BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan suatu gangguan yang mengganggu fungsi mental sehingga menempatkan seseorang dalam kategori tidak sejahtera. Gangguan jiwa adalah respon maladaptif terhadap stressor dari lingkungan eksternal maupun internal, dan dibuktikan melalui pikiran, perasaan dan perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma local atau budaya setempat, dan mengganggu fungsi sosial, pekerjaan dan atau fisik (Townsend, 2005 ; Caturini dan Handayani, 2014). Gangguan jiwa dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu gangguan jiwa ringan dan gangguan jiwa berat. Salah satu gangguan jiwa berat yang banyak terjadi adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah (Stuart dan Sundeen, 2002). Skizofrenia merupakan suatu gangguan mental berat dengan kemungkinan untuk sembuh yang tergolong minim. Sampai saat ini, skizofrenia masih menjadi kasus yang paling sering dijumpai di beberapa rumah sakit jiwa. Rata-rata 45% pasien yang masuk rumah sakit jiwa merupakan pasien skizofrenia dan sebagian besar pasien skizofrenia memerlukan perawatan (rawat inap dan rawat jalan) yang lama (Videbeck, 2008). 1
2
Data
American
Psychiatric
Association
(APA)
tahun
2010
menyebutkan bahwa 1 % penduduk dunia (rata-rata 0,85 %) menderita skizofrenia. Data lain didapatkan dari Schizophrenia Information and Treatment Introduction yang menyebutkan bahwa di Amerika skizofrenia menimpa kurang lebih 1 % dari jumlah penduduk. Lebih dari dua juta orang Amerika menderita skizofrenia pada waktu tertentu (Pitoyo, 2012). Menurut WHO, Indonesia menduduki peringkat pertama dari seluruh negara di dunia dengan penderita gangguan jiwa terbanyak (Lestari dan Kartinah, 2012). Di Indonesia, angka prevalensi skizofrenia adalah 0,3-1 %, terjadi sebagian besar pada usia 18 sampai 45 tahun, namun ada juga yang berusia 11-12 tahun. Apabila penduduk Indonesia berjumlah 200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar dua juta jiwa menderita skizofrenia, dimana sekitar 99% pasien di rumah sakit jiwa adalah penderita skizofrenia (Arif, 2006). Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa penderita gangguan jiwa berat dengan usia di atas 15 tahun di Indonesia mencapai 0,46%. Hal ini berarti terdapat lebih dari satu juta jiwa di Indonesia yang menderita gangguan jiwa berat. Prevalensi tertinggi di Daerah Khusus Ibukota Jakarta (2,03%), lalu Nanggroe Aceh Darussalam (1,9%), dan Sumatera Barat (1,6%). Berdasarkan laporan pasien yang mengunjungi Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali dua bulan terakhir, yaitu Agustus sampai dengan September 2014 diperoleh data pada bulan Agustus dari 71 pasien yang mengunjungi IRD sebanyak 67 pasien (94,37%) yang menderita
3
skizofrenia diantaranya. Data bulan September dari 86 pasien yang mengunjungi IRD sebanyak 79 pasien (91,86%) yang menderita skizofrenia. (RekamMedik RSJ Provinsi Bali, 2014). Beberapa
sumber
menyebutkan
pasien
skizofrenia
memiliki
kemungkinan yang kecil untuk sembuh secara total. Menurut Arif (2006), 80% pasien skizofrenia mengalami kekambuhan. Sekitar 25% pasien dinyatakan pulih dari episode awal dan mampu menjalankan fungsinya dengan baik seperti pada kondisi sebelum munculnya gangguan. Sekitar 25% pasien tidak menunjukkan perjalanan penyakit yang membaik, sehingga pasien dinyatakan tidak pernah pulih. Sekitar 50% pasien lainnya mengalami kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif dalam jangka waktu yang lama. Pasien skizofrenia memerlukan perawatan yang berulang (recurrent). Pasien skizofrenia harus mendapatkan perawatan yang memadai dari keluarga, baik secara materi, fisik maupun emosional setelah menjalani perawatan di rumah sakit (Gunarsa, 2000). Sikap baik yang ditunjukkan keluarga dan dukungan sosial keluarga merupakan salah satu cara untuk menurunkan stress dan secara langsung mengokohkan kesehatan mental individu. Pada umumnya, penderita skizofrenia mendapatkan stigma yang negatif dari masyarakat. Seringkali keluarga menganggap pasien skizofrenia merupakan aib bagi keluarga, sehingga tindakan yang dilakukan justru meningkatkan stress pasien skizofrenia seperti pemasungan, kekerasan, isolasi
4
bahkan diasingkan. Kebanyakan keluarga memiliki pandangan bahwa pasien skizofenia dapat menimbulkan bahaya bagi lingkungan sekitarnya. Kurangnya
pengetahuan
dan
kesadaran
masyarakat
mengenai
skizofrenia serta penanganannya menimbulkan persepsi yang negatif di masyarakat. Onset skizofrenia yang muncul sejak masa remaja maupun dewasa muda, dan kemudian menjadi sebuah perjalanan penyakit yang kronis dan tidak sembuh menimbulkan beban sendiri bagi keluarga. Biaya yang harus dikeluarkan baik secara langsung untuk membeli obat-obatan maupun biaya yang secara tidak langsung dikeluarkan saat menjalani perawatan, waktu yang harus digunakan untuk menjalani perawatan, disertai dengan hilangnya pendapatan pasien skizofrenia menjadikan pasien skizofrenia diposisikan sebagai beban baik secara materiil maupun beban sosial keluarga (Amelia dan Anwar 2014). Pandangan masyarakat tentang skizofrenia menyebabkan keluarga dengan anggota yang mengalami skizofrenia menutup diri dari lingkungan sosialnya. Arif (2006) menyatakan bahwa sebuah keluarga yang memiliki anggota keluarga penderita skizofrenia cenderung tertutup dan enggan diwawancarai oleh orang asing. Hal ini terjadi karena stigma, rasa malu, dan penyalahan dari lingkungan sosial yang dialami oleh keluarga. Biasanya keluarga akan menyerahkan perawatan sepenuhnya kepada pihak rumah sakit karena mereka kurang mengetahui bagaimana cara merawat penderita skizofrenia dan mereka memiliki keyakinan bahwa dengan menjalani
5
perawatan di rumah sakit maka pasien akan mendapat perawatan dan pengobatan yang tepat. Menurut Amelia dan Anwar (2014) adanya stigma, rasa malu, penyalahan lingkungan sosial serta persepsi negatif keluarga menimbulkan sikap dan perilaku yang mencerminkan ekspresi emosi keluarga. Pada umumnya, keluarga yang memiliki persepsi negatif dan perasaan terbebani oleh keberadaan anggota keluarga yang menderita skizofrenia memiliki tingkat emosi yang lebih tinggi. Rasa malu dan penyalahan dari lingkungan sosial serta perasaan terbebani akan menunjukkan emosi yang lebih tinggi. Biasanya keluarga mengekspresikan emosi secara berlebihan terhadap pasien skizofrenia, sehingga timbul perlakuan maupun perkataan kasar dari keluarga. Pengungkapan ekspresi yang berlebihan dari keluarga biasanya akan berakhir dengan pelampiasan emosi kepada pasien skizofrenia, hal ini tentu saja akan menimbulkan stress yang berlebih pada pasien skizofrenia, sehingga tanda dan gejala skizofrenia akan terlihat kembali dan kemudian disebut dengan kekambuhan atau relaps. Hasil survey terhadap 10 keluarga yang memiliki anggota keluarga skizofrenia, semuanya mengatakan kalau bisa pasien agar di rawat di Rumah Sakit Jiwa karena dirumah ditakutkan pasien akan mengganggu lingkungan, sedangkan dari 10 orang pasien skizofrenia 8 orang merupakan pasien yang sudah beberapa kali menjalani rawat inap di RSJ namun kembali mengalami kekambuhan. Hal ini menunjukkan bahwa masalah gangguan jiwa masih menjadi masalah kesehatan dan sosial yang perlu dilakukan upaya
6
penanggulangan secara komprehensif. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pihak RSJ Provinsi Bali untuk meningkatkan dukungan keluarga terhadap pasien dilakukan dengan melakukan home visit, contohnya adalah kunjungan yang dilakukan oleh perawat dan tim dokter ke tempat tinggal pasien (memberi obat, mengevaliuasi kondisi pasien, memberikan HE (Health Education) pada keluarga pasien tentang cara merawat pasien dengan gangguan jiwa), akan tetapi keluarga terkesan masih kurang peka dengan keadaan pasien. Pada penelitian yang dilakukan oleh Diny Rezki Amelia dan Zainul Anwar (2014) yang berjudul “Relaps pada Pasien Skizofrenia” menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kekambuhan pada pasien skizofrenia adalah ekspresi emosi yang ditunjukkan keluarga. Selain itu, terdapat penelitian lain yang dilakukan oleh Fitri Sri Leastari dan Kartinah (2012) yang berjudul “Hubungan Persepsi Keluarga Tentang Gangguan Jiwa dengan Sikap Keluarga Kepada Anggota Keluarga yang Mengalami Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta” menyatakan bahwa terdapat hubungan antara persepsi keluarga tentang skizofrenia dengan sikap keluarga terhadap anggota keluarganya yang menderita skizofrenia. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti memandang perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan persepsi keluarga tentang skizofrenia dan ekspresi emosi keluarga dengan frekuensi kekambuhan pada pasien skizofrenia di IRD RSJ Provinsi Bali.
7
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat ditentukan rumusan masalah yaitu : 1) “Apakah ada hubungan antara persepsi keluarga tentang skizofrenia dengan frekuensi kekambuhan pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali?” 2) “Apakah ada hubungan antara ekspresi emosi keluarga dengan frekuensi kekambuhan pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali?”
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan persepsi keluarga tentang skizofrenia dan ekspresi emosi keluarga dengan frekuensi kekambuhan pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
1.3.2
Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi persepsi keluarga mengenai skizofrenia pada pasien skizofrenia di Ruang Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. 2. Mengidentifikasi ekspresi emosi keluarga pada pasien skizofrenia di Ruang Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. 3. Mengidentifikasi frekuensi kekambuhan pada pasien skizofrenia di Ruang Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
8
4. Menganalisis
hubungan
antara
persepsi
keluarga
tentang
skizofrenia dengan frekuensi kekambuhan pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. 5. Menganalisis hubungan antara ekspresi emosi keluarga dengan frekuensi kekambuhan skizofrenia di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat teoritis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang ilmu keperawatan jiwa khususnya hubungan persepsi keluarga tentang skizofrenia dan ekspresi emosi keluarga dengan frekuensi kekambuhan pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar bagi pengembangan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan hubungan persepsi keluarga tentang skizofrenia dan ekspresi emosi keluarga dengan frekuensi kekambuhan pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
1.4.2
Manfaat praktis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh perawat sebagai bahan untuk memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga mengenai hubungan persepsi keluarga tentang skizofrenia
9
dan ekspresi
emosi
sehingga
dapat
meminimalisir angka
kekambuhan skizofrenia 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi tentang persepsi keluarga tentang skizofrenia dan ekspresi emosi keluarga sehingga dapat dirumuskan upaya peningkatan penanggulangan masalah gangguan jiwa di Provinsi Bali dan dapat dicarikan
solusi
yang
tepat
kekambuhan pasien skizofrenia.
untuk
meminimalisir
angka