BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbicara tentang teater Prancis tahun 1990-an nama Éric-Émmanuel Schmitt tidak dapat lepas dari deretan penulis yang tergolong produktif mementaskan karyanya. Dimulai dari tahun 1990 lewat La Nuit de Volognes, kemuian disusul dengan Le Visiteur, Schmitt mulai mendapat tempat di dunia sastra Prancis, khususnya teater. Ia dikenal lewat karya-karya yang berhubungan dengan filsafat, khususnya eksistensialisme. Tema eksistensialisme terus muncul dalam karya-karya Schmitt hingga tahun 2000-an meskipun ia mulai menjajaki tema-tema lain seperti kemanusiaan dan agama. Memasuki tahun 2000, Schmitt tidak hanya berkutat di teater, tetapi juga di novel dan cerpen. Beberapa naskah dramanya dipentaskan dan kemuian dibukukan dalam bentuk novel, salah satunya adalah Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran (MILFC). Awalnya MILFC dipentaskan di panggung teater di Prancis. Setahun setelah karya ini mendapat sambutan baik di teater-teater di Prancis, MILFC dibukukan. Pada tahun 2003 MILFC difilmkan dengan arahan sutradara François Dupeyron. Film ini meraih banyak penghargaan internasional, di antaranya César dan Audience Award di Venice International Film Festival 20031.
1
Baik dalam César maupun Venice International Film Festival, film MILFC meraih penghargaan Aktor Terbaik untuk Omar Sharif (pemeran Mosnieur Ibrahim).
1
MILFC bercerita tentang persahabatan Moïse—seorang anak laki-laki Yahudi yang baru beranjak dewasa—dengan Monsieur Ibrahim. Monsieur Ibrahim adalah seorang pria paruh baya dari Turki yang membuka toko kelontong di daerah tempat tinggal Moïse, Rue, Bleu, dan Paris. Moïse—yang kemudian dipanggil Momo oleh Monsieur Ibrahim—tinggal bersama ayahnya yang pemarah, miskin, dan pelit. Ia sering mencuri di toko milik Monsieur Ibrahim karena uangnya yang sedikit itu habis untuk membayar pelacur. Suatu hari ketika akan membayar belanjaannya, Moïse diajak bicara oleh Monsieur Ibrahim. Sejak itu mereka menjalin persahabatan. Dari persahabatan ini Moïse mendapat kasih sayang yang tidak pernah diberikan ayahnya. Moïse juga belajar menghargai perbedaan karena Monsieur Ibrahim yang seorang Muslim, berbeda dari Moïse yang seorang Yahudi. Persahabatan dua orang dengan latar belakang yang berbeda menjadi inti dari cerita MILFC. Interaksi keduanya menarik karena alih-alih menampilkan persahabatan antara sesama Katholik (agama mayoritas di Prancis), Schmitt justru mengambil tokoh-tokoh Yahudi dan Muslim yang merupakan kelompok minoritas di Prancis. Di dalam hubungan antarminoritas ini juga tersimpan banyak masalah, seperti cara kelompok-kelompok minoritas ini memandang golongan mayoritas dan identitas mereka. Ketiga masalah tersebut, terutama dentitas, menjadi topik yang sering dibahas oleh karya-karya francophone. Kebanyakan pengarang francophone menyinggung identitas orang-orang di negara jajahan Prancis, para imigran, atau keturunan imigran di Prancis. Identitas adalah keterkaitan antara seseorang dan kelompok-kelompok tertentu. Mereka melihat dan bersinggungan dengan tradisi-
2
tradisi yang dianggap Prancis dan tradisi “asli” negara jajahan Prancis. Pada akhirnya masalah yang diangkat seringkali tentang orang-orang dari negaranegara jajahan atau keturunan para imigran yang berada di persimpangan antara menjadi orang Prancis atau kembali ke akar budaya leluhur mereka. Seiring dengan banyaknya imigran di Prancis, masalah identitas semacam ini sekarang tidak hanya disinggung oleh pengarang francophone dari negaranegara jajahan Prancis, tetapi juga oleh pengarang Prancis. Schmitt adalah salah satu yang melihat identitas sebagai masalah yang penting untuk diangkat dalam bentuk karya sastra. Lewat MILFC, pengarang ini mempertanyakan cara menjadi individu yang bebas dari bentukan identitas lingkungannya. Identitas yang dibahas di sini terutama berkaitan dengan kelompok-kelompok agama dan etnis di Prancis, khususnya Yahudi, Muslim, dan Arab. Ketiga kelompok ini termasuk kelompok minoritas di Prancis dan kerap menjadi “korban” dari identitas yang dibentuk lingkungannya, tanpa bisa memilih identitasnya sendiri. Pertentangan antara identitas bentukan lingkungan dan memilih identitas sendiri yang muncul berdasar dari pandangan identitas seseorang adalah pemahaman siapa ia dan siapa orang lain. Menurut sosiolog Richard Jenkins, dua proses tersebut merupakan awal pembentukan identitas (Jenkins, 2005:5). Pemahaman ini membuat identitas individu berbeda dari identitas kolektif. Identitas individu muncul ketika seseorang mengidentifikasi perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Sebaliknya, identitas kolektif timbul ketika orang melihat kesamaan-kesamaan dalam masyarakat. Identitas individu dan identitas kolektif tidak datang dengan sendirinya. Keduanya dibentuk lewat interaksi individu dengan lingkungan. Untuk mengenal
3
identitas individu, seseorang harus mengenal dirinya. Jenkins melihat identitas individu lewat dua cara, yaitu individu sebagai “diri” dan individu sebagai “persona”. “Diri” adalah cara kita memandang diri sendiri, sedangkan “persona” adalah cara kita menampilkan diri pada orang lain (Jenkins, 2005:28). Pembentukan “diri” melibatkan interaksi antara proses internal dan eksternal. Proses internal bersifat bebas yang berasal dari diri sendiri. Sementara itu proses ekstenal ditentukan oleh orang lain (Jenkins, 2005:29). Meskipun terdapat dua proses, pada praktiknya seringkali kita tidak bisa melakukan proses internal karena adanya pengaruh lingkungan. Bahkan, pemikiran tentang diri sendiri pun banyak dipengaruhi oleh cara orang lain memandang kita sehingga penilaian diri tidak bisa bebas sepenuhnya. Sebagai contoh, seseorang yang dianggap masuk kelompok etnis tertentu sangat bergantung pada pandangan lingkungan terhadap dirinya. Sejak lahir ia telah dimasukkan dalam kelompok etnis khusus, misalnya Cina atau Arab, oleh keluarganya. Ketika dewasa ia masuk dalam lingkungan masyarakat luas dan kemudian bentukan itu makin terasa. Dari tampilan fisiknya, identitas keluarga atau teman-temannya, seseorang bisa dimasukkan dalam kelompok tertentu oleh lingkungan. Hasil bentukan ini sering memengaruhi pemikiran seseorang sehingga pada akhirnya ia melihat dirinya sesuai dengan lingkungan yang melihat dirinya. MILFC mengangkat masalah identitas ini dengan menunjukan bahwa seseorang akan dinilai, baik oleh diri sendiri maupun lingkungan lewat hal-hal yang ia ingat dan hal-hal yang dilupakan. Yang diingat berarti tetap dijalankan, sedangkan yang dilupakan menunjukan bagian-bagian yang ingin dihapus dari
4
perjalanan hidupnya. Menurut Halbwachs (1992:40) apa yang terjadi masa lalu adalah dasar dari pandangan masa kini. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu adalah sumber utama dalam pembentukan diri karena orang mencari identitas melalui kesamaan dan perbedaan memori diri sendiri dan orang lain (Giddens dalam Misztal, 2003:133). Ayah Moïse, misalnya, mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Yahudi karena ia memiliki memori yang sama dengan orang-orang Yahudi lainnya. Ia terus memelihara memori-memori itu sehingga seringkali meninggalkan beberapa jejak, seperti kebenciannya pada anjing. Ia teringat pembantaian Yahudi pada Perang Dunia II. Anjing pada masa holocaust digunakan oleh tentara Nazi untuk menakut-nakuti orang-orang Yahudi agar tidak kabur dari kamp.
...il ne faisait pas plus d’attention à moi qu’à chien—d’ailleurs, il détestait les chiens... (Schmitt, 2004:19) (...ia tidak lagi memerhatikanku, seperti ia tidak memerhatikan anjing, ia benci anjing...)
Hal yang berbeda dilakukan oleh tokoh Monsieur Ibrahim. Ia justru mengidentifikasi diri sebagai Islam, bukan Arab. Ia merasa memiliki memori yang berbeda dari orang Arab. Meskipun orang-orang di kampungnya menyebutnya l’Arabe de la rue (Si Arab), ia merasa bukan Arab. Tokoh ini lebih banyak melupakan peristiwa yang terjadi di masa lalu untuk membentuk identitasnya. Masa lalu pula yang diambil oleh Schmitt sebagai latar belakang cerita ini. MILFC mengambil latar belakang pada tahun 1960-an. Masa ini dapat dilihat sebagai sebuah penghubung dengan yang terjadi di Prancis saat ini, terutama dalam kaitannya dengan etnis-etnis di Prancis serta pandangan yang
5
menyertainya. Pengarang tidak menyebutkan secara eksplisit penggunaan tahun 1960-an, tetapi lewat suatu bagian dari novel ketika daerah tempat tinggal Momo dijadikan lokasi syuting untuk film yang dibintangi aktris Brigitte Bardot2.
Tout ce qui a un sexe rue Bleu, rue Papillon, et FaubourgPoissonière, est en alerte. Les femmes veulent vérifier si elle est aussie bien qu’on dit’: les hommes ne pensont plus, ils ont le discursif qui s’est coincé dans la fermeture de la braguette. Brigitte Bardot est là! Eh, la vraie Brigitte Bardot! (Schmitt, 2004:14) (Semua orang di rue Bleu, rue Papillon, dan Faoubour-Poissonière terkejut. Para wanita ingin melihat apakah ia secantik yang dikatakan banyakan orang; para pria tidak berpikir panjang, mereka segera menutup resleting celana mereka. Ada Brigitte Bardot! Benar-benar seorang Brigitte Bardot!)
Tahun 1960-an dikenal sebagai periode terbesar imigrasi di Prancis. Negara ini telah memulai membuka pintu bagi imigran sejak abad ke-19. Setelah Revolusi Prancis. kondisi ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat membaik. Keadaan ini menarik minat orang-orang dari negara lain. Pada awalnya penduduk dari negara-negara tetangga, seperti Belgia dan Italia, pindah ke Prancis. Pada awal abad ke-20, imigran tidak hanya datang dari sekitar Eropa Barat, tetapi juga Eropa Timur. Ceko dan orang-orang Slavia mulai menyerbu Prancis. Kedatangan mereka pada awalnya tidak menjadi masalah bagi orang Prancis. Keadaan ini berubah setelah Perang Dunia II saat imigrasi menjadi masalah nasional yang berlangsung hingga saat ini. Perang membuat Prancis kehilangan banyak penduduk. Pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan 2
Brigitte Bardot (1934- ) adalah aktris Prancis. Ia mencapai puncak karirnya tahun 1960-an lewat film-film seperti Le Mépris, Shalako, dan Histoires Extraordinaires.
6
membuka keran untuk imigrasi. L’Office National de l’Immigration (ONI) dibentuk di bawah Kementrian Tenaga Kerja untuk mengatur imigran-imigran yang masuk ke Prancis. Kebanyakan imigran pada masa itu berasal dari Afrika dan tidak sedikit imigran yang masuk secara ilegal. Pada akhir tahun 1950-an sampai akhir tahun 1960-an jumlah imigran meningkat drastis dibanding dekade sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh dua faktor, (1) Prancis sedang membangun sektor industri secara besar-besaran, sehingga membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah banyak dan (2) kemerdekaan beberapa negara jajahan Prancis, seperti Aljazair, Tunisia, Maroko, Mali, dan Madagaskar. Akibatnya, arus orang asing yang masuk ke Prancis mencapai lebih dari seratus ribu orang, tiga kali lebih banyak dari dekade sebelumnya (Silverman, 1992:42). Begitu banyak jumlah imigran pada waktu itu hingga ONI tidak bisa lagi mengatasi masalah ini. Solusinya, pemerintah membentuk lagi lembaga-lembaga sosial yang bertugas menampung para imigran. Lembaga-lembaga ini mengurus beberapa masalah imigran, terutama tempat tinggal dan izin bekerja. Kantor mereka ini juga sering dipakai sebagai tempat penampungan imigran yang tidak punya rumah. Tahun 1960-an merupakan tahun yang menandai berkembangnya rasisme di Prancis. Stereotipe negatif tentang orang Arab dan agama Islam (karena sebagian besar imigran berasal dari Afrika Utara dan Afrika Barat yang mayoritas beragama Islam) muncul di kota-kota dan desa-desa di Prancis. Selain karena banyaknya imigran, rasisme juga dipengaruhi oleh pemahaman tentang orangorang yang disebut “orang Prancis”.
7
Kebijakan di Prancis hanya mengenal dua klasifikasi identitas, yaitu orang Prancis dan orang asing (étranger) (Dubet, dalam Silverman, 1992:2). Pada perkembangannya, istilah untuk orang asing di Prancis bertambah lagi, yaitu dengan munculnya immigré (imigran). Orang dapat dimasukkan dalam kelompok étranger jika ia berasal dari negara-negara Eropa yang bekerja di Prancis. Sementara itu orang-orang dari negara-negara jajahan Prancis (terutama di Afrika dan Asia) yang bekerja di Prancis disebut immigré. Kelompok ini juga meliputi orang-orang dari negara-negara jajahan Prancis yang memeroleh naturalisasi (Silverman, 1992:3). Dalam klasifikasi “Prancis” dan “bukan Prancis”, pemerintah Prancis menghindari penggunaan asal-usul dan ras. Hal ini dilakukan agar tercipta integrasi dan nasionalisme yang kuat. Pandangan tersebut menjadi bumerang yang memicu masalah bagi orang-orang Prancis keturunan Afrika atau Asia yang dicabut akar budayanya agar menjadi “orang Prancis”. Pada akhirnya, terjadi kebingungan identitas di antara masyarakat Prancis. Masalah rasisme tidak terselesaikan dan stereotipe negatif pada imigran atau keturunan imigran terus berkembang. Mengingat MILFC muncul pada awal abad ke-21, pemilihan latar belakang cerita saat puncak arus imigrasi relevan dengan konflik antar-agama sekarang, seperti sengketa Tepi Barat oleh Israel dan Palestina, runtuhnya menara kembar WTC, dan terorisme. Konflik identitas dan hubungannya dengan memori bisa dipahami jika melihat fakta bahwa memori sangat memengaruhi pemikiran kita terhadap seseorang, termasuk diri sendiri (Misztal, 2003:1). Memori disusun melalui proses mengingat dan melupakan (remembering and forgetting). Proses mengingat bisa
8
dilakukan karena alasan-alasan tertentu, seperti alasan politis, menarik simpati, atau sebagai pembelajaran di kemuian hari. Sementara itu proses melupakan dilakukan agar orang tidak mengulang kejaian buruk di masa lalu. MILFC layak dijadikan obyek penelitian karena bisa menjadi salah satu referensi tentang keadaan masyarakat Prancis dan masalah yang dihadapi. Masalah tidak hanya tentang kebijakan imigrasi Prancis, tetapi
juga tentang
interaksi budaya dan pluralitas di Prancis. Dengan jumlah halaman yang sedikit, MILFC mampu bertutur dengan ringkas, tetapi jelas. Hal ini layak dipertimbangkan sebagai alasan pemilihan obyek penelitian karena umumnya novel menjabarkan kisah dengan jumlah halaman banyak dan konflik beragam.
1.2 Rumusan Masalah Tokoh-tokoh dalam MILFC memiliki latar belakang berbeda tetapi mereka memiliki persamaan, yaitu selalu berhubungan dengan memori. Hal ini menunjukan bahwa memori berperan sangat penting dalam hidup tokoh-tokoh novel MILFC. Meskipun demikian, memori disikapi dengan cara berbeda oleh tokoh-tokoh novel. Tokoh ayah Moïse memilih untuk mengingat memori, sedangkan Monsieur Ibrahim memilih untuk melupakan masa lalunya. Mengapa demikian? Mengapa dalam menentukan identitas, tokoh-tokoh MILFC berpijak pada memori?
9
Dari masalah-masalah tersebut dapat diajukan pertayaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana proses mengingat dan melupakan membentuk identitas tokohtokoh dalam MILFC? Bagaimana novel MILFC menjelaskan kedua proses tersebut? 2. Bagaimana proses mengingat dan melupakan berpengaruh pada pesanpesan pengarang yang terbaca dari MILFC?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menunjukan keterkaitan antara proses mengingat dan melupakan pada tokoh-tokoh novel MILFC sebagai bagian dari interaksi dengan masa lalu dan pembentukan identitas pada masa kini. Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang keadaan masyarakat Prancis saat ini serta masalah-masalah sosial yang dihadapi Prancis.
1.4. Landasan Teori Kajian tentang memori telah dimulai sejak awal abad ke-20. Maurice Halbwachs adalah salah satu tokoh yang menulis memori dalam bukunya La Mémorie collective yang terbit pada tahun 1950. Setelah itu memori tidak terlalu banyak dikaji karena tergeser oleh kajian politik dan sejarah. Pada tahun 1980-an, memori kembali dijadikan obyek penelitian karena muncul beberapa perayaan, seperti American Bicentennial, peringatan 50 tahun Perang Dunia II, dan peringatan dua ratus tahun Revolusi Prancis.
10
Salah satu tokoh yang banyak meneliti tentang memori dan pengaruhnya terhadap keadaan masyarakat saat ini adalah Barbara Misztal. Ia adalah seorang profesor
di
Leichester
University.
Kajiannya
meliputi
memori
dalam
hubungannya dengan identitas sosial, nasionalisme, dan politik. Theories of Social Remembering (2003) menjelaskan peran memori dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Konsep awal dalam buku ini adalah interaksi antara proses mengingat dan melupakan dalam menyusun memori. Beberapa peristiwa buruk bisa dikenang atau dilupakan untuk membentuk pemikiran dan pada akhirnya berdampak pada identitas seseorang atau masyarakat. Masa lalu diingat untuk beragam tujuan, misalnya untuk pelajaran agar peristiwa buruk tidak terulang lagi, atau untuk menunjukan kebesaran seseorang, seperti pahlawan. Sementara itu melupakan dilakukan agar orang bisa melangkah ke tahap yang baru tanpa terhambat masa lalu. Proses melupakan bisa dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan penyangkalan dan memaafkan. Penyangkalan digunakan agar orang bisa “lepas tanggung jawab” dari peristiwa yang terjadi di masa lalu (Zurbuchen, 2005:8). Memaafkan dilakukan agar orang bisa lupa masa lalu dengan ‘jalan damai’, tanpa memicu masalah lagi. Misztal menjelaskan memori dalam beberapa konsep berikut.
1.4.1 Interaksi antara Memori Pribadi dan Memori Kolektif Memori pribadi dipengaruhi oleh interaksi dengan masyarakat, sedangkan memori kolektif disusun berdasarkan memori pribadi dari banyak orang (Misztal, 2003:14). Masa lalu adalah kunci untuk membentuk yang terjadi masa kini. Dalam pembentukan memori banyak pihak terlibat, seperti pemerintah dan meia.
11
Memori kolektif lebih mudah dibentuk karena memiliki standar tertentu, sedangkan memori pribadi tidak. Standar ini dibentuk lewat banyak cara, seperti pembangunan museum, peringatan hari-hari besar, atau penerbitan buku-buku, termasuk acara-acara televisi. Cara paling mudah untuk melupakan peristiwa yang terjadi di masa lalu adalah dengan merusak simbol-simbol yang identik dengan proses mengingat. Hal ini banyak dilakukan pada memori kolektif, misalnya, perusakan monumen atau museum. Selain itu hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan tidak merayakan peristiwa di masa lalu. Orang akan melupakan kejaian di masa lalu karena tidak dilakukan peringatan kejadian itu. Jika demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun memori pribadi dan memori kolektif saling terkait. Memori kolektif memiliki pengaruh lebih besar dalam diri seseorang dibanding memori pribadi, karena dalam memori kolektif terdapat unsur paksaan dari orang lain. Seseorang bisa dipaksa untuk mengingat sesuatu meskipun secara emosional tidak terikat. Hal ini karena individu tidak mungkin lepas dari interaksi dengan lingkungannya. Jika memori kolektif itu telah berkembang dalam masyarakat, mau tidak mau seseorang akan ikut terpengaruh juga, terlepas dari memori tersebut memiliki kaitan emosi atau tidak.
It is necessary to show, besides, that the collective framework of memory are not constructed after the fact by combination of individual recollections; nor are the empty forms where recollections coming from elsewhere. Collective frameworks are, to the contrary, precisely the instrument used by the collective memory to reconstruct an image of the past which is in accord, in each epoch, with the predominant thoughts of the society. (Halbwachs, 2004:40) (Perlu diperhatikan bahwa rancangan memori kolektif tidak dibentuk oleh gabungan dari ingatan-ingatan individu; bukan pula dari
12
kekosongan di mana ingatan bisa muncul dari mana saja.Rancangan memori kolektif, sebaliknya, merupakan instrumen yang digunakan oleh memori kolektif untuk menyusun ulang gambaran tentang masa lalu yang sesuai dengan pandangan masyarakat.) Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa memori kolektif bisa “disesuaikan” dengan pandangan yang berkembang di masyarakat. Padahal, pandangan di masyarakat muncul dari berapa pihak, seperti pemerintah melalui meia. Ini artinya meskipun memori kolektif dapat dibentuk oleh memori-memori individu, terkadang gabungan memori ini dapat “dibelokkan” oleh pihak-pihak tertentu yang akhirnya berpengaruh terhadap pandangan individu.
1.4.2 Memori Flashblub, Generasi, dan Tradisi Misztal membagi memori dalam beberapa jenis, yaitu memori flashbulb, memori generasi, dan tradisi. Memori flashbulb adalah peristiwa yang lebih memancing emosi dibanding peristiwa lain. Jenis ini sulit hilang dari pikiran. Flashbulb dapat dianggap sebagai memori pribadi atau kolektif. Kenangan ini melibatkan emosi pribadi yang berasal dari interaksi orang-orang dalam membuat seseorang sulit melupakannya. Memori generasi (generational memory) diturunkan oleh generasi tua kepada generasi muda. Hal ini membuat memori tersebut terus hidup. Memori yang diturunkan ini menjamin keberlanjutan dan legitimasi suatu peristiwa. Jika suatu peristiwa dilupakan oleh satu generasi, akan tercipta jarak antargenerasi dan bisa menyebabkan terputusnya hubungan keluarga. Jenis memori terakhir adalah tradisi. Tradisi adalah sumber pendukung bagi keberlangsungan kekuasaan (Misztal, 2003:92). Di lain pihak, tradisi juga dapat menciptakan perubahan karena memberikan pandangan eksternal dan 13
pengetahuan baru dalam keterbatasan ingatan manusia (Misztal, 2003:92). Tradisi berperan dalam membentuk identitas karena membentuk kembali rasa terikat dalam sebuah komunitas dan hal ini menguatkan identitas kelompok (Misztal, 2003:93).
1.4.3 Batasan yang Digugat Misztal menyatakan ada batasan-batasan tertentu yang digugat dalam kajian tentang memori. Menurutnya, memori bersifat fleksibel, cair, dan terbuka. Oleh karena itu, seringkali suatu memori digugat oleh sekelompok orang yang terhubung dengan sebuah tempat atau simbol (Misztal, 2003:121). Misalnya, di Polania pembangunan biara di Auschwitz memicu kontroversi. Bagi Katholik, tempat ini adalah milik pemerintah Polania sehingga pembangunan biara tidak menyalahi aturan sepanjang mendapat izin dari pemerintah.
Pandangan
berbeda
diberikan
oleh
Yahudi
yang
melihat
pembangunan biara adalah penghinaan karena tidak menghormati korban holocaust yang tewas di tempat itu. Konflik semacam ini terus ada ketika berhubungan dengan memori. Misztal menyebutkan tiga hal tentang pertentangan memori di antara dua kelompok
(Misztal,
2003:123).
Pertama,
penyalahgunaan
memori
yang
berhubungan dengan hal-hal atau tempat-tempat suci. Kedua, memori dimanfaatkan untuk ideologi tertentu. Terakhir, memori yang terlalu dieksploitasi sehingga membuat makna memori itu menjadi biasa saja atau justru terlalu sentimental.
14
Di luar konflik akan memori, Misztal memberikan tiga batasan yang digugat dalam memori. Pertama, ia menggungat sejarah. Sejarah dan memori adalah dua jalan berbeda dalam mengkaji masa lalu (Lowenthal dalam Misztal, 2003:99). Memori melestarikan masa lalu lewat tindakan-tindakan serta ritualritual yang bertujuan untuk menciptakan perasaan tidak berjarak dengan masa lalu yang diterapkan di masa kini (Karteil dalam Misztal, 2003:99). Sedangkan sejarah merupakan pengkajian tentang peristiwa-peristiwa masa lalu yang dihubungkan dengan sebab dan akibat (Misztal, 2003:99). Dengan pengertian ini, jelas bahwa memori melibatkan emosi dan bersifat subjektif. Sejarah membutuhkan kritik dan penjelasan objektif berdasarkan buktibukti yang valid dan disusun secara runtut. Pemisahan dua bidang ini dimulai pada abad ke-19 ketika para akademisi ingin membangun sejarah sebagai sebuah ilmu khusus, yang terlepas dari hal-hal subyektif dan imijinasi. Hal ini sulit dilakukan jika berhubungan dengan memori kolektif. Meskipun demikian, Halbwachs tetap berpendapat bahwa ada perbedaan memori kolektif dan sejarah. Sejarah menekankan pada perbedaan antara masa lalu dan masa kini, sementara memori melihat kesamaa antara masa lalu dan masa kini. Memori kolektif sebagai sebuah “tradisi penyimpanan cerita di masa lalu” menciptakan pemikiran yang terus berlanjut tanpa batasan jelas. Sementara itu sejarah dapat dikatakan sebagai memori universal dari manusia (Halbwachs dalam Misztal, 2003:101). Batasan kedua adalah waktu. Thomas Hobbes berpendapat bahwa kajian tentang memori sangat berkaitan dengan waktu. Namun, hal ini dipertanyakan karena dalam kehidupan sosial masa lalu bukanlah hal yang tetap, sepertinya
15
sudah tidak terjadi sebenarnya masih berlangsung, dan merupakan kejaian yang pernah terjadi (Misztal, 2003:108). Memori ‘menolak’ masa lalu dan menganggap apa yang berlangsung di masa lalu tetap berjalan sampai sekarang. Selain itu dalam memori tidak ada kerangka waktu yang sama untuk semua orang. Memori mengikat persepsi-persepsi menjadi suatu rangkaian yang menolak perbedaan antara masa lalu dan masa kini. Misztal mengutip pemikiran Henri Bergson tentang
konsep waktu
(Bergson dalam Misztal, 2003:10). Yang pertama adalah durée (durasi) atau waktu inti. Durasi bersifat cair, tanpa batas, sehingga sangat bergantung pada persepsi setiap orang. Konsep kedua adalah temps atau waktu. Temps lebih objektif karena diukur lewat standar yang telah disepakati, misalnya jam atau kalender. Pengalaman-pengalaman orang diatur dalam batas-batas tertentu sehingga tidak terus muncul. Memori adalah alat untuk memelihara waktu inti dalam diri kita, memisahkan antara jiwa dan raga. Tubuh kita berada pada zaman yang baru, tetapi pikiran kita masih berada pada masa lalu. Jika memori tidak dilupakan ia akan tetap berlangsung dan waktu tidak lagi menjadi batasan. Terakhir, Misztal menyebut imajinasi sebagai batasan yang digugat. Memori dan imajinasi memiliki hubungan yang erat. Penulis Virginia Woolf pernah mengatakan bahwa fakta dan fiksi tidak bisa disatukan (Misztal, 2003:116). Pada kenyataannya, memori yang dianggap sebagai fakta kerap tumpang tindih dengan imajinasi. Kita tidak bisa tahu apa yang terjadi di masa lalu jika kita tidak menggambarkannya (Byatt dalam Misztal, 2003:117).
16
Penggambaran tentang masa lalu dilakukan karena kita tidak tahu dengan detail apa yang terjadi saat itu. Seorang akademisi Italia pada abad ke-17, Giambattista Vico, mengatakan bahwa memori berasal dari gambaran-gambaran yang dibuat untuk memberi makna pada suatu kejaian (Misztal, 2003:117). Pemaknaan ini dilakukan dengan interpretasi, sehingga menghasilkan suatu versi cerita tentang peristiwa yang koheren. Deskripsi tentang masa lalu bisa dilakukan jika kita punya gambaran tertentu tentang memori tersebut. Misztal menjelaskan bahwa pemikiran tentang hubungan memori dan imajinasi dibedakan menjadi dua. Pendapat pertama mengatakan bahwa memori berhubungan dengan penggambaran tertentu tentang peristiwa dan menjadi dasar pembentukan identitas. Kedua, terdapat reproduksi sosial karena kita memiliki ingatan yang terbatas. Dalam pemikiran ini memori dilihat sebagai praktek bentukan yang mengurangi ketidakjelasan sebuah peristiwa. Memori kolektif dapat dilacak kebenarannya karena melibatkan banyak orang. Jenis memori ini dapat dibuktikan karena harus ada sekelompok orang yang mengalami hal yang sama dan yakin bahwa gambaran itu benar. Selain itu memori ini juga bisa “disederhanakan” agar bisa bermakna dan bisa disebarkan. Untuk bisa bermakna, gambaran tentang masa lalu harus sederhana dan jelas (Fentress dan Wickham dalam Misztal, 2003:119). Sementara itu pada memori pribadi imajinasi pengalaman setiap orang dimaknai secara berbeda, tergantung individu yang mengalaminya. Orang atau kelompok yang menuturkan memori berperan penting membuat memori itu terpisah dari imajinasi atau menyatu dengan imajinasi.
17
Imajinasi dapat dipakai untuk menginterpretasikan makna kejaian di masa lalu, dan terkadang hal ini lebih mendekati fiksi daripada sejarah. Untuk memutuskan percaya atau tidak pada penutur memori, perlu ada evaluasi kritis dan pemahaman tentang kejaian di masa lalu. Imajinasi ini juga menjadi bukti bahwa memori kolektif memiliki pengaruh lebih besar dari memori pribadi. Emosi seseorang bisa saja terkait dengan imajinasi yang ada di pikirannya. Misalnya, seseorang yang berada di tempat kejaian suatu kecelakaan tidak akan menceritakan kejaian tersebut secara “apa adanya” tanpa tambahan imajinasinya. Ia bisa menginterpretasikan kecelakaan itu dengan bantuan emosinya. Dalam memori kolektif hal seperti ini tidak berlaku. Memori kolektif memiliki bukti-bukti yang lebih valid dibanding memori pribadi. Bukti-bukti itu bisa saja benar, tetapi bisa juga dianggap benar karena didukung oleh pihak-pihak tertentu.
1.5 Metodologi Penelitian Proses penelitian ini dimulai dengan pembacaan cerita, kemudian dilanjutkan dengan tahapan-tahapan lain sebagai berikut. Pertama, menemukan masalah yang muncul dalam novel. Dalam MILFC ditemukan dua masalah. Yang pertama adalah interaksi antara kelompok-kelompok minoritas, yaitu Yahudi dan Muslim, di Prancis yang diwakili oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Interaksi ini tidak berjalan mulus karena berhadapan dengan stereotipe, baik dari Yahudi ke Muslim maupun dari orang-orang Prancis ke Yahudi dan Muslim.
18
Masalah kedua, masing-masing tokoh tidak hanya berhadapan dengan stereotipe, tetapi juga dengan masa lalu mereka. Ayah Moïse misalnya, tidak bisa lepas dari masa lalunya sebagai tahanan di kamp konsentasi Nazi. Sementara itu Monsieur Ibrahim tidak ingin mengingat masa lalunya. Cara kedua tokoh tersebut dalam menghadapi masa lalu iangkat sebagai masalah penelitian. Dua masalah yang ditemukan dalam MILFC digabungkan sehingga didapat inti masalah yang akan diteliti, yaitu bagaimana proses mengingat dan melupakan membentuk identitas tokoh-tokoh novel MILFC. Langkah kedua, membuat catatan-catatan tentang bagian-bagian cerita yang berhubungan dengan topik identitas dan memori. Catatan ini membuat penelitian lebih mengerucut sehingga inti penelitian lebih jelas. Hal ini juga membantu menyeleksi referensi-referensi yang berhubungan dengan fokus penelitian. Bahanbahan yang dijadikan referensi berasal dari buku-buku, artikel, jurnal, atau situs internet. Untuk memastikan validitas informasi dari internet, dilakukan verifikasi sumber. Sumber-sumber dari internet berasal dari situs resmi suatu lembaga disertai tanggal penulisan informasi. Bahan-bahan tersebut dipilah berdasarkan kesesuaian dengan bagian-bagian dari penelitian, seperti latar belakang, landasan teori, atau pembahasan. Setelah pemilahan bahan, tahap terakhir adalah penulisan. Pada tahap ini karya dianalisis dengan menggunakan landasan teori ditambah dengan referensireferensi lain yang berhubungan dengan topik penelitian. Dari proses analisis ini diperoleh jawaban rumusan-rumusan masalah yang iajukan lewat uraian di bab 2 dan bab 3. Kemuian penjelasan di kedua bab tersebut disimpulkan di bab terakhir.
19
1.6 Tinjauan Pustaka Thierry R. Durand pernah mengkaji karya-karya Éric-Émmanuel Schmitt, khususnya drama. Durand dalam tulisannya berjudul Eric-Emmanuel Schmitt: de Dieu qui vient au théâtre memaparkan kecenderungan karya-karya Schmitt yang dipentaskan di panggung. Kebanyakan drama yang ditulis Schmitt berhubungan dengan eksistensi seseorang dan hubungan manusia dengan Tuhan. Menurut Durand, Schmitt banyak mengadaptasi pemikiran eksistensialisme, tetapi bukan versi Jean Paul Sartre, melainkan versi Søren Kierkegaard. Di luar tulisan Durand, C.T. Wolfe juga pernah membahas karya Schmitt yang dipentaskan di panggung. Dalam tulisan berjudul Eric-Emmanuel Schmitt: Diderot ou la philosophie de seduction, Wolfe mengulas salah satu drama Schmitt berjudul Diderot ou la philosophie de séduction, terutama tentang cara Schmitt mengetengahkan sosok Diderot. Wolfe mengupas Diderot dan pandangannya mengenai humainisme yang ditunjukan oleh Schmitt di atas panggung. Berbeda dari Durand, Wolfe tidak secara detail mengupas tentang gaya bercerita Schmitt atau latar belakang Schmitt. Karya Schmitt selain drama tidak terlalu banyak dibahas, termasuk novel MILFC. Kebanyakan penelitian tidak fokus pada novel MILFC, melainkan pada filmnya. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada peneliti yang tertarik mengulas novel tersebut. Di Jerman, Miriam Boch pernah meneliti MILFC. Penelitian tersebut berjudul Éric-Emmanuel Schmitt:Monsieur Ibrahim et les fleurs du Coran: L’Analyse de l’évolution intérieure du protagoniste. Dalam penelitian yang diterbitkan pada tahun 2005 ini, Boch menjelaskan karakterkarakter dalam novel serta pesan-pesan yang diberikan oleh novel ini.
20
Penelitian ini lebih banyak fokus pada hubungan Moïse dan karakterkarakter lain dalam novel, seperti ayahnya dan Monsieur Ibrahim. Dari hubungan itu, Bloch kemudian menganalisis pesan-pesan yang diperoleh Moïse. Pesanpesan yang dipaparkan Bloch bersifat positif, misalnya pesan untuk berpikir positif dan saling mencintai. Tiga penelitian terdahulu tentang Eric-Emmanuel Schmitt ataupun tentang MILFC mengambil fokus yang berbeda dari penelitian ini. Proses mengingat dan melupakan sebagai pembentuk identitas tokoh-tokoh cerita MILFC adalah topik yang akan dibahas di bab-bab berikutnya. Dalam penelitian ini, eksistensialisme yang muncul pada karya-karya Schmitt tidak disinggung. Sementara itu pesanpesan tentang perdamaian seperti yang diulas oleh Miriam Bloch dicoba untuk dikritisi dalam penelitian ini, yaitu ada tidaknya pesan perdaiaman yang terbaca dari karya Schmitt. Untuk landasan teori, buku Theories of Social Remembering belum banyak dijadikan rujukan sebagai landasan teori penelitian sosial. Jeffrey K. Olick menggunakan buku ini sebagai salah satu referensi dalam penelitiannya, yaitu Collective Memory: A Memoire and Respect di University of Virginia. Olick tidak menganalisis masalah penelitiannya dengan menggunakan teori Misztal. Selain tulisan Olick, belum ada yang menggunakan teori dari Misztal untuk penelitian. Pada penelitian ini tulisan dari Misztal digunakan untuk membedah masalah yang iangkat, yaitu proses mengingat dan melupakan dalam pembentukan identitas tokoh-tokoh MILFC.
21
1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini terbagi menjadi empat bab. Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, tinjauan pustaka, serta sistematika penyajian. Pada Bab II, akan dijelaskan tentang proses mengingat dan melupakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam MILFC. Proses tersebut dimulai dari proses mengingat, kemudian melupakan, hingga peran kedua proses tersebut dalam membentuk identitas tokoh-tokohnya. Bab III berfokus pada pengarang, yaitu Éric-Emmnuel Schmitt. Bagian ini melihat pesan-pesan pengarang yang ditangkap secara tersirat dari tulisannya di MILFC. Kemudian akan dilihat hubungan antara memori dan pesan-pesan yang disampaikan oleh pengarang. Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari penelitian ini.
22