BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten yang ditandai dengan adanya trakea dan bronki berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma dimanifestasikan dengan penyempitan jalan nafas yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi. Seorang penderita asma dapat mengalami eksarbasi akut yang berlangsung dari beberapa menit sampai jam dan diselingi oleh periode bebas gejala (Smeltzer & Bare, 2010). Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran nafas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak nafas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari (PDPI, 2006; GINA, 2009).
Asma merupakan
penyakit paru tersering, yang menyerang hingga 15-17%
populasi di sebagian tempat. Angka prevalensi tertinggi di laporkan di Australia dan New Zealand, sedangkan di Amerika Serikat prevalensinya mencapai 3-5% (McPhee & Ganong, 2010). Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 100150 juta penduduk dunia menderita asma, jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah sebesar 180.000 orang setiap tahunnya. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat 20 tahun belakangan ini. Penyakit asma di Indonesia merupakan 1
2
sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, penyakit asma masih menduduki sepuluh besar penyakit yang paling banyak diderita oleh masyarakat di beberapa kabupaten yang ada di Bali.
Asma mempunyai dampak yang sangat mengganggu. Gangguan fungsi pernafasan menjadi komplikasi dan menimbulkan gangguan pada berbagai aktivitas sehari-hari sehingga menurunkan produktivitas kerja dan kualitas hidup (GINA, 2009).
Adanya obstruksi jalan nafas pada pasein asma akan
mengakibatkan hiperinflasi pulmoner, yaitu terjebaknya udara akibat saluran nafas yang menyempit, dan menyebabkan terjadinya peningkatan kapasitas paru total dan volume residu fungsional sekunder serta penurunan volume cadangan ekspirasi (VCE) dan kapasitas vital paru (KVP) (Smeltzer &Bare, 2010).
Menurut Guyton & Hall (2006), terdapat 4 kapasitas paru, diantaranya : kapasitas residual fungsional, kapasitas inspirasi, kapasitas vital dan kapasitas paru total. Kapasitas vital sama dengan volume cadangan inspirasi ditambah volume tidal dan volume cadangan ekspirasi yang merupakan jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan seseorang dari paru, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimum dan kemudian mengeluarkannya sebanyak-banyaknya (kira-kira 4600 ml). Kapasitas vital merupakan jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan setelah melakukan inspirasi maksimal (Sloane, 2004).
3
Penurunan kapasitas vital paru pada pasien asma mengakibatkan peningkatan diameter anteropoterior dada sehingga dada akan menyerupai barel (Barrel Chest). Peningkatan ukuran anteposterior dada dapat menurunkan compliance dinding dada, sehingga mengakibatkan pernafasan menjadi kurang efektif dan dapat memperburuk keadaan pasien asma saat mengalami sesak nafas (Price& Wilson, 2005). Sesak nafas saat serangan asma mengakibatkan peningkatan kerja otot-otot
pernafasan,
sebagai
bentuk
mekanisme
tubuh
untuk
tetap
mempertahankan ventilasi paru, akan tetapi secara perlahan-lahan otot pernafasan akan mengalami kelemahan yang akan menimbulkan penyakit bertambah buruk, sehingga diperlukan tindakan untuk meningkatkan kekuatan otot pernafasan (Guyton& Hall, 2006).
Tindakan atau intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan otot-otot pernafasan antara lain senam asma, breathing exercise atau latihan pernafasan, bersepeda, berenang, dan jalan santai atau jogging, tertawa, meniup balon, atau melakukan ekspirasi penuh untuk tes pernafasan (Guyton& Hall, 2006; Sylvia& Price, 2005). Menurut PDPI (2006), adapun olahraga yang dianjurkan pada pasien asma antara lain, renang, bersepeda, jalan kaki atau jogging, senam asma yang didasari oleh latihan pernafasan.
Latihan pernapasan bertujuan untuk melatih cara bernapas yang benar, melenturkan dan memperkuat otot pernapasan, melatih ekspektorasi yang efektif, meningkatkan sirkulasi dan mempertahankan asma yang terkontrol (Holloway, 2004). Latihan pernafasan pada penderita selain ditujukan untuk memperbaiki
4
fungsi alat pernapasan, juga bertujuan melatih penderita mengatur pernapasan jika penderita asma merasa serangan asma akan datang, ataupun sewaktu serangan asma. Terapi pernapasan utama bagi penderita asma adalah latihan napas perut atau Diaphagmatic Breathing Exercise (Potter& Perry, 2006).
Diaphragmatic
Breathing
Exercise
merupakan
latihan
pernafasan
yang
merelaksasikan otot-otot pernafasan saat melakukan inspirasi dalam. Pasien berkonsentrasi pada upaya mengembangkan diafragma selama melakukan inspirasi terkontrol (Potter& Perry, 2006). Diaphragmatic Breathing Exercise dilakukan dengan cara membesarkan perut ke depan dan dilakukan secara perlahan ketika menghembuskanya (Jones et al., 2004). Latihan ini dapat meningkatkan efisiensi pernafasan dengan mengurangi udara yang terperangkap dan mengurangi kerja pernafasan. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Imania (2014) yang menyatakan bahwa Breathing Exercise dapat meningkatkan kapasitas vital paru serta volume ekspirasi paksa pada detik pertama pada tenaga sortasi yang mengalami gangguan paru karena latihan tesebut dapat meningkatkan relaksasi otot, meningkatkan elastisitas otot-otot pernafasan, meningkatkan efisiensi otot-otot pernafasan, mengurangi kecemasan serta memperbaiki ventilasi.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas III Denpasar Utara, setelah dilakukan pengukuran kapasitas vital paru terhadap lima orang pasien asma, menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital paru dengan jumlah ratarata 2, 87 L. Jumlah kunjungan pasien asma adalah 1449 orang pada tahun 2013.
5
Penatalaksanaan pada pasien asma yang diberikan di Puskesmas berupa terapi farmakologi dan belum pernah diberikan latihan nafas perut atau Diaphragmatic Breathing Exercise.
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk menganalisis pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap kapasitas vital paru pada pasien asma di Puskesmas III Denpasar Utara.
1.2.
Rumusan Masalah
Adakah pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap kapasitas vital paru pada pasien asma?
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum Untuk mengetahui pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap kapasitas vital paru pada pasien asma. 1.3.2. Tujuan khusus (1)
Mengidentifikasi kapasitas vital paru pretest pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
(2)
Mengidentifikasi kapasitas vital paru posstest pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
(3)
Menganalisis kapasitas vital paru pretest dan posttest pada kelompok perlakuan
(4)
Menganalisis kapasitas vital paru pretest dan posttest pada kelompok kontrol
6
(5)
Menganalisis pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap kapasitas vital paru pada pasien asma
1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1. Praktis 1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan oleh perawat di Puskesmas III Denpasar Utara untuk meningkatkan
pelayanan
keperawatan khususnya dalam pemberian Diaphragmatic Breathing Exercise untuk meningkatkan kapasitas vital paru pada pasien asma 2. Dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan pasien asma mengenai pemeliharaan fungsi paru dengan melakukan Diaphragmatic Breathing Exercise yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot pernafasan dan melatih nafas yang efektif, sehingga diharapkan dapat mencegah dan mengurangi serangan asma. 1.4.2. Teoritis Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan khususnya dibidang ilmu keperawatan medikal bedah dalam penatalaksanaan
Diaphragmatic Breathing Exercise
untuk
meningkatkan
kekuatan otot pernafasan pada pasien asma. Selain itu, hasil ini juga dapat dijadikan sebagai dasar atau acuan untuk melaksanakan penelitian bagi peneliti selanjutnya dalam mencari hubungan atau terapi lain untuk meningkatkan kekuatan otot pernafasan pada pasien asma.