Bab I Pendahuluan 1.1
Latar Belakang Krisis lingkungan merupakan persoalan global dan bersifat universal.
Global dan universal karena menyangkut keberadaan dan kehidupan dunia tanpa terkecuali. Persoalan ini menjadi masalah yang harus dihadapi oleh manusia baik itu secara personal maupun komunal karena berbicara tentang hidup. Fenomena ini menjadi persoalan karena dalam alam sendiri terjadi berbagai ragam peristiwa yang mengancam keutuhan lingkungan hidup itu sendiri. Umumnya, persoalan itu muncul secara alami dan juga karena diakibatkan oleh manusia itu sendiri. Alami berarti adanya proses yang harus terjadi dalam lingkungan dengan tujuan tertentu sesuai dengan kodratnya. Akibat dari manusia terjadi karena keserakahan manusia dalam memanfaatkan alam yang mengakibatkan kerusakan sistem yang ada dalam alam. Persoalan krisis lingkungan melibatkan peningkatan penipisan lapisan ozon, pemanasan global, limbah beracun dan radioaktif, polusi udara, semakin menurunnya jumlah flora dan fauna. Harus diakui bahwa peristiwa-peristiwa krisis ini terjadi dalam lingkup lokal. J. Baird Callicott mengatakan, “Sewaktu pertama kali disadarai, krisis lingkungan, meskipun tersebar luas, dianggap sebagai kumpulan fenomena lokal – tumpahan minyak di lepas pantai Santa Barbara California, pencemaran air raksa di Teluk Miamata Jepang, hujan asam di Eropa Timur, epidemisi skistosomiasis di belakang bendungan Aswan di Mesir, dll.” (Callicott, dalam Tucker, 2007:29). Tetapi, lokalitas peristiwa itu justru
mengakibatkan dampak global. Karena itulah, masalah krisis lingkungan telah menjadi masalah global yang harus dihadapi baik dalam lingkup lokal maupun global. Contoh yang diberikan oleh Callicott tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar, mengapa? Bila dilihat secara detail semua peristiwa lingkungan tersebut, tidak satu pun yang terjadi secara natural. Jelas sekali bahwa masalahmasalah lokal itu terjadi karena satu penyebab utama, ulah manusia. Hingga saat ini peristiwa-peristiwa seperti itu masih terjadi dan bentuknya pun semakin beragam. Di Cina terjadi salah satu polusi udara terbesar di dunia abad ini. Haidong Kan (2009:1) menjelaskan, “In Chinese cities, outdoor air pollution is the biggest environmental challenge for public health. The source of air pollution in Chinese cities has gradually changed from conventional coal combustion to a mixture of coal-combustion and motor-vehicle emission.” Kehancuran ekosistem laut di Papua karena Freeport terjadi selama bertahun-tahun seperti yang dilaporkan oleh Greenpeace. Dari laporan mereka, “Lautan Indonesia dalam Krisis” (2013:2), salah satu contoh paling mengerikan adalah pembuangan tailing oleh Freeport Mc MoRan yang mengalir ke sungai Otomina dan Ajkwa menuju laut Arafura sebanyak 200.000 ton per hari. Pada dasarnya, krisis lingkungan disebabkan oleh tiga hal: paradigma manusia terhadap alam, modernitas, dan indutrialisme. Paradigma dalam hal ini mencakup cara manusia memahami dan berelasi dengan alam. Modernitas dimengerti sebagai sebuah era dan cara berpikir manusia yang melihat alam ada untuk kebaikan manusia semata. Yang menjadi produk dari keduanya adalah
2
industrialisasi yang memiliki kecenderungan untuk mengeksploitasi alam itu sendiri. Disadari bahwa perspektif manusia yang dibangun oleh masa pencerahan hingga abad modern ini tentang lingkungan sungguh dipenuhi dengan hasrat untuk menguasai bumi. Dari sudut pandang filosofis, pemikiran ini bermula dari pemikiran Francis Bacon dalam tesisnya “knowledge is power”. Pernyataan ini seakan-akan telah menjadi sebuah ideologi yang membenarkan manusia untuk menaklukkan alam. Dengan eksplorasi yang besar atas pernyataan ini, mentalitas manusia selama berabad-abad dibentuk untuk mampu mengenali alam dan pada waktunya menakhlukkan alam itu sendiri. Wei-Ming (Wei-Ming, dalam Tucker 2007:19) menejelaskan, “Semenjak akhir abad kesembilan belas, mentalitas pencerahan, yang menyatakan bahwa “pengetahuan adalah kuasa” (Francis Bacon), tidak terhindarkannya secara historis kemajuan manusia (August Comte), atau “humanisasi alam” (Karl Marx), telah menjadi sumber pemikiran kompetisi social Darwinisme.” Michael Northcott menegaskan tesis ini, “At the core of the project of modernity, of which Novum Organum is the ür text, is the effort to dominate nature through science and technology, even although artists have often protested the results” (Northcott, 2011, p. 1). Semua penegasan ini secara langsung menunjuk pada bagaimana manusia berelasi dengan alam dalam abad modern tersebut. Persoalan krisis lingkungan ini jugalah yang sedang terjadi di Danau Toba dan sekitarnya, Sumatera Utara dalam beberapa dekade terakhir. Paradigma bahwa alam diciptakan untuk keberlangsungan hidup manusia mengakibatkan lingkungan Danau Toba dan sekitarnya semakin rusak. Eksploitasi hutan yang 3
dilakukan oleh berbagai perusahanan transnasional seperti PT. Indorayon Utama1 di daerah Porsea, Toba Samosir mengakibatkan luas hutan semakin terancam. Pada tahun 2010 diperkirakan bahwa sisa vegetasi hutan di sekitar Danau tinggal 12 persen. Padahal, fungsi hutan bagi kelestarian danau dan ekosistem di sekitarnya sangat besar. Selain perusakan hutan, pengurangan debit air juga disebabkan oleh PTLA Sigura-gura/PT. Inalum. Lubis melaporkan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan 1980, semenjak perusahaan ini beroperasi, telah terjadi penuruan pada permukaan air dari ketinggian 906 meter dpl menjadi 903-905 meter dpl (Lubis, J. 1980). Krisis ini juga diakibatkan oleh beberapa faktor lain. Tumiar Sianturi (2004:1-3) melaporkan adanya tiga bentuk esploitasi air Danau Toba yang mengakibatkan kerusakan ekosistem: kegiatan perikanan (keramba jaring apung) di tepi-tepi danau, pariwisata dan perhubungan (lalu lintas perairan) dan curahan limbah ke perairan Danau Toba. Dari data ini, dapat diutarakan bahwa krisis lingkungan yang terjadi di Danau Toba merupakan akibat dari tindakan manusia. Bila dilihat secara global, manusia sekarang ini telah dipengaruhi oleh cara berpikir modern yang meletakkan dan mempersepsi alam sebagai ciptaan untuk melayani manusia. Para pelaku industri yang eksploitatif membangun relasi subordinatif dengan alam. Pemilik P.T.Indorayon, PT. Inalum dan juga para pemilik kerambah memiliki paradigma yang dihasilkan oleh modernitas yang industrialis. Hal ini terbukti dari 1
Victor Silaen (2006:86-92) mencatat bahwa Indorayon telah mengakibatkan dampak negative dalam berbagai aspek khususnya lingkungan. Dampak yang paling dominan adalah polusi limbah (gas, limbah cair, limbah padat), munculnya masalah-masalah kesehatan di Masyarakat sekitar, Penurunan TMA (Tinggi Muka Air) Danau Toba, drastisnya jumlah kerusakan hutan dan rusaknya sarana dan prasaran umum seperti jalan.
4
semangat kerja mereka untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memperdulikan alam sekitar mereka. Pengaruh global dari paradigma modern ini disimpulkan oleh White dengan ungkapan, “Man and nature are two things, and man is master” (White. 1967:1205). Paradigma inilah yang secara nyata mengakibatkan krisis lingkungan di berbagai daerah, juga di Danau Toba dan sekitarnya. Mengatasi persoalan ini, sejumlah pemikir telah memberikan ide-ide dari berbagai sudut pandang kajian ilmu, baik itu dari sains, filsafat, maupun agama atau spiritual. Manusia berhasil menghancurkan dirinya sendiri ketika alam dan ciptaan lain dijadikan sebagai mahluk ciptaan yang derajatnya lebih rendah. Dalam hal ini, refleksi Tu Wei-Ming (Wei-Ming, dalam Tucker 2007:20) menjadi sangat relevan untuk didalami. “Kesadaran bahwa spesies manusia tidak lagi dapat bertahan hidup dan bahwa hidup manusia sebagaimana dihidupi dalam dua abad terakhir mempunyai daya ledak untuk menghancurkan seluruh sistem penyangga kehidupan, telah membangkitkan beberapa pemikiran reflektif dan penuh perhatian di dalam ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu social, dan humaniora untuk menggalang kekuatan di dalam usaha bersama untuk memikirkan masalah itu sejauh mungkin dan segera bertindak serta secara konkret menghasilkan buah-buah perbaikan yang dapat dilaksanakan.”
Tu Wei-Ming menegaskan bahwa sudah saatnya bagi manusia untuk sadar akan betapa pentingnya keberadaan alam. Kesadaran ini harus dibangun untuk menciptakan relasi yang lebih pantas antara manusia dengan alam. Berbagai penelitian ekologis yang telah diadakan di tengah-tengah Indigenous Religion (Fowler di Karendi, White di Baha’i, Grim di Amerika Utara, Kalu di Afrika Barat, Cajete di Indian Amerika, Riordan di Eskimo, dll.)
5
mengemukakan bahwa Indigenous Religions memiliki perspektif yang khas dalam menjalin relasi dengan lingkungan. Mereka memiliki cara yang unik dalam memandang dan memahami dunia. Hallowel mengatakan, “that not all religions (including indigenous religions) fall under western ontology which holds a hierarchical dissimilarity between categories of being - divinity, humanity, and nature” (Harvey, 2000:25). Dengan kata lain, Indigenous religion bukan berurusan dengan relasi hierarkikal, tetap relasi interpersonal. Relasi yang seperti ini diteliti oleh Hallowel dalam suku Ojibwa sehingga dia sampai pada kesimpulan “that humans and those entities he came to call ‘other-than-human persons’ share with human beings powerful abilities, including intelligence, knowledge, wisdom, the ability to discern right from wrong, and also the ability to speak, and therefore to influence other persons” (Harvey, 2000:25). Tu Weiming juga menunjukkan kekhasan dan keunikan dari Indigenous Religion dalam menjaga alam melalui pemahaman, tindakan dan juga pelestariannya. “Bentuk khas tradisi-tradisi asli adalah suatu pemahaman mendalam dan pengalaman keberakaran. Masing-masing tradisi religius asli ditanamkan pada tempat konkrit yang menyimbolkan suatu cara pemahaman, gaya berpikir, cara hidup, dan sikap, serta pandangan dunia” (Wei-Ming, 25). Sumbangan alternatif dari kelompok-kelompok tersebut dalam upaya untuk melestarikan kehidupan dunia ini menjadi sangat penting untuk digali. Dan, hingga saat ini masih ada beberapa kelompok yang tetap mempertahankan tradisi mereka dalam berelasi dengan alam. Kearifan lokal juga terdapat dalam masyarakat Batak Toba yang sejak dulu memberikan peranan penting dalam mengolah lingkungan hidup masyarakat 6
tersebut. Masyarakat Batak Toba yang menjadi subjek penelitian disini adalah masyarakat Desa Sianjur Mula-mula, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Didasarkan pada religiusitas yang ekologis, mereka membangun relasi tertentu dengan alam sekitar mereka. Hans J. Daeng menegaskan bahwa “Dalam pandangan masyarakat Batak Toba, alam, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia merupakan kesatuan yang harus dipertahankan keharmonisan hubungan dengan Mulajadi na Bolon” (Daeng, 2000:232). Pendapat Daeng ini nampaknya tidak berlebihan dalam melihat religiusitas Batak Toba. Sebagai sebuah masyarakat yang telah hidup dalam suatu dunia religius tertentu, mereka pasti memiliki paradigma tertentu juga atas dunia sekitar mereka. Dengan demikian, tesis yang diajukan oleh Hallowell tentang masyarakat Ojibwa dapat dipahami dalam memahami bentuk relasi yang dibangun oleh Masyarakat Batak Toba dengan lingkungan mereka. Dari penjelasan yang telah dikemukakan, peneliti membangun sebuah hipotesis bahwa kelompok masyarakat Batak nampaknya memiliki kearifan lokal yang dapat menjadi salah satu paradigma alternatif dalam upaya pelestarian alam. Disebutkan sebagai paradigma alternatif bertujuan untuk tidak menutup kemungkinan adanya paradigma lain yang juga memiliki bentuk-bentuk relasi yang khas dengan alam di Daerah Danau Toba dan sekitarnya seperti yang dimiliki agama-agama yang juga saat ini mungkin sedang memberikan sumbangsih yang berguna bagi pelestarian alam. Dengan demikian, premis yang disampaikan oleh Tucker dan Grim (2003:8), “tidak ada satu tradisi religius atau perspektif filosofis pun yang mempunyai solusi ideal (terbaik) bagi krisis
7
lingkungan” dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini. Pendekatan plural merupakan solusi terbaiknya.
1.2
Rumusan Masalah Tesis ini akan mencoba meneliti bagaimana Indigenous People Batak
Toba khususnya masyarakat Desa Sianjur Mula-mula dalam membangun relasi dengan alam di tanah Batak. Untuk melihat persoalan diatas secara terarah, maka dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana religi ekologis Batak Toba sebagai dasar bagi masyarakat Sianjur Mula-mula dalam mempersepsi dan berelasi dengan alam di sekitar mereka? Bagaimana mereka mengimplementasikannya sebagai bentuk relasi mereka dengan alam? 2. Bagaimana praktek-praktek religi ekologis masyarakat Batak Toba dalam pengelolaan lingkungan untuk melihat efektifitas religi ekologis ini? Bagaimana kearifan lokal ini dapat menjadi cara alternatif untuk menanggapi krisis lingkungan yang terjadi di Danau Toba dan Sekitarnya? 3. Apa tantangan yang mereka hadapi (baik itu tantangan dari dalam mau pun dari luar kelompok mereka)? Asumsi dasar dari pertanyaan ini adalah adanya realitas yang bertolak belakang bahwa ”Masyarkat Batak Toba memiliki kearifan lokal akan tetapi kerusakan alam terjadi di daerah yang mereka tempati”.
8
1.3
Tujuan Penelitian Ingin mengetahui bentuk-bentuk kearifan lokal dari masyarakat tradisional
Batak Toba khususnya masyarakat Desa Sianjur Mula-mula dalam berelasi dengan lingkungan terkait dengan permasalahan krisis ekologi yang terjadi saat ini di sekitar lingkungan mereka. Sebagai salah satu budaya tradisional yang hingga saat ini masih bertahan di tengah modernitas, Budaya Batak Toba tentunya memiliki kearifan lokal dalam berelasi dengan lingkungan. Mengetahui kesatuan mereka dengan alam, cara mereka memperlakukan alam, dan juga tindakan mereka terhadap alam nantinya akan menjadi sangat penting dalam upaya pelestarian alam saat ini. Oleh karena itu, apa yang diwartakan oleh Ewert Cousins bahwa Bumi adalah nabi kita dan bangsa-bangsa asli adalah guru kita (Cousins, 1992:32) menjadi sebuah kebenaran. Setelah mengetahui kearifan lokal dari kelompok masyarakat Batak Toba di Desa Sianjur Mula-mula, memahami efektivitas kearifan lokal ini menjadi hal yang penting. Hal ini berkaitan juga dengan realitas yang terjadi saat ini di Danau Toba dan sekitarnya. Krisis lingkungan dan kearifan lokal yang berada di dalamnya menjadi hal penting untuk dimengerti. Realita yang bertolak belakang ini mengantar peneliti untuk memahami masalah-masalah yang terjadi. Tujuan terakhir adalah untuk memahami sumbangan Kajian dan Agama dan Budaya dalam persoalan krisis lingkungan yang sedang terjadi secara lokal di daerah ini. Bagaimana Agama dan Budaya memberikan sumbangan menjadi sangat penting untuk diteliti sebagai sebuah kajian ilmu.
9
1.4
Landasan Teori Lingkungan menjadi isu yang sangat menarik untuk dikaji lebih dalam.
Manusia dan semua mahluk hidup tinggal di dalamnya. Dan, tanpa lingkungan, sebagai mahluk mundial, manusia hanya bisa bertahan dalam lingkungan hidup itu sendiri. Karena huhubungan erat ini, maka manusia berusaha untuk memahami lingkungan itu dengan kemampuannya. Manusia berusaha membangun relasi dengannya. Bagaimana manusia membangun relasi itu menjadi semakin menarik karena berkaitan dengan keberlangsung kedua entitas, manusia dan alam. Isu krisis lingkungan juga timbul di daerah Danau Toba: berkurangnya debit air Danau Toba karena terjadi penebangan kayu, merebaknya kerambah ikan dan menumpuknya limbah dari berbagai perusahaan. Berangkat dari isu ini, ide dasar dari penelitian ini adalah untuk membangkitkan kembali kearifan lokal yang diajarkan dan dilaksanakan dalam Budaya Batak Toba yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi dalam mencegah krisis lingkungan yang lebih besar lagi. Bantuan pemikiran para sarjana menjadi sangat penting untuk menganalisa dan menjawab masalah utama penelitian ini. Untuk itu, peneliti akan menggunakan beberapa kerangkan analisis yang ditawarkan oleh Prof Michael Northcott dalam kelas “Ecology and Religion in Southeast Asia” dan juga oleh Dr. Samsul Maarif dalam kelas “Indigenous Religions”. Dari kedua kelas tersebut, peneliti mendalami pemikiran beberapa sarjana yang membahas soal indigenous religions dan ekologi seperti A. Irving Hallowell, dan John A. Grim. Untuk memahami kosmologi budaya Batak Toba, teori yang disampaikan oleh Hallowell tentang masyarakat Ojibwa menjadi sangat relevan. Menurut Hallowell, orang Ojibwa menjalin relasi interpersonal dengan alam dimana alam
10
dimengerti sebagai “person”. Hallowell mendasarkan penjelasannya tentang ethic relationship dengan prinsip interpendency. Menurut dia, segala sesuatu memiliki keterhubungan dengan sendirinya dan apa yang dilakukan manusia pasti mempengaruhi yang lain (Subandri, 2013:14). Pemikiran Hallowell ini dijelaskan oleh Harvey (2000:36), “Indeed, innovative approaches to the study of Native American religions are related at least implicitly to Hallowell's insight that these traditions recognize the ontological similarity and the interdependence of all beings”. Hallowell, dengan kata lain, menyadari bahwa kehidupan religius orang Ojibwa memperhatikan dirinya dengan pengertian moral dan kosmik yang saling memiliki kewajiban di antara manusia dan wujud-wujud yang lain dari manusia (Morrison, in Harvey, 29). Relasi interpersonal ini juga diteliti oleh Grim ketika dia berada di tengah-tengah orang-orang Amerika Utara asli. Grim berpendapat, “Tradisi-tradisi asli mengangkat masalah-masalah lingkungan dalam konteks kosmologi yang mencakup pemanfaatan sumber-sumber tetapi tidak meletakkan pembicaraan utama dengan istilah-istilah baik transendental maupun melulu utilitarian” (Grim dalam Tucker, 2007: 59). Pandangan Grim dengan serempak mengkritisi pemikiran modern dan agama-agama Abrahamik yang melihat dunia ini adalah pemberian yang illahi sehingga dapat digunakan oleh manusia. Dengan kata lain, aspek religius transenden dan utilitarian tidak ada dalam kamus agama asli karena mereka melihat alam dan mempersepsi alam sebagai other-than-human persons. Bagi orang Amerika Utara asli, Crow-Apsaaloke, hubungan mereka dengan alam sangat dekat sebagaimana hubungan familial. “Langit adalah Bapaku dan gunung-gunung ini adalah ibuku” (Grim dalam Tucker, 2007: 48). Ungkapan
11
ini tidak hanya sebagai jargon adat tetapi melekat dalam kehidupan nyata mereka. Bahkan, relasi itu mereka nyatakan dalam ritual yang mereka lakukan setiap tahunnya. Sebagaimana digambarkan oleh Grim, di suatu upacara Ashkisshe, orang orang Crow-Apsaaloke menari tarian “Tahun Baru”. “Selama tarian ini semua partisipan bergerak bersama menuju ke arah gunung-gunung itu sebagai tanda hormat penuh kasih bagi Ibu mereka, gunung-gunung.” (Grim dalam Tucker, 2007: 47). Dari semua penelitian yang dilakukan, Grim sampai pada sebuah kekaguman akan indigenous tradition, “An aspect of their journey is the deeper moralization of issues until now understood simply as political, economic, or religious. By ‘deeper moralization’ is meant a creative behavior that not only responds to the concerns of place, knowledge, and sovereignty of indigenous people, but also collaboratively explores visions of flourishing life.” (Grim, 2001: lv). Dalam Budaya Batak, hal yang sama juga dilakukan dalam upacara Mangase Taon. Upacara ini dijadikan sebagai ritual bersama seluruh masyarakat untuk membersihkan Banua Tonga (Bumi) dari kuasa jahat. Daeng menjelaskan, “ Mangase Taon biasa diadakan pada masa antara paskapanen dan masa sebelum sawah ditanam lagi” (Daeng, 2000:229). Bahkan, Vergouwen menegaskan alasan yang lebih spesifik seperti yang dikutip oleh Daeng, “ Untuk mengakhiri musim kemarau yang berkepanjangan dengan berbagai akibatnya seperti gagalnya panen, wabah cacar dan kolera, Mangase Taon perlu diadakan (Daeng, 2000:230). Perayaan ini tentunya didasarkan pada cara pandang (worldview) mereka terhadap alam. Kepercayaan Orang Batak kuno bersifat sintetis, yang tercermin dalam
12
sebuah keyakinan totalitas dari berbagai unsur yang berbeda (Victor Silaen, 2006: 205). Memang cara penyampaian dalam Budaya Batak Toba dengan Budaya Orang Amerika Utara asli berbeda, tetapi tujuan yang dimaksud adalah sama yaitu menjaga relasi harmonis dengan alam. Dalam hal ini, relasi dengan alam atau lingkungan yang telah diajarkan oleh Indigenous people sangat baik untuk digali dalam usaha menjaga ekosistem pada zaman modern ini.
1.5
Metode Penelitian Masyarakat Batak Toba adalah salah satu Indigenous People di Indonesia
yang masih tetap bertahan hingga era globalisasi ini disaat terdapat berbagai bentuk perubahan zaman. Perjuangan mereka dalam kaitannya dengan kedua tantangan besar ini adalah bagaimana mereka mempertahankan kearifan lokal mereka dalam berelasi dengan alam baik itu secara individual maupun secara komunal. Kearifan lokal dan cara mereka menginplementasikan kearifan itulah yang ingin diteliti. Di dalam penelitian ini, peneliti memilih Desa Sianjur Mula-mula sebagai lokasi penelitian. Historisitas dan pentingnya Desa ini bagi seluruh orang Batak Toba menjadi alasan utama dari pemilihan lokasi ini. Yang mejadi subjek penelitian adalah beberapa masyarakat Batak Toba yang tinggal di Desa Sianjur Mula-mula: petani, penggembala, datu (orang pintar), peziarah, penenun, nelayan tradisional dan orang-orang yang ditemui tanpa mengetahui identitas mereka secara langsung. Alasannya pemilihan ini adalah karena mereka masih memiliki
13
pemahaman yang bersumber dari pengalaman mereka. Alasan lain adalah karena mereka tinggal di Desa yang sangat bersejarah dalam budaya Batak Toba secara khusus dan Batak secara umum. Untuk penulisan selanjutnya, istilah Batak Toba dimaksudkan untuk menyebutkan masyarakat Desa Sianjur Mula-mula yang merupakan subjek penelitian. Peneliti menggunakan metode penelitian participant observation dan indepth interview. Dengan tinggal bersama mereka dan ikut serta melakukan aktivitas harian mereka selama kurang lebih 8 minggu, membantu peneliti untuk melihat secara jelas subjek penelitian ini. Life story interview menjadi pilihan lain untuk
semakin
memperdalam
metode
participant
observation.
Suwardi
menjelaskan, “pengamatan berperan serta, berarti pengamat (peneliti) budaya ikut terlibat baik secara pasif maupun aktif ke dalam tindakan budaya … sehingga mampu memasuki fenomena yang lebih dalam” (Suwardi, 2003: 209). Penelitian ini bersifat kualitatif. Teknik yang dipakai dalam pengumpulan adalah dengan mengadakan life story interview serta studi literatur. Life story interview digunakan untuk mengetahui pendapat, pandangan, dan tanggapan informan mengenai hal-hal yang menyangkut materi penelitian. Metode ini lebih menekankan wawancara yang terfokus pada tema atau topik. Metode ini juga mencakup wawancara ringan seperti obrolan ringan dengan informan di berbagai tempat: kebun, lapangan, tempat ziarah Batak Toba, dan juga kedai tuak. Melalui metode ini diperoleh sudut pandang dan informasi yang dibutuhkan mengenai topik yang dibahas. Hal ini ditegaskan oleh Robert Atkinson “is a fairly complete narrating of one’s entire experience of life as a whole, highlighting the most important aspects” (Robert Atkinson, 1998: 8). Pengalaman manusia memiliki
14
kesatuan dengan kearifan yang mereka miliki dan lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Dan pendapat ini juga ditegaskan oleh Chaitin, J. yaitu bahwa dengan mengetahui life story seseorang, kita dapat mengerti bagaimana seseorang dalam berelasi dengan lingkungan dan hidup di tengah alamnya. “The life story method is classified as one type of phenomenological approach to research; that is, it focuses on the understandings and significance that people give to their life experiences” (Chaitin, 2004:3).
1.6
Kajian Pustaka Isu krisis lingkungan telah sering dibicarakan oleh para sarjana dari
berbagai perspektif akan tetapi masih meninggalkan berbagai titik penting dan urgen bagi lingkungan itu sendiri. M. Scott Taylor (2009) memberikan definisi krisis lingkungan sebagai sebuah fenomena memburuknya lingkungan secara dramatis, tak terduga dan irreversible yang menyebabkan kerugian pada kesejahteraan secara signifikan. Pendefinisian ini tentunya meninggalkan suatu unsur penting yaitu timpangnya cara-cara berelasi dengan alam yang dibangun oleh manusia. Taylor hanya melihat keburukan itu dengan berpatokan pada berkurangnya sumber-sumber kesejahteraan bagi manusia. Dengan kata lain, tendensi antroposentris masih terkesan kuat dalam definisi ini. James Gustave Speth, dalam bukunya “The Brigde at the Edge of the World: Capitalism, the Environment, and Crossing from Crisis to Sustainability” berargumen bahwa sebagian besar kerusakan lingkungan saat ini merupakan akibat dari kegagalan sistem kapitalis yang tidak memiliki solusi jangka panjang
15
dalam mencapai perubahan transformatif. Namun, dalam usahanya membangun argumen untuk meyakinkan pembaca agar melekukan sesuatu terhadap alam, dia meninggalkan kejanggalan. Kejanggalan itu muncul ketika dia mencoba mengubah pola pikir pembaca untuk menjaga lingkungan bukan hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga untuk anak cucu kita. Dalam kajian etika lingkungan dimana manusia diharuskan untuk menjalin hubungan dengan non-human, tujuan konservasi alam bukan untuk manusia tetapi harus kepada alam itu sendiri. Speth meyakinkan agar manusia menjaga linkungan yang nantinya akan diwariskan kepada keturunan. Pewarisan ini secara jelas megaskan posisi manusia sebagai tuan atas alam. Para sarjana Indonesia Hari Poerwanto (2000) dan Hans Daeng (2000) juga membahas issu ini melalui perspektif antropologi. Mereka mengkaji isu ini melalui data-data berdasarkan bagaimana manusia bertindak dengan alam. Namun, pendekatan ini hanya sedikit menyinggung religi budaya-budaya yang dikaji. Sementara itu dalam budaya yang mereka kaji, pada umumnya tidak terdapat pemisahakan yang jelas antara religi, budaya dan ekologi. Secara khusus Daeng mengkaji bagaimana orang Batak Toba melalui upacara “mangase taon” sebagai upacara yang berimplikasi langsung terhadap praktek-praktek ekologis masyarakat tersebut. Dalam hal ini, Daeng hanya menyentuk ritual tersebut tanpa melihat terlebih dahulu worlview masyarakat setempat. Selain itu, kedua sarjana ini masih melihat alam sebagai entitas yang memiliki derajat yang lebih rendah dari pada manusia. Brian Baxter dalam bukunya “A Theory of Ecological Justice” memberikan penekanan yang berbeda dari para sarjana tersebut. Baxter 16
menegaskan bahwa manusia dan non-manusia dapat dipertimbangkan secara moral yaitu dengan moral justice. Dengan demikian, hubungan manusia dengan alam masuk dalam tatanan moral sehingga relasi manusia dengan non-manusia dapat berjalan dengan baik. Yang pasti, pendekatan yang dilakukan oleh Baxter ini menekankan bahwa relasi manusia dengan alam tidak boleh semata-mata demi keuntungan manusia, tetapi juga bagi keberlangsungan alam itu sendiri. Akan tetapi penelitian Baxter ini hanya menyentuh aspek moral dari relasi manusia dengan alam tanpa memasuki secara langsung relasi-relasi yang dibangun oleh masyarakat tersebut dengan alam lingkungan mereka. Kelemahan teori-teori dari para sarjana inilah yang dapat diisi salah satunya dengan pendekatan sudut pandang agama lokal. Agama lokal memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam usaha mencari relasi yang lebih baik antara manusia dengan alam. Sarjana yang pertama sekali menghubungkan masalah lingkungan (polusi, kepunahan species dan overpopulasi) dengan agama adalah Lynn White, Jr dalam tulisannya “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Sciense 155 (10 Maret, 1967:1203-07. Dengan tegas White menyatakan bahwa agama, khususnya agama-agama Abrahamik, harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan alam saat ini. Pendekatan Gary Gardner mencoba memberikan solusi baru dalam hubungan antara agama dan lingkungan. Gardner menyebutkan, “Religious institutin and leaders can bring at least five strong assets to the effort to build a sustainable world: the capacity to shape cosmology (worldviews), moral authority, a large base of adherents, significant material resources, and community-building capacity” (Gardner, 2003:154). Dengan demikian, agama 17
dapat menjadi daya yang kuat dalam hal membangun sebuah paradigma baru yang dapat memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap alam. Dalam hal ini, dia juga lebih cenderung menegaskan betapa dekatnya agama asli dalam menjalin hubungan dengan alam. “Finally, indigenous traditions, closely tied to their local bioregion for food and for materials for clothing, shelter, and cultural activities, tend to have their environmental ethics embedded in their worldviews” (Gardner, 2003:155). Dari pemikiran para sarjana di atas, apa yang menjadi keunikan dari penelitian ini menjadi jelas. Ketika modernitas yang sangat exploitatif dipersalahkan atas situasi krisis lingkungan saat ini, adalah sangat tepat untuk mengarahkan pandangan kepada kearifan-kearifan lokal untuk mencari solusi alternatif dalam mebangun relasi dengan alam. Grim, Gardner, dan Tucker secara sepakat bila penelitian ekologis dilakukan dalam agama-agama atau budaya asli untuk mengetahui kearifan-kearifan lokal ekologis mereka. Peneliti, dengan demikian, ingin melakukan anjuran dari ketiga sarjana diatas dalam rangka membangun kembali dan memahami kearifan lokal religi Batak Toba dalam melestarikan Danau Toba dan sekitarnya. Dari penjelasan kajian pustaka ini, maka akan lebih tepat untuk menetapkan “Religi Ekologis Batak Toba: Studi Kasus Desa Sianjurmula-mula”
18
1.7
Kerangka Pemikiran
Masyarakat Batak Toba Desa Sianjur Mula-mula
Ekologi
Religi
Konsep & Empiris
Konsep & Empiris
Relasi Intersubjektif antara Manusia dan Non-Manusia dalam Religi Ekolgis Batak Toba Tantangan/Persoalan
Rekomendasi untuk Revitalisasi Religi Ekologis Batak Toba
Keberlangsungan Alam (Sustainability)
Gbr. 1. Kerangka Pemikiran
19