1
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Negara Indonesia yang mengedepankan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekaligus hukum itu sebagai panglima di Negara ini, maka hal ini mengandung konsekuensi yang luas di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus di tegakkan kepada semua warga Negara Indonesia tanpa pandang bulu semua harus patuh dengan hukum tanpa terkecuali dan tidak seorangpun berada dan menempatkan diri di atas hukum dan hukum harus diterapkan kepada siapapun. Hukum sendiri ialah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi dan fase. Bila diibaratkan benda ia bagaikan permata, yang tiap irisan dan sudutnya akan memberikan kesan berbeda bagi setiap orang yang melihat atau memandangnya.20 Pada zaman yang modern ini berita mengenai perkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan dan perlakuan tidak senonoh lainnya terhadap perempuan dapat disaksikan tiap hari di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Hingga kini masih banyak perempuan baik yang dewasa atau yang masih anak-anak mengalami berbagai macam bentuk diskriminasi mulai dari diskriminasi keluarga, pendidikan, dan dunia kerja, baik yang dilakukan oleh seorang pria maupun yang
20
Bernard Arief Sidharta, 1999, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 2.
2
dilakukan oleh sekelompok pria, baik berupa penganiayaan fisik maupun batin sampai ke pelecehan seksual dan perkosaan yang dilakukan oleh orang-orang di dalam lingkungan keluarga dan sebuah rumah tangga itu sendiri. Pada dasarnya hak yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki adalah sama, hanya bentuk fisik saja yang berbeda karena fungsi yang berbeda. Mereka mempunyai hak untuk hidup, dihargai, dihormati, pintar, maju, mencapai cita-cita dan hak mendasar lainnya. Hak-hak tersebutlah yang mereka perjuangkan hingga mereka diakui sebagai kaum yang sejajar dengan laki-laki bukan sebagai saingan tetapi sebagai mitra. Tetapi, upaya yang dilakukan hingga kini guna meraih kesamaan gender belum berhasil secara menyeluruh, masih banyak perempuan yang hidup di bawah tekanan pria baik secara sadar maupun tidak sadar. Dengan keadaan budaya seperti itu, untuk melindungi diri sendiri perempuan membutuhkan perjuangan yang cukup keras walaupun keberadaan perempuan itu diakui hak-haknya oleh kaum pria. Bertitik tolak dari budaya ketertekanan perempuan oleh pria itu, maka resiko pelecehan dan kekerasan seksual itu sangat besar.21 Salah satu bentuk menyikapi rentannya posisi perempuan dari segala bentuk diskriminasi, Indonesia telah meratifikasi CEDAW (The Convention On The Elimination Of Distrimination Ageins Woman) melalui Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1984 yang dengan tegas menyebutkan diskriminasi terhadap perempuan
21
Soetandjo Wignjo Soebroto, 2004, Kejahatan PerkosaanTelaah dari Sudut Tinjauan Ilmu Sosial, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9.
3
berarti setiap pembedaan atau pembatasan yang kuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.22 Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum sendiri dan persamaan hukum saja ternyata tidaklah cukup. Para penegak hukum maupun pejabat pemerintah dan masyarakat umum sering menggunakan pemikiran sendiri, ketika kaum perempuan akan
menggunakan
proses
hukum
untuk
mempertahankan
hak-haknya.
Kecenderungan yang selama ini muncul adalah ketika pelaku sudah dihukum atau bahkan dikucilkan dari masyarakat, Maka korbanpun diperlakukan sedemikian rupa ataupun kalau ada tindakan lain tidak sampai upaya yang diberikan untuk mengembalikan posisi korban di tempat semula.23 Pelanggaran kesusilaan pada perempuan saat ini tidak lagi memandang umur, hal ini terbukti dengan adanya kasus-kasus perkosaan yang ada dalam media massa ataupun cetak. Bukan lagi hanya terhadap perempuan-perempuan dewasa namun sudah pada remaja dan anak-anak. Kejahatan perkosaan pada kosa kata Bahasa Indonesia berasal dari kata perkosaan yang berarti menundukkan dengan kekerasan, 22
Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. 23 Sulaiman Manik, Hambatan dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Korban, http://www.kabarindonesia.com, 12 Juni 2010.
4
memaksa dengan kekerasan atau menggagahi.24 Menurut Soetandjo Wignjo Soebroto, perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang lakilaki terhadap seorang perempuan yang menurut nilai-nilai moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar.25 Dalam penulisan akhir ini korban difokuskan pada kalangan anak yang dilakukan oleh orang dalam lingkup keluarga. Usia korban perkosaan pada anak-anak biasanya berumur antara enam hingga lima belas tahun. Bila korban belum berumur lima belas tahun, korban secara yuridis diatur dalam pasal 290 ayat (2) KUHP yang klasifikasinya perbuatan cabul.Bunyi Pasal 290 ayat (2) KUHP adalah:26 “Barangsiapa
melakukan
perbuatan
cabul
dengan
seorang,
padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk di kawin.” Dapat dibayangkan usia anak yang masih begitu muda, penuh cita-cita dan harapan harus hancur akibat perbuatan biadab. Lebih memprihatinkan lagi bahwa kasus-kasus perkosaan tersebut jarang sekali terungkap dan diselesaikan di Pengadilan. Alasan dari para orang tua mereka pada hakikatnya bahwa anak adalah karunia terindah dari Tuhan Yang Maha Esa, maka jika anak mereka menjadi korban 24
Tim Penyusun Kamus P3 B Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, 1996, Balai Pustaka, Jakarta, h.52 25 Soetandjo Wignjo Soebroto, 2004, Kejahatan Perkosaan Telaah dari Sudut Tinjauan Ilmu Sosial, Sinar Grafika, Jakarta, h.25 26 Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 290 ayat 2.
5
pelecehan seksual maupun kekerasan seksual hal itu merupakan suatu aib bagi keluarga mereka dan jika seandainya kasus yang terjadi pada anak mereka sampai diperiksa di Pengadilan, maka dikhawatirkan akan ada banyak orang yang mengetahui aib tersebut sehingga nantinya anak mereka tidak akan ada yang mau bila sudah saatnya nanti untuk menikah.27 Dengan banyaknya tindak kekerasan pada anak yang terjadi, maka dengan demikian pula jumlah anak korban kekerasan semakin bertambah, termasuk di dalamnya anak korban kekerasan seksual. Di dalam ketentuan pidana Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di kenakan pidana penjara dan denda bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Bunyi dari Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah:28 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
27
Hikmah Suplemen Pikiran Rakyat, Resiko Menikah dengan Saudara http://www.hikmahsuplemen.com, 09 Agustus 2010. 28 Lihat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak, Pasal 81.
Sedarah,
6
Bunyi dari Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah:29 “ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul , dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000 (enam puluh juta rupiah)”. Ada banyak sebab anak menjadi korban, baik dari faktor intern (di dalam lingkungan keluarga) maupun ekstern (di luar lingkungan keluarga) serta adanya kesempatan seseorang untuk melakukan kejahatan perkosaan. Salah satu contohnya saat seorang gadis tertidur dengan busana yang bisa menimbulkan hasrat, maka dapat menimbulkan keinginan untuk menyalurkan kebutuhan biologis seseorang yang melihatnya, apalagi di dukung dengan suasana sepi, karena anggota keluarga lain sedang bekerja atau sekolah, sehingga tidak ada saksi yang dapat mengetahui, melihat, dan mendengar sendiri. Akibatnya sulit kasus perkosaan pada anak diajukan atau diperiksa aparat penegak hukum, karena tiadanya saksi hingga ada kemungkinan besar pelakunya lepas dari jeratan hukum. Pelaku dapat dilakukan oleh siapa saja, demikian juga korban dapat dialami oleh siapa saja.30 Dalam Penulisan skripsi ini kasus yang diangkat adalah kasus hubungan seksual sedarah (Incest) dan biasanya pelakunya adalah ayah kandung, saudara lakilaki, atau paman. Kasus ini terjadi oleh kondisi sosiokultural masyarakat yang sering
29 30
Ibid. Pasal 82 Hikmah Suplemen Pikiran Rakyat, op cit.
7
melemahkan posisi anak perempuan. Istilah Incest berasal dari dunia kedokteran yang berupa penyimpangan perilaku seks. Incest juga merupakan hubungan seksual atau perkawinan antara dua orang yang bersaudara dekat atau sekandung yang dianggap melanggar adat, hukum, dan agama. Dari pengertian tersebut, maka dinyatakan bahwa Incest adalah hubungan seksual dalam keluarga. Hubungan keluarga dapat diartikan adanya hubungan darah baik ke atas, ke bawah, ataupun menyamping.31 Perbuatan cabul yang dirumuskan dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP dan Pasal 295 ayat (1) butir (1) KUHP, tidak selalu persis sama dengan perbuatan Incest, karena perbuatan cabul itu belum tentu melakukan hubungan seksual, sedangkan Incest sudah pasti ada aktifitas seksual. Pengaturan perbuatan cabul antara lain dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP dan Pasal 295 ayat (1) butir (1) KUHP. Bunyi Pasal 294 ayat (1) KUHP adalah:32 “Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikannya dan penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.” Bunyi Pasal 295 ayat (1) butir (1) KUHP adalah:33 “Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak dibawah pengawasannya yang 31
Triya Indra Rahmawan, Incest di Lingkungan Keluarga, http://www.sebuahpernyataan.com, 18 Agustus 2010. 32 Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 294 ayat 1. 33 Ibid. Pasal 295 ayat 1 butir 1.
8
belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya,ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain.” Hukum Pidana Indonesia juga menjerat perbuatan Incest dengan Pasal-Pasal dalam KUHP yang lain, seperti dengan Pasal 287 KUHP jika korbannya masih di bawah umur.Bunyi Pasal 287 KUHP adalah:34 1. Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan tahun).” 2. Penuntutan lainnya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.” Atau Pasal 285 KUHP jika dari perbuatan incest itu terbukti pula unsur-unsur perkosaan. Bunyi Pasal 285 KUHP adalah:35 “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) menjerat pula bagi setiap orang yang melakukan perbuatan Incest, Hal itu tersebut pada Pasal 8 huruf a dan b, serta
34 35
Ibid. Pasal 287 ayat 1 dan 2. Ibid. Pasal 285.
9
penjatuhan pidananya pada Pasal 46 dan 47. Adapun bunyi Pasal-Pasal tersebut adalah sebagai berikut : Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004:36 Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004:37 Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004:38 Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Terjadinya kasus-kasus Incest sebagaimana disebutkan diatas menunjukkan perlu adanya Undang-Undang lain yang mengatur perbuatan Incest secara khusus dalam hukum pidana Indonesia. Berlatar belakang pada uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk memilih judul “TINJAUAN YURIDIS NORMATIF
36
Lihat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 8. 37 Ibid. Pasal 46. 38 Ibid. Pasal 47.
10
TERHADAP PERBUATAN INCEST DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANANYA”. B.Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat di rumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan perbuatan Incest dalam perundang-undangan di Indonesia? 2. Bagaimanakah Pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku Perbuatan Incest menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta Undang-Undang Perlindungan anak?
C.Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak di capai oleh penulis dari diadakannya penelitian dan penulisan ini adalah:
1. Untuk mengidentifikasi dan menganalisis pengaturan yang terkait dengan Perbuatan Incest Dalam Hukum Pidana Indonesia. 2. Untuk mengidentifikasi dan menganalisis Pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku Perbuatan Incest menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta Undang-Undang Perlindungan anak.
11
D.Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian dan penulisan ini baik secara teoritis maupun praktis adalah:
1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan untuk menambah informasi serta membawa manfaat bagi perkembangan ilmu hukum pidana, khususnya dalam hal Perbuatan Incest dalam Hukum Pidana Indonesia serta Pertanggungjawaban Pidananya. 2. Secara Praktis Diharapkan karya tulis ini dapat memberikan masukan saran dan ide bagi instansi-instansi terkait, masyarakat, serta para akademisi khususnya dalam hal Perbuatan Incest dalam Hukum Pidana Indonesia serta Pertanggung jawaban Pidananya.
E.Metode Penelitian
Dalam usaha untuk mendekati permasalahan pada penulisan skripsi ini, digunakan metode yang sesuai dan relevan dengan masalah yang ada, dengan maksud agar mendapatkan data yang terjamin kebenarannya.
12
1. Pendekatan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan “Normatif Legal Research” yakni penulisan yang menekankan pada pedekatan Yuridis Normatif dimana meihat hukum sebagai norma dalam masyarakat. Penulisan ini berorientasi pada analisa Perbuatan Incest Dalam Hukum Pidana Indonesia dan Pertanggungjawaban Pidananya.
2. Jenis Bahan Hukum a.Bahan Hukum Primer Yaitu bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penulisan akhir ini, terdiri dari: Pasal-Pasal kesusilaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang lainnya, yakni meliputi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. b.Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer, yakni berupa buku-buku hukum, kamus, artikel hukum, serta pendapat para praktisi yang berguna bagi Penulisan Akhir ini.
13
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan oleh penulis dengan cara sebagai berikut: a.Kepustakaan Yaitu pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas, serta diterbitkan dalam penelitian. Kepustakaan yang dimaksud dalam penulisan ini adalah berupa buku-buku ilmu hukum, artikel hukum, karya ilmiah hukum, jurnal hukum, media cetak dan/atau elektronik yang berkaitan dengan perbuatan Incest dalam Hukum Pidana Indonesia dan Pertanggungjawaban Pidananya. b.Dokumentasi Yaitu pengumpulan bahan hukum dengan menggunakan dokumendokumen, misalnya seperti penelusuran perundang-undangan yang ada hubungannya dengan objek yang diteliti diluar dari data pustaka, guna untuk menunjang dan melengkapi data-data yang diperlukan. 4. Analisa Bahan Hukum Teknik analisa hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah menggunakan sincronation analysis yakni analisis kritis terhadap kesesuaian berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan Perbuatan Incest dalam Hukum Pidana Indonesia dan Pertanggungjawaban Pidananya, serta menganalisa lebih dalam dari berbagai literatur maupun data yang terkait sehingga penulisan ini dapat terarah dengan studi analisa yang dimaksud baik
14
secara normatif maupun yuridis. Selain analisa diatas Penulis juga menggunakan analisa interpretasi hukum (Penafsiran Hukum) antara lain Interpretasi atau penafsiran gramatikal, yang mana analisa dilakukan dengan cara ketentuan atau kaedah hukum diartikan oleh masyarakat sebagai bahasa sehari-hari, yang kedua ialah interpretasi sistematis, yang mana analisa dilakukan dengan cara menafsirkan Undang-Undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan Undang-Undang yang lain.
F.Sistematika Penulisan
Dalam menyusun penulisan hukum ini, penulis membagi dalam 4 (empat) bab dan masing-masing bab terdiri atas sub bab yang bertujuan agar mempermudah dalam pemahamannya.adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab Pendahuluan ini diuraikan tentang latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam Bab ini penulis akan memaparkan landasan teori atau kajian teori yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti oleh penulis yaitu menyangkut Perbuatan Incest Dalam Hukum Pidana Indonesia dan Pertanggungjawaban
15
Pidananya dan segala aspek yang melingkupinya baik teori, doktrin serta kajian yuridis berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baik di dalam KUHP dan diluar KUHP dalam bentuk peraturan perundang-undangan khusus. Selain itu, Penulis akan memaparkan pula tentang sejarah munculnya Incest, faktor penyebab dan dampak Incest. Disamping pemaparan tentang konsep Incest, dalam Bab ini Penulis memaparkan pula konsep Hukum Pidana Indonesia serta konsep Pertanggungjawaban Pidana. Pada konsep Hukum Pidana Indonesia, Penulis akan memaparkan tentang tujuan dan fungsi hukum pidana, serta pengertian dari tindak pidana. Sedangkan pada konsep
Pertanggungjawaban
Pidana,
dipaparkan
tentang
pengertian
dari
Pertanggungjawaban Pidana, kemampuan bertanggung jawab, pengertian dari kesengajaan dan kealpaan/kelalaian, serta yang terakhir tentang tidak adanya alasan penghapus kesalahan (Alasan Pemaaf). BAB III PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis akan menganalisis permasalahan yang diangkat dimana berkonsentrasi pada analisa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan permasalahan yang bertujuan untuk pemecahan masalah yang dikemukakan. BAB IV PENUTUP Bab terakhir yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan jawaban atas hasil analisa di bab III yang harus sesuai dengan permasalahannya, sedangkan saran merupakan sumbangan pemecahan masalah sebagai rekomendasi terhadap pihak-pihak yang bersangkutan.