapan pemebntukan sebuah Rancangan Peraturan Daerah yang merupakan inisiasi Eksekutif, draft Rancangan sudah terbentuk dari Eksekutif melalui pembahasan ditingkat Pemerintah Kota. Draft Rancangan Peraturan Daerah yang masuk ke Badan
Legislasi
hanya
untuk
dikaji
secara
mendalam,
untuk
mendapatkan kualitasa Rancangan Peraturan Daerah yang layak untuk di laksanakan dengan mengedepankan kualitasnya. Rancangan Peraturan Daerah inisiasi Eksekutif terlihat lebih sistematis dan berkualitas, karena legal drafter yang dilibatkan betulbetul memiliki kemampuan merancang produk hukum yang tinggi. Hal ini di maksudkan tidak lain untuk menghindari adanya yudicial review terhadap Rancangan yang telah dibentuk. Namun demikian faktanya
80
juga memperlihatkan bahwa ada Peraturan Daerah yang telah di tetapkan mengalami pembatalan. masih belum jelas apakah hal ini terjadi saat pengakjian di DPRD atau saat pembahasan di tingkat Pemerintah Kota yang di pengaruhi oleh kepentingan-kepentingan berbagai pihak.
Gambar. 7 Rapat Intern Badan Legislasi DPRD Kota Makassar Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Pajak Daerah Sumber : Dokumentasi Humas DPRD kota Makassar 2009
Setelah Rancangan yang masuk ke Badan Legislasi, di bahas inter oleh Badan Legislasi unutk mengkaji draft yang ada pasal-demi pasal. Rancangan yang dianggap telah selesai pembahsan dan kajiannya di kemablikan ke komisi terkait untuk di bicarakan selanjutnya bersama SKPD terkait, atau publik yang akan melaksanakan regulasi tersebut, untuk kemudian di tindak lanjuti dalam Rapat Paripurna atas persetujuan jadwal dari Badan Musyawarah.
81
Gambar 8 Rapat Paripurna Pembicaraan Tingkat I , Penjelesan Umum Rancangan Peraturan Daerah Kota Makassar tentang Pajak dan Retribusi Daerah tahun 2010 Sumber : Dokumen Protokol Set. DPRD Kota Makassar 2010
Sedangkan langkah-langkah pembentukan Rancangan Peraturan Daerah yang merupakan inisiatif dari DPRD dapat digambarkan melalui skema di bawah ini: Inisiator utusan fraksi/komis i
Pembahasan
RAPERDA tingkat Paripurna
Pimpinan DPRD
Review RAPERDA yang telah di bahas oleh Badan Legislasi
Pembentukan Naskah akademisi oleh Badan Legislasi dan inisiator bersama tenaga ahli
Pembahasan RAPERDA dengan Pimpinan dan anggota DPRD
Gambar 9 Tahapan Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Inisatif DPRD
82
Rancangan Peraturan Daerah Inisiatif DPRD, merupakan inisiatif yang didukung sekurang-kurangnya 5 (lima) orang Anggota DPRD, lebih dari 1 (Satu) Fraksi, Komisi, gabungan komisi atau Badan Legisalsi. Sesaui dengan tata cara Pembentukan Pearturan Daerah yang diatur dalam Tata Tertib DPRD Kota Makassar. Rancangan Peraturan daerah yang telah dibentuk, di bicarakan kembali oleh Pimpinan dan anggota DPRD dalam Rapat Kerja. Dalam rapat kerja ini membahas draft Naskah akademik Rancangan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Setelah review oleh Badan Legislasi draft RAPERDA di bahas dalam pembicaraan tingkat Paripurna. Untuk kemudian di sah kan menjadi RAPERDA setelah mendapat persetujuan oleh Pimpinan dan Anggota Dewan dalam Rapat Paripurna. Sedangkan untuk pembentukan Rancangan Peraturan Daerah yang dibentuk berdasarkan isu yang disampaikan secara langsung oleh publik melalui penyampaian aspirasi unjuk rasa/demonstrasi memiliki mekanisme tersendiri yang juga diatur dalam Peraturan Dewan Perwakilan DPRD Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Makassar yang mengatur tentang tata cara penerimaan, pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat. Dalam peraturan ini dijelaskan mekansime pnerimaan aspirasi oleh masyarakat yang memungkinkan di bentuknya sebuah Rancangan
Peraturan
disampaikan tersebut.
Daerah
sebagai
regulasi
penyelesaian
isu
yang
83
Aspirasi
Tim penerima aspirasi
Pimpinan Dewan
Rapat kerja dengan SKPD / Stakeholders terkait terkait
Badan Legialsasi (Pembentukan . draft)
Komisi/ Fraksi
Rapat dengar pendapat bersama masyarkat terkait
Gambar 10 Tahapan Pembentukan RAPERDA oleh Badan Legislasi berdasarkan penerimaan aspirasi di DPRD Kota Makassar Seperti yang digambarkan sebelumnya, Aspirasi yang masuk ke Dewan di terima oleh Tim Aspirasi yang bertugas unutk menerima dan memediasi masyarakat dan dewan dalam hal penyampaian aspirasi. Pengaduan dan aspirasi dilakukan proses administrative oleh Sekretariat DPRD bersama Tim aspirasi yang dibentuk oleh Dewan. Aspirasi ditindaklanjuti setelah diteruskan kepada Pimpinan Dewan dan Komisi atau Fraksi terkait sesuai dengan kewenangannya. Aspirasi dapat ditindak lanjuti dengan Rapat dengar pendapat, Rapat kerja ataupun kunjungan kerja serta rapat kerja alat kelengkapan DPRD dengan mitra kerjanya. Aspirasi yang telah ditindak lanjuti oleh Dewan bila memungkinkan dan mengharuskan di bentuk Pearturan untuk penyelesaiannya, maka Pimpinan Dewan
menyampaikan
kepada
Badan
Legislasi
untuk
bibentuk
draft
Rancangannya. Disinilah peran Badan Legislasi yang memformulasi draft Rancangan Peraturan Daerah berdasarkan identifikasi isu yang telah ada melalui rapat kerja atau rapat lainnya. Namun kendala yang ditemui seperti yang
84
dijelaskan sebelumnya bahwa ada kalanya aspirasi yang disampaikan oleh publik tidak langsung dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat, karena faktor penyampaian aspirasi yang terhambat bilamana anggota dewan tidak berada di tempat, sehingga penyampaian aspirasi terhambat untuk dibahas di komisi atau alat kelengkapan lainnya, belum lagi banyaknya Rancangan Peraturan yang belum selesai pembahasannya sehingga untuk menindak lanjuti aspirasi dari publik masih menunggu waktu yang relative lama untuk kemudian dibahas lebih lanjut, jadi yang tampak hanya penampungan aspirasi semata. Dalam rapat pembentukan Rancangan Peraturan oleh Badan Legislasi sering melibatkan Tenaga ahli sebagai Narasumber, dilihat dari komposisi yang dimiliki oleh Badan Legislasi yang memiliki sumber daya manusia yang berlatar belakang bukan dari ahli hukum atau yang mengerti hukum secara mendalam, menyebabkan keterlibatan nara sumber untuk menghasilkan sebuah Rancangan Peraturan yang berkualitas. Selama ini Badan Legislasi hanya melibatkan tenaga ahli yang berasal dari Partai Politik, ini memungkinkan draft Rancangan yang terbentuk berdasarkan pendapat dari sekelompok orang yang pemikiran nya hampir sama karena kepentingan politik. Uraian diatas menunjukkan bahwa Badan Legislasi disini sudah sangat terbantu oleh berbagai pihak yang juga terlibat dalam pembentukan sebuah Rancangan Peraturan Daerah, hampir semua Rancangan Peraturan Daerah yang terbentuk adalah campur tangan oleh Eksekutif dalam penyusunan dan berperan sebagai legal drafter, Badan Legislasi hanya sebagai pengkaji draft yang telah terbentuk, seharusnya tidak ada lagi draft Rancangan yang bertumpuk seperti yang ada sekarang ini. Kinerja Badan Legislasi terlihat lagi tidak efektif,
85
sedangkan dukungan dari pihak yang terkait sudah sangat maksimal. Hal ini mungkin saja disebabkan karena Badan Legislasi terdiri dari politisi yang juga mengedepankan kepentingan partai tau konstituen yang diwakilinya sehingga kinerja menjadi tidak optimal . Adanya
wacana
yang
menyebutkan
bahwa
beberapa
Rancangan
Peraturan Daerah bertumpuk di Badan Legislasi DPRD Kota Makassar mengundang banyak komentar dari publik, hal ini diakui dan dijelaskan oleh Ketua Badan Legislasi dalam wawancara dengan pers pada sebuah harian Kota Makassar, tanggal 28 april 2011 mengemukakan bahwa : “Memang saat ini ada Rancangan Peraturan Daerah di Baleg ( Badan Legislasi ) ini numpuk,ada bebarapa agenda yang harus dilakukan . ada juga masalah pembagian antar anggota di badan kelengkapan dewan yang tidak sinkron, ada yang mempunyai program di komisi dan tapi ada juga yang di badan.” Lebih lanjut wakil Badan Legislasi menjelaskan bahwa: “Beberapa kendala juga menyebabkan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah menjadi terhambat, namun itu dapat dimengerti dan dapat diterima,jadi saat ini Badan Legislasi merampungkan Rancangan peraturan yang proses pembentukannya sudah sampai pada tahap finishing saja, untuk beberapa Rancangan Peraturan lainnya akan di lanjutkan kemudian pada anggaran tahun berikutnya”. Mengacu kepada rencana kerja (RENJA) DPRD kota Makassar , dengan targetkan 13 (tiga belas) buah Rancangan Peraturan yang akan ditetapkan menjadi Peraturan Daerah, dalam penyusunan dan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) Badan Legislasi tetap berpedoman kepada Peraturan perundang-undangan yang berlaku baik dalam perumusan materi muatan
peraturan daerah maupun tingkat sensivitas Rancangan Peraturan
Daerah (RAPERDA) yang di bentuk.
86
Berdasarkan telaahan dokumen tentang Legal Drafting Penyusunan Peraturan Daerah bahwa tingkat sensivitas atau responsibilitas dari sebuah Rancangan
Peraturan Daerah menjadi ukuran apakah rancangan tersebut
memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Tingkat sensivitas tersebut menjadi penting, karena sensivitas Rancangan Peraturan Daerah turut menentukan ketaatan masyarakat terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang akan di tetapkan menjadi
peraturan daerah atau efektivitas penerapan
Rancangan Peraturan Daerah selanjutnya. Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah yang disusun berdasarkan pedoman peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada sisi lain, dalam melakukan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA), anggota DPRD perlu mempunyai metode untuk mengkritisi RAPERDA yang diajukan bila dianggap tidak sesuai dengan berbagai pertimbangan . Antara lain, apakah judul rancangan sudah tepat, apakah raperda yang diajukan sudah menempati prioritas untuk segera dibahas,dasar pemikiran pengajuan raperda, atau dasar hukum apakah yang digunakan dalam pembentukan raperda. Secara umum Badan Legislasi telah mengacu kepada Peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah hal ini juga di pertegas oleh ketua Badan Legislasi
dalam kutipan
wawancara secara terstruktur yang dilakukan dalam penelitian ini . berikut kutipan argument informan Bapak Ketua Badan Legislasi YG, pada wawancara tanggal 16 Mei 2011 beliau mengatakan bahwa : Pembentukan dan penyusunan draft Rancangan Peraturan Daerah tidak boleh asal, kita betul-betul telaah substansinya. Apalagi kalau ada peraturan sebelumnya yang juga mengatur hal yang sama , pada dasarnya kita tidak pernah bertentangan dengan aturan sebelumnya apalagi aturan yang
87
tingkatannya lebih tinggi, karena sama saja Rancangan itu dianggap tidak layak untuk dilanjutkan pembahasannya. Selalu berpedoman dan lebih memperhatikan hal-hal yang sifatnya mendasar dan urgent, Peraturan yang sudah ada yang mengatur tentang pembentukan Peraturan Perundangundangan memang sudah sesuai dan sangat proporsional menurut saya namun masing-masing penafsiran kita beda-beda , jadi butuh penyesuain persepsi.
Setelah dilakukan pembahasan dengan stakeholder yang terkait , pembahasan draft rancangan kemudian di ajukan unutk dibicarakan dalam tahapan paripurna tingakt I , untuk memberikan gambaran umum mengenai Rancangan tersebut . dalam tahap paripurna ini Kepala Daerah dalam hal ini Walikota Makassar akan memberikan Penjelasan umum mengenai Rancangan Peraturan Daerah tersebut untuk kemudian menunggu tanggapan dari fraksi dan komisi , untuk selanjutnya di bahsa lagi di Badan Legislasi sampai pada tahap akhir ditetapkan menjadi sebuah Peraturan Daerah .
Kembali
kepada
pembentukan
Rancangan
peraturan
daerah
,
berdasarkan fakta yang di dapati bahwa banyaknya kendala yang dihadapi oleh Badan Legislasi DPRD Kota Makassar saat ini menyebabkan terjadinya penumpukan Rancangan peraturan daerah, ditinjau dari beberapa kendala yang dihadapi berikut kutipan wawancara dengan anggota Badan Musyawarah lain NM yang menjadi Informan pada penelitian ini ( tanggal 17 Mei 2011): Bila berbicara tentang kemampuan masing-masing anggota BALEG (Badan Legislasi) sudah dalam taraf mampu, hanya saja jumlah rancangan peraturan daerah yang masuk ke Baleg jumlahnya banyak, dari pemerintah daerah dan inisiatif dari DPRD Kota Makassar sendiri juga. Untuk prioritas sulit untuk ditentukan , karena isu yang masuk dalam agenda semuanya prioritas. Keterbatasan waktu dan anggaran jadi faktor yang sangat mengikat menumpuknya rancangan yang belum terbahas. Belum lagi agenda yang sama prioritasnya yang berada di Komisi dan kepanitiaan lainnya. Sehingga fokus menjadi pecah .
88
Selanjutnya Anggota Baleg juga menuturkan juga bahwa Tugas dan fungsi dewan bukan hanya terfokus dalam pembentukan produk hukum saja ,berbagai permasalahan yang dihadapi harus diselesaikan diwaktu yang hampir bersamaan. Sehingga sangat sulit memilah prioritas tugas yang yang harus diselesaikan terlebih dulu. Belum lagi jangka waktu yang diberikan dalam pembahasan rancangan peraturan daerah sangat singkat , mungkin pertimbangan karena banyaknya draft yang harus di bahas dalam kurun waktu satu tahun anggaran . Jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah isu dimasukkan dalam agenda politik yang kemudian akan dibahas dan disetujui untuk dijadikan peraturan daerah dianggap sangat singkat. Karena pembahasan satu draft rancangan butuh pemikiran dan penyelarasan pendapat dari tipa-tiap anggota badan legislasi itu pasti memerlukan waktu yang lama, menyatukan beragam pemikiran dari banyak otak. Padahal dalam satu tahun anggaran banyak Rancangan yang harus dibahas jadi bisa dipastikan akan banyak rancangan yang menumpuk seperti yang terjadi sekarang ini .
Para legislator terkhusus yang termasuk dalam anggota Badan Legislasi hampir semuanya mengatakan bahwa kondisi yang mereka hadapi saat ini adalah hal yang baru, menghasilkan produk hukum yang mengatur kehidupan bermasyarkat adalah tanggungjawab yang besar, resiko yang dihadapi adalah pro dan kontra dari masyarakat. Sehingga betul-betul memerlukan pertimbangan dan pemikiran yang tegas, solid dan penuh tanggungjawab. Adanya aturan yang mengikat ruang gerak mereka menjadikan anggota Badan Legislasi sedikit kurang leluasa untuk menuangkan pemikiran mereka sesuai yang mereka inginkan, karena terikat oleh peraturan dan kode etik sebagai anggota DPRD Kota Makassar dan anggota Badan Legislasi. Bila ditinjau dari sisi Sumberdaya pendukung yang disediakan dan dimiliki oleh anggoat Badan Legislasi DPRD Kota Makassar yang dimaksudkan dalam mendukung kinerja mereka terlihat cukup memadai , setiap Anggota Badan Legislasi dan Anggota DPRD secara keseluruhan telah dilengakapi alat penunjang
89
elektronik berupa 1 ( satu) buah notebook / laptop, dimaksudkan untuk mendukung tugas dan kinerja masing-masing anggota untuk tetap dapat bekerja dimana dan kapan pun, tidak terkecuali dalam urusan pemebntukan Rancangan peraturan daerah. Seharusnya dengan dilengkapinya alat tersebut, anggota Badan Legislasi bisa mengerjakan atau menyelesaikan Rancangan peraturan daerah tepat waktu, karena bisa meng-akses informasi online dengan kondisi apapun, dan dimana pun. Hanya saja terkendala dengan kemampuan masing-masing individu dalam menggunakan alat tersebut . Bahkan tidak sedikit dari mereka me-rumah-kan alat tersebut. Atau yang terparah adalah peruntukan laptop untuk mendukung kinerja malah digunakan untuk kepentingan lain. Kutipan wawancara dengan Anggota Badan Legislasi DPRD Kota Makassar (tgl 17 mei 2011) mengatakan bahwa : Pengetahuan dan kemampuan menggunakan alat canggih seperti laptop, atau komputer memang diakui bahwa sangat minim, untuk sekedar mengetik atau mengkonsep sebuah surat masih bisa dilakukan sendiri , tapi selebihnya dengan penggunaan layanan internet,e-mail, itu sangat awam sekali. Untunglah staf yang diperbantukan di Badan ini mereka mempunyai skill yang cukup untuk itu. Sedikit banyak sudah membantu tugas kami . Di tempat yang berbeda Sekretaris DPRD Kota Makassar dalam interviewnya (tanggal 17 mei 2011) mengatakan bahwa : Kami telah memfasilitasi Anggota DPRD dengan Laptop, dan melengkapi media Speedy untuk Kantor DPRD dengan tujuan pendukung tugas dan kinerja mereka. Dalam setiap Periode keanggotaan DPRD Kota Makassar dianggarkan sedikitnya 50 (lima puluh) buah Laptop untuk anggota DPRD, yang penggunaannya di batasi selama anggota tersebut masih menjabat sebagai Anggota DPRD, bila telah terjadi PAW (pengganti antar waktu) laptop tersebut harus dikembalikan karena termasuk dalam barang inventaris. Tapi sejak periode lalu yang dilengkapi laptop , dari 45 (empat puluh lima) anggota dewan hanya kembali 9 (sembilan) buah saja . Sekretaris DPRD juga menambahkan bahwa:
90
Semua fasilitas yang dianggap perlu demi kelancaran tugas dan fungsi anggota dewan kami usahakan untuk terpenuhi, hanya saja kenyataannya kinerja masih tetap seperti itu . masalah Rancangan peraturan daerah yang masih banyak menumpuk dan belum terbahas, belum lagi target yang harus ditetapkan tidak tercapai, tetapi kami tidak punya hak untuk interpensi terlalu jauh, yang menilai masyarakat, karena masyarakatlah yang memilih mereka untuk duduk sebagai wakilnya . kami disini hanya sebagai fasilitator saja, pelayan umum administrasi anggota DPRD, bukan sebagai auditor kinerja anggota dewan yang terhormat. Selama ini terlihat sinergi yang harmonis antara Sekretariat DPRD Kota Makassar dengan DPRD Kota Makassar, komunikasi berjalan cukup baik,. Sebagai pelayan administrasi umum anggota DPRD Kota Makassar, Sekretariat dinilai cukup baik dalam pelayanan, pun bila terlihat adanya masalah atau ketidak sesuaian hanya dikarenakan kesalahan persepsi namun bisa diatasi. Dikaitkan dengan teori, bahwa pengukuran efektifitas sebuah organisasi secara berdasarkan beberapa pendekatan, diantaranya strategic-Constituencies model yang mengukur efektivitas sebuah organisasi dapat memuaskan stakeholdersnya. Stakeholders ini terdiri dari orang-orang yang menyediakan input untuk organisasi atau yang menggunakan output dari organisasi atau yang memiliki kerjasama dengan organisasi atau individu yang peranannya sangat penting bagi kelangsungan hidup organisasi. Bila direlevankan dengan kondisi Badan Legislasi sekarang ini, bisa dikategorikan bahwa organisasi ini tidak efektif faktanya
adalah
bahwa
Badan
Legislasi
tidak
mampu
memuaskan
stkeholdersnya, baik yang menyediakan input dalam hal ini Sekretariat DPRD sebagai fasilitator penunjang kinerja Badan Legislasi dan publik sebagai pengguna output karena menumpuknya Rancangan peraturan daerah di Badan Legislasi menunjukkan bahwa masalah yang ada dimasyarakat menjadi terabaikan.
91
d. Output Badan Legislasi DPRD Kota Makassar Setiap tpermulaan Tahun Anggaran, dibahas mengenai anggaran target Rancangan Peraturan Daerah yang mampu di selesaikan oleh Badan Legislasi kurun waktu satu tahun berjalan. Hal ini menunujukkan bahwa Dewan secara keseluruhan dalam hal pembentukan dan menghasilkan produk hukum sebagai regulasi
kjhidupan
bermasyarakat
dan
dalam
pemerintahan
hanya
memperhitungkan kuantitas saja. Seberapa banyak jumlah Rancangan yang dapat dihasilkan tanpa melihat kualitas sebuah Rancangan yang di tetapkan. Dalam proses pembentukan peraturan daerah, ada beberapa azas yang memperkuat tingkat sensivitas peraturan daerah yaitu : 1.
Tujuan yang jelas, setiap peraturan daerah harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Tujuan suatu suatu Peraturan Perundang – undangan dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu tujuan yang jelas-jelas dirumuskan dalam pasal-pasal (manipest purpose) and tujuan yang tidak dirumuskann secara nyata (latent purpose). Tujuan yang tidak dirumuskan, namun masyarakat dapat memahami, karena tujuan ini biasanya menjadi akibat lanjutan dari tujuan yang manifest. Tujuan
yang
jelas
sangat
membantu
masyarakat
untuk
mengimplementasikan setiap Rancangan Pertauran daerah yang telah ditetapkan menjadi jelas
tujuannya,
peraturan daerah. Sebaliknya, peraturan yang tidak bahkan
sering
membingungkan,
berdampak
rendahnya tingkat ketaatan masyarakat dalam pelaksanaannya.
pada
92
2.
Kesesuaian kelembagaan terhadap materi muatan peraturan daerah , Kesesuaian jenis
peraturan daerah haruslah dibuat oleh lembaga yang
memilikiiki kewenangan untuk itu,ini juga terkait dengan kesesuaian antara jenis
Rancangan
Peraturan
Daeah
dengan
substansi
yang
diatur.
Kesesuaian materi muatan yang tepat dengan jenis rancangan peraturan daerah sangat membantu dalam rangka menghindari pertentangan antara Peraturan yang satu dengan yang lainnya, 3.
Efektivitas Pelaksananaan
peraturan daerah, Secara umum setiap
Peraturan Perundang-undangan tidak terkecuali peraturan yang masih berbentuk rancangan dianggap dapat dilaksanakan bila didalamnya terkandung beberapa aspek baik secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Hal ini biasanya tercermin dalam rumusan pasal-pasalnya. 4.
Daya guna dan hasil guna, Setiap Peraturan perundang-undangan yang dibentuk dibuat karena benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk periode keanggotaan Tahun 2009-2014 kinerja Badan Legislasi
(tahun ke-2 menjabat sebagai Anggota Badan Legislasi ) yang dapat dilihat secara real dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah yang dihasilkan termasuk peraturan daerah yang di tetapkan dan telah diberlakukan dapat dilihat dari diagram berikut
93
RAPERDA belum di bahas
14%
RAPERDA yang telah di bahas dan di tetapkan
53%
33%
RAPERDA yang baru di bentuk
Gambar 11 Persentase Produk Hukum yang dihasilkan Oleh Badan Legislasi DPRD Kota Makassar Tahun 2009 -2010 Sumber : LAKIP DPRD Kota Makassar Tahun 2010
Dari
diagram
diatas
dapat
digambarkan
bahwa
dalam
periode
keanggotaaan Badan Legislasi untuk Tahun 2009-2014, dalam waktu dua tahun masa keanggotaannya hanya mampu menghasilkan 14 % dari target peraturan daerah yang harus ditetapkan dalam satu tahun anggaran, jadi masih mempunyai lebih dari 50 ( lima puluh ) persen isu yang harus di bahas dan dibentuk Rancangannya . Sisa tanggung jawab ini harus secepatnya. Untuk tetap memberikan rasa percaya dari masyarakat kepada anggota Dewan yang sekarang meduduki jabatannya sebagai wakil rakyat. Sedangkan untuk tahun 2011, dari sumber informasi yang didapatkan bahwa tahun ini Badan Legislasi menerima 16 (enam belas) draft Rancangan yang harus di selesaikan pembahasannya dalam kurun waktu satu tahun. Untuk pembahasan. Daftar rancangan yang dimaksud dapat dilihat dalam tabel dibawah ini
94
Tabel 5 Daftar Rancangan Peraturan Daerah Kota Makassar TahunAnggaran 2011 No
Nama RAPERDA
Usulan
Tahap
1 2 3 4 5 6
Ruang Terbuka Hijau Fasum /Fasos Rumah Kost Tower Komunikasi Fasilitas Penyandang Cacat Persampahan / Revisi Perda No. 14 Tahun 1995 ttg Persampahan dan Kebersihan Perikanan / Revisi Perda Nomor 7 Tahun 1993 ttg Pengelolaan Pendaratan Ikan Revisi Perda No. 2 Tahun 2002 ttg Pengaturan dan Pemungutan Izin Usaha Kepariwisataan Revisi Perda No. 5 Tahun 2002 ttg Pengaturan Retribusi Ketenagakerjaan Revisi Perda No. 12 Tahun 2002 ttg Pajak Perhotelan Revisi Perda No. 6 Tahun 2002 ttg Pembinaan Bidang Informasi dan Komunikasi serta Pemungutan Retribusi Pemberian Izin Operasional Usaha Perfilman,Pameran, dan Percetakan/Grafika Revisi Perda No. 3 Tahun 2004 ttg Pajak Hiburan Revisi Perda No. 4 Tahun 1998 ttg Pajak Reklame Revisi Perda No. 13 Tahun 2002 ttg Pajak Parkir Revisi Perda No. 15 Tahun 1995 ttg Retribusi Penggunaan Tanah atau yang Dikuasai untuk Pemasangan Reklame Revisi Perda No. 11 Tahun 2002 ttg Pajak Restoran
Inisiatif DPRD Inisiatif DPRD Inisiatif DPRD Inisiatif DPRD Eksekutif /SKPD terkait Eksekutif /SKPD terkait
Pembahasan Rancangan Rancangan Rancangan Rancangan Rancangan
Eksekutif /SKPD terkait Eksekutif /SKPD terkait
Rancangan
Eksekutif /SKPD terkait
Rancangan
Eksekutif /SKPD terkait
Rancangan
Eksekutif /SKPD terkait
Rancangan
Eksekutif /SKPD terkait
Rancangan
Eksekutif /SKPD terkait
Rancangan
Eksekutif /SKPD terkait
Rancangan
Eksekutif /SKPD terkait
Rancangan
Eksekutif /SKPD terkait
Rancangan
Eksekutif /SKPD terkait
Rancangan
7
8
9
10 11
12 13 14 15
16
Sumber : Bagian rapat-rapat Sekretriat DPRD Kota Makassar 2011
Dari Tabel diatas menunjukkan untuk Rancangan Peraturan yang masuk ke Badan Legislasi Tahun 2011 ini, sebagian besar adalah inisiasi dari Eksekutif, hanya ada 4 (empat) Rancangan yang berasal dari Dewan.
95
Sejumlah Rancangan Peraturan Daerah yang ada di Badan Legislasi DPRD Kota Makassar hampir seluruhnya masih dalam tahap inisiasi, draft dan pembahasannya masih menunggu pada Rancangan Peraturan yang berkaitan sebagai Grand desain sejumlah rancangan peraturan daerah lainnnya . Daftar diatas menunjukkan banyaknya jumlah Rancangan yang harus diselesaikan tahun anggaran ini, PR (pekerjaan rumah) yang berat bagi Badan Legisalsi untuk segera di bentuk dan dibahas dalam pembicaraan tingkat lanjut. Fakta lain sebagai bahan perbandingan, berdasarkan hasil kunjungan kerja Badan Musyawarah DPRD Kota Makassar ke DPRD Kota Bandung, di dapatkan data bahwa DPRD Kota Bandung dalam satu bulan mampu merampungkan 2-3 Buah Rancangan Peraturan Daerah. Hasil wawancara dengan Wakil Ketua Badan Legislasi DPRD Kota Makassar ( tanggal 27 Juni 2011) mengemukakan bahwa: Minggu lalu saya tergabung dalam Kunjungan Kerja Alat Kelengkapan Dewan Badan Musyawarah (bamus) DPRD Kota Makassar melaksanakan kunjungan kerja (kunker) ke DPRD Kota Bandung , Ada yang membuat rombongan kami iri dalam kunjungan kerja di DPRD Kota Bandung. Soalnya, dalam setahun DPRD Kota Bandung mampu merampungkan 16 perda dari 24 ranperda yang direncanakan. Bandingkan dengan DPRD Makassar yang tidak sampai setengahnya. Wakil Ketua Badan Legislasi menambahkan bahwa : Tahun ini DPRD Kota Bandung menargetkan 28 ranperda dapat dirampungkan menjadi perda. Melihat bagaimana intensitas anggota DPRD Kota Bandung, target itu sangat mungkin terealisasi. Telah dua kali melakukan kunjungan kerja di DPRD Kota Bandung, selalu saja disambut hanya oleh satu anggota DPRD karena yang lain sedang rapat. Mereka betulbetul memanfaatkan waktu kerja di kantor untuk merampungkan tugas dan tanggungjawabnya sebagai Anggota Dewan . Rahasia di balik hidupnya aktivitas legislator DPRD Kota Bandung adalah peran strategis bamus sebagai konduktor yang sangat baik. Dalam satu bulan, DPRD Kota Bandung dapat merampungkan 2-3 ranperda. Satu kelompok pansus dapat menyelesaikan 1-2 ranperda. Bandingkan dengan DPRD Makassar yang membutuhkan waktu hingga setahun. Walaupun ini bukan kunjungan kerja Badan Legislasi tapi sebagai bahan perbandingan bisa saja, apalagi saya yang menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Legislasi DPRD Kota Makassar
96
Banyaknya perbedaan yang dimiliki oleh DPRD Kota Makassar dan DPRD Kota Bandung juga menjelaskan hasil kinerja yang di tunjukkan masing-masing DPRD. Dalam hal pembahasan Rancangan
peraturan daerah .penempatan
anggota yang ikut dalam ke Panitiaan Khusus ( Pansus) yang ikut dalam pembahasan suatu Rancangan
peraturan daerah dalam jumlah yang tidak
terlalu banyak namun kinerja yang lebih diutamakan. Faktanya adalah komposisi pansus yang hanya terdiri dari 10-13 orang per pansus. Sehingga dalam 1 waktu, 4 kelompok pansus dapat berjalan sekaligus. Bandingkan dengan DPRD Makassar yang komposisi pansusnya 26 org, sehingga tidak memungkinkan beberapa pansus ranperda berjalan paralel. Hal ini menunjukkan bahwa Kinerja DPRD Kota Bandung lebih produktif. Sinergi antar alat kelengkapan harmonis sehingga mampu mengahasilkan kinerja yangs optimal . Hal ini seharusnya menjadi catatan yang baik dan perlu diperhatikan
oleh
Badan
Legislasi
DPRD
Kota
Makassar
untuk
lebih
mengoptimalkan kinerja nya sehingga tidak memberikan kesan yang kurang baik dalam pembentukan Rancangan peraturan daerah Kota Makassar . Terkait dengan masalah kinerja anggota Badan Legislasi , berikut kutipan wawancara yang dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam. Hasil wawancara peneliti dengan anggota dewan bukan anggota Badan Legislasi, ( tanggal 23 Mei 2011)., beliau mengatakan Keragaman profesi yang melatar belakangi masing-masing anggota DPRD sangat mempengaruhi kinerja, tidak bisa dipungkiri pikiran jadi terbagi. Memperjuangkan hak konstituen yang dititipkan kepada wakil rakyat dan memperjuangkan hak hidup keluarga adalah sama pentingnya. Bila ditimbang kondisinya jadi 60 % untuk konstituen dan 40 % untuk kehidupan pribadi . tapi itu adalah resiko . tapi tugas adalah yang utama , karena
97
menyangkut banyak orang ,masyarakat pasti akan menuntut kita. Karena menganggap mampu menyalurkan aspirasinya. Kondisi yang seperti ini merupakan kendala juga terhadap pembentukan Rancangan
peraturan daerah yang bisa mempengaruhi kualitas Rancangan
peraturan daerah yang dihasilkan . Berbicara masalah Rancangan peraturan daerah yang dihasilkan ditinjau dari azas dan ketentuan yang diatur dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 berikut hasil wawancara secara tersturuktur mengenai Rancangan peraturan daerah yang dihasilkan Oleh Badan Legislasi DPRD Kota Makassar selama Tahun anggaran 2010. Menurut Ketua Badan Legislasi DPRD Kota Makassar, Rancangan peraturan daerah yang di hasilkan substansi dan materi muatannya telah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dalam wawancara (tanggal 24 Mei 2011) mengatakan bahwa : Semua draft Rancangan Peraturan peraturan daerah yang dibentuk harus sesuai dengan aturan yang berlaku , harus punya tujuan yang jelas, untuk apa dan kepada siapa Peraturan itu di buat. Memilah isu yang sejenis untuk satu draft rancangan sehingga satu aturan dapat mencover masalah yang sejenis. Meminimalisir pemborosan anggaran dan produk hukum yang dihasilkan . atau menarik peraturan yang sudah ada (membatalkan) peraturan yang sudah ada dengan draft rancangan yang baru dengan menyesuaikan kondisi yang di bahas dalam peraturan yang sudah dibuat dan kondisi yang terjadi dimasayarakat yang memungkinkan terjadinya pergeseran setelah diberlakukannya peraturan sebelumnya . Lebih lanjut YG mengatakan bahwa : Draft rancangan hanya berupa formulasi solusi yang kemungkinan dapat diambil dalam menanggapai permasalahan, bisa berasal dari Pemerintah Daerah Kota Makssar bisa juga merupakan inisiatif dari DPRD Kota Makassar jadi Unsur Lembaga yang diberi kewenangan sudah jelas untuk membentuk Rancangan peraturan daerah yang bersangkutan , misalnya untuk pembentukan Struktur Organisasi Perangkat Daerah Kota Makassar , adalah
98
hak Pemerintah Kota Makassar untuk membentuk Rancangannya karena mereka yang mengetahui secara pasti tentang siapa dan bagaimana susunan organisasi sehingga tepat dan mampu bersinergi dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya , Dewan hanya menetapkan saja setalah pembahasan, begitu pula dengan Rancangan peraturan daerah yang sementara dibahas tentang Ruang Terbuka Hijau , itu inisiatif dari Dewan yang menilai Kota Makssar ini terlalu penuh dengan Ruko (rumah toko ), tata ruangnya perlu pembenahan, dengan adanya Ruang terbuka Hijau sedikit mengimbangi kondisi kota yang semakin ruwet dan padat. Mengikuti juga program pemerintah Sulawesi Selatan Go Green untuk menyelamatkan bumi dari global warming . itu sudah jelas tujuan dan lembaga yang berwenang membentuk Rancangan peraturan daerah yang bersangkutan . Untuk azas kejelasan tujuan dan lembaga yang berwenang membentuk Rancangan Peraturan Daerah telah dipenuhi, sedangkan untuk memperhitungkan efektivitas pelaksanaan Rancangan Peraturan Daerah di masyarakat yang memenuhi unsur filosofis , yuridis dan sosiologis. Menurut
Pimpinan
Dewan
dan
Anggota
Badan
Legisalsi
yang
diwawancarai oleh peneliti mengemukakan : Draft Rancangan Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan ideologi bangsa Pancasila, tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih kuat atau diatasnya , karena kalau bertentangan akan kembali mentah materi muatannya. Sehingga dapat dilaksanakan di masyarakat . Untuk materi muatannya dari bahasa, pemilihan kata, dan hukumnya harus jelas dan mudah dimengerti , karena yang mau diatur itu adalah masyarakat berbagai kalangan dan etnis. Tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat itu sangat beragam jadi harus dipikirkan semuanya sehingga masyarakat yang diatur bisa mengerti dan paham akan peraturan yang dibuat . Lebih lanjut beliau menambahkan, draft rancangan yang diajukan yang dibuat oleh badan legislasi saat ini tidak terlepas dari pedoman pembentukan Rancangan
peraturan daerah yang sudah diatur dan hasil sharing dengan
narasumber yang diminta masukannya dalam pembentukan Rancangan tersebut melibatkan stakeholder dan masyarakat tertentu yang terkait dengan Rancangan yang dibuat menjadikan Draft ini bersifat terbuka dan trasparan , dimaksudkan
99
agar tidak terjadi benturan-benturan nantinya bila Draft Rancangan ini akhirnya di tetapkan menjadi peraturan daerah untuk dilaksanakan serta meminimalisir dicabut atau dibatalkannya peraturan daerah yang sudah ada sebelumnya atau yang akan ditetapkan . Kendala lain yang dihadapi oleg Badan Legislasi adalah, draft rancangan yang sedang dibahas saat ini saling berkaitan, contohnya Rancangan Peraturan Daerah tentang Ruang Terbuka Hijau, yang pembahasannya menyebrang ke Tahun Anggaran 2011, di karenakan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengatur tentang adanya ruang terbuka hijau untuk setiap daerah perkotaan, masih di konsultasikan di tingakt Propinsi, sehingga menghambat kajian Rancangan peraturan daerah mengenai Ruang Terbuka Hijau tersebut . Berikut kutipan wawancara dengan Wakil Ketua Badan Legislasi (tanggal 8 juni 2011) mengenai hal tersebut, mengatakan bahwa : Ada satu Rancangan yang belum selesai pembahasannya sampai pertengahan tahun ini, RAPERDA mengenai Ruang Terbuka Hijau, RAPERDA ini adalah inisiatif dari Dewan . masih belum selesai karena pembahasan RAPERDA RTRW juga blum selesai konsultasinya di tingkat propinsi. Jadi kita juga tidak bisa berbuat banyak , akhirnya harus di pending. Karena RAPERDA RTRW itu bisa dibilang Grand RAPERDA, yang mengatur tentan Ruang Terbuka dan Penataan kota secara detail . kita tidak boleh mendesain draft nya sedangkan masih ada aturan yang mengatur tentang hal yang sama artinya kita menyalahi aturan . Selanjutnya menambahkan, bahwa: Rancangan itu ada aturannya , tidak bisa ada dua aturan mengatur satu permasalahan, pemborosan juga kepada anggaran karena pembahasannya itu cukup memakan biaya . untuk satu rancangan saja menggunakan anggaran yang cukup besar, jadi untuk membuat lebih dari satu rancangan untuk permasalahan yang samasama saja mengahbiskan anggaran untuk hal yang sia-sia. Dan sampai ke pusat juga peasti mentah juga, bahkan akan di batalkan . makanya tugas dari Badan Legisalasi itu mengkaji secara detail untuk memilah permasalahan dan isu yang sejenis di kelompokkan untuk satu
100
rancangan yang mengaturnya, perlu diperhatikan juga aturan yang sudah ada sebelumnya, aturan yang diatasnya , tidak boleh ada yang berbenturan atau menyalahi aturan yang berlaku . Kendala yang sama juga terjadi pada Rancangan Peraturan Daerah mengenai retribusi Pengelolaan Persampahan. Sampai dengan saat ini, rancangan tersebut belum selesai pembahasannya karena Pemerintah Kota Makassar masih belum memasukkan Grand Desain, mengenai pengelolaan persampahan tersebut. Sehingga sampai dengan saat ini Rancangan Peraturan Daerah tersebut masih berada di Badan Legislasi menunggu Grand desain dari Pemerintah Kota Makassar untuk kemudian dibahas lebih lanjut. Adanya yudicial review yang dialami oleh Pemerintah Kota Makassar dan DPRD Kota Makassar terkait dengan Pembatalan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 8 Tahun 1996 tentang Retribusi Pasar dan Pusat Perbelnjaan di Makassar serta peraturan daerah Kota Makassar Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pajak Parkir, memberikan gambaran yang jelas kepada Badan Legislasi DPRD Kota Makassar yang sekarang menjabat untuk lebih memperhatikan substansi serta tata cara pembentukan Rancangan Peraturan Daerah sesuai dengan pedomal legal drafting dalam acuan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Yang perlu di perhatikan secara seksama selain tingkat sensivitas dari Rancangan Peraturan Daerah yang akan di bentuk adalah Rancangan di bentuk merupakan aspirasi dan isu yang dimuat dalam agenda politik DPRD, untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dengan tidak mendeskriminasikan golongan tertentu yang dapat memicu timbulnya permasalahan yang baru di masyarakat.
101
Dari pembahasan diatas memberikan gambaran bahwa teory yang berkaitan dengan pengukuran kinerja ditinjau dari beberapa pendekatan tidak mampu di terapkan pada semua organisasi , termasuk pada sebuah organisasi kecil Badan Legislasi DPRD Kota Makassar dalam pembentukan peraturan daerah, memperlihatkan fakta bahwa kondisi dalam organisasi tersebut menggugurkan teori mengenai pengukuran kinerja suatu organisasi. Berdasarkan analisa dokumen yang dilakukan oleh peneliti, menyebutkan bahwa selama ini pengukuran kinerja Badan Legislasi yang secara kuantitas tidak mampu untuk memenuhi target yang telah direncanakan setiap tahunnya oleh DPRD Kota Makassar, tidak menutup kemungkinan karena mengejar kuantitas melalaikan kualitas yang harus dimiliki oleh sebuah Rancangan Peraturan Daerah.
102
BAB V PENUTUP
A.
KESIMPULAN Kinerja Badan Legsilasi keanggotaan Periode 2009-2014, sampai dengan saat ini masih dinilai belum maksimal dapat dilihat dari hasil akhir yang dihasilkan oleh Badan Legislasi masa kerja tahun 2009-2011 yang setiap tahun anggaran tidak mampu mencapai target Rancangan Peraturan Daerah untuk di tetapkan menjadi Peraturan Daerah dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran setiap tahun, adapun kendala yang menjadi penyebab tidak maksimalnya kinerja Badan Legislasi DPRD Kota Makassar dalam menghasilkan Rancangan Peraturan Daerah antara lain,karena tidak mampu memaksimalkan input yang dimiliki, selain itu waktu pembahasan isu untuk kemudian di bentuk dalam draft peraturan daerah cukup singkat, serta adanya
peraturan daerah
yang berhubungan dengan Rancangan
Peraturan yang lain yang merupakan Grand desain masih dalam tahap konsultasi di tingkat yang lebih tinggi sehingga menghambat pembahasan rancangan peraturan lainnya. 1. Input
yang
dimiliki oleh Badan Legislasi
DPRD Kota Makassar,
berdasarkan data yang diperoleh bahwa dari bahwa aspirasi masyarakat sebagai input Rancangan Peraturan Daerah telah tersalurkan ke dewan, kendati demikian terhambat oleh mekanisme yang berjenjang sehingga memungkinkan aspirasi kebanyakan tergantung atau hanya tertampung di dewan, menunggu waktu pembahasan menyesuaikan agenda dewan yang sudah di tetapkan pada awal tahun. Sumberdaya Manusia dengan
103
latar belakang pengetahuan yang terbatas masalah hukum dan bidang tertentu, menyebabkan pembentukan sebuah Rancangan Peraturan Daerah menjadi tidak optimal, sedangkan anggaran yang cukup besar yang tersedia tidak relevan dengan hasil yang ada. Dana yang sudah hampir habis namun Rancangan belum tuntas pembentukannya, hal ini pun di perparah karena management yang ada di Badan Legislasi berjalan
kurang
maksimal,
tumpang
tindih
tugas
menyebabkan
terbengkalainya tugas pokok, sehingga Rancangan bertumpuk. 2. Dalam proses pembentukan Rancangan Peraturan Daerah, Badan Legislasi terhambat oleh masalah waktu pembentukan Rancangan peraturan daerah yang akan di bentuk dan di susun, terhitung mulai masuknya Isu ke dalam agenda politik, untuk kemudian di bahas kedalam Badan Legislasi terhitung singkat. Kompleksnya tugas dimiliki oleh Badan Legislasi dan jumlah Rancangan yang harus dibahas dengan jangka waktu yang terhitung singkat menjadikan anggota Badan Legislasi kewalahan. Menyelesaikan tugas yang utama dengan kondisi multi jabatan memungkinkan terjadinya terbengkalainya beberapa tugas yang harus di selesaikan. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah yang dibahas untuk satu buah Rancangan terkadang berbenturan dengan tugas lain dalam kepanitiaan, sehingga waktu pembahasan menemui kendala, yang akhinya waktu yang ditetapkan menjadi mundur atau tidak tepat waktu menyebabkan target yang dicapai juga tidak maksimal. Selain itu adanya kendala dengan Rancangan Peraturan yang merupakan Grand desain dari Rancangan Peraturan Daerah lainnya masih dalam tahap konsultasi di tingkat propinsi, sehingga menghambat jalannya
104
pembahasan
untuk
rancangan
peraturan
lainnya,
terhambatnya
pembahasan menyebabkan menumpuknya rancangan peraturan lain di Badan Legislasi DPRD Kota Makassar. 3. Output yang dihasilkan oleh Badan Legislasi saat ini dinyatakan tidak efektif
berdasarkan
organisasi
melalui
tinjauan beberapa
teori
pengukuran
pendekatan.
efektifitas
Tidak
kinerja
maksimalnya
pemanfaatan input yang dimiliki oleh Badan Legislasi menyebabkan draft Rancangan Peraturan yang dihasilkan tidak optimal. Dalam proses pembentukannya pun terhambat beberapa faktor, sehingga menyebakan output Rancangan Peraturan Daerah tidak bisa mencapai target yang telah ditetapkan walaupun tidak pernah mengalami yudicial review namun dalam pencapaian target tidak bisa optimal B.
SARAN 1. Sebaiknya anggota Badan Legislasi untuk lebih mampu memanfaatkan input yang tersedia semaksimal mungkin dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pembentuk draft Rancangan Peraturan Daerah serta lebih fokus kepada tugas dan tanggung jawabnya dalam mengkaji pembentukan Rancangan Peraturan Daerah yang telah masuk dalam agenda Politik. Idealnya untuk sebuah Rancangan Peraturan Daerah inisiatif Dewan, anggota Badan Legislasi sebagai pembentuk dan pengakaji draft Rancangan Peraturan Daerah untuk melibatkan akademisi dari perguruan tinggi setempat, untuk dijadikan Narasumber, karena terkadang ada Peraturan yang sudah usang dan perlu di atau dibentuk yang baru perbaiki karena perubahan kondisi di masyarakat memerlukan pertimbangan dan pendapat dari akademisi yang mengerti
105
secara
mendalam
masalah
bertumpuknya rancangan
hukum.
Sehingga
meminimalisir
peraturan daerah di Badan Legislasi.
Pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua) yang di percayakan untuk mengkoordinir anggota Badan Legislasi lainnya untuk menempatkan anggotanya dengan tepat sehingga tidak menganggu tugas pokok dalam organisasi tersebut tumpang tindih tugas yang diberikan menyebabkan fokus menjadi terpecah, oleh karena itu perlu di perhatikan kedepannya . 2. Dalam proses pembentukan Rancangan Peraturan Daerah, Badan Legislasi sebaiknya juga tidak terfokus oleh Rancangan Peraturan yang masih dikonsultasikan di tingkat propinsi, tetapi mencoba untuk membahas rancangan peraturan yang lain untuk diselesaikan sambil menunggu rancangan yang sementara di bahas. Dimaksudkan untuk meminimalisir menumpuknya Rancangan peraturan lainnya. Belum lagi mekanisme
pembentukan
Rancangan
Peraturan
Daerah
yang
berjenjang sebaiknya bisa lebih efektif pelaksanaannya. 3. Sebaiknya Anggota Badan Legislasi lebih memperhatikan output yang dihasilkan, baik dari segi kuantitas dan kualitas Rancangan Peraturan Daerah yang dibentuk. Selain itu Rancangan Peraturan Daerah yang di bentuk sesuai dengan peruntukkannya, tidak menyalahi aturan yang berlaku dan layak untuk di aplikasikan ke publik, menghindari terjadinya
yudicial review di tingkat pusat.
106
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku ADEKSI, 2000, Meningkatkan Kinerja Fungsi Legislasi DPRD, Subur Printing, Jakarta Boyle, R., 1989. Managing Public Sector Performance: a comparative study of performance monitoring system in the public and private sector, Dublin, Institute of Public Administration. Cameron, K., 1981a. ‘The enigma of organizational effectiveness’, dalam D. Baugher (ed.), Measuring Effectiveness, San Francisco, Jossey-Bass: 1-14. _______ 1981b. ‘Domains of organizational effectiveness in colleges and universities’, Academy Management Journal 24:25-47 Campbell. J. P. and Campbell, R. J. 1990. Productivity in organizations. San Fransisco: Josey-Bass Publisher Carter, N., Klein, R. dan Day, P., 1992. How Organizations Measure Success: the use of performance indicators in government. London, Routledge. Chiu, N. K., 1997. Service targets and methods of redress: the impact of accountability in Malaysia’, Public Administration and Development Donnelly, M. 1999. ‘Making the difference: quality strategy in the public sector’, Managing Service Quality Donnelly, M., Wisniewski, M., Dalrymple, J.F. dan Curry, A., 1995. ‘Measuring service quality in local government: the SERVQUAL approach’, International Journal of Public Sector Management. Downs, G.W. dan Larkey, P.D., 1986. The Search for Government Efficiency: from hubris to helplessness, New York, Random House. Fajar, 2011 Ranperda menumpuk di Dewan Gasperz, Vincent, 1997, Manajemen Kualitas, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama Goodman, P.S. dan Pennings, J.M., 1977. ‘Perspective and issues: an introduction’, dalam P.S. Goodman dan J.M. Pennings (eds), New Perspectives on Organizational Effectiveness, San Francisco, Jossey-Bass: 1-12
107
Hannan, M.T. dan Freeman, J., 1977. ‘Obstacles to comparative studies’ dalam P.S. Goodman dan J.M. Pennings (eds), New Perspective on Organizational Effectiveness, San Francisco, Jossey-Bass: 106-31. Harty, H.P., 1978. ‘The status of productivity measurement in the public sector’, Public Administration Review 38(1): 28-33. Irawan,Prasetya, 1997, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta STIALAN press Hannan, M.T. dan Freeman, J., 1977. ‘Obstacles to comparative studies’ dalam P.S. Goodman dan J.M. Pennings (eds), New Perspective on Organizational Effectiveness, San Francisco, Jossey-Bass: 106-31. Imbaruddin, Amir, 2010, Kinerja Organisasi Publik : Kuantitas atau Kualitas dan Kuntitas dan Kualitas, Orasi Ilmiah, STIA-LAN, Makassar Kotler, Philip and Alan R, Andreasen, 1995, Strategi Pemasaran untuk Organisasi Nirlaba, Diterjemahkan oleh Ova Emilia, Yogyakarta, Gajah Mada University Press Osborne, David and Plastrik, Peter, 1998, Banishing Bereucracy (The Five Strategies for Reinventing Government, Eddison Wesley Publishing Companiy Inc Peters, B.G., 1998. Administration in the year 2000: serving the client, International Journal of Public Administration Prawirasentono, Suryadi, 1999, Kebijakan Kinerja Karyawan, Yogyakarta, BPFE Quinn, R.E., 1978. Productivity and the process of organizational improvement: why we cannot talk to each other, Public Administration Review Sedarmayanti, 2004, Membangun Sistem Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas Menuju Good Governance, Bandung, Mandar Maju. Soeryadi, 2000, Kinerja Birokrasi, Penerbit PT. Gramedia Pusataka Utama, Jakarta Sugiyono, 2001, Metode penelitian Administrasi, Cetakan VIII, Bandung, Alfabeta Tjiptono, F dan A. Diana, 1995, Total Quality Management, Yogyakarta, Andi Offset Upiyoadi, R, 2001, Manajemen Pemasaran Jasa, Jakarta, Salemba Empat
108
Lain-lain Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah Peraturan Presiden (Perpres) No. 37 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan LAKIP DPRD Kota Makassar Tahun 2010 Lembaga Administrasi Negara, (2004), Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi pemerintah, Jakarta : Pusat Informasi Administrasi Negara Bidang Dokumentasi dan Publikasi Lembaga Administrasi Negara Rencana Kerja (RENJA) DPRD Kota Makassar Tahun 2011 Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) DPRD Kota Makassar Tahun 2011
109
PEDOMAN WAWANCARA A. INPUT Daftar pertanyaan ini ditujukan kepada Pimpinan, Anggota Badan Legislasi DPRD kota Makassar, serta Sekretriat DPRD sebagai mediator pelayan dan penyedia penunjang kinerja Badan Legislasi DPRD Kota Makassar 1. Apakah indicator input dalam hal ini Sumber daya yang ada dalam organisasi (Badan legislasi) dapat dimanfaatkan secara baik dan benar ? 2. Apakah organisasi (Badan Legislasi) sudah mampu memuaskan orang-orang yang menyediakan input dan menggunakan output , atau yang memiliki kerjasama dengan organisasi ( Badan Legislasi ) tersebut ? 3.
4.
Apakah Badan legislasi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya ditunjang dengan media dan peralatan yang memadai dan bagaiman penampilan personil anggota Badan Legislasi secara umum apakah sudah sesuai dengan kode etik yang berlaku ? Menurut Bapak, apakah orang-orang atau anggota legislative yang duduk dalam kepanitiaan Badan Legislasi memiliki kemampuan kerja dan keahlian dalam bidang nya ?
5. Menurut Bapak, apakah anggota dari Badan legislasi mempunyai kemauan untuk membantu anggota lainnya melaksanakan tugas dan wewenangnya secara cepat dan tanggap ? 6. Apakah masyarakat merasa bahwa aspirasinya telah ditampung dan di realisasikan melalui PERDA ? 7. Menurut bapak/ ibu apakah RAPERDA yang ada sudah berfungsi secara baik dalam hal perlindungan hak asasi manusia ?
B. PROSES Daftar pertanyaan ini ditujukan kepada Anggota Badan Legislasi DPRD Kota Makassar 1. Apakah selama ini RAPERDA yang disusun oleh Badan Legislasi sudah sesuai dengan pejabat atau lembaga yang diberi kewenangan menyusun RAPERDA tersebut ?
110
2. Apakah RAPERDA yang ada selama ini yang telah disusun dapat dilaksanakan secara filosofis, yuridis, dan sosiologis ? 3. Apakah RAPERDA yang disusun oleh Badan Legislasi memiliki kejelasan tujuan ? 4. Apakah RAPERDA telah memenuhi persayaratan teknis pembentukan dalam bahasa, dan sistematika pemilihan dan pembentukan RAPERDA menrut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku ? 5. Apakah RAPERDA yang disusun selama ini sifatnya transparan ? 6. Menurut Bapak, apakah anggota dari Badan legislasi mempunyai kemauan untuk membantu anggota lainnya melaksanakan tugas dan wewenangnya secara cepat dan tanggap ?
C. OUTPUT Daftar pertanyaan ini ditujukan kepada Pimpinan, dan Anggota Badan Legislasi DPRD kota Makassar 1. Apakah tujuan/target RAPERDA yang telah ditetapkan dalam DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran ) Tahun 2010 telah tercapai ? 2. Apakah RAPERDA yang disusun selama ini berdayaguna atau betulbetul dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur masyarakat ?
3. Menurut Bapak ,apakah anggota Badan Legislasi mampu menimbulkan kepercayaan masyarakat atau penerima output dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya menyusun RAPERDA ? 4. Apakah RAPERDA yang ada sudah tidak mendiskriminasikan satu golongan atau sebagian orang sehingga dapat memicu timbulnya permasalahan baru ?
111
PEDOMAN OBSERVASI 1. Fasilitas yang dimiliki oleh Badan Legislasi DPRD Kota Makassar dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya 2. Kemampuan Anggota Badan Legislasi dalam mengelola dan menyusun draft Rancangan peraturan daerah Kota Makassar 3. Mekanisme dan proses kerja Badan Legislasi dalam pembahasan Rancangan peraturan daerah 4. Kemampuan Badan Legislasi mengoptimalkan sumber daya yang ada dalam melaksanakan tugas dan kewenangannnya 5. Kemampuan Anggota Badan Legislasi dalam memenuhi target peraturan daerah yang sudah ditentukan dalam DPA ( Dokumen Pelaksanaan Anggaran ) Tahun 2010
112
PEDOMAN TELAAH DOKUMEN 1. Peraturan Pemerintah tentang perubahan status Panitia Legislasi menjadi Badan Legislasi 2. Peraturan tentang kedudukan keprotokoleran Pimpinan dan anggota DPRD Kota Makssar 3. DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran ) Tahun 2010 4. Data tentang daftar draft Rancangan peraturan daerah tahun 2010 5.
Laporan rapat dan dokumen rapat pembahasan Rancangan peraturan daerah
6. Data tentang Sumber daya yang dimiliki oleh Badan Legislasi dalam pembentukan Rancangan peraturan daerah