BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah Allah menciptakan manusia dalam keadaan saling membutuhkan.Karena, setiap orang tidak memiliki segala yang diperlukan dan mandiri sepenuhnya. Tetapi, orang memiliki sebagian dari apa yang tidak dia butuhkan dan masih memerlukan kepada apa yang tidak
diperlukan orang lain.
Maka Allah
mengilhamkan pada manusia agar mereka tukar menukar barang dan keperluan dengan jual beli dan transaksi lain. Sehingga, hidup mereka dapat berjalan dengan baik dan berproduksi(Pakdenono, 2005:318 ). Perilaku umat yang berkenaan dengan manusia sebagai mahlukekonomis, yakni manusia keterkaitannya
didalam melakukan dengan
masalah
kegiatan
ekonomi.
hidupnya tidak
Untuk
itu
terlepas dari
syariat
Islam
telah
mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah ekonomi, yang masa dalam hukum (fiqh) islam dimasukan dalam suatu kajian ilmu fiqh, yang dinamakan fiqh muamalah Dalam hal ini al- Dimyati menjelaskan, bahwa muamalah adalah
التحصٍل الذوٍُي سببالالخرَي “menghasilkan duniawi, supaya menjadi sebab sukses ukhrowi” (I’anat althalibin hlm 5-11)
Berekonomi menurut islam terdapat beberapa macam atau bentuk,seperti telah dimuat dalam fiqh muamalah al-Madiyah, yang antara lain pinjam
1
2
meminjam (al-ariyah), bagi hasil(al-mudarabah), sewa menyewa (al- ijarah), jual-beli(al-tijarah), perseroan (al-syirkah), upah (ujrah al-amal), barang titipan (al-wadiah), pengalihan utang (al-hiwalah) dan masalah-masalsh yang erat kaitannya dengan jaman sekarang, seperi bagi hasil dalam sebuah kerja sama (Hendi Suhendi, 2002 : 5). Begitu juga para prilaku ekonomi harus bertolak pada nilai-nilai islam apabila
ingin mencapai keuntungan dunia akhirat,
yakni keuntungan yang
ditimbang tidak hanya didunia saja, tapi harus diperhitungkan keabsahannya sampai diakhirat. Kerjasama merupakan watak masyarakat ekonomi menurut ajaran islam. Kerjasama itu harus tercermin dalam segala tingkat kegiatan ekonomi, produksi dan distribusi baik barang maupun jasa.Diantara sekian banyak kerjasama sektor ekonomi mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kesejah teraan hidup manusia. Satu kerjasama disektor pertanian khususnya penggarapan lahan dalam fiqh
muamalah
dikenal
dengan
istilah
muzaraah,
mukhabarah
dan
musaqah.Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada sipenggarap
untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu
(persentase) dari hasil panen, dan benihnya dari penggarap(Syafi’I Antonio, 2001 : 99).Sedangkan Mukhabarah adalah paroan sawah atau ladang dengan pembagian
hasil, seperdua, sepertiga atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari yang
3
punya tanah. Menurut ulama Hanafiah Musaqah sama seperti Muzara’ah, baik dalam hukum dan persyaratan yang memungkinkan terjadinya musaqah. Ulama hanafiah berpendapat bahwa musaqah, sama seperti muzara’ah, baik dalam hukum kecuali dalam empat perkara : 1. Jika salah seorang yang menyepakati akad tidak memenuhi akad, dalam musakah, ia harus dipaksa, tetapi dalam muzara’ah, ia tidak boleh dipaksa. 2. Jika waktu musakah habis, akad diteruskan sampai berbuah tanpa pemberian upah, sedangkan dalam muzara’ah jika waktu habis, pekerjaan diteruskan dengan pemberian upah. 3. Waktu dalam musyakah ditetapkan menurut istihsan, sebab dapat diketahui dengan tepat, sedangkan waktu dalam muzara’ah terkadang tidak tentu. 4. Jika pohon dipinta oleh selain pemilik tanah, penggarap dikasih upah. Sedangkan dalam Muzara’ah jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-apa(Rachmat Syafei,2006 :213 ). Melaksanakan
usaha
pertanian
adakalanya
diperlukan
kerjasama
antarapemilik tanah dengan orang yang memiliki keterampilan dan kemampuan bertani, karena ada kalanya pemilik kebun atau sawah tidak sanggup menggarap sendiri
tanahnya.
Sebaliknya
ada
yang
mempunyai
kemampuan
dan
keterampilanmenggarap tanah tetapi tidak memiliki kebun atau sawah .kerjasama yang demikian itulah yang dalam istilah fiqh muzara’ah (Hamzah Ya’qub,1999 : 217). Sebagai bukti bahwa Islam membenarkan norma tersebut, Nabi saw, tidak
merampas atau menggarap sendiri tanah Khaibar. Tanah Khaibar tersebut dipersilahkan kepada penduduk setempat untuk menggarafnya dengan benih
4
berasal dari penduduk sebagai penggarap. Penghasilan dari penggarapan tersebut dibagi dua antara penduduk Khaibar sebagai penggarap dan Nabi saw. Sebagai pemilik tanah (Afzalul Rahman, 1995: 261). Peristiwa tersebut tercermin dalam hadits sebagai berikut:
عه ابه عمر ان الىبً صل هللا علًٍ َسلم عامل اٌل خٍبر بشرطما ٌخرج مىٍا مه ) (رَاي مسلم.ثمر اَ زرع Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw. Telah memberikan kebun beliau kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buahbuahan maupun dari hasil tanaman palawija.(H.R. Muslim). (A. Hasan, 1999: 401).
Pada perkembangan selanjutnya bentuk kerjasama antara pemilik tanah dengan penggarap terjadi pula pada masyarakat Desa Cikitu Kec Pacet Kab Bandung.ditengah-tengah desa tersebut telah ada suatu cara kerjasama antara pemilik tanah dengan pengelola tanah dalam penggarapan sawah. Kerjasama penggarapan sawah ini dikenal dengan sebutan nengah sawah. Pelaksanaan cara nengah yang terjadi di Desa Cikitu Kec Pacet Kab Bandung.
Dimana
pihak
pemilik
sawah meminta petani untuk
mengurus/
menggarap sawah mereka, ataupun sebaliknya, pihak petani meminta pada pihak pemilik sawah supaya sawahnya untuk bisa digarap oleh petani tersebut. Adapun segala bentuk biaya dalam bercocok tanam mulai dari alat untuk menggarap sawah, benih, pupuk, pengurusan sawah sampai memanen semuanya ditanggung oleh penggarap sawah, sedangkan pemilik sawah hanya menerima hasil panen dan
5
pembagian hasil panen tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu persentasenya ketika awal akad, akan tetapi pihak pemilik tanah menentukan persentase bagi hasilnya ketika sudah panen serta tidak ditentukan batas waktu berakhirnya kerjasama nengah tersebut (wawancara dengan bpk Anda 20 oktober 2012). permasalah
diatas,
jelaslah
bahwa pelaksanaan negah sawah yang
dilakukan pemilik sawah dengan penggarap termasuk kedalam akad Muzara’ah, dan tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Fiqih Muamalah yang jelasjelas merugikan salah satu pihak yaitu pihak penggarap, maka penulis mencoba untuk membahasnya dan sekaligus untuk dijadikan skripsi dengan judul “ Pelaksanaan Penggarapan Sawah Dengan Cara Negah Sawah di Desa Cikitu Kecamatan Pacet Kabuaten Bandung”. B. Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dimana segala sesuatu mulai dari alat penggarapan, bibit, pupuk, pengurusan sawah sampai biaya memanen semua ditanggung oleh penggarap sawah, dan tidak disebutkannya berapa persentase bagian masing-masing ketika awal akad yang mengakibatkan adanya ketidak jelasan bagi hasilnya, serta tidak ditentukan batas waktu berakhirnya kerjasama tersebut, maka penulis mengedintipikasi masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan bagi hasil dari penggarapan sawah dengan cara nengah sawah di Desa Cikitu kec Pacet Kab Bandung ? 2. Bagaimana manfaat dan madharat dari pelaksanaan nengah sawah di Desa Cikitu Kec Pacet Kab Bandung ?
6
3. Bagaimana relevansipengarapan sawah dengan konsep muzara’ah dalam pengarapan sawah di Desa Cikitu Kec Pacet Kab Bandung ? C. Tujuan penelitian dari perumusan yang telah dikemukakan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui bagaimana pelaksanaan bagi hasil dari penggarapan lahan dengan cara nengah di Desa Cikitu Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung; 2. Mengetahui bagaimana manfaat dan madharat pelaksanaan nengah sawah di Desa Cikitu Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung; 3. Mengetahui
bagaimana
relevansi
akad
muzara’ahterhadap
pelaksanaan
penggarapan sawah dengan cara nengah di Desa Cikitu Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung. D. Kerangka Pemikiran adalah berupa penalaran logis terhadap masalah yang ada berdasarkan teori-teori dan pakta dilapangan mengenai muzara’ah. Teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pengertian Muzara’ah menurut beberapa ahli yaitu ulama hanabilahYang menjadi kerangka pemikiran dalam penulisan skripsi ini
عقذ على السرع ببعط الخارج مه االرض “Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi” (Hendi Suhendi,2002 :153). Maksud dari pengertian tersebut bahwa muzara’ah merupakan suatu istilah mengenai akad perjanjian antara pemilik tanah dengan petani pengarap yang yang mengelola lahan pertanian itu, dimana pemilik tanah memeperkerjakan
7
petani penggarap untuk menanami lahan pertanian tersebut dengan imbalan upah sebagian dari hasil bumi. KUHP Perdata Islam pasal 1431 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan muzara’ahadalah suatu bentuk kerjasama/syirkah dimana salah satu pihak menyediakan lahan pertanian dan yang lainnya sebagai penggarap, bersedia menggarap (mengelola) tanah dengan ketentuan hasil produksinya dibagi diantara mereka.(A. Djazuli,2002 :334) Kerjasama
diantara
sesama
manusia
adalah
sebuah
bentuk
untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai kemajuan bersama dalam hidup. Kerjasama pada dasarnya adalah merealisasikan unsur tolong-menolong sesama manusia yang dianjurkan oleh islam, selama tolong menolong tersebut membawa kebaikan
dan
menghindari dari kemungkaran.
Islam
menekankan
adanya
kerjasama dan gotong royong yang ditegaskan allah SWT dalam firmannya surah al-Maidah ayat 2 :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-
8
id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya, dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Sunardjo dkk,1989 : 70). Dengan terpenuhinya kebutuhan hidup manusia, maka akan tercapai tujuan ekonomi islam yang semuanya memberikan gambaran positif tentang kewajiban kita untuk berusaha. Aktifitas ekonomi dalam pandangan islam bertujuan untuk : 1. Memenuhi kebutuhan hidup seseorang secara sederhana; 2. Memenuhi kebutuhan keluarga; 3. Memenuhi kebutuhan jangka panjang; 4. Menyediakan kebutuhan keluarga yang ditinggalkan; 5. Memberikan bantuan social dan sumbangan menurut jalan Allah(Suhrawardi k, 2000 : 3).
Adapun yang menjadi dasar pemikiran dalam
mencari hukum mengenai
praktek nengah sawah di Desa Cikitu Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung. Bertitik tolak dari tujuan hukum, baik secara umum maupun khusus, serta terpenuhinya atau tidaknya dari syarat dan rukunnya, karena hal demikian merupakan talak ukur itu sendiri. Segala sesuatu yang telah ditetapkan syari’at, maka ia tidak akan berwujud jika tidak ada syarat-syarat tersebut, sebagai mana dia takan berujud rukunrukunnya,
oleh karena itu didasarkan pada ketergantungannya syarat dan
rukunnya itu sama(Muchtar Yahya dan Faturahman, 1993 : 149).
9
Akad adalah hal yang sangat mendasar dalam masalah muamalah karena dengan adanya akad ini segala bentuk muamalah dapat dibedakan satu dengan yang lainnya, serta dapat menyebabkan sah dan tidaknya satu bentuk masalah yang dapat berakibat kepada halal atau haramnya. Secara bahasa akad atau perjanjian itu digunakan untuk banyak arti, yang secara keseluruhannya kembali kepada bentuk ikatan atau penghubungan terhadap dua hal. Ikatan itu sendiri bisa atau konkrit. Sedang akad menurut istilah adalah ketertarikan keinginan diri dengan keinginan orang lain dengan caramemunculkan adanya komitmen tertentu yang disyaratkan. Terkadang kata akad dalam istilah dipergunakan dalam pengertian umum , yakni sesuatu yang diikatkan seseorang bagi dirinya sendiri atau bagi orang lain dengan kata khusus. Firman allah dalam surat al maidah ayat 1
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukumhukum menurut yang dikehendaki-Nya”. (Abdul Umar Basyir: 2004 : 26).
10
Mencapai suatu akad, Islam mengatur persyaratan secara umum dalam berbagai akad, yaitu : 1. Kedua belah pihak cakap berbuat; 2. Yang dijadikan akad dapat menerima hukumnya; 3. Akad itu diijinkan oleh syara, dilakaukan oleh orang yang mempunyai hak melakukan dan melaksanakannya, walaupun dia bukan siakid itu sendiri; 4. Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara; 5. akad itu memberikan faidah; 6. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi Kabul. Maka bila orang; yang berijab (mujib) menarik ijabnya sebelum adanya Kabul, maka batal ijabnya; 7. Bertemu di majlis’aqdi. Karenanya ijab menjadi batal apabila seseorang yang berijab telah berpisah dengan yang lain sebelum adanya Kabul(Hasbi Alshshiddieqy, 2001: 34).
Pada dasarnya perpindahan hak milik dikatakan benar menurut syariat Allah jika didasarkan pada prinsip saling merelakan.Prinsip saling merelakan dapat dikatakan telah telah diterapkan secara praktis dalam transaksi muzara’ah secaraumum,apabila rukun dan syaratnya yang dimaksud sudah dilaksanakan. Sebaliknya meskipun seseorang telah mengakatakan telah saling merelakan tetapi rukun dan syaratnya tidak dilaksanakan dengan benar, maka muzara’ah
tersebut
dapat dikatakan batal atau tidak syah secara hukum Islam. Karena hal itu jika dipaksakan akan merugikan salah satu pihak yang bertransaksi.
11
Menurut jumhur ulama rukun-rukun muzara’ah adalah ada orang yang berakad, benih yang akan ditanam, lahan yang dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad(Dahlan, 1997 :1273). Untuk membantu terhadap kasus praktek muzara’ah, maka penulis menggunakan beberapa kaidah fiqh sebagai bahan acuan untuk mencapai tujuan dari penelitian ini. Pada dasarnya, setiap tindakan untuk mengembangkan harta kekayaan itu diperbolehkan, tidak di haramkan sebagaimana di ungkapkan dalam suatu kaidah yaitu:
االصل فى العقُد َالمعاملة الصحة حتى ٌذل دلٍال على البتالن َالتحرٌم “Asal transaksi muamalah adalah syah sampai ada dalil yang membatalkan dan dan yang mengharamkan” (Hendi Suhendi, 2002 :18). Sedangkan asas-asas muamalah yang meliputi pengertian-pengertian dasar yang dapat dikatakan sebagai teori-teori yang membentuk hukum muamalah adalah sebagai berikut: 1. Asas tabaddulul mana’fi Asas
ini
berarti
bahwa
segala
bentuk
kegiatan
muamalah
harus
memberikan keuntungan dan manfaat bersama bagi pihak-pihak yang terlibat. Asas ini bertujuan menciptakan kerjasama antara individu atau pihak-pihak dalam masyarakat dalam rangka saling memenuhi keperluan kesejahtraan bersama. 2. Asas adalah
masing-masing untuk
12
Asas pemerataan adalah prinsip keadilan dalam bidang muamalah yang menghendaki agar harta itu tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang sehingga harta itu harus didistribusikan secara merata diantara masyarakat baik kaya maupun miskin.Asas ini merupakan pelaksanaan firman Allah SWT. Qs al-Hasyr ayat 7 yang menyatakan bahwa harta itu tidak hanya beredar dikalangan orangorang kaya saja. Azas ini sesuai dengan Qs al-Hasyr(59)ayat 7 :
“ apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya:( Soenardjo dkk,1989 : 916). 3. Asas antara’din atau suka sama suka Asas ini menyatakan bahwa setiap bentuk muamalah antara individu atau antara pihak harus berdasarkan kerelaan masing-masing.Kerelaan disini dapat berarti kerelaan melakukan sesuatu bentuk muamalah, maupun kerelaan dalam arti
13
kerelaan dalam menerima dan atau menyerahkan harta yang dijadikan objek perikatan dan bentuk muamalah lainnya. 4. Asas adam al-gharar Asas ini menyatakan bahwa setiap bentuk muamalah tidak boleh ada gharar yaitu tipu daya atau suatu yang menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak yang lainnya sehignga menyebabkan hilangnya unsur salah satu pihak dalam melakukan transaksi atau perikatan 5. Asas al-Birr wa al-Taqwa asas ini menekankan bentuk muamalah yang termasuk kategori suka sama suka ialah sepanjang bentuk muamalah dan pertukaran manfaat itu dalam rangka pelaksanaan saling tolong-menolong antara sesama manusia yakni kebajikan dan ketakwaan
dalam berbagai bentuknya.
Dengan kata lain,
muamalah yang
bertentangan dengan kebajikan dan ketakwaan atau bertentangan dengan tujuantujuan kebajikan dan ketakwaan tidak dibenarkan menurut hukum. 6. Asas Musyarakah Asas merupakan
musyarakah musyarakah
Menghendaki yakni
bahwa
kerjasama
setiap
antara
bentuk
pihak
muamalah
yang
saling
menguntungkan.Asas ini melahirkan dua bentuk pemilikan yaitu pertama, milik pribadi atau perorangan (milk adamiy), yakni harta atau benda dan manfaat yang dapat dimiliki secara perorangan.Kedua, milik bersama atau milik umum yang bersifat haq Allah (haqqullah).Benda atau hak milik Allah itu dikuasai oleh pemerintah, seperti air, udara, dan kandungan bumi. (Juhaya S. Praja, 1992 : 113-115)
14
Berkaitan dengan praktek
muzara’ah yang terjadi di Desa Cikitu
Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung, yang dalam pembagian hasilnya yang tidak ditentukan ketika awal akad dan tidak ditentukan berakhirnya akad tersebut, maka dapat ditarik suatu hipotesis bahwa praktek nengah sawah yang terjadi di Desa Cikitu Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung ini belum memenuhi rukun dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara. E. Langkah-Langkah Penelitian
1. MenentukanMetode Penelitian Penelitian ini mengunakan metode studi kasus. Metode
studi kasus yaitu
metode penelitian yang bertujuan untuk mendeskrifsikan suatu satuan analisis secara utuh (biasanya berupa tokoh,suatu keluarga, suatu peristiwa, suatu wilayah, suatu
pranata,
suatu kebudayaan,
suatu komunitas),
sebagai satuan yang
terintegrasi. (Cik Hasan Bisri, 2001 :62) Dalam hal ini penulis
akan mengumpulkan,
mengelola,
mengklasifikasikan,
menganalisa data dan menyimpulkan kemudian melaporkan hasil penelitian di lapangan mengenai penggarapan sawah dengan cara nengah di Desa Cikitu Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung. 2. Menentukan Sumber Data Sumber data yang digunakan penulis terdiri dari dua kategori, yaitu primer dan sekunder. a. Sumber Data Primermerupakan data yang didapat dari sumber pertama baik itu perorangan atau kelompok. Data primer merupakan data mentah yang perlu diproses untuk tujuan-tujuan tertentu sesuai dengan kebutuhan. Sumber primer
15
terdiri dari data yang diperoleh dari lapangan baik hasil penelitian maupun wawancara. b. Sumber Data Sekunder, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti.
3. Menentukan Jenis Data Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data kualitatif, yakni hal-hal yang berkaitan dengan: a. alasan-alasan dilakukannya praktek penggarapan sawah dengan cara nengah di Desa Cikitu Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung; b. Tinjauan fiqh muamalah terhadap pelaksanaan penggarapan sawah dengan cara nengah di Desa Cikitu Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung; c. Manfaat dan madharat dari pelaksanaan nengah sawah yang terjadi di Desa Cikitu Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung; 4. Menentukan Tehnik Pengumpulan Data a. Penelitian lapangan. Penelitian ini dilakukan dengan cara terjun langsung lokasi penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan. b. Wawancara(interview), yaitu suatu bentuk komunikasi verbal atau semacam percakapan, yang bertujuan untuk memperoleh informasi (S. Nasution,1991 :153). Dalam hal ini ialah keterangan atau data yang sesuai dengan tujuan
penelitian dengan cara Tanya jawab dengan para responden dari pihak penggarap di Desa Cikitu Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung.
16
c. Studi kepustakaan, yaitu data yang diperoleh dari perpustakaan berupa riteratur yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti oleh penulis. 5. Menganalisis Data Pada dasarnya analisis data merupakan penguraian data melalui tahapan. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:(Cik Hasan Bisri,2001 : 66). a. Kategori dan klasifikasi. Pada tahap pertama, dilakukan sleksi data yang telah dikumpulkan, kemudian diklasifikasikan menurut kategori tertentu; b. Perbandingan; c. Pencarian hubungan antara data-data; Mengumpulkan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan para responden dari pihak penggarap di desa cikitu kecamatan pacet kabupaten bandung. Dan sumberdata lain sehingga penulis mengolah atau menganalisis datadata dengan tahapan sebagai berikut: a. Memahami seluruh data yang telah terkumpul dari beberapa sumber data. kemudian mengklasifikasikan dan menyusun data tersebut kedalam kategori tertentu menurut perumusan masalah; b. Mengelola
data
dengan
menggunakan
menghubungkan data dengan teori; c. Menarik kesimpulan.
metode
kualitatif
kemudian