BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Di bulan Juli tahun 2007, buletin Skana melaporkan berita mengenai pementasan Teater Muslim. Tercatat pada tanggal 14-15 April 2007, Teater Muslim mementaskan sebuah lakon yang berjudul Pedro dalam Pasungan. Pentas tersebut dalam rangka peringatan meninggalnya salah satu pentolan Teater Muslim, yaitu Pedro Sujono. Pertunjukkan tadi diselenggarakan di Societet, Taman Budaya Yogyakarta. Naskah Pedro dalam Pasungan ditulis sendiri oleh Pedro Sujono. Menariknya, pementasan tersebut muncul di kala iklim teater Yogyakarta sedang sepi gaya realis.1 Puluhan tahun yang lalu, jagad teater Yogyakarta pernah diramaikan oleh peristiwa teater yang bergaya realis. Jadi pementasan Teater Muslim di tahun 2007 bisa dianggap sebagai momentum atau titik balik kelahiran kembali teater yang mengacu pada gaya realis. Hanya saja pementasan tersebut ibarat kentut belaka. Baunya yang tidak sedap, tiba-tiba menghilang entah kemana. Karena sampai sekarang batang hidung Teater Muslim urung muncul kembali. Beberapa tahun kemudian, dunia teater di Yogyakarta kembali diramaikan oleh peristiwa yang menarik. Yaitu pembacaan naskah drama, IDRF (Indonesian Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon berbahasa Indonesia. Beruntung acara tersebut masih berlangsung rutin sampai sekarang. Bahkan dalam tiga tahun terakhir penyelenggaraan IDRF 1
Andi Sri Wahyudi, “Pedro dalam Pasungan dan Geliat Teater Muslim Muda” dalam Skana Newsletter, 16 Juli 2007.
2
dikelilingkan ke luar kota. Antara lain di Jakarta, Bandung, Semarang dan Lampung. Terhitung sudah lima kali gelaran IDRF terlaksana sejak tahun 2010.2 Di setiap penyelenggaraan, panitia menyajikan tema yang berbau realis. Pada IDRF 2010, tema yang diusung adalah “Melihat Kembali Drama Realis di Indonesia”. Di tahun kedua mereka menawarkan “Mengolah Kembali Realisme”. Lalu “Memperkarakan Realisme” menjadi tajuk di tahun 2012. Pada ditahun 2013, mereka menyuguhkan “Membaca dan Menulis Ulang Lakon-Lakon 70-an”. Berikutnya pada tahun 2014, IDRF mengangkat tema “Indonesia Futura”. Beberapa kelompok teater senior di Yogyakarta juga sempat terlibat dalam pembacaan di IDRF. Seperti, Teater Gandrik, Teater Dinasti dan Teater Stemka. Bagaikan sebuah mesin waktu yang mengajak kita untuk menyusuri masa lalu. Beberapa lakon lawas dan bersifat realis pernah disajikan dalam IDRF antara lain Lelakon Raden Bei Surio Retno yang diciptakan F Wiggers tahun 1901, Citra (1943) dan Liburan Seniman (1944) karya Usmar Ismail, lakon Senja Dengan Dua Kelelawar (1957) tulisan Kirdjomulyo, naskah Bung Besar (1957) milik Misbach Jusa Biran atau lakon fenomenal milik Utuy Tatang Sontani, yaitu Awal dan Mira (1951). Apabila mengacu pada pendapat Jakob Sumardjo, drama serta naskah realis kehilangan tajinya di era 70an. Sebelum periode tersebut gaya realis sangat dominan. Bahkan pementasan teater dengan gaya realis mampu mendobrak
2
IDRF dipelopori oleh Joned Suryatmoko dan Gunawan Maryanto. Keduanya juga aktif di dunia teater. Joned Suryatmoko aktif di Teater Gardanalla, sedang Gunawan Maryanto masih giat di Teater Garasi. IDRF bertujuan untuk mengenalkan naskah-naskah lakon terbaru, baik dari Indonesia atau naskah asing kepada khalayak lebih luas. Selain memfasilitasi lakon-lakon baru, mereka juga mengenalkan naskah-naskah lawas di setiap penyelengaraan.
3
dominasi teater tradisional. Goenawan Mohammad turut mengamini asumsi Jakob Sumardjo tersebut. Masa “kekalahan” realisme tadi oleh Goenawan Mohammad disebut sebagai periode teater mutakhir. Ketika beberapa kelompok teater mulai mengakomodir gagasan-gagasan baru, seperti gaya naturalisme, surealisme bahkan kembali lagi ke gaya romantik di pertengahan tahun 1960an. Apa itu realisme ? Gerakan realisme muncul di Barat sekitar tahun 1850-an. Mereka menggugat dominasi teater istana yang penuh fantasi. Di jagad realisme, masyarakat diajak untuk menikmati pengalaman keseharian yang tentunya dekat dengan mereka. Contohnya, masyarakat lebih mengenal cerita-cerita fantasi dan imajiner tentang dewa, ksatria, raja, orang ningrat dsb. Realisme menggantinya dengan cerita yang wajar, daily life. Kita bisa menggunakan istilah yang dipakai oleh Kernodle bahwa realisme adalah the here and now alias “kini, disini dan sekarang”. Menurut Bakdi Soemanto, setting alias lingkungan benar-benar diperhatikan oleh penulis realime.3 Setting tidak lagi berfungsi sebagai latar belakang. Sebab di dalam setting termaktub dua hal, yaitu lingkungan alam dan sosial. Lagipula di dalam pementasan, lingkungan mewakili setting tempat dan waktu. Setting mempunyai fungsi penting untuk membangun tangga dramatik, dari awal hingga akhir cerita. Karena itu realisme menuntut plot serta alur yang runtut dan rapi. Hubungan antar adegan bisa dijelaskan dengan logika yang runtut. Plot lakon
3
Pengarang lakon yang konsisten dan teguh dengan realisme antara lain, Arthur Miller, George Bernard Shaw, William Somerset Maughm, Anton Chekov, Henrik Ibsen dll. Tokoh-tokoh tersebut mengawali kemunculan realisme di Eropa.
4
realisme biasa disebut dengan istilah well made play alias lakon yang dirancang dengan baik.4 Realisme berkembang di Indonesia sejak tahun 1900. Golongan intelektual alias kaum berpendidikan punya peranan besar terkait realisme. Konsep realisme yang merujuk kepada Barat identik dengan gagasan modern alias kemajuan. Tradisi realisme bertolak belakang dengan kondisi jagad pertunjukkan yang sedang moncer di Indonesia saat itu. Kala itu jagad sandiwara didominasi oleh kelompok teater bangsawan serta stambul. Kita bisa menyebutnya sebagai teater komersial, teater profesional atau teater perkotaan. Teater komersil diatas tidak mengenal naskah ketikan. Mereka memainkan sebuah lakon berdasarkan cerita-cerita lisan. Bisa dikatakan kelompok tersebut lebih dekat dengan kebudayaan oral, ketimbang kebudayaan tulis. Karena itu, kelompok tadi kerap pentas dengan improvisasi-improvisasi. Babak realisme di Indonesia diawali oleh kemunculan beberapa naskah terjemahan. Salah satunya berjudul Moesoenja Orang Banjak (1923) yang diterjemahkan oleh Ang Jan-Goan dari lakon An Enemy of the People, milik dramawan Norwegia, Henrik Ibsen. Sebelumnya, Lauw Giok Lan sudah menerjemahkan sebuah lakon milik Hans de Wall alias Victor Ido menjadi Karina Adinda (1912). Ada juga lakon yang berjudul Allah jang Palsoe (1919). Lakon tersebut hasil terjemahan dari Kwee Tek Hoay, berasal dari cerita pendek milik Phillip Openheim yang berjudul The False God.5 4
Bakdi Soemanto, “Realisme Dalam Jagat Teater”, Humaniora No. 11 (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM Mei – Agustus 1999), hlm 35. 5
Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia (Bandung: STSI Press, 2004), hlm. 278.
5
Penerjemahan naskah tersebut berhubungan erat dengan kebiasaan teater komersil yang lebih senang menggunakan cerita fantasi dari Barat semacam Hamlet, Zorro, Juanita de Verga dsb. Uniknya, beberapa naskah realis diatas masih diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu Rendah, yaitu bahasa yang biasa dipakai oleh masyarakat Cina Peranakan. Selain itu, para penerjemah diatas notabene
berasal dari kalangan Cina. Bahkan saat itu mereka sudah mulai mementaskan naskah-naskah realisme. Kelompok yang disebut teater amatir itu diwakili oleh golongan terpelajar dan calon pangreh praja. Tercatat kaum Cina Peranakan pernah mementaskan lakon Harta jang Berbahaja di tahun 1912 yang menceritakan tentang kehidupan sosial mereka.6 Apakah ide-ide realisme di Indonesia mengalami stagnasi di balik dominasi teater komersial ? ternyata tidak. Sekitar 1930-an, masyarakat Indonesia mulai rajin menulis naskah, baik naskah realis maupun non realis. Tapi semangat tersebut merupakan satu hal positif bagi perkembangan kebudayaan kita. Golongan terpelajar dan intelektual mulai terlibat ke dalam teater amatir. Beberapa tokoh yang kelak menjadi pelopor pergerakan nasional turut serta menerbitkan naskah drama dan menggunakan bahasa Indonesia. Sebut saja, Bebasari (1926) karya Rustam Effendi, Kaloe Dewi Tara soedah berkata (1932) oleh Muhamad Yamin, Sandhyakala ning Majapahit (1933) oleh Sanusi Pane, lalu Nur Sutan Iskandar menyadur naskah drama milik Moliere menjadi si Bakhil.
6
Ibid., hlm. 121-122.
6
Bung Karno juga sempat menulis naskah drama yang berjudul Reinbow, Krukut Bikutbi dan Dr. Setan.7 Menjelang tahun 50-an, terutama disaat pendudukan Jepang, gairah penulisan drama realis semakin mapan. Kondisi tersebut diperbaharui dengan kesadaran terhadap pendokumentasian naskah serta tata cara bermain teater. Sebelumnya, lakon-lakon drama melimpah ruah, namun tidak diimbangi dengan catatan pentas, teknis permainan, bahkan pendokumentasian naskah. Selama pendudukan Jepang, tokoh-tokoh seperti Usmar Ismail, Abu Hanifah alias El Hakim, Armijn Pane, dan Idrus menyusun naskah-naskah teater realis. Lakonlakon yang mereka tulis lekat dengan kehidupan sehari-hari, orang-orang biasa. Tingginya minat penulisan drama realis berhubungan dengan kebijakan Jepang saat itu. Mereka membentuk sebuah badan yang bernama Poesat Sandiwara, bagian integral dari Keimin Bunka Shidoso. Pemerintah Jepang melakukan sensor terhadap setiap naskah yang dibuat. Karena itulah para penulis harus menyiapkan materi secara rapi terlebih dahulu. Aturan tadi berdampak besar terhadap kebudayan menulis masyarakat kita, terutama para penulis lakon. Namun bencana menimpa kelompok teater komersil. Karena lakon-lakon yang sifatnya improvisasi kebanyakan dilarang. Pemerintah Jepang curiga bahwa naskah-naskah berbau improvisasi bisa disusupi propaganda anti Jepang. Teater komersil memang kehilangan tajinya di masa itu. Selain sudah tidak lagi digemari oleh masyarakat, beberapa bintang kelompok tersebut juga banting
7
Ibid., hlm. 123. Penulisan naskah dengan bahasa Indonesia berkaitan erat dengan cita-cita sebagian kecil intelektual yang mereka manifeskan pada Sumpah Pemuda di tahun 1928. Karena mereka mendambakan sebuah negara Indonesia pada naskah-naskah tersebut.
7
stir. Beberapa aktor teater komersil pindah haluan ke bidang film. Teater amatir yang digawangi oleh kaum-kaum berpendidikan mulai mendapatkan tempat. Salah satu kelompok yang terkenal adalah Sandiwara Penggemar Maya. Anggotanya antara lain Usmar Ismail, D. Djajakusuma, Surjo Sumanto, Rosihan Anwar dan Abu Hanifah. Naskah-naskah bernyawa realis mereka mainkan. Sebut saja, Liburan Seniman, Taufan di Atas Asia, Citra. Bahkan beberapa naskah milik Henrik Ibsen juga dipentaskan. Yaitu, Nora dan Jeritan Hidup Baru yang disadur dan diterjemahkan oleh Armijn Pane. Bagi mereka, teater bukan lagi perkara hiburan. Melainkan alat kebudayaan sebagai bentuk ekspresi mereka atas kesadaran kebangsaan, kemanusiaan dan ketuhahan. Teater adalah kegiatan intelektual. Gagasan atau ide tersebut kelak berkembang menjadi ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia). Menurut Bakdi Soemanto, titik kulminasi realisme terjadi disaat berdirinya dua akademi teater di Yogyakarta dan Jakarta. Realisme mewakili apa itu gagasan modern yang terdapat dalam teater. Di Jakarta berdiri ATNI pada tanggal 10 September 1955. Beberapa dedengkot akademi tersebut antara lain Asrul Sani dan Usmar Ismail. Mereka mulai memperkenalkan ide-ide atau gagasan dari Barat. Gaya teater realis ala Boleslavsky dan Stanislavsky mendominasi panggung akademi teater. Naskah-naskah dari pengarang asing semacam Anton Chekov, Nicolai Gogol, Emmanuel Roble mulai disadur dan dipentaskan.8
8
Di dalam idiom teater Indonesia, konsep tersebut sering disebut sebagai realisme konvensional. Lihat Bakdi Soemanto, “Realisme Dalam Jagat Teater”, Humaniora No. 11 (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM Mei – Agustus 1999), hlm 35.
8
Di Yogyakarta juga berdiri sebuah akademi pendidikan mengenai teater, yaitu Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia). Cikal bakal akademi teater tersebut adalah Sekolah Seni Drama dan Film Indonesia (SSDRAFI). Berdiri pada tanggal 1 November 1951 dan dipelopori oleh Sri Murtono. Sedangkan Asdrafi baru berdiri pada tahun 1953. Cikal bakal Asdrafi sebenarnya muncul saat Kongres Kebudayaan I di Magelang tahun 1948. Kongres tadi mengusulkan berdirinya sebuah lembaga pendidikan mengenai drama dan film.9 Dalam perkembangannya, keberadaan Asdrafi sendiri masih kalah gaung dibanding ATNI. Kelompok teater di Yogyakarta dapat dipastikan turut serta dalam ruang kontestasi atau kompetisi di skala nasional. Hiruk pikuk teater di Yogyakarta pada saat itu sebenarnya dikuasai oleh kelompok-kelompok yang diisi oleh kalangan pelajar atau mahasiswa. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya pementasan yang dilakukan oleh Asdrafi, Kelompok Lingga Budaja serta Fakultas Sastera, Pedagogik dan Filsafat (SPF) pada sekitar tahun 1953-1954. Selain itu adapula kelompok Raksi Seni, salah satu anggotanya adalah Kirdjomulyo. 10 Kelompokkelompok diatas memainkan naskah-naskah saduran dari Barat. Mirip seperti yang dilakukan oleh ATNI, mengacu pada realisme. Antara kurun waktu 1950an sampai 1960an, mulai tumbuh kelompok teater di Yogyakarta. Tren yang lumayan positif bagi perkembangan kebudayaan di
9
Tim Peneliti Kalangan Anak Zaman, Kepingan Riwayat Teater Kontemporer di Yogyakarta : Laporan Penelitian Exixting Documentation dalam Perkembangan Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950 – 1990 (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 18-19. 10
Ibid., hlm. 23-24.
9
Yogyakarta. Mereka saling bersaing dengan menulis dan mementaskan sebuah lakon realis. Baik lakon buatan pengarang asing atau pengarang lokal. Kirdjomulyo misalnya, pemuda yang kala itu kuliah di Fakultas SPF UGM termasuk rajin menulis lakon-lakon teater. Contohnya, Penggali Intan, Penggali Kapur, dan Senja dengan Dua Kelelawar. Ada juga Mottingo Bosye yang menyusun Malam Jahanam dan Barabah. Tidak ketinggalan Nasjah Djamin, beliau menulis Titik-Titik Hitam dan Sekelumit Nyanyian Sunda. Salah satu pelopor gaya baru yang kelak disebut teater eksperimental, adalah W.S Rendra bersama rekan-rekannya. Mereka mendirikan Studi Grup Drama Djogja (SGDD). Basis penciptaan mereka masih realis kala itu, namun mereka juga mempelajari lakon-lakon non realis pada waktu yang sama. Kelak, kelompok tersebut menjadi akar berdirinya grup Bengkel Teater. Beberapa kelompok lainnya adalah, Teater Indonesia, Lembaga Drama Nasional (LDN). Di sisi yang lain, teater berbasis kelompok keagamaan juga turut meramaikan panggung teater di Yogyakarta. Muncul Teater Muslim yang berdiri pada tahun 1961. Kelompok ini dikenal berafiliasi dengan Muhammadiyah, karena penggiat Teater Muslim kebanyakan menjadi anggota salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut. Mohammad Diponegoro, Pedro Sujono, Chaerul Umam dan Syubah Asa merupakan salah satu anggota Teater Muslim. Arifin C Noer juga pernah bergabung dengan kelompok ini, hanya saja di tahun 1968 beliau pindah ke Jakarta dan mendirikan Teater Ketjil. Selain Teater Muslim, juga muncul kelompok-kelompok teater berdasarkan golongan agama. Antara lain Studi Teater Arena Katolik (Starka), Teater Kristen serta Sthemka. Fenomena tersebut juga terjadi di beberapa kota-kota besar lain. Di
10
Jakarta ada Seni Teater Kristen (STK), salah satu anggotanya adalah Teguh Karya. Ada pula Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) dan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi). Di kurun waktu 60-an, seni pertunjukkan di Indonesia (termasuk teater) berhubungan erat dengan suasana politik yang memanas. Soekarno menelurkan sebuah dogma yang disebut, NASAKOM (Nasionalis, Agamis dan Komunis). Kelak ketiga ideologi tersebut akan turun ke medan kebudayaan. Tidak heran apabila partai politik saat itu mempunyai “sayap” yang mengatasnamakan lembaga kebudayaan. PKI (Partai Komunis Indonesia) misalnya, entah diakui secara resmi atau tidak, anggota-anggota mereka banyak yang berkecimpung di dalama kegiatan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). PNI memiliki LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), lalu Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) yang melebur di dalam partai NU (Nadhlatul Ulama). Masyumi yang kelak dilarang oleh Presiden Soekarno juga dekat dengan HSBI (Himpunan Seniman dan Budayawan Islam). Beberapa lembaga kebudayaan yang lain adalah Badan Musyawarah Kebudayaan Islam (BMKI), Lembaga Kebudayaan Katholik (LKK), Lembaga Kebudajaan dan Seniman Islam Yogyakarta (LEKSI), Lembaga Kebudayaan Kristen Indonesia (Lekkrindo) dan Grup Studi Budayawan Kristen Indonesia. Persaingan semakin memanas ketika muncul sekelompok intelektual yang menolak gagasan bahwa berkesenian harus berpolitik, mereka lalu melontarkan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Kelak, kelompok tersebut disebut sebagai Manikebuis oleh kalangan Lekra. Persaingan jagad kebudayaan, khususnya di bidang teater semakin memanas di kurun 60-an. Lekra sendiri sebenarnya juga identik dengan gagasan realisme.
11
Biarpun banyak pihak yang mengatakan bahwa Lekra lebih dekat dengan panggung kesenian yang bersifat tradisional. Sejatinya realisme menjadi sebuah medan persaingan di periode pascakolonial yang diperebutkan oleh banyak pihak demi pencarian identitas ke-Indonesiaan. Beranjak ke periode selanjutnya, teater di Indonesia diramaikan oleh gaya baru yang mereproduksi ulang budaya kita. Masa tersebut lebih dikenal sebagai kemunculan teater mutakhir yang diisi dengan teater-teater eksperimental. Media banyak sekali merekam peristiwa-peristiwa penting yang terkait dengan perubahan teater realis menuju teater eksperimental.11 Jagad teater di Indonesia memang pernah diramaikan oleh realisme. Seperti yang sudah disebutkan diatas, gaya tersebut merebak di era 50an sampai 60an. Hingga kemunculan identitas baru di dalam tubuh teater, yaitu teater eksperimental. Tidak heran apabila munculnya IDRF tersebut sebagai bentuk kegelisahan atas minimnya naskah realis. Selain itu di tahun 2010, Komunitas Salihara pernah menyelenggarakan Sayembara Penulisan Lakon Realis. Motifnya sama, mereka resah atas kuantitas pementasan bergaya realis yang sedikit. Gencarnya teater “tubuh” membuat langka lakon-lakon yang mengutamakan seni peran. Wajar, karena teater “tubuh” tidak melulu berpatokan dengan teks (dialog).
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian Menurut pemikiran Bourdieu, masalah seni dan masalah sosial tidak saling tepisah. Posisi mereka tidak saling bersaing ataupun berdialektik, melainkan mempunyai hubungan saling tukar menukar. Diantara dunia simbolik, dunia 11
Apabila merujuk pada konsep yang diajukan oleh Jakob Sumardjo, masamasa teater eksperimental yang mulai tumbuh sejak pertengahan 1960an disebut sebagai “Zaman Emas Teater II”. Sedangkan “Zaman Emas Teater I” berada pada periode 1955-1960an.
12
sosial, dan dunia material selalu ada hubungan tukar menukar. Karena di tiap bidang tadi berlaku hukum ekonomi yang sama dan semua sektor terlibat kedalam semacam ekonomi kebudayaan yang sama. Ketika kita membicarakan modal uang, sejatinya kita juga membahas tentang modal sosial, modal kultural dan khususnya modal simbolik atau model estetik.12 Pemikiran Bourdie diatas mirip dengan gagasan realisme yang identik dengan masalah-masalah sosial. Teater realis muncul di Eropa untuk melawan gaya romantisme yang sudah lama menguasai jagad kesenian. Realisme membicarakan masalah-masalah moral, kebrobokan sosial, berhubungan erat antara individu dan masyarakat. Tokoh-tokoh realis di Eropa seperti Chekov, Ibsen, Strindberg menolak bentuk-bentuk bahasa yang puitik. Realisme lebih dekat dengan bahasa dan akting yang wajar, sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Tema atau konflik yang diangkat juga berhubungan (terkadang) dengan realitas sezaman.13 Paham realisme dalam teater memang menggelitik untuk diteliti. Sebab realisme menjadi payung bagi tokoh-tokoh teater untuk membentuk identitas nasional. Realisme menjadi inspirasi atau gagasan di kalangan intelektual Indonesia saat itu. Selain itu, realisme menjadi pijakan pertama ketika menyentuh dunia teater. Sebelum memulai petualangan baru, terutama ketika lahirnya masa teater eksperimental. 12
Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan : Esai – esai Sastra dan Budaya (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2004), hlm 387. 13
Sapardi Djoko Damono, “Sebermula adalah Realisme”, dalam Antologi Drama Indonesia Jilid I : 1895-1930 (Jakarta : Amanah Lontar, 2006), hlm. xx. Biarpun August Strindberg sebenarnya lebih dikenal sebagai tokoh naturalisme dalam dunia teater.
13
Banyaknya kelompok teater yang berdiri terutama di Yogyakarta merupakan sebuah fenomena yang menarik. Apalagi beberapa kelompok atau tokoh teater diyakini mempunyai pengaruh besar terhadap maraknya dunia teater saat ini. Biarpun untuk periode sekarang tidak segencar pada tahun 1950an sampai 1980an. Beberapa kelompok serta tokoh yang disebutkan di atas berasal dari latar belakang yang berbeda. Namun dibesarkan dalam orientasi modern ala Barat serta besar di lingkungan masyarakat perkotaan. Selanjutnya setelah era realisme di Indonesia berakhir, muncul konsep teater trans etnik (interaksi antar budaya) yang diajukan oleh Saini KM. Atau mempertimbangkan tradisi dengan meminjam istilah dari Putu Wijaya. Asumsinya teater modern yang ada di Indonesia sekarang berasal dari gabungan antar budaya. Namun semua itu berawal dari adanya sebuah eksperimen atas gagasan realisme dan secara periode dikenal sebagai masa teater eksperimental. Selanjutnya hal yang mengelitik adalah berdirinya grup teater dengan latar belakang agama. Seperti Teater Muslim, Starka, LEKSI, Teater Kristen, HSBI, Sthemka atau LESBUMI. Mereka berdampingan dengan kelompok teater non keagamaan semacam SGDD, lalu dari ASDRAFI, Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, Teater Indonesia dll. Konsep religi dalam performance art bisa kita cerna dari tulisannya Cliford Geertz. Agama merupakan, sebuah sistem simbol yang berlaku di dalam diri manusia (masyarakat). Geertz sendiri lalu menyebut, bahwa agama mampu membuat suasana hati menjadi lebih tenang, membangkitkan motivasi (gairah). Kegiatan berbau religius membuat hatinya tergerak dan timbul motivasi. Dari ungkapan itu, dapat disimpulkan, bahwa agama sebagai simbol bisa dipakai
14
sebagai sarana untuk mengekspresikan sesuatu. Salah satunya dalam bentuk kesenian (performance art).14 Namun, performance art sendiri berbeda konsep serta tujuannya dengan cultural performances. Pertunjukkan kultural juga tidak bisa dianggap sebagai pertunjukkan religius. Apabila tujuan mulanya bukan sebagai perwujudan atau pemaknaan atas kepercayaan mereka. Pada dasarnya, agama merupakan sebuah kumpulan makna yang selanjutnya ditafsirkan atau diwujudkan oleh masingmasing individu. Makna sendiri termaktub di dalam simbol.15 Selanjutnya, kompetisi antar kelompok-kelompok teater di Yogyakarta menarik untuk dicermati. Baik antara kelompok teater berbasis kelompok keagamaan ataupun
yang bukan. Mereka saling mengekspresikan dan
mempertontonkan diri ke dalam kultur kesenian (seni teater) di Yogyakarta. Mengacu pada teori yang dikembangkan oleh Erving Goffman, yaitu dramaturgical approach, 16 kita akan melihat bahwa kemunculan kelompokkelompok teater dengan latar belakang keagamaan merupakan sebuah ruang kontestasi. Karyanya The Presentation of Self in Everyday Life menunjukkan aksi/interaksi manusia mirip dengan permainan drama yang ditentukan oleh
14
Cliford Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992),
hlm. 5. 15
Ibid., hlm. 51. Pada kasus ini, Geertz mencontohkan pagelaran Rangda yang bagi orang Bali bukan sekedar drama. Melainkan ritus yang dipentaskan dan bukan sarana tontonan semata. Beberapa kasus lain seperti wayang ruwatan misalnya. 16
Burke.
Teori tersebut terinspirasi oleh pendekatan dramatism milik Kenneth
15
ruang, waktu ataupun audience.17 Konsep yang ditawarkan oleh Erving Goffman adalah konsep tentang presentasi diri dan the art of impression atau manajemen kesan. Konsep tadi berhubungan erat dengan karakter atau penampilan seorang aktor. Dari semua konsep tersebut, dibungkus dalam satu bentuk yang oleh Goffman, disebut sebagai dramaturgi (staging and the self).18 Berdasarkan teori dramaturgi milik Erving Goffman tadi, muncul beberapa pertanyaan sebagai basis penelitian. Jika dilihat berdasarkan konteks teater di Yogyakarta pada tahun 1950an – 1960an, apa yang sedang “dipentaskan” oleh pendekar – pendekar teater tersebut? Ada beberapa kategori untuk membungkus “panggung” tersebut, yaitu kontestasi politik atau ideologi, eksperimental karya (pengetahuan) serta perubahan pasar (ekonomi). Realisme menjadi panggung atau medan bagi para seniman untuk berunjuk diri. Mereka saling menceburkan diri ke dalam ajang teater serta berinteraksi satu sama lain dengan pendekatan dan tujuan yang berbeda-beda. Ada beberapa permasalahan yang membuat penulis tergelitik, antara lain sebagai berikut. Pertama, mengapa mereka memilih konsep realisme sebagai basis penemuan identitas pascakolonial supaya terlihat modern alias maju? Pada periode tersebut patut diingat bahwa Indonesia sedang dalam proses pencarian jatidiri. Kedua, bagaimana bentuk apresiasi kelompok – kelompok teater terhadap realisme sendiri ? Entah itu dalam bentuk pementasan, penggarapan lakon, kajian 17
Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (New York : Double Day Anchor Books, 1959). 18
Peter Burke, Sejarah dan Teori Soial (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2011), hlm. 71.
16
serta kritikan. Mengingat pada periode 50an – 60an, marak sekali penciptaan yang berbau realisme. Persaingan yang meliputi dinamika pementasan serta gagasan mengenai kebudayaan, tepatnya seni pertunjukkan. Persaingan dalam perebutan pengaruh ideologi juga patut untuk dibicarakan. Selain itu kontestasi dalam eksperimen teater juga layak dicermati. Eksperimen dalam manajemen kelompok, artistik serta gaya berteater. Pertanyaan ketiga, kemunculan teater-teater yang melabeli namanya dengan agama menarik untuk dibahas. Mula-mula mereka memakai basis realisme, namun pada perkembangannya, gaya-gaya teater lain (naturalisme, surealisme, romantik) juga mereka pakai. Patut dikaji pemikiran yang terdapat dalam kelompok teater berbasis kelompok keagamaan. Ideologi seperti apa yang mereka bawa serta siapa saja pelaku-pelakunya? Apakah naskah-naskah yang mereka mainkan juga berbau realisme dan mengandung unsur religiusitas? Serta, bagaimana persaingan diantara kubu-kubu tersebut, yaitu kubu Lekra, kubu teaterteater religi dan non religi? Pada tataran ini, penulis akan membatasi atau fokus pada kelompok Teater Muslim, Teater Kristen, Starka dan Sthemka di periode 1960an. Penelitian ini akan mengkaji dinamika gaya teater di Yogyakarta yang dipelopori oleh kaum intelektual pada kurun 1950an-1960an, terutama perubahan dari realisme menuju teater eksperimental. Namun difokuskan pada kelompok teater yang berhaluan golongan agama (religi). Kelompok tersebut akan diwakili oleh Teater Muslim, Teater Kristen, Starka dan Sthemka. Selanjutnya, penentuan batasan spasial Yogyakarta berdasarkan karya atau proses kreatif mereka sebagai kelompok teater. Tidak hanya domisili yang
17
menjadi batasan, melainkan proses kreatif mereka juga. Yogyakarta merupakan arena (ruang) pertarungan atau ruang refleksi. Hanya saja, ruang refleksi tersebut telah berubah menjadi ruang kontestasi dan ruang kompetisi. Ruang kontestasi merujuk pada kemampuan untuk berunjuk diri. Sedang ruang kompetisi, berorientasi ke dalam pemenangan prestasi. 19 Pendapat yang disampaikan oleh Suwarno Wisetrotomo tadi memang merujuk pada perkembangan seni rupa di Yogyakarta. Namun apabila kita telusuri lebih jauh, kondisi tersebut juga terjadi di bidang-bidang yang lain, salah satunya teater. Seperti yang sudah disebutkan diatas, Bakdi Soemanto menganggap bahwa puncak realisme diwakili dengan berdirinya ATNI dan Asdrafi. Yogyakarta sudah dikenal sebagai daerah yang lekat dengan kantung-kantung kebudayaan. Daerah tersebut melahirkan banyak kelompok teater yang namanya diperhitungkan di skala nasional. Sampai sekarang kita masih meyakini bahwa simbol-simbol kebudayaan yang lahir di Yogyakarta tidak kalah saing dengan kota-kota lain. Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh kuatnya magnet kebudayaan di Yogyakarta pada periode 50an dan 60an. Basis-basis kesenian merebak di Yogyakarta, terutama seni rupa dan seni pertunjukkan. Kurun waktu penelitian ini difokuskan pada periode 1950an – 1960an. Mengacu pada periodisasi perkembangan teater di Indonesia yang dibuat oleh
19
Suwarno Wisetrotomo, “Seni Rupa Yogyakarta 1990-2010: Sekitar Friksi, Ideologi, dan Kontestasi”, makalah disampaikan dalam workshop Membongkar Friksi, Ideologi, dan Kontestasi: Workshop Penulisan SejarahKritis Seni Rupa Jogja pada tanggal 17 Agustus 2013 di kantor Indonesian Visual Art and Archive (IVAA), Yogyakarta.
18
Michael H. Bodden. Beliau membaginya menjadi empat bagian. 20 Periode berkembangnya realisme ia masukkan pada periode 1942-1965, sedangkan musim semi teater eksperimental dimulai dari tahun 1966 hingga 1986. Tulisan ini akan diakhiri dimana teater Indonesia mengalami transisi, menuju ke babak baru yaitu teater eksperimental. Selain itu, periode 50an – 60an dianggap penting bagi perkembangan sejarah Indonesia. Oleh, Ruth McVey, tahun 50an dianggap sebagai dekade yang hilang (disappearing decade) dalam historiografi di Indonesia. Padahal pada masa tersebut semangat perlawanan terhadap kolonialisme sedang gencar-gencarnya. Masyarakat Indonesia siap membangun negara baru. Mereka sedang menatap dan membayangkan sebuah negara yang modern dan maju. 21 Sebagai negara yang baru terbentuk pasca kolonial, teater menjadi alat intelektual atau kebudayaan untuk membangun apa itu Indonesia.
20
Michael H. Bodden membagi perkembangan teater di Indonesia ke dalam empat bagian. Pertama, Teater Seni Nasional dalam era Pembentukan Bangsa. Kedua, Teater-Seni Nasional , Teater Komersil Kota dan Peralihan ke “Realisme”: Penerjemahan “Warga Dunia” Baru 1942-1965. Ketiga, Indigenisasi, Teater Eksperimental dan Alegori Kekuasaan: Adaptasi-Adaptasi Teater Orde Baru 1966-1986. Terakhir, Gelombang Kedua Teater Eksperimental dan Perubahan Peran “Tradisi”: Teater Seni dari 1986-2001. Lihat, Michael H. Bodden, “Membuat Drama Asing Berbicara Kepada Penonton Indonesia : Universalisme dan Identitas Pasca-Kolonial dalam Teater Seni-Indonesia Modern” dalam Henri Chambert Loir (ed), Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hlm. 911-927. 21
Adrian Vickers, “Mengapa tahun 1950-an penting bagi Kajian Indonesia” dalam Henk Schulte Nordholt (eds), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 68 – 69.
19
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah berusaha melihat dialog serta wajah pemikiran realisme yang ada di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Terutama teater berbasis kelompok religi di era 1950an-1960an. Setiap pemikiran (konsep) pasti berhubungan dengan konteks sosial saat itu. Konsep tersebut disesuaikan dengan definisi dari sosiologi pengetahuan. 22 Disamping itu gagasan realisme dalam teater di Yogyakarta pada periode tersebut disesuaikan pula dengan teks serta konteks yang sedang berkembang. Realisme dianggap sebagai produk yang berasal dari Barat dan mewakili gagasan modern. Karena pada periode tahun 1950an sampai awal 60an, kata modern sendiri diartikan sebagai kemajuan alias baru. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui peranan kelompok teater yang berlatar belakang agama. Serta melihat bagaimana mereka memanfaatkan sebuah ruang berteater. Seturut dengan pendapat Jakob Sumardjo, bahwa penelitian mengenai teater yang bertemakan dakwah atau keagamaan masih kurang dan perlu dilakukan. Selain itu, tulisan ini juga ingin membuktikan keabsahan konsep teater berbasis keagamaan yang diajukan oleh Jakob Sumardjo. Beberapa peneliti tentang teater juga berasumsi bahwa pada tahun 1960an, marak kelompok teater yang mengatasnamakan Ketuhanan.23 Disamping itu, sesuai dengan konteks politik pada masa tersebut muncul persaingan atau pertentangan politik kebudayaan. Masing-masing kelompok
22
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 5-6. 23
Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia (Bandung: STSI Press, 2004), hlm. 335.
20
berlomba untuk mendengungkan ideologi yang mereka anut. Uniknya, pada masamasa tersebut kelompok kesenian berhaluan agama sangat menjamur dan disegani. Hal tersebut bertolak belakang dengan kondisi di Indonesia dewasa ini. Agama atau religi (kelompok keagamaan), terutama Islam menjadi momok bagi sebagian pihak tertentu. Penelitian ini mempunyai manfaat untuk menambah khasanah tulisan sejarah mengenai pemikiran serta ideologi teater. Mengingat tulisan mengenai sejarah pemikiran teater masih jarang di geluti oleh kalangan sejarawan Indonesia. Disamping itu penelitian ini juga bermanfaat dalam pemetaan pemikiran teater di Indonesia serta menjadi sarana diskusi bagi penggiat teater, khususnya di wilayah Yogyakarta.
D. Tinjauan Pustaka Beberapa referensi mengenai sejarah teater sebenarnya tidak terlalu banyak, terutama sejarah teater di Yogyakarta.Salah satu referensi yang menarik adalah hasil riset Tim Peneliti Kalangan Anak Zaman yaitu Kepingan Riwayat Teater Kontemporer di Yogyakarta : Laporan Penelitian Exixting Documentation dalam Perkembangan Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950 – 1990.24 Buku tersebut memuat deskripsi umum peristiwa teater di Yogyakarta dari tahun 1950-1990. Karya ini dapat memberikan gambaran tentang siapa saja tokoh atau kelompok teater yang muncul pada masa itu serta deskripsi pertunjukkan-pertunjukkan teater. Hanya saja buku ini tidak memuat dinamika pemikiran teater yang 24
Tim Peneliti Kalangan Anak Zaman, Kepingan Riwayat Teater Kontemporer di Yogyakarta : Laporan Penelitian Exixting Documentation dalam Perkembangan Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950 – 1990 (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000)
21
berkembang di Yogyakarta. Terutama pemikiran teater religi. Perbedaan dengan penelitian yang rencananya akan saya lakukan terletak pada aspek metode. Buku yang ditulis oleh Tim Kalangan Anak Zaman tersebut sekedar memuat berbagai macam peristiwa soal teater yang termuat dalam media. Disamping itu ada pula wawancara dengan beberapa tokoh teater Yogyakarta. Karya kedua adalah buku Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia oleh Jakob Sumardjo. 25 Buku ini tidak hanya membahas soal teater, namun naskah sastra atau lakon yang berkembang di Indonesia. Pembahasan soal naskah lakon teater dapat membantu penulis untuk membaca pemikiran yang terdapat dalam lakon-lakon teater. Buku ini mempunyai peranan sebagai pegangan untuk membaca teater di Indonesia secara umum. Buku yang ditulis oleh Jakob Sumardjo tersebut dirasa cukup representatif untuk pembahasan mengenai teater Indonesia secara umum. Mengingat jarang sekali kajian-kajian yang komprehensif soal teater ditulis oleh ilmuwan Indonesia. Biarpun salah seorang kritikus teater, Radhar Panca Dahana menyatakan Perkembangan Teater Modern
bahwa buku
dan Sastra Drama Indonesia mempunyai
kelemahan dalam segi teoritik, analisis serta metodologi. Disisi lain, buku milik Jakob Soemardjo tersebut kerap jadi rujukan untuk meneliti teater. Sebab, sampai saat ini belum ada yang berniat menandingi kitab klasik teater Indonesia tersebut. Selanjutnya adalah karya milik Boen Sri Oemarjati yang berjudul Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia. 26 Sama seperti buku milik Jakob Sumardjo, 25
Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia (Bandung: STSI Press, 2004) 26
Boen Sri Oemarjati, Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia (Jakarta: Gunung Agung, 1971).
22
pembahasan mengenai lakon dapat membantu untuk melihat ide-ide di dalam lakon-lakon tadi. Apalagi buku ini memuat kurun waktu perkembangan lakonlakon pada masa 1950-1963. Ada sedikit pembahasan soal kelompok teater, namun buku ini lebih fokus pada perkembangan karya sastra. Pembacaan teks naskah drama dapat terbantu dari analisis yang dilakukan oleh Boen Sri Oemarjati. Referensi lain adalah karya berjudul Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950 – 1965.27 Kumpulan tulisan yang dieditori oleh Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem tersebut memberikan sebuah gambaran penting tentang dinamika kebudayaan di Indonesia peridoe 50an sampai 60an, khususnya dibidang kesenian.
E. Metode dan Sumber Penelitian Metode yang akan di lakukan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Menurut Kuntowijoyo, penelitian sejarah melewati beberapa tahapan. Yaitu, (1) pemilihan topik, (2) penumpulan sumber, (3) verifikasi atau kritik atas sumbersumber sejarah, (4) interpretasi: analisis dan sintesis, (5) penulisan. 28 Metode tadi akan dilakukan dengan jalan wawancara, pencarian data dari sumber tertulis (naskah lakon, koran, majalah, buku atau arsip), pencarian sumber-sumber yang berbau audio visual (video pementasan) atau visual (leaflet, foto).
27
Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (ed), Ahli Waris Budaya Indonesia (Jakarta: KITLV dan Pustaka Larasan, 2011) 28
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005), hlm. 90.
23
Mengingat tulisan ini termasuk di dalam kategori sejarah pemikiran, sumber yang akan dicari lebih banyak bersifat lisan. Metode sejarah lisan sangat berperan dalam penelitian ini. Ada beberapa keunggulan sejarah lisan. Sejarah lisan dapat merengkuh kelompok bawah, peristiwa kecil dan dapat mengungkapkan nilainilai kemanusiaan. Sejarah lisan memungkinkan pencarian data atau sumber yang tidak terdapat dalam dokumen. Sejarah lisan berfungsi untuk menempatkan orangorang kecil, sejarah tidak lagi elitis melainkan egaliter karena mampu menyentuh masyarakat di kalangan akar rumput.29 Sumber-sumber yang sifatnya visual atau audio visual juga akan dicari. Berdasarkan buku Kepingan Riwayat Teater Kontemporer di Yogyakarta dapat diperoleh tokoh-tokoh teater pada masa 1950an sampai 1970an yang masih hidup sampai sekarang. Tokoh-tokoh diwawancarai antara lain Fajar Suharno, (alm) Bakdi Soemanto, Embie C Noer, Genthong HSA, Fred Wibowo dan Landung Simatupang. Mengenai (alm) Bakdi Soemanto, beliau pada masa mudanya menjadi bagian dari SGDD serta Bengkel Teater. Beliau juga pernah membantu produksi Starka dan Teater Kristen. Sedangkan Embie C Noer adalah adik kandung dari Arifin C Noer. Sebelum mendirikan Teater Ketjil, Arifin C Noer lebih dahulu terlibat di Teater Muslim. Selanjutnya, Genthong HSA semasa muda aktif di Teater Kristen sedangkan Landung Simatupang sempat nyantrik di Sthemka. Sumber-sumber yang terkait dengan pemberitaan koran atau majalah diakses di Jogja Library Center Malioboro serta perpustakaan Ignatius Kotabaru.
29
Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas: Esai-esai Budaya dan Politik (Bandung: Mizan, 2002) hlm 45.
24
Karena pada periode tersebut pemberitaan mengenai pentas atau gagasan soal teater dapat dicari dalam beberapa koran serta majalah budaya, semacam Basis, Siasat Baru, Budaya, Indonesia atau Minggu Pagi. Beberapa referensi yang spesifik soal teater diperoleh di beberapa perpustakaan yang berada di Yogyakarta. Seperti, perpustakaan Teater Garasi di Kasihan Bantul, perpustakaan Indonesian Visual Art and Archive (IVAA) di daerah Dipowinatan serta koleksi perpustakaan Yayasan Umar Kayam (YUK) di Lempuyangan. Selain itu beberapa referensi umum mengenai teater dapat diperoleh di perpustakaan UPT UGM, perpustakaan FIB UGM serta perpustakaan Nasional. Di perpustakaan Nasional juga terdapat beberapa arsip-arsip koran lama.
F. Sistematika Penulisan Penelitian ini dibagi ke dalam lima bab. Bab I merupakan pendahuluan untuk mengawali bab-bab selanjutnya. Bab ini berisi latar belakang masalah, permasalahan, ruang lingkup penelitian, maksud dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode dan sumber penelitian, lalu sistematika penulisan. Selanjutnya bab II mencakup pembahasan mengenai awal mula kemunculan kelompok teater di Indonesia. Terutama membahas persaingan antara kubu pelopor realisme dengan kelompok teater komersil. Bab III akan berisikan awal mula gagasan realisme muncul. Terutama pada periode 1950an sampai 1960an. Periode tadi dapat memberikan gambaran permulaan mengenai pemetaan pemikiran teater modern di Yogyakarta. Bab ini juga membahas rekam jejak kaum-kaum intelektual alias pelajar yang berperan
25
dalam perkembangan di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Serta mengungkap lika-liku lembaga kebudayaan yang menjadi sayap partai politik. Berikutnya mengenai bab IV. Bab ini akan membahas mengenai penjelasan konsep teater yang dianut oleh masing-masing kelompok teater berhaluan kelompok keagamaan. Bab ini juga memusatkan perhatiannya pada persaingan antara kelompok-kelompok teater yang mempunyai aliansi agama dengan kelompok-kelompok yang lain. Akan dibahas bagaimana peranan teater bernafaskan ketuhanan semacam Teater Muslim, Starka, Teater Kristen dan Sthemka dalam jagad teater Yogyakarta. Tidak hanya dalam segi pementasan yang meliputi eksperimen artistik atau gaya berteater. Namun peranan dalam khasanah pemikiran teater saat itu. Bab terakhir adalah bab V. Bab ini akan berisi kesimpulan mengenai penelitian yang telah selesai dilaksanakan. Bab ini akan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam permasalahan.