1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Beakang Isu mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property Rights, merupakan isu yang sangat menarik dan sangat bersinggungan
erat
dengan
pertumbuhan
ekonomi
di
Indonesia.
Bagaimana tidak setiap usaha baik dalam skala kecil, menengah, meupun besar memerlukan HKI sebagai bentuk perlindungan bagi usahanya. Baik itu dalam bentuk hak merek, cipta, paten, desain industri, dan lain sebagainya. Permasalahan mengenai HKI selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman. Pada awalnya perkembangan permasalahan tersebut sangatlah sederhana, yaitu misalnya: hanya menyangkut tuntutan supaya dapat dikuasainya dan dipergunakannya untuk tujuan apapun, apa-apa yang sudah ditemukannya, diciptakannya dengan kemampuan tenaganya maupun intelektualnya; siapakah yang berhak menjadi pemilik dari suatu hasil karya bila bahan bakunya berasal dari pihak lain; dan sebagainya. Namun, permasalahan semakin majemuk dengan terjadinya revolusi industri di Inggris dan juga di Perancis.1 Kedua revolusi tersebut merupakan tonggak dalam perkembangan doktrin dan objek perlindungan hak milik intelektual. Perkembangan lain 1
Muhammad Djumhana dan Djubaedillah, 1993, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori, dan Prakteknya di Indonesia), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 7.
2
ditandai dengan munculnya Konvensi Hak Milik Perindustrian dan Konvensi Hak Cipta. Kedua konvensi ini lahir karena kebutuhan akan pentingnya perlindungan hak milik intelektual secara internasional, dan juga merupakan realisasi terhadap perlunya suatu peraturan yang bersifat global di bidang hak milik intelektual.2 Kreativitas, Ide, dan Teknologi dapat mendatangkan kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi bagi kehidupan masyarakat.3 Bayangkan bila setiap orang dengan bebas menggunakan ciptaan orang lain dengan ilegal, hal
ini
akan
menurunkan
rasa
kompetitif
masyarakat
untuk
mengembangkan idenya dan menciptakan penemuan-penemuan baru. Dari sudut pandang tersebut, dikembangkan suatu kaidah hukum yang dapat mendorong
penelitian
dan
pengembangan
dengan
memberikan
perlindungan bagi teknologi baru yang tercipta selama waktu tertentu dengan memberikan hak eksklusif bagi para pengembang seperti HKI.4 Aspek hukum dirasa mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan HKI. Dengan begitu, para pemegang Hak Kekayaan Intelektual
akan
merasa
dilindungi
dan
nantinya
akan
mampu
meningkatkan daya kreasi masyarakat. Hak Cipta merupakan bagian dari HKI, telah dikenal sejak lama. Tahun 1556, telah dikeluarkan sebuah dekrit yaitu Star Chamber yang menentukan setiap buku memerlukan izin, dan setiap orang dilarang
2
Ibid. Suyud Margono, 2010, Hukum Hak Cipta Indonesia: Teori dan Analisis Harmonisasi Ketentuan World Trade Organization (WTO)-TRIPs Agreement, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 3. 4 Ibid. 3
3
mencetak tanpa izin.5 Hingga saat ini pengaturan mengenai hak cipta terus berkembang begitupun dengan permasalahannya. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.6 Prinsip
deklaratif
ini
mempermudah
masyarakat
dalam
memperoleh hak moral dan hak ekonomi dari ciptaannya sendiri yang pastinya dapat mendorong masyarakat untuk bisa menghasilkan ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra secara bebas namun tetap sejalan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Hak Moral merupakan hak yang melekat pada diri pencipta untuk mencantumkan nama pencipta dalam ciptaanya, tidak boleh melakukan perubahan kecuali atas persetujuan dari pencipta atau ahli warisnya dan melakukan perubahan pada ciptaannya.7 Sedangkan Hak Ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan.8 Bentuk-bentuk manfaat ekonomi dari hak cipta diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang Hak Cipta berupa lisensi. Pemberian lisensi tersebut biasanya diikuti dengan pembayaran royalti. Kepada pemegang
5
Muhammad Djumhana dan Djubaedillah, Op.cit, hlm 49. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. 7 Lihat Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. 8 Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. 6
4
Hak Cipta tersebut. Royalti merupakan imbalan atas pemanfaatan Hak Ekonomi suatu ciptaan atau produk Hak Terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait.9 Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa masalah mengenai HKI selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman. Begitu juga dalam hak cipta terutama kaitannya dengan royalti yang seharusnya diterima pencipta atau pemegang hak cipta. Saat ini dunia penerbitan buku di Indonesia sedang menghadapi masalah serius mengenai pembajakan buku. Kasus pembajakan buku di Indonesia menempati posisi ketiga setelah pembajakan software dan musik atau film.10 Permasalahanpermasalahan mengenai pembajakan ini merupakan permasalahan klasik yang selalu menjadi musuh penulis dan penerbit buku. Pipiet seorang penulis dari Forum Lingkar Pena memberi contoh karya yang diterbitkan majalah Annida pernah diterbitkan di Malaysia tanpa seizin penulis. Bahkan sebuah karya fiksi Helvi Tiana Rosa dibajak oleh seorang doktor di Brunai Darussalam.11 Bentuk pelanggaran lain sering dilakukan oleh Pelajar maupun Mahasiswa, dan kebanyakan dari user terkadang tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan pelanggaran Hak Cipta. Kaum intelektual itu ikut menggandakan atau memfotokopi buku referensi untuk sebagian maupun seluruhnya di pusat usaha fotokopi. Tidak sedikit 9
Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Sulthon Miladiyanto, 2010, Jurnal Law Reform Volume 5 Nomor 1: Prospek Eksistensi Yayasan Cipta Buku Indonesia (YBCI) dalam Penarikan Royalti Buku di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hlm.40. 11 Ibid. 10
5
perusahaan fotokopi yang terkena somasi karena telah melakukan penggandaan suatu buku. Namun, beberapa dari pengusaha fotokopi berpendapat bahwa perbuatannya bukanlah suatu pelanggaran karena pengusaha fotokopi hanya memfasilitasi penggandaan buku oleh Mahasiswa yang umumnya dilakukan karena alasan pendidikan. Alasan tersebut muncul karena adanya celah dalam ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Padahal seharusnya pemilik usaha yang mendapatkan keuntungan menyisihkan sebagian keuntungannya dari hasil usahanya untuk diberikan kepada pencipta buku atau penerbit buku yang difotokopi. Berbagai kekurangan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 telah dievaluasi oleh Pemerintah, dan karena dirasa sudah tidak relevan dengan perkembangan masyarakat dan teknologi saat ini, pada 16 Oktober 2014 disahkan dan juga diundangkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta sebagai pengganti Undang-Undnag Hak Cipta Tahun 2002. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 menjadi angin segar bagi Pencipta maupun Pemegang Hak Cipta. Banyak definisi baru yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Tak hanya itu, bila dulu tak ada pengaturan secara eksplisit mengenai Lembaga pengumpul royalti, kini di Undang-Undang yang baru Lembaga pengumpul royalti terebut diatur secara jelas dan tegas. Bab XII Undang-Undang 28 Tahun 2014 yang terdiri dari 7 Pasal mengatur mengenai Lembaga Manajemen Kolektif
6
yang diatur lebih lanjut di Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 29 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Permohonan dan Penerbitan Izin Operasiona serta Evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif. Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Ahmad Ramli menyatakan bahwa pemberian jasa foto kopi harus membayar royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) bila hendak menggandakan seluruh isi buku yang sudah teraftar Hak Cipta.12 Sebagai manusia Pencipta atau pemegang hak cipta tidak akan mampu memantau penggunaan karya ciptanya oleh pihak lain. Oleh karena itu saat ini bermunculan lembaga yang berperan dalam penarikan dan pengumpulan royalti yang biasa dikenal dengan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Pada bidang musik ada Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) serta Wahana Musik Indonesia (WAMI), sedangkan dalam pengumpulan royalti buku dan karya tulis dipegang oleh Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia (YRCI) yang berkedudukan di DKI Jakarta. Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia merupakan satu-satunya lembaga
manajemen
kolektif
nirlaba
(reproduction
rights
organization/rro) berbentuk badan hukum di Indonesia untuk ikut mendorong mengembangkan, melindungi dan mempromosikan industri kreatif khususnya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia didirikan pada tanggal 22 November 2009 12
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5436398737a4b/awas--tukang-foto-kopi-bisadijerat-uu-hak-cipta dengan judul “Awas, Tukang Foto Kopi Bisa Dijerat UU Hak Cipta”, diakses pada 20 Januari 2015 pukul 00.56 WIB.
7
dengan nama awal Yayasan Cipta Buku Indonesia. Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia dibentuk dengan tujuan untuk melindungi dan mempromosikan karya cipta, baik di dalam maupun luar negeri, serta menghimpun royalti para pencipta atau pemegang Hak Cipta.13 Melihat beberapa kasus yang telah dijabarkan di atas, menjadi sangat penting untuk mengetahui bagaimana Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia (YRCI) sebagai lembaga pemungut royalti menyelesaikan persoalan tersebut mengingat peran Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia sebagai pengumpul royalti Hak Cipta atas buku dan karya tulis lainnya. Dari uraian tersebut di atas, peneliti tertarik untuk mengangkat permasalahan terkait dengan hak cipta dan meneliti lebih jauh dengan melalui sebuah penelitian hukum yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Adapun judul yang peneliti angkat adalah “Kedudukan Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia (YRCI) Sebagai Lembaga Manajemen Kolektif Bidang Karya Tulis di Indonesia Ditinjau Dari UndangUndang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta”
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang akan menjadi fokus dalam penulisan hukum ini adalah: 1.
13
Bagaimana kelemahan pengaturan lembaga manajemen kolektif di
http://www.yrci.or.id/tentang-yrci/ dengan judul “Profil Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia (YRCI)”, diakses pada tanggal 19 Januari 2015 pukul 23.01 WIB.
8
Indonesia serta perbandingannya dengan hukum hak cipta Singapura? 2.
Bagaimana kedudukan serta peranan Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia (YRCI) selaku lembaga manajemen kolektif ditinjau dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang ada, maka peneliti menemukan tujuan dari dilakukannya penelitian hukum ini dari segi subjektif peneliti dan dari segi objektif permasalahan. 1.
Tujuan Subjektif a.
Dengan dibuatnya penelitian ini diharapkan peneliti dapat menguasai regulasi mengenai Hak Cipta khususnya Hak Cipta atas karya seni dan sastra serta mengetahui peran Lembaga Manajemen Kolektif dalam pengelolaan royalti.
b.
Selain itu, penelitian yang akan dilakukan peneliti merupakan pemenuhan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.).
2.
Tujuan Objektif a.
Untuk mengetahui, menelaah, dan menganalisis mengenai Kelemahan Pengaturan Lembaga Manajemen Kolektif di Indonesia serta Perbandingannya dengan Hukum Hak Cipta Singapura.
b.
Untuk mengetahui, menelaah, dan menganalisis kedudukan
9
serta peranan Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia (YRCI) selaku Lembaga Manajemen Kolektif ditinjau dari UndangUndang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
1.4.
Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh peneliti di Perpustakaan Fakultas Hukum Univeritas Gadjah Mada, tidak ditemukan penulisan hukum mengenai “Kedudukan Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia (YRCI) Sebagai Lembaga Manajemen Kolektif Bidang Karya Tulis di Indonesia Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta”. Namun, peneliti menemukan dua karya ilmiah yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan hukum ini. Namun demikian, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara karya ilmiah tersebut dengan penulisan hukum ini. Hal tersebut bisa dilihat dari adanya perbedaan judul, rumusan masalah, objek kajian maupun waktu. Adapun Karya Ilmiah yang memiliki relevansi dengan penulisan hukum ini yaitu: 1.
Penulisan Hukum dalam bentuik skripsi dengan judul “Peran YKCI Terhadap Perlindungan Hukum Kepada Pemilik Hak Cipta Lagu yang Dinyanyikan Tanpa Seijin Pencipta Lagu Ditinjau dari UU No 19 Tahun 2002” yang ditulis oleh Komang Metri S. pada tahun 2013. Apabila diperbandingkan, penulisan hukum peneliti dengan
10
penulisan hukum yang dilakukan oleh Komang Metri S. memiliki kesamaan yaitu menjelaskan mengenai peran suatu Lembaga Manajemen Kolektif dalam perlindingan hukum kepada pemilik Hak Cipta. Namun, bila dilihat terdapat perbedaan yang cukup besar dengan penulisan hukum ini. Penulisan hukum tersebut menjelaskan tentang Lembaga Manajemen Kolektif yang bergerak di bidang cipta lagu sedangkan penulisan hukum ini menjelaskan tentang Lembaga Manajemen Kolektif yang bergerak di bidang cipta karya sastra atau buku. Lebih lanjut, tidak seperti penulisan hukum sebelumnya yang menggunakan Undnag-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, penulisan hukum ini meggunakan Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014. 2.
Penulisan Hukum dengan bentuk Tesis dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Pencipta Karya Tulis Buku Kaitannya Dengan Pembayaran Royalti” yang ditulis oleh Ratna Afifah Sunyoto, pada tahun 2014. Terdapat kesamaan antara penulisan hukum peneliti dengan penulisan hukum yang dilakukan oleh Ratna Afifah Sunyoto yaitu sama-sama membahas mengenai pengaturan royalti dalamm karya tulis buku. Namun demikian keduanya memiliki pebedaan yaitu perbedaan objek penelitian. Dalam tesisnya Ratna Afifah Sunyoto menjabarkan mengenai praktik pelanggaran yang dilakukan terhadap pencipta karya tulis buku dalam hal pembayaran royalti, sedangkan
11
peneliti menekankan pada peran Lembaga Manajemen Kolektif pada umumnya dan Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia pada khususnya. Dimana yayasan tersebut tidak hanya memberikan perlindungan pada karya tulis buku, namun juga pada karya tulis lainnya. Lokasi penelitiannya pun berbeda. Dalam tesisnya Ratna Afifah Sunyoto melakukan penelitian di Daerah Istimewa Yogyakarta, sedangkan peneliti melakukan penelitian di Direktorat Jenderal HKI Jakarta Selatan dan Yayasan Reprodukis Cipta Indonesia yang terletak di Jakarta Pusat. Dengan demikian peneliti hukum ini dilakukan dengan itikad baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika terdapat penelitian yang serupa diluar pengetahuan peneliti, ini bukan merupakan suatu kesengajaan tetapi diharapkan penelitian ini dapat menambah informasi dari penelitian yang telah ada sebelumnya sehingga dapat memperkaya khasanah pengetahuan serta peneliti hukum yang bersifat akademis.
1.5.
Manfaat Penelitian Peneliti berharap penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat dari segi teoritis maupun kehidupan praktis. 1.
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berguna bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan hukum dagang pada khususnya.
12
2.
Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berharga kepada pihak-pihak yang terilibat di dalam penentuan kebijakan HKI khususnya hak cipta, pemerintah, Lembaga Manajemen Kolektif, pencipta serta pengusaha fotokopi juga pihak-pihak
yang berkepentingan mengenai
kesadaran dan
penegakan hukum dalam perlindungan karya cipta khususnya karya cipta sastra atau buku.