BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berbicara mengenai pendidikan luar biasa (special education) sudah sewajarnya tidak bisa lepas berbicara dengan anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus dikenal juga istilah anak cacat, anak berkelainan, anak tuna dan dalam pembelajarannya menjadi salah satu kelompok anak yang memiliki kebutuhan khusus.1 Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus secara permanen/kecacatan dan sementara sehingga membutuhkan penyesuaian layanan pendidikan. Kebutuhan khusus yang dimaksud dalam hal ini adalah kebutuhan yang ada kaitannya dengan pendidikan.2 Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik. Anak berkebutuhan khusus adalah klasifikasi untuk anak dan remaja yang secara fisik, psikologis, dan /atau sosial mengalami masalah serius dan menetap.3
1
Hargio Santoso, Cara Memahami dan Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus (Yogyakarta: Gosyen Publishing, 2012), h. 3 2
Ibid., h. 3
3
Rani Wulandari, Teknik Mengajar Siswa dengan Gangguan Bicara dan Bahasa (Yogyakarta: Imperium, 2013), h. 3
1
2
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki kelainan pada fisik, mental, tingkah laku atau indranya memiliki kelainan yang sedemikian sehingga
untuk
mengembangkan
secara
maksimum
kemampuannya
membutuhkan PLB (Pendidikan Luar Biasa) atau layanan yang berhubungan dengan PLB (Pendidikan Luar Biasa). Mereka memiliki hak yang sama dengan anak normal untuk tumbuh dan berkembang di tengah lingkungan keluarga, maka SLB harus dikemas dan dirancang sedemikian rupa sehingga program dan layanannya dekat dengan lingkungan ABK.4 Banyak kita menemukan keluarga yang mempunyai anak yang mengalami cacat baik fisik maupun mental merasa malu dan minder. Bahkan kemudian menjauhkan anak tersebut dari pergaulan masyarakat dan membiarkan mereka tumbuh tanpa pendidikan formal yang cukup. Layaknya manusia yang normal, mereka juga terlahir dengan membawa berbagai potensi yang dapat dikembangkan. Oleh karena itu, orang tua mempunyai tanggung jawab untuk mengasuh, mendidik dan memberikan dorongan serta kesempatan kepada anak dalam mengembangkan potensi atau bakat yang mereka miliki. Karena setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan termasuk memperoleh layanan pendidikan. Hak untuk memperoleh pendidikan melekat pada semua orang tanpa kecuali, termasuk anak penyandang cacat. Pemikiran inilah yang memulai bahwa penyandang cacat
4
Hargio Santoso, Cara Memahami dan Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus …, h. 4
3
atau anak luar biasa berhak mendapat pelayanan pendidikan seperti halnya anak-anak umumnya dan hidup bersama dalam situasi sosial yang alamiah.5 Anak-anak penyandang ketunaan sebagai bagian dari makhluk Allah Swt juga berkuasa atas dirinya, dan karena itu fitrah dirinya adalah sebagai manusia yang merdeka dan bebas. Walaupun mereka tidak sempurna secara fisik dan mental, tetapi kembali kepada fitrahnya mereka sebagai bagian dari manusia, maka mereka memiliki hak untuk merdeka seperti anak normal lainnya. Anak berkebutuhan khusus dianggap berbeda dengan anak normal. Ia dianggap sosok yang tidak berdaya sehingga perlu dibantu dan dikasihani. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Setiap anak mempunyai kekurangan, namun sekaligus mempunyai kelebihan.6 Oleh karena itu, mesti dilahirkan berbeda, anak-anak ini memiliki hak yang sama dalam hal pendidikan. Maka diperlukan guru untuk membimbing dan mengajar mereka. Untuk menjadi pengajar atau guru bagi ABK, terdapat beberapa pembekalan pendidikan dan pelatihan khusus. Akan tetapi, sesungguhnya bukan hanya pelatihan dan pendidikan formal saja yang diperlukan untuk menjadi guru/pendidik ABK. Seorang dengan karakter kreatif, tulus mengasihi, memiliki tingkat kesabaran tinggi, dan kemauan serta tekad kuat dalam kondisi sesulit apa pun akan sangat tepat menjadi guru/pendidik ABK.7
5
Ibid., h. 16
6
E. Kokasih, Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus (Bandung: Yrama Widya, 2012), h. 2 7
Hargio Santoso, Cara Memahami dan Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus …, h. 34
4
Anak berkebutuhan khusus memerlukan perhatian, baik itu dalam bentuk perhatian kasih sayang, interaksi sosial dan pendidikan. Pendidikan merupakan kebutuhan bagi setiap umat manusia, baik yang normal maupun mereka yang mempunyai kelainan fisik atau mental. Dengan demikian bagi penyandang ketunaan juga mempunyai hak yang sama dalam masalah pendidikan. Agar penyandang ketunaan mempunyai perkembangan yang wajar pada fungsi sosialnya, maka pendidikan yang diberikan tidak terbatas pada bimbingan kecerdasan dan keterampilan saja, tetapi juga bimbingan mental spiritual atau pendidikan agama. Pengalaman pendidikan agama berjalan dengan baik dengan mengacu pada tiga ranah yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus (student with special needs) membutuhkan suatu pola tersendiri sesuai dengan kebutuhannya masing-masing, yang berbeda antara satu dan lainnya. Dalam penyusunan program pembelajaran untuk setiap bidang studi, hendaknya guru kelas sudah memiliki data pribadi setiap siswanya. Data pribadi yakni berkaitan dengan karakteristik spesifik, kemampuan dan kelemahannya, kompetensi yang dimiliki, dan tingkat perkembangannya.8 Salah satu ketunaan pada anak adalah anak tunanetra. Tunanetra merupakan sebutan untuk individu yang mengalami gangguan pada indera penglihatan. Pada dasarnya, tunanetra dibagi menjadi dua kelompok, yaitu buta
8
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 1
5
total dan kurang penglihatan (low vision).9 Meskipun memiliki perbedaan dengan normal pada umumnya tetapi anak tunanetra juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan pembelajaran. Pembelajaran merupakan suatu proses yang dilakukan secara sadar pada setiap individu atau kelompok untuk merubah sikap dari tidak tahu menjadi tahu sepanjang hidupnya. Belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara pendidik dengan peserta didik. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan.10 Hal tersebut tidak terkecuali bagi anak-anak yang memiliki kekurangan fisik ataupun mental seperti tunanetra, tunarungu wicara, tunagrahita, tunadaksa dan lainnya. Pemerintah sebagai pelindung warga Negara juga memberikan kesempatan seluas-luasnya agar anak yang memiliki kekurangan-kekurangan tersebut dapat mengenyam pendidikan layaknya anak yang normal dengan menyediakan sekolah khusus yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB). Pada dasarnya, sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus sama dengan sekolah anak-anak pada umumnya. Namun, karena kondisi dan karakteristik kelainan yang disandang anak berkebutuhan khusus, sekolah bagi
9
Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran dan Terapi untuk Anak Berkebutuhan Khusus …, h. 36 10
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta : Rineka cipta, 2002), h. 1
6
mereka dirancang secara khusus sesuai dengan jenis dan karakteristik kelainannya.11 Sekolah biasa ataupun sekolah luar biasa sebagai salah satu lembaga pendidikan, juga mempunyai tanggung jawab atas penyelenggaran pendidikan agama. Bahkan karena pentingnya pendidikan agama, pemerintah mewajibkan pada setiap jenjang sekolah untuk memasukkan materi agama ke dalam kurikulum, sebagaimana ditegaskan dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam bab X pasal 37 dijelaskan bahwa pendidikan agama wajib ada dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi.12 Pendidikan luar biasa sebagai bagian terpadu dari sistem pendidikan nasional bertujuan untuk membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik, mental, dan kelainan perilaku agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial. Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia. Pendidikan juga merupakan suatu kebutuhan pokok bagi setiap individu yang ingin maju, baik itu anak yang normal maupun anak yang mengalami kelainan fisik dan atau mental.13
11
E. Kokasih, Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus …, h. 6
12
UU RI No. 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37
13
Yeni Pariatin dan Yuda Zuliansa Ashari “Perancangan Media Pembelajaran Interaktif Mata Pelajaran PKn untuk Penyandang Tunarungu Berbasis Multimedia (Studi Kasus di kelas VII SMPLB Negeri Garut Kota)” Jurnal Algoritma. Volume 11 No. 01 2014, h. 1
7
Anak berkebutuhan khusus tentu memerlukan pendidikan seperti halnya anak normal lainnya. Begitu juga dengan pendidikan agama Islam, karena dalam ajaran Islam setiap manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Kewajiban beribadah ini diwajibkan kepada manusia yang dalam keadaan sadar, artinya mampu menggunakan akal dan hatinya untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Begitu pula pada anak ketunaan, mereka tetap diwajibkan beribadah kepada Allah selagi dalam keadaan sadar dan tentunya disesuaikan dengan perkembangan mereka. Pendidikan yang diberikan kepada anak ketunaan berbeda dengan anak yang normal. Perbedaan ini bukan pada materi pokoknya melainkan pada segi luasnya dan pengembangan materi pendidikan agama yang disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut. Para penyandang ketunaan tidaklah mudah untuk dididik ajaran agama Islam, karena kekurangan dan kelemahan mereka dalam menangkap pelajaran agama serta tingkah laku yang berbeda dengan anak normal pada umumnya. Sehingga memerlukan metode yang sesuai dengan jenis ketunaannya. Pendidikan agama Islam memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik tersebut sangat berbeda jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Mata pelajaran pendidikan agama Islam tidak hanya berdampak pada kehidupan di dunia, tetapi juga kehidupan di akhirat. Karena itu pendidikan agama Islam merupakan bagian terpenting dalam kehidupan. Agama menjadi pemandu dalam hidup di dunia dan menyiapkan kehidupan di akhirat. Menyadari betapa
8
pentingnya peran agama bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi nilainilai dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan.14 Pendidikan agama Islam hendaknya ditanamkan sejak kecil, sebab pendidikan masa kanak-kanak merupakan dasar yang menentukan untuk pendidikan selanjutnya.15 Pendidikan berupaya membentuk siswa penyandang ketunaan agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan memberikan dorongan kepada siswa untuk menumbuhkembangkan rasa percaya diri, memiliki keyakinan penuh, atau berpegangan pada keyakinannya pada Allah Swt. Dengan ini, maka diharapkan mereka akan mendapatkan sejumlah pengalaman baru yang kelak dapat dikembangkan anak guna melengkapi bekal hidup. Mengingat kondisi siswa yang memiliki keterbatasan intelegensi dan juga keterbatasan lainnya, dan juga pentingnya pendidikan agama bagi umat. Maka metode pembelajaran Pendidikan Agama Islam bagi anak berkebutuhan khusus harus berjalan sesuai dengan tujuan, sehingga pengetahuan yang diterima setiap anak tidak berbeda dengan anak-anak normal lainnya, maka diperlukan pelaksanaan pembelajaran yang matang. Anak berkebutuhan khusus tentu memerlukan suatu metode pembelajaran yang sifatnya khusus. Suatu pola gerak yang bervariasi, diyakini dapat meningkatkan potensi peserta didik
14
Subyantoro, Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam (Studi Komparatif Perilaku Keagamaan Peserta Didik SMA Swasta di Jawa) (Semarang: Kementerian Keagamaan Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, 2010), h. 1 15
Zakiah Daradjat,dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 29
9
dengan kebutuhan khusus dalam kegiatan pembelajaran (berkaitan dengan pembentukan fisik, emosi, sosialisasi, dan daya nalar). Maka penulis tertarik untuk menganalisis tentang metode pembelajaran pendidikan agama Islam bagi anak berkebutuhan khusus, yang dikhususkan pada anak tunanetra.
B. Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang masalah di atas, untuk mendapatkan gambaran dan kerangka yang lebih jelas mengenai lingkup penelitian ini, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini difokuskan pada metode pembelajaran pendidikan agama Islam bagi anak tunanetra. Adapun pokok permasalahan adalah apa saja metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam bagi anak tunanetra? Dari rumusan masalah di atas maka penulis akan menfokuskan penelitian tentang metode pembelajaran pendidikan agama Islam bagi anak tunanetra.
C. Tujuan Penelitian Berangkat dari rumusan masalah yang telah penulis paparkan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui macam-macam metode pembelajaran pendidikan agama Islam bagi anak tunanetra.
10
D. Kegunaan Penelitian Dari segi perumusan masalah di atas, maka kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pertimbangan untuk penelitian sejenis dan dapat digunakan sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian serupa dalam lingkup yang lebih luas serta diharapkan dapat memberi kontribusi bagi khazanah keilmuan dalam dunia pendidikan. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dalam menerapkan metode pembelajaran pendidikan agama Islam sesuai dengan kondisi dan karakteristik siswa dalam proses pembelajaran. Menambah pengetahuan dan wawasan khususnya guru yang mengampu mata pelajaran Pendidikan Agama Islam tentang metode-metode pembelajaran. Kemudian dapat diimplementasikan oleh guru dalam pembelajaran yang dapat menumbuhkan motivasi siswa dalam belajar.
E. Kerangka Teoritis Menurut teori Alfred Adler bahwa Individual Psychologie mempunyai arti penting sebagai cara untuk memahami sesama manusia. Dalam teori ini Adler mengemukakan tentang rasa rendah diri dan konpensansi. Apabila orang gagal dalam mengejar sesuatu maksud atau memiliki jasmani yang
11
kurang sempurna, maka timbullah perasaan tidak enak pada dirinya, karena dirinya merasa tidak atau kurang berharga untuk mencapai tujuan itu untuk dibandingkan dengan sesamanya. Perasaan yang demikian itu secara teknis disebut rasa rendah diri. Oleh karena itu harus ada pemulih atau penebus yaitu kompensasi dimana orang yang mengalami rendah diri tidak akan tinggal diam. Jadi kompensasi adalah akibat yang wajar (yang seharusnya) daripada rendah diri.16 Perasaan tersebut dapat bersumber kepada perbedan-perbedaan kondisi fisik, psikologis, maupun ataupun sosial. Namun, justru kelemahan-kelemahan ini yang membuat manusia lebih unggul dari makhluk-makhluk lainnya, karena mendorong manusia untuk memperoleh kekuatan, kekuasaan, kebebasan, keunggulan, dan kesempurnaan, atau rasa superioritas melalui upaya-upaya kompensasi. Sejak mula-mula menjadi dokter, Adler telah menaruh perhatian terhadap fungsi-fungsi jasmani yang kurang sempurna, hal ini dirumuskannya dalam organ minderwertigheit und ihre psyshische Kompensationen (1912). Mula-mula dia menyelidiki tentang kenapakah apabila orang yang sakit itu menderita di daerah-daerah tertentu pada tubuhnya; misalnya ada orang yang menderita jantung, ada yang sakit paru-paru, adan ada lagi yang sakit punggung dan sebagainya. Jawab Adler ialah pada daerah-daerah tersebut terdapat kekurangan kesempurnaan atau minderwertigheit (inferiority), baik karena dasar maupun karena kelainan dalam perkembangan. Selanjutnya ia
16
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 116
12
menemukan bahwa orang yang mempunyai organ yang kurang baik itu berusaha mengkompensasikannya dengan jalan memperkuat organ tersebut dengan latihan-latihan intensif. Contoh yang terkenal mengenai kompensasi terhadap organ yang kurang sempurna adalah Demosthenes yang pada masa kanak-kanaknya menggagap, tetapi karena latihan-latihan akhirnya menjadi orator yang paling ternama.17
F. Tinjauan Pustaka Buku yang berjudul ”Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus” karya Bandi Delphie menjelaskan bahwa pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus (student with special needs) membutuhkan suatu pola tersendiri sesuai dengan kebutuhannya masing-masing, yang berbeda antara yang satu dan lainnya.18 Buku
yang
berjudul
“Cara
Memahami
dan
Mendidik
Anak
Berkebutuhan Khusus” karya Hargio Santoso menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki kelainan pada fisik, mental, tingkah laku atau indranya memiliki kelainan yang sedemikian sehingga untuk mengembangkan secara maksimum kemampuannya membutuhkan PLB (Pendidikan Luar Biasa).19
17
Agus Sujanto, Halem Lubis dan Taufik Hadi, Psikologi Kepribadian (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 74 18
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus …, h. 1
19
Hargio Santoso, Cara Memahami dan Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus …, h. 4
13
Buku yang berjudul “Memahami Anak Berkebutuhan Khusus” karya Jenny Thompson menjelaskan bahwa kebutuhan individu anak berkebutuhan khusus diidentifikasi dan dinilai sedini mungkin pada tahap pendidikan mereka, masing-masing individu ABK akan sangat dimungkinkan memiliki kesempatan yang lebih baik dalam meraih tujuan pendidikannya.20 Buku yang berjudul “Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus” karya E. Kokasih menjelaskan bahwa setiap anak berkebutuhan khusus mempunyai kekurangan sekaligus kelebihan. Oleh karena itu, dalam memandang anak berkebutuhan khusus, kita harus melihat dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya. Anak berkebutuhan khusus juga perlu mendapat pelayanan, baik secara medis, pendidikan, maupun dalam berinteraksi sosial.21 Buku yang berjudul “Anak Cacat Bukan Kiamat (Metode Pembelajaran dan Terapi untuk Anak Berkebutuhan Khusus)” karya Aqila Smart yang menjelaskan
bahwa
anak
berkebutuhan
khusus,
apapun
jenis
dan
karakteristiknya, bukanlah suatu aib yang harus disembunyikan. Apapun kondisinya, anak tetap menjadi anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada manusia dan keterbatasan bukanlah suatu pembatas atau penghalang untuk menata masa depan.22
20
Jenny Thompson, Memahami Anak Berkebutuhan Khusus (Jakarta: Erlangga, 2010), h.
21
E. Kokasih, Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus …, h. iii
19
22
Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran dan Terapi untuk Anak Berkebutuhan Khusus (Yogyakarta: Katahai, 2012), h. 8
14
Buku yang berjudul “Strategi Mengajar Siswa Tunanetra” karya Lagita Manastas menjelaskan bahwa setiap anak, dalam hal ini siswa, perlu merasakan bahwa mereka diterima atau dibutuhkan, punya banyak teman, memiliki pengalaman menjadi juara, bermain-main bersama teman-temannya, dan merasa aman. Demikian halnya dengan anak berkebutuhan khusus, mereka butuh hal-hal tersebut di atas. Namun, tentu saja dengan bantuan dan dukungan ekstra dari pihak sekolah agar anak-anak ini bisa merasakan hal tadi.23 Selain buku-buku di atas, ada beberapa penelitian yang membahas tentang metode pembelajaran pendidikan agama Islam bagi anak berkebutuhan khusus. Dalam jurnal yang berjudul “Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Luar Biasa di Propinsi Bali” karya A.M. Wibowo yang menjelaskan bahwa pendidikan agama Islam telah diajarkan dalam proses pembelajaran di SLB meskipun guru PAI di SLB tersebut belum memenuhi kompetensi guru.24 Tesis yang berjudul “Internalisasi Pendidikan Agama Islam pada Siswa Penyandang Ketunaan di SLB PGRI Minggir Sleman Yogyakarta 1981-2002” karya Dwi Istiyani (00222067). Dari penelitian tersebut diketahui bahwa pendidikan agama Islam yang diterapkan di SLB PGRI Minggir berusaha mengadakan penyesuaian, yakni berupaya membentuk siswa penyandang
23
Lagita Manastas, Strategi Mengajar Siswa Tunanetra (Yogyakarta: Imperium, 2014),
h. 2 24
A.M. Wibowo, “Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Luar Biasa di Propinsi Bali” Forum Tarbiyah. Volume 9 No.2 Desember 2011, h. 232
15
ketunaan agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, serta mampu mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan di sekolah itu siswa telah memperoleh pengetahuan keagamaan yang fungsional. Fungsi utama pendidikan agama Islam bagi siswa yang mengalami cacat fisik dan mental ialah mampu memberikan dorongan kepada siswa untuk menumbuh kembangkan rasa percaya diri, memiliki keyakinan penuh, atau berpegangan pada keyakinannya pada Allah Swt.25 Tesis yang berjudul “Pendidikan Inklusi dalam Pembelajaran Beyond Centers and Circles Times (BCCT) di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta” karya Febriyana Anjarwati (09261020) menyimpulkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran BCCT dilaksanakan melalui perencanaan kegiatan belajar, hasil yang dicapai ABK mengalami banyak kemajuan diberbagai aspek perkembangan meliputi aspek moral dan nilai agama, fisik/motorik, berbahasa, kognitif, sosial emosional dan seni. Kemajuan ABK terutama terlihat dalam kemandirian dan sosialisasi, ABK lebih memiliki kesiapan untuk bersosialisasi. 26 Kedua tesis di atas memiliki kesamaan dengan tesis yang akan saya susun, yaitu meneliti tentang anak berkebutuhan khusus. Sedangkan
25
Dwi Istiyani, Internalisasi Pendidikan Agama Islam Pada Siswa Penyandang Ketunaan di SLB PGRI Minggir Sleman Yogyakarta 1981-2002 (Yogyakarta: Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2003) h. vii 26
Febriyana Anjarwati, Pendidikan Inklusi dalam Pembelajaran Beyond Centers and Circles Times (BCCT) di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta (Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2011), h. viii
16
perbedaannya adalah kedua tesis tersebut menggunakan penelitian kualitatif lapangan (field research), sedangkan tesis yang saya susun menggunakan penelitian kualitatif/pustaka yang berbeda dari penelitian sebelumnya, keduanya tidak difokuskan kepada salah satu ketunaan yang berbeda dengan tesis ini.
G. Metode Penelitian 1. Desain Penelitian a. Pendekatan Penelitian Pada penelitian ini yang peneliti gunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang menekankan pada proses, bukan hasil. Penelitian dengan pendekatan kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah.27 b. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian ini termasuk penelitian pustaka (Library Research) yaitu mengumpulkan data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan obyek penelitian atau pengumpulan data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan obyek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan. Atau telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada 27
Syaefuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) h. 5
17
dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan.28
2. Sumber Data Dalam penelitian ini untuk mendapatkan data-data yang valid maka diperlukan sumber data yang valid pula. Dalam penelitian ini ada dua sumber data, yaitu: a. Sumber data primer Sumber data primer adalah sumber bahan atau dokumen yang dikemukakan atau digambarkan sendiri oleh orang lain atau pihak yang hadir dalam waktu kejadian yang digambarkan tersebut berlangsung, sehingga mereka dapat dijadikan saksi.29 Yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah Buku yang berjudul ”Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus” karya Bandi Delphie menjelaskan bahwa pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus (student with special needs) membutuhkan suatu pola tersendiri sesuai dengan kebutuhannya masing-masing, yang berbeda antara yang satu dan lainnya.30 Buku yang berjudul “Cara Memahami dan Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus” karya Hargio
28
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 61 29
30
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h.129
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h.1
18
Santoso, buku yang berjudul “Memahami Anak Berkebutuhan Khusus” karya Jenny Thompson, buku yang berjudul “Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus” karya E. Kokasih, buku yang berjudul “Anak Cacat Bukan Kiamat (Metode Pembelajaran dan Terapi untuk Anak Berkebutuhan Khusus)” karya Aqila Smart, buku yang berjudul “Strategi Mengajar Siswa Tunanetra” karya Lagita Manastas. b. Sumber data sekunder Sumber data sekunder adalah sumber bahan kajian yang digambarkan oleh orang yang ikut mengalami atau yang hadir pada waktu kejadian berlangsung.31 Yang menjadi sumber sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, penelitian-penelitian dan sumber-sumber lain yang relevan. 3. Teknik Pengumpulan Data Karena penelitian ini termasuk penelitian pustaka (Library Research) maka dalam metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi yaitu metode penyelidikan untuk memperoleh keterangan data informasi dari tata usaha, catatan tentang gejala-gejala atau peristiwa masa lalu.32 Setelah data terkumpul peneliti kemudian mengklarifikasikan dan membaginya ke dalam beberapa bab dan sub bab sesuai dengan sifatnya, guna mempermudah dalam menjawab rumusan masalah. 31
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian …, h.129
32
Sutrisno Hadi, Metode Research (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1973), h.16
19
4. Metode Analisis Data Teknik analisis data yang dipakai adalah dengan menggunakan metode Content Analisys (analisis isi). Analisis isi (content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Analisis data kualitatif berlangsung selama proses pengumpulan data.33 Yaitu analisis tentang metode-metode pembelajaran pendidikan agama Islam, menganalisa dan memahami buku yang berkaitan dengan anak berkebutuhan khusus beserta pembelajaran pendidikan agama Islam.
H. Sistematika Penulisan Dalam menyusun tulisan ini peneliti secara sistematis membagi menjadi lima pembahasan, ialah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, manfaat penelitian, kerangka teoritis, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab II Alfred Adler sebagai Landasan Teori meliputi: biografi Alfred Adler, pokok-pokok teori Alfred Adler, arti psikologi individual. Bab III Metode dan Strategi Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus meliputi pengertian anak berkebutuhan khusus, faktir penyebab anak
33
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 245
20
berkebutuhan khusus, jenis dan karakteristik anak berkebutuhan khusus, prinsip pendidikan anak berkebutuhan khusus, metode pembelajaran dalam pendidikan agama Islam, materi pendidikan agama Islam bagi anak tunanetra, dan kurikulum pendidikan agama Islam bagi anak tunanetra. Bab IV Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam bagi Anak Tunanetra Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan dari penelitian serta saran-saran penelitian selanjutnya.