BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Gangguan jiwa dapat menyerang semua usia. Sifat serangan penyakit biasanya akut tetapi juga bisa kronis atau menahun. Di masyarakat ada stigma bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, memalukan, dan aib bagi keluarga. Pandangan lain yang beredar di masyarakat bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh guna-guna orang lain. Ada kepercayaan di masyarakat bahwa gangguan jiwa timbul karena musuh roh nenek moyang masuk ke dalam tubuh seseorang kemudian menguasainya (Hawari, 2003). Seiring dengan perkembangan zaman, penyakit ganguan jiwa atau mental merupakan masalah yang serius karena cukup banyak penderitanya. Salah satu dari penyakit gangguan mental adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan bentuk psikosis fungsional paling berat, dan menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Dalam kasus berat, pasien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju kearah kronisitas (Ingram, dkk., 1995). Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kesehatan jiwa yang menjadi perhatian, dan dikategorikan dalam gangguan psikis yang paling serius karena menyebabkan penurunan fungsi manusia dalam melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti kesulitan merawat diri sendiri, bekerja atau bersekolah, memenuhi kewajiban peran, dan membangun hubungan yang dekat dengan
1
seseorang. Skizofrenia mempunyai prevalensi sebesar 1% dari populasi di dunia (rata-rata 0,85%) dengan angka insiden skizofrenia adalah 1 per 10.000 orang pertahun. Riset kesehatan dasar tahun 2007 melaporkan angka kejadian skizofrenia di Indonesia adalah 4,6 per 1000 penduduk, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 1-3 per 1000 penduduk (Depakes RI, 2010). Prevalensi skizofrenia hampir mirip pada satu negara dengan negara lain. Biasanya terjadi pada akhir remaja atau awal dewasa, jarang terjadi sebelum remaja atau setelah umur 40 tahun. Angka kejadian pada wanita sama dengan pria, namun perjalanan penyakit pada pria lebih awal dengan lebih banyak gangguan kognitif dan outcome yang lebih jelas daripada wanita (Sadock dan Sadock, 2007). Skizofrenia cenderung berlanjut atau kronis, oleh karena itu terapi obat antipsikotik diberikan dalam jangka waktu relatif lama, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Obat antipsikotik telah menjadi terapi farmakologi utama untuk skizofrenia sejak 1950-an. Antipsikotik dapat digunakan untuk mengatasi skizofrenia dengan gejala halusinasi, delusi, dan untuk pencegahan kekambuhan. (Weinberger dan Harisson, 2011). Obat-obat antipsikotik memiliki efek samping yang beragam dan sering kali mengakibatkan pasien skizofrenia tidak patuh menjalani terapi. Efek samping utama yang perlu menjadi perhatian adalah efek samping ekstrapiramidal, terutama karena penggunaan antipsikotik generasi lama, berupa distonia akut, pseudoparkinsonisme, dan dorongan untuk terus bergerak. Pengatasan efek samping tersebut tergolong sulit dan umumnya bisa muncul setelah beberapa hari sampai beberapa minggu setelah penggunaan antipsikotik. Selain efek samping
2
ekstrapiramidal, efek samping lain adalah sedasi, sindrom neuroleptik malignant, gangguan kardiovaskular, efek antikolinergik dan antiadrenergik, gangguan metabolisme, kenaikan berat badan, serta disfungsi seksual (Dipiro, dkk., 2009). Pasien penderita skizofrenia perlu penanganan khusus. Perlu terapi yang cukup lama untuk mengembalikan pasien seperti sediakala. Tingkat ringan atau beratnya gangguan dapat dilihat dari jenis penggunaan obat yang diberikan. Pada kondisi tertentu obat antipsikotik harus dikombinasikan dengan obat lain untuk mengurangi efek samping antipsikotik sehingga meningkatakan pengobatan. Pemberian obat antipsikotik bersama obat lain bisa mempengaruhi efek kerja ataupun interaksi (Cristoph, dkk., 2009). Interaksi bisa terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman, atau agen kimia lainnya dalam lingkungan. Definisi yang lebih relevan adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya. Interaksi obat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat yang diakibatkan oleh obat lainnya sehingga keefektifan atau toksisitas suatu obat meningkat. Risiko interaksi obat akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah obat yang digunakan oleh individu (Stockley, 2008). Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai interaksi obat antipsikotik pada pasien skizofrenia rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik periode Agustus 2014 - Oktober 2014. Penelitian
ini
diharapkan menjadi
bahan
kajian
bagi
pemerintah daerah, khususnya profesional kesehatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.
3
1.2 Kerangka Pikir Penelitian Penelitian ini mengkaji tentang frekuensi kejadian interaksi obat antipsikotik pada pasien skizofrenia rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik. Variabel bebas (independent variable) pada peneitian ini adalah karakteristik pasien (usia dan jenis kelamin) dan karakteristik obat (jumlah obat yang diterima pasien). Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah interaksi obat antipsikotik. Hubungan kedua variabel tersebut digambarkan dalam kerangka pikir penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 1.1.
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Faktor risiko
Interaksi obat Frekuensi interaksi
Karakteristik obat: Jumlah obat:
Karakteristik pasien:
a. laki-laki
a. dua obat
b. perempuan
b. tiga obat
Usia Pasien:
c. empat obat d. lima obat e.
enam obat
Mekanisme interaksi
Jenis kelamin:
Farmakokinetik Farmakodinamik Unknown
Jenis obat yan berinteraksi
a. 16-35 tahun Tingkat keparahan interaksi
b. 36-55 tahun c. 56-75 tahun
Gambar 1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat
4
a. ringan b. sedang c. berat
1.3 Perumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. apakah kejadian potensi interaksi obat antipsikotik-obat di RSUP H. Adam Malik tinggi ? b. apa saja jenis obat yang berinteraksi dengan obat antipsikotik di RSUP H. Adam Malik ? c. apa saja tingkat keparahan yang timbul akibat interaksi yang terjadi ?
1.3 Hipotesis Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. kejadian potensi interaksi obat antipsikotik-obat di RSUP H. Adam Malik adalah tinggi. b. jenis obat yang berinteraksi dengan obat antipsikotik adalah beragam. c. tingkat keparahan yang timbul akibat interaksi yang terjadi meliputi ringan, sedang, berat.
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan penjelasan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk: a. mengetahui kejadian potensi interaksi obat antipsikotik di RSUP H. Adam Malik. b. mengetahui faktor–faktor yang mempengaruhi kejadian interaksi obat antipsikotik di RSUP H. Adam Malik.
5
c. mengetahui mekanisme, jenis obat dan tingkat keparahan interaksi obat antipsikotik-obat yang terjadi di RSUP H. Adam Malik.
1.5 Manfaat Penelitian Berdasarkan penjelasan di atas, manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. sebagai bahan kajian bagi pemerintah daerah, khususnya profesional kesehatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. b. sebagai informasi terkait frekuensi kejadian interaksi obat antipsikotik-obat, jenis obat yang berinteraksi dengan obat antipsikotik dan tingkat keparahan yang timbul akibat interaksi yang terjadi di RSUP H. Adam Malik.
6